Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Selasa, 07 Desember 2010

Lelaki Gunung dan Perempuan Laut

Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum warhmatullahi wabarktuh ========================== Ia mendesah. Beberapa kali menahan nafas. Kadang matanya berkedip menahan desiran angin yang berhembus kencang menabrak wajahnya. Tatkala ia menatap ombak-ombak dihadapannya. Tangan kanannya menggenggam Canon EOS 50 D. Kamera kesayangannya yang selalu menemani ketika berburu sunyi. Mencari ribuan obyek mata hati, mencari makna hidup yang kian kabur dan bias. Di pantai ini, keberadaannya tidaklah sendiri. Ada orang lain dibelakangnya. Jika ia berdiri sembari menatap gulungan ombak yang menari-nari, yang dibelakangnya justru duduk di pasir. Kedua tangannya sesekali harus menutup wajahnya, agar terhindar dari sapuan butiran pasir yang beterbangan. Kadang kala, ia membetulkan jilbab biru lautnya agar tidak bergerak. Sebab, hanya dibagian dadalah, terpasang pin cantik bertuliskan namanya. Sedangkan bagian belakang dibiarkan bebas. Membuat ujung jilbab berkibar, digerakkan angin liar dari arah laut. Perempuan itu, masih takjub memandang laki-laki didepannya. Sudah lama ia menunggu pertemuan ini. Sekian detik, sekian menit, sekian jam, sekian hari, bahkan tahun telah menguras energi berpikirnya. Kadang hatinya meronta, dan berteriak ingin menjerit sekeras-kerasnya. Di pantai. Ya, ingin sekali dirinya mengeluarkan beban sekian tahun disini. Dengan teriakan dan jeritan khas perempuan. Sepuasnya. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Ia tahu, suara perempuan adalah aurat bagi laki-laki. Termasuk yang didepannya. Dimana, dirinya sekian lama memanggilnya penuh cinta. Dengan menyebut dia : Kakak. “Dek, kita semakin tua. Beberapa kerabat kita bahkan ada yang sudah pergi mendahului. Mungkin, kakak juga akan menyusulnya. Entah bagaimana caranya....” lelaki itu mendesah. Tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Kak, lama adek menunggumu. Salahkah diri ini jika jujur padamu? Sekian tahun didera kerinduan. Tak pernah melihatmu. Hanya kabar-kabar biasa. Potret usang yang engkau kirimkan, dimana sajakmu selalu menyertai. Selalu aku simpan. Menjadi penguat hati. Menjadi embun sejuk pagi hari.” Detak jantung perempuan itu bergetar hebat. Bahkan debur ombak di pantai pun tak mampu menutupi hawa kepedihan di hatinya. Ia merasa sesak usai mengatakan itu. Berharap, laki-laki yang sekian lama menjadi kakaknya mengakui sesuatu. Menyatakan apa yang ia inginkan. Laki-laki itu menoleh ke belakang sebentar. Tak mungkin memandang paras ayu itu lama-lama. Kemudian mengangkat kameranya, memutar sutter speednya, diafragma, setelah pas ia membidiknya. Sepasang ombak yang berkejaran di hadapannya. Ia abadikan. “Kakak tahu dek. Aku sebenarnya mencintaimu. Tak ada perempuan lain. Tapi, hidup terasa jauh. Ketika aku mengembara ke setiap hutan-hutan dan gunung. Sedangkan engkau, laut. Terbiasa mendengar ombak. Kita terpisah ribuan kilometer. Benar-benar sepi. Kukira, aku mencintai sepi. Dimana Alloh senantiasa terasa dalam jiwaku. Memelukku pada hening malam. Penuh bintang-bintang. Kadang rembulan.” Ia meletakkan kembali kameranya ke tas ranselnya yang kecil. Perempuan itu, menyorot punggung si lelaki. Yang menjadi kenangan. Yang mengajarinya tentang cinta. Pada suatu ketika ia masih belia. “Kak, jika benar engkau mencintaiku. Kenapa tidak lantas menemuiku. Menjemputku dan kita menikah. Bukan dengan cara seperti ini. Hari ini pun aku bimbang. Harus menganggapmu apa. Bahkan engkau tak bersedia menatap kembali wajahku. Sedetik pun.” Wajahnya berlinang airmata. Ia menangis. Entah kenapa ia seperti ini. Yang ia sadari, ia adalah makhluk lemah. Kadang kala pikirannya tertutupi khayalan bernama cinta. “Maafkan kakak dek. Tidak sepantasnya aku sebagai kakakmu seperti itu. Membuatmu menunggu. Sayang ketika kakak akan datang kudengar kabar engkau telah dikhitbah orang. Tak mungkin aku mendatangimu. Pantang aku merebut hak orang. Adalah haram hukumnya bagi laki-laki yg mendatangi perempuan untuk mengkitbah sedangkan ia sudah dikitbah orang lain. Apa lagi ia saudaraku seiman. Aku tidak