Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Rabu, 29 Desember 2010

Pengertian Ahli Sunnah Wal Jama’ah ( dari Segi Syari’at dan Istilah )


Kalau kita mau merenungkan makna-makna dalam kalimat as sunnah dan makna-makna dalam kalimat al jama’ah, seperti yang disinggung dalam beberapa nash syari’at, dan seperti yang diungkapkan serta dipahami oleh para salafus saleh, kita akan tahu dengan jelas bahwa hal itu hanya cocok dan sesuai dengan golongan ahli sunnah wal jama’ah.
Siapa sebenarnya mereka? Apa sifat-sifat mereka? Dan apa manhaj mereka? Berdasarkan hal itu kita bisa mengidentifikasi siapa sejatinya ahli sunnah wal jama’ah dari beberapa segi sekitar yang menyangkut sifat-sifat mereka, ciri-ciri mereka, manhaj mereka, dan definisi mereka menurut kaca mata orang-orang salafus saleh bahwa yang dimaksud ialah mereka. Sebab, pemilik rumah itu jelas yang paling tahu isi rumahnya, dan walikota itu yang paling tahu rakyatnya.
Di antara segi tinjauan yang memungkinkan kita bisa mengetahui siapa ahlu sunnah wal jama’ah itu ialah:
Pertama, sesungguhnya mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.


Kedua, selanjutnya ialah para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah yang menerima tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka adalah para tabi’in dan generasi yang hidup sesudah mereka, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat kelak. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus saleh, yakni orang-orang yang setia pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama, yang tidak membikin bid’ah macam-macam, yang tidak menggantinya, dan yang tidak mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam agama Allah.
Keempat, ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, karena merekalah yang memang cocok dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..


Dalam satu lafazh disebutkan:
Ada segolongan umatku yang senantiasa menegakkan perintah Allah….
Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing atau aneh ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah sangat marak, dan zaman sudah rusak. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
Semula Islam itu asing dan akan kembali asing. Sungguh beruntung orang-orang yang asing.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
Sungguh beruntung orang-orang yang asing, yakni beberapa orang saleh yang hidup di tengah-tengah banyak manusia yang jahat. Lebih banyak orang yang memusuhi mereka daripada yang taat kepada mereka.
Sifat tersebut cocok dengan ahli sunnah wal jama’ah.
Keenam, mereka adalah para ahli hadist, baik riwayat maupun dirayat. Karena itulah kita melihat para tokoh kaum salaf menafsiri al tha’ifat al manshurat dan al firqat al najiyat, yakni orang-orang ahli sunnah wal jama’ah, bahwa mereka adalah para ahli hadist.


 Hal itu berdasarkan riwayat dari Ibnu Al Mubarak, Ahmad bin Hambal, Al Bukhari, Ibnu Al Madini, dan Ahmad bin Sinan. Ini benar, karena para ahli hadist lah yang layak menyandang sifat tersebut, mereka adalah para pemimpin ahli sunnah.
Mengomentari kalimat al tha’ifat al manshurat Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Kalau yang dimaksud dengan mereka bukan ahli hadist, saya tidak tahu lalu siapa lagi?!”
Al Qadhi Iyadh mengatakan: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan mereka oleh Imam Ahmad ialah ahli sunnah wal jama’ah, dan orang yang percaya pada madzhab ahli hadist.”
Menurut saya, seluruh kaum muslimin yang tetap berpegang pada fitrah aslinya dan tidak suka menuruti keinginan-keinginan nafsu serta tidak suka membikin berbagai macam bid’ah, mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar.

Kenapa Dinamakan Ahli Sunnah Wal Jama’ah?
Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku.


Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti.
Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli sunnah. Merekalah yang sosok dengan kenyataan tersebut.
Sementara nama al jama’ah, karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, dan para pengikut mereka. Mengingat mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah, bersama-sama bersatu taat pada pemimpin mereka, bersama-sama bersatu melakukan jihad, bersama-sama bersatu tunduk kepada para penguasa kaum muslimin, bersama-sama bersatu mengerjakan yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, bersama-sama bersatu mengikuti as sunnah, dan bersama-sama bersatu meninggalkan berbagai perbuatan bid’ah, perbuatan yang terdorong oleh keinginan-keinginan nafsu, serta perbuatan yang mengundang perpecahan, maka merekalah jama’ah sejati yang mendapat perhatian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.



