Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Minggu, 10 April 2011

Untuk Para Lelaki


*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Ia adalah bagian dari tulang rusukmu,Ia adalah belahan jiwamu, Ia adalah tawanan di tanganmu, Padanya sumber ketenangan, cinta kasih dan ketentraman karena demikanlah Allah menciptakannya untukmu, Ia adalah pakaian bagimu, dan yang terutama dan utama ia adalah amanah yang Allah berikan untukmu,…Bagaimanakah engkau memperlakukan amanah itu?? …Terlalu banyak wasiat tersebar untuk para istri seakan islam adalah agama yang hanya mengutamakan para suami dan kaum lelaki.


Padahal tidaklah demikian,islam membela kaum wanita memuliakan dan mengangkat derajat mereka.Wanita adalah orang yang disucikan, ibu para ulama, ibu para panglima, dan ibu para pembesar, Bukankah ia adalah ibu Umar,ibu Anas,ibu Umar bin Abdil Aziz, ibu imam Ahmad, ibu imam Syafi’i, ibu Shalahudin,ibu Ibnu Taymiyah, ibu Ibnul Qayyim dan yang lainnya?? Untuk para suami risalah ini kutulis sebagai penyejuk hati bagi kaum wanita dan para istri.

Wahai hamba Allah yang bertakwa,…berbahagialah dan bersyukur pada-Nya atas nikmat istri yang Allah karuniakan kepadamu.Dengannya terjagalah jiwa dan tubuhmu dari melakukan hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketika habis masa bulan madumu,… tiba-tiba kini engkau tidak lagi memiliki waktu. Waktu untuk bergurau dan bercengkrama dengan istri tercinta. Bila sang istri meminta,maka kaupun berkilah betapa lelah dan penatnya hari-harimu disibukkan dengan
pekerjaanmu. Rumah hanya menjadi hotel untukmu, datang dan pergi sesuka hatimu, Ketika kepalamu menyentuh bantal engkau mendengkur laksana tiada orang lain di sisimu.


Karena itu hendaklah suami senantiasa bertakwa kepada Allah dalam menghadapi istri dengan memberikan kasih sayang, kelembutan, kesetiaan dalam menjaganya, memberinya nafkah sesuai dengan kemampuan suami, pakaian dan janji setia.


Ironis memang, dan inilah yang penulis dapati bahkan telah menjadi slogan di negri ini 3 hal yang senang dilakukan sebagian kaum lelaki disini pertama senang bergonta-ganti telpon genggam (HP) kedua mereka senang bergonta-ganti mobil dan yang ketiga mereka senang bergonta-ganti wanita,…waliyyadzubillah. Kepada Allah kita memohon pertolongan, istri bagi mereka disamakan dengan telepon genggam dan mobil. Mereka tidak berusaha mengurus rumah tangga dengan baik. Kecenderungan mereka adalah bersenang-senang dengan para wanita serta mencari kenikmatan dari setiap wanita, sehingga hal itu menjadikan mereka sering melakukan thalak dan nikah.Padahal Rasulullah telah bersabda: Aku tidak menyukai laki-laki yang senang mencicipi wanita dan wanita yang senang mencicipi laki-laki” (HR. Thabrani dan Daruquthni).


Semoga Allah memberi mereka hidayah dan menunjuki mereka kejalan yang lurus, amin.

Hal lain yang sering dilakukan para suami adalah seringnya mereka memukuli para istri ketika mereka sedang emosi atau marah. Mereka beralasan dengan memukul istri maka istri mereka akan takut kepada suami, suami menjadi berwibawa. Padahal bila mereka mau sedikit melirik kepada Rasulullah, beliau adalah manusia yang paling berwibawa akan tetapi tidak pernah ditemukan beliau memukul istri-istrinya tangan beliau hanya digunakan untuk memukul musuh-musuh Allah


Wahai para suami,….setiap rumah tangga tentu mempunyai problema, karena memang demikianlah sebagai ujian dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.Sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga dituntut untuk pandai dan cermat menyiasati apa yang terjadi diantara hubungan mereka berdua. Kelapangan hati untuk meredam emosi akan membawa pada kebaikan dan keindahan. Kehalusan sikap akan mencairkan hati yang beku dan melunakkan gunung yang keras.Lihatlah bagaimana Rasulullah dalam menghadapi kemarahan Aisyah, beliau justru tersenyum menghadapi hal itu dengan penuh kesabaran dan keagungan.


Duhai para suami tercinta,…engkau berharap istri-istrimu mencintaimu dengan sepenuh hati. Engkau meminta mereka untuk setia dan taat kepadamu. Engkau meminta mereka agar bakti dan kasihnya tercurah padamu. Engkau mendambakan agar mereka merindukanmu ketika jauh darimu. Tapi engkau lupa menyematkan cinta kasih dihati istri-istrimu??.Cukuplah ayat dibawah ini sebagai penutup dan renungan bagi para suami yang mendambakan kebahagiaan dalam rumah tangga mereka di dunia dan akhirat. “dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” {An-Nisaa:19}. Wallahu a’lam


http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/untuk-para-lelaki/10150206060036042

Teologi CINTA


*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥
SEBAGAI lelaki normal, aku sangat mengaguminya. Selain berparas ayu, dia hampir memiliki segala kelebihan yang memang sangat patut dikagumi, terutama oleh para lelaki yang mendambakan kenikmatan cinta yang sejati.
Kalau bicara, tutur katanya halus, lembut, dan indah. Dia hampir tak pernah sekali pun merajuk sebagaimana umumnya gadis-gadis sebayanya. Dia juga tak pernah bermanja-manja kepada siapa saja. Dia pun tak pernah mengumbar emosinya sehingga uring-uringan, marah, memaki, mengumpat, menghina, mencela, dan sebagainya sama sekali tak pernah dia lakukan. Dan, dia juga selalu “on” untuk diajak berbicara tentang apa saja. Dia memang nyaris sempurna sebagai seorang manusia, sebagai seorang gadis, sebagai seorang anak, sebagai seorang sahabat, dan sebagainya. Masya Allah!!!


“Aku sangat mengagumimu dan mencintaimu. Lahir dan batin. Jasmani dan rohani. Hidup dan mati. Dalam suka maupun duka,” kataku berterus terang, dalam suatu kesempatan tatap muka dengannya. “Cinta yang keberapa yang kamu berikan kepadaku?” tanyanya, sambil menyunggingkan sebuah senyum yang amat manis.
“Tentu saja, cinta yang pertama sekaligus terakhir. Cinta yang utama dan segala