diijinkan pergi turun gunung oleh ibuku. Bagi kakak, titah ibu adalah perintah Alloh.” Laki-laki itu terdiam sejenak. Memikirkan sesuatu. Sebuah kata-kata yang hendak ia sampaikan. Sebuah beban, sebuah kenyataan. Benar-benar pahit. “Ketahuilah. Aku mencintaimu dek. Sampai kapan pun. Aku yakin, jika hari ini sampai selanjutnya kita takkan pernah bertemu. Maka di syurga kelak kita akan bertemu. Itu pun bila kebaikan kita lebih berat dari dosa kita. Tapi, kakak mohon maaf. Cintaku tak sebesar dulu. Apalagi seluas suamimu.” “Kenapa kak? Apakah ada yang salah?” Perempuan itu menjerit tertahan. Ia tidak ingin suaranya didengar orang-orang yang menjadi pengunjung pantai selatan parang tritis itu.. “Hidup tidak sekadar cinta dek. Ada yang lebih dari itu. Sebuah proses. Jika kau telah mengalaminya berkali-kali pasti mengerti. Aku takkan menjawab pertanyaanmu. Justru akulah yang ingin menanyakan sesuatu padamu. Jika diberi dua pilihan, manakah yang engkau pilih? Dan kenapa? Yaitu: menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi.” “Adek tidak tahu kak. Bila jawaban itu begitu penting buatmu, maka adek lebih memilih opsi pertama. Kakaklah yang adek harapkan menjadi imamku. Pembimbingku, penguat jiwaku. Cahaya hatiku. Percayalah!” “Ya. Sepenuhnya aku percaya padamu. Sayang sekali dek, untuk saat ini pilihan itu kurang tepat. Kau tahu? Keluarga lebih penting. Bukan ambisi pribadi. Jangan kau rusakkan hati dengan masa lalu kita. Toh, aku tetap kakakmu. Meski tidak seakrab dulu.” Hati perempuan berjilbab itu makin perih. Tapi ia sadar, kata-kata kakaknya ada benarnya. Karena status sekarang adalah seorang ibu. Ummi dari dua mujahid kecil yang lucu-lucu. “Dek, jika ingin sempurna kebahagiaanmu. Maka pilihlah opsi kedua. Cintailah orang yang menikahimu. Maka, opsi pertama akan muncul setelahnya. Insya Alloh barakah. Karena kakak yakin, Alloh pasti memberikan kemudahan untukmu. Biarlah kakak mengarungi hidup sendiri. Bagiku, kau takkan terhapus waktu. Adekku satu-satunya, inspirasiku. Puisi Illahiku. Pulanglah ke suamimu. Sampaikan maafku dan salam padanya.” Lelaki itu mencoba menghibur perempuan yang sekian lama menjadi adiknya. Ia sedih. Bahkan lebih sedih dan sakit daripada perempuan itu. Tapi ia tidak mau berlarut-larut dalam kisah melankolis yang membabat ulu hatinya. Baginya, ia bahagia sendirian. Ia merasa cukup dengan kesunyian. Dengan Alloh di hamparan alam. Dimana ia berjuang sendirian dalam dinginnya udara gunung dan terjalnya batu cadas tebing perbukitan. Perempuan itu lantas berbalik. Beberapa detik kemudian, laki-laki lain mendatanginya. Perempuan itu lantas memeluknya. Pedih, dan ia ingin menangis keras. Tak peduli didengar para pengunjung pantai. Bahkan, ia tak peduli lagi dengan laki-laki tadi yang dianggap kakaknya. “Bagaimana, istriku. Sudah puas main di pantainya? Sudahlah jangan dipikirkan lagi. Mari kita pulang. Anak-anak sudah menunggu dirumah.” Dua orang itu lantas lenyap perlahan. Ditelan ombak yang menutupi gerak-gerik kapal yang ditumpanginya. Menanggalkan jejak masa lalu. Meninggalkan kenangan lelaki itu. Lelaki yang ditinggal sendirian terpaku menatap lautan luas. Hatinya sedih dan terenyuh. Sebutir kristl bening mengambang disudut matanya. Ia bahagia melihat orang yang dulu dicintainya kini telah menemukan pelabuhan hati yg sebenarnya. Sedangkan dirinya..? “ Aku cukup bahagia dengan kesendirianku bersama Allah. Aku tidak ingin mengalahkan cintaku kepadaNya. Jika Dia mengambil cinta itu dariku, itu berarti Dia ingin aku lebih dan lebih mencintaiNya. Allah..hanya engkau yang aku cintai, diatas segalanya..” kemudian ia melangkah tegap meninggalkan pantai itu. Pergi dengan keyakinan dan azzam yang kuat bahwa cinta kepada Allah tidak akan menimbulkan sakit hati di batinnya meskipun orang yang ia cintai sudah menjadi milik orang lain. Dan kini ia sudah membuktikannya sendiri, tidak ada yang namanya patah hati jika kita menempatkan Allah ditempat yg tertinggi di hati kita. Barakallahufikum..jabat erat dan salam hangat Wassalamualikum


http://www.facebook.com/notes/renungan-dan-motivasi-ifta-istiany-notes/renungan-lelaki-gunung-dan-perempuan-laut/172672062761449