Terakhir kita sampai pada sebuah kesimpulan yang konkrit bahwa nama dan sifat ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah yang bersumber:
Pertama, dari sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada kaum muslimin untuk berpegang teguh padanya, sebagaiman sabda beliau, “Berpegang teguhlah kalian pada sunnahku”, ketika beliau menyuruh dan berpesan kepada mereka untuk setia pada jama’ah, dan melarang menentang serta memisahkan diri darinya. Jadi nama ahli sunnah wal jama’ah adalah nama pemberian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliaulah yang menyebut mereka seperti itu.
Kedua, dari peninggalan sahabat dan para salafus saleh yang hidup pada kurun berikutnya. Peninggalan tersebut menyangkut ucapan, sifat, dan tingkah laku mereka. Nama itu sudah mereka sepakati bersama dan menjadi sifat para pengikutnya. Peninggalan-peninggalan mereka itu ada pada karya-karya mereka yang tertulis dalam kitab-kitab hadist dan atsar.
Ketiga, istilah ahli sunnah wal jama’ah adalah keterangan syari’at yang didukung dengan kenyataan yang benar-benar ada. Istilah itu membedakan antara orang-orang yang setia pada kebenaran dari orang-orang yang suka membikin bid’ah dan menuruti keinginan-keinginan hawa nafsu. Ini berbeda dengan anggapan sementara orang yang mengatakan, bahwa ahli sunnah wal jama’ah adalah sebuah nama yang muncul di tengah perjalanan zaman. Nama ini baru ada di trngah-tengah perpecahan kaum muslimin.


Padahal sebenarnya tidak begitu. Itu anggapan yang keliru. Ahli sunnah wal jama’ah adalah istilah atau nama ala syari’at yang berasal dari kaum salaf umat Islam. Artinya, ia sudah ada semenjak zaman sahabat dan para tabi’in yang hidup pada periode-periode awal Islam.
Mengenai anggapan sementara orang yang sudah menjadi budak nafsu bahwa ahli sunnah itu hanya terbatas pada orang-orang salaf mereka saja, dan bahwa yang dimaksud dengan salafus saleh adalah orang-orang yang mengikuti madzhab mereka, itu memang benar. Anggapan tersebut tidak keliru, karena salafus saleh memang ahli sunnah. Begitu pula sebaliknya, baik ditinjau dari pengertian syari’at maupun kenyataannya, sebagaimana yang sudah saya kemukakan di atas. Jadi siapa yang tidak mengikuti madzhab salaf dan tidak menempuh manhaj serta jalan mereka, berarti ia telah memisahkan dari as sunnah dan jama’ah.
Perlu kita katakan kepada orang-orang sesat yang meng-ingkari as sunnah dan para pengikutnya, bahwa itulah yang dimaksud as sunnah, dan mereka itulah para pengikutnya yang bernama ahli sunnah wal jama’ah. Jika kita berpaling dan menolak ucapan yang benar ini, maka kita hanya bisa mengingatkan mereka apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Nuh alaihi salam kepada orang-orang yang berpaling dari seruan dakwahnya, seperti yang tertuang dalam firman Allah Ta’ala ini:  




Berkata Nuh, ‘Hai kaumku, bagaiman pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberi-Nya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apakah akan kamu paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?

Apakah Mereka Dibatasi Oleh Ruang dan Waktu?
Ahli sunnah wal jama’ah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka banyak terdapat di sebuah negara, namun sedikit di negara lainnya. Mereka terdapat banyak pada suatu kurun zaman, tetapi hanya sedikit pada kurun zaman yang lain. Tetapi yang jelas mereka selalu ada di mana dan kapan saja.
Di tengah-tengah mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi pelita kegelapan dan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya hingga hari kiamat nanti. Dan karena jasa merekalah terwujud janji Allah yang akan menjaga agama ini.
Dengan demikian jelaslah siapa sebenarnya ahli sunnah wal jama’ah? Siapa itu salafus saleh? Pernyataan golongan-golongan tertentu yang mengaku sebagai ahli sunnah wal jama’ah tetapi nyatanya mereka justru memisahkan diri dari as sunnah dan jama’ah, serta menyerang para salafus saleh  atau sebagian dari mereka, adalah pernyataan yang ditolak berdasarkan ketentuan-ketentuan syari’at, dasar-dasar ilmiah, dan fakta-fakta sejarah.



Demikian pula harus ditolak pengakuan-pengakuan bahwa seluruh kaum muslimin itu setia pada sunnah. Pengakuan seperti itu selain mendustakan berita dari Allah dan Rasul utusan-Nya shalallahu alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa ada perpecahan, juga berlawanan dengan kenyataan yang ada.
Demikian pula dengan pernyataan dan pengakuan-pengakuan lainnya.
Berdasarkan hal itu, maka sesungguhnya as sunnah bukanlah partai atau semboyan atau aliran yang dianut secara fanatik. Tetapi ia merupakan warisan peninggalan Nabi, mtode yang benar, jalan yang lurus tali yang kuat, dan jalan orang-orang beriman yang terang seterang siang. Siapa yang berpaling darinya pasti ia akan celaka.
Berbagai kesalahan, kekeliruan, dan bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang ahli bid’ah atau oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli sunnah, itu sama sekali bukan dari ajaran as sunnah dan bukan mengikuti manhaj yang benar.

Bocah Penjual Koran


(sebuah cerita)


Dari tadi pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah. Di perempatan jalan, Umar, seorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan lembaran plastik.
“Korannya bu !”seru Umar berusaha mengalahkan suara air hujan. Dari balik kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang.
“Mau koran yang mana bu?, tanya Umar dengan riang.
“Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca”, jawab si ibu. Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, “Terima kasih bu, saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”, Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu “Udah miskin sombong!”. Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan warna hijau. Meninggalkan Umar yang termenung penuh tanda tanya. Umar berlari lagi ke pinggir, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh. Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan di depannya, “Ya Tuhan, hari ini belum satupun koranku yang laku”, gumamnya lemah.
Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda, Umar masih saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar. Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah,”Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk”, dengan penuh kebencian dicampakkannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke mobil. Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil. “Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapak buang untuk saya makan”, pinta Umar dengan penuh harap. Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.
“Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau”



“Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya, boleh khan pak?, tanya Umar sekali lagi.”Bbbbbooolehh”, jawab pria tersebut dengan tertegun. Umar berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Umar yang sedang makan. Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Umar.
“Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus meminta ijinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?, dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh perasaan kasihan. "Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya", jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.
Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa. “Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya”. Si anak kecil tersenyum dengan manis, “Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya mencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan hanya akan jadi makanan tikus.”
“Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran di mana aku yang akan mentraktirnya”, ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berfikir keliru.
Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yang sangat teduh, ”Bapak!, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya”, Umar memperbaiki posisi duduknya dan berkata kembali, “Dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup atas anugerah hari ini, bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali di kemudian hari.”Umar berhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki di depannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali,”Kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya saya menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya”.
Pria tersebut masih saja terpana, dia mengamati anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi. ”Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layak dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini” 


http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/bocah-penjual-koran/180847958601527

"GIVE YOUR OWN TITLE"

Jika seorang lelaki ingin menarik hati seorang wanita, biasanya yang ditebarkan adalah berjuta-juta kata puitis bin manis, penuh janji-janji untuk memikat hati, “Jika kau menjadi istriku nanti, percayalah aku satu-satunya yang bisa membahagiakanmu,” atau “Jika kau menjadi istriku nanti, hanya dirimu di hatiku” dan “bla…bla…bla…” Sang wanita pun tersipu malu, hidungnya kembang kempis, sambil menundukkan kepala, “Aih…aih…, abang bisa aja.” Onde mande, rancak bana !!!
Lidah yang biasanya kelu untuk berbicara saat bertemu gebetan, tiba-tiba jadi luwes, kadang dibumbui ‘ancaman’ hanya karena keinginan untuk mendapatkan doi seorang. Kalo ada yang coba-coba main mata ama si doi, “Jangan macem-macem lu, gue punya nih!” Amboi… belum dinikahi kok udah ngaku-ngaku miliknya dia ya? Lha, yang udah nikah aja ngerti kalo pasangannya itu sebenarnya milik Allah SWT.
Emang iya sih, wanita biasanya lebih terpikat dengan lelaki yang bisa menyakinkan dirinya apabila ntar udah menikah bakal selalu sayang hingga ujung waktu, serta bisa membimbingnya kelak kepada keridhoan Allah SWT. Bukan lelaki yang janji-janji mulu, tanpa berbuat yang nyata, atau lelaki yang gak berani mengajaknya menikah dengan 1001 alasan yang di buat-buat.
Kalo lelaki yang datang serta mengucapkan janjinya itu adalah seseorang yang emang kita kenal taat ibadah, akhlak serta budi pekertinya laksana Rasulullah SAW atau Ali bin Abi Thalib r.a., ini sih gak perlu ditunda jawabannya, cepet-cepet kepala dianggukkan, daripada diambil orang lain, iya gak? Namun realita yang terjadi, terkadang yang datang itu justru tipe seperti Ramli, Si Raja Chatting, atau malah Arjuna, Si Pencari Cinta, yang hanya mengumbar janji-janji palsu, lalu bagaimana sang wanita bisa percaya dan yakin dengan janjinya?
Nah…
Berarti masalahnya adalah bagaimana cara kita menjelaskan calon pasangan untuk percaya dengan kita? Pusying… pusying… gimana caranya ya? Ih nyantai aja, semua itu telah diatur dalam syariat Islam kok, karena caranya bisa dengan proses ta’aruf. Apa sih yang harus dilakukan dalam ta’aruf? Apa iya, seperti ucapan janji-janji seperti diatas?
Ta’aruf sering diartikan ‘perkenalan’,


kalau dihubungkan dengan pernikahan maka ta’aruf adalah proses saling mengenal antara calon laki-laki dan perempuan sebelum proses khitbah dan pernikahan. Karena itu perbincangan dalam ta’aruf menjadi sesuatu yang penting sebelum melangkah ke proses berikutnya. Pada tahapan ini setiap calon pasangan dapat saling mengukur diri, cocok gak ya dengan dirinya. Lalu, apa aja sih yang mesti diungkapkan kepada sang calon saat ta’aruf?

1. Keadaan Keluarga
Jelasin ke calon pasangan tentang anggota keluarga masing-masing, berapa jumlah sodara, anak keberapa, gimana tingkat pendidikan, pekerjaan, dll. Bukan apa-apa, siapa tahu dapat calon suami yang anak tunggal, bokap ama nyokap kaya 7 turunan, sholat dan ibadahnya bagus banget, guanteng abis, lagi kuliah di Jepang (ehm), pokoknya selangit deh! Kalo ketemu tipe begini, sebelum dia atau mediatornya selesai ngomong langsung kasih kode, panggil ortu ke dalam bentar, lalu bilang “Abi, boljug tuh kaya’ ginian jangan dianggurin nih. Moga-moga gak lama lagi langsung dikhitbah ya Bi, kan bisa diajak ke Jepang!” Lho?

2. Harapan dan Prinsip Hidup

Warna kehidupan kelak ditentukan dengan visi misi suatu keluarga lho, terutama sang suami karena ia adalah qowwan dalam suatu keluarga. Sebagai pemimpin ia laksana nahkoda sebuah bahtera, mau jalannya lempeng atau sradak-sruduk, itu adalah kemahirannya dalam memegang kemudi. Karena itu setiap calon pasangan kudu tau harapan dan prinsip hidup masing-masing. Misalnya nih, “Jika kau menjadi istriku nanti, harapanku semoga kita semakin dekat kepada Allah” atau “Jika kau menjadi istriku nanti, mari bersama mewujudkan keluarga sakinah, rahmah, mawaddah.” Kalo harapan dan janjinya seperti ini, kudu’ diterima tuh, insya Allah janjinya disaksikan Allah SWT dan para malaikat. Jadi kalo suatu saat dia gak nepatin janji, tinggal didoakan, “Ya Allah… suamiku omdo nih, janjinya gak ditepatin, coba deh sekali-kali dianya…,” hush…! Gak boleh doakan suami yang gak baik lho, siapa tahu ia-nya khilaf kan?

3. Kesukaan dan Yang Tidak Disukai
Dari awal sebaiknya dijelasin apa yang disukai, atau apa yang kurang disukai, jadinya nanti pada saat telah menjalani kehidupan rumah tangga bisa saling memahami, karena toh udah dijelaskan dari awalnya.




Dalam pelayaran bahtera rumah tangga butuh saling pengertian, contoh sederhananya, istri yang suka masakan pedas sekali-kali masaknya jangan terlalu pedas, karena suaminya kurang suka. Suami yang emang hobinya berantakin rumah (karena lama jadi bujangan), setelah menikah mungkin bisa belajar lebih rapi, dll. Semua ini menjadi lebih mudah dilakukan karena telah dijelaskan saat ta’aruf. Namun harus diingat, menikah itu bukan untuk merubah pasangan lho, namun juga lantas bukan bersikap seolah-olah belum menikah. Perubahan sikap dan kepribadian dalam tingkat tertentu wajar aja-kan? Dan juga hendaknya perubahan yang terjadi adalah natural, tidak saling memaksa.

4. Ketakwaan Calon Pasangan
Apa yang terpenting pada saat ta’aruf? Yang mestinya menduduki prioritas tertinggi adalah bagaimana nilai ketakwaan lelaki tersebut. Ketakwaan disini adalah ketaatan kepada Allah SWT lho, bukan nilai ‘KETAKutan WAlimahAN’ Karena apabila seorang lelaki senang, ia akan menghormati istrinya, dan jika ia tidak menyenanginya, ia tidak suka berbuat zalim kepadanya. Gimana dong caranya untuk melihat lelaki itu bertakwa atau tidak? Tanyakan kepada orang-orang yang dekat dengan dirinya, misalnya kerabat dekat, tetangga dekat, atau sahabatnya tentang ketaatannya menjalankan ketentuan pokok yang menjadi rukun Iman dan Islam dengan benar. Misalnya tentang sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, atau pula gimana sikapnya kepada tetangga atau orang yang lebih tua, dan lain-lain. Apalagi bila lelaki itu juga rajin melakukan ibadah sunnah, wah… yang begini ini nih, ‘calon suami kesayangan Allah dan mertua.’
Inget lho, ta’aruf hanyalah proses mengenal, belum ada ikatan untuk kelak pasti akan menikah, kecuali kalau sudah masuk proses yang namanya khitbah. Nah kadang jadi ‘penyakit’ nih, karena alasan “Kan masih mau ta’aruf dulu…” lalu ta’rufnya buanyak buanget, sana-sini dita’arufin. Abis itu jadi bingung sendiri, “Yang mana ya yang mau diajak nikah, kok sana-sini ada kurangnya?”
Wah…, kalo nyari yang mulia seperti Khadijah, setaqwa Aisyah atau setabah Fatimah Az-Zahra, pertanyaannya apakah diri ini pun sesempurna Rasulullah SAW atau sesholeh Ali bin Abi Thalib r.a.? Nah lho…!!!
Apabila hukum pernikahan seorang laki-laki telah masuk kategori wajib, dan segalanya pun telah terencana dengan matang dan baik, maka ingatlah kata-kata bijak, ‘jika berani menyelam ke dasar laut mengapa terus bermain di kubangan, kalau siap berperang mengapa cuma bermimpi menjadi pahlawan?’
Ya akhi wa ukhti fillah,



Semoga antum segera dipertemukan dengan pasangan hidup, dikumpulkan dalam kebaikan, kebahagiaan, kemesraan, canda tawa yang tak putus-putusnya mengisi rongga kehidupan rumah tangga. Kalaupun nanti ada air mata yang menetes, semoga itu adalah air mata kebahagiaan, tanda kesyukuran kepada Allah SWT karena Ia telah memberikan pasangan hidup yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya, aamiin allahumma aamiin.
Barakallahulaka barakallahu’alaika wajama’a bainakuma fii khairin.

Wallahu a’lam bishowab,


http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/give-your-own-title/180895535263436

Gelas Apakah Itu…???


Alloh telah memberikan pedoman atau panutan kepada hamba-hambaNya lewat beberapa pedoman atau penutan. Ada pedoman atau panutan yang tersurat dalam Al Qur’an dan ada juga pedoman atau panutan yang tersirat dalam fenomena kehidupan. Seperti kematian, fenomena alam dan sebagainya. Yang mana kesemuanya itu dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi kehidupan kita.
Kali ini, saya akan memberikan gambaran tentang klasifikasi manusia lewat sebuah gelas. (gelas??!!). Ya hanya lewat sebuah gelas kita dapat menginstropeksi siapakah sebenarnya diri kita. Gelas… apa sich manfaat gelas ?? Gelas bermanfaat untuk minum. Adakah manfaat yang lain?? ada… apa?? (Itu…. waktu bapak marah, gelas sebagai senjata seperti sebuah pesawat luar angkasa yang terbang melayang akhirnya pecah). hee heee…… (bercanda).
Ada 3 posisi gelas :
Yang pertama gelas dengan posisi tengkurap. Ini diibaratkan orang kafir, yang hatinya tertutup. Seperti gelas yang tengkurap, sebanyak apapun air yang kita tuangkan (seember, segalon, sesumur) tidak ada setetespun yang akan masuk ke dalam gelas. Begitu juga dengan orang kafir, bagaimanapun kita nasehati dia akan tetap keras kepala, apa yang kita sampaikan tentang kebaikan tidak akan masuk ke dalam hatinya. Kita larang mereka untuk tidak berbuat maksiat, mereka tetap melakukannya, kita suruh mereka untuk berbuat baik, mereka tidak mau mengerjakannya. Semoga kita tidak tergolong pada kelompok ini…..


Yang kedua gelas dengan posisi miring. Ini diibaratkan orang munafik. Seperti gelas yang miring, sebanyak apapun air yang kita tuangkan (seember, segalon, sesumur) dia akan masuk tetapi langsung keluar dan tidak ada (kalaupun ada hanya sedikit) yang berada di dalam gelas. Begitu juga dengan orang munafik, apa yang kita nasehatkan apa yang kita sampaikan tentang kebaikan bisa masuk ke dalam hatinya, tetapi tidak ada (kalaupun ada sangat sedikit sekali) yang mereka amalkan. Ketika mereka bergabung dengan orang mukmin mereka kelihatan baik tetapi ketika mereka bergabung dengan orang kafir, mereka jadi kafir juga. Semoga kita tidak tergolong pada kelompok ini…..
Yang ketiga gelas dengan posisi terbuka. Ini diibaratkan orang mukmin. Seperti gelas yang terbuka, air yang kita tuangkan kedalamnya akan berada dan memenuhi gelas tersebut. Begitulah gambaran orang mukmin ketika mendapatkan nasehat dia akan mendengarkan dan memasukan ke dalam hati kemudian mengamalkan nasehat tersebut. Semoga kita tergolong pada kelompok ini…..
Adapun gelas yang terbuka masih di bagi menjadi 2 macam : yaitu gelas yang terbuka dengan kondisi kotor dan gelas terbuka dengan kondisi bersih. Gelas terbuka dengan kondisi kotor diibaratkan seorang mukmin yang tidak bisa menjadi akhlak yang baik jadi banyak orang yang tidak suka, ibarat gelas kotor yang dituangkan minuman di dalamnya, tidak seorangpun yang mau meminumnya bahkan akan membuangnya.
Marilah kita menjadi gelas terbuka yang bersih. Gelas terbuka yang bersih ketika dituangkan minuman ke dalamnya maka akan membantu orang menghilangkan dahaganya bahkan membuat suasana menjadi segar. Begitu juga dengan mukmin yang berakhlaq baik, akan memberikan suasana yang menarik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.

Mari kita instropeksi diri, termasuk golongan manakah diri kita….


http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/gelas-apakah-itu/180789518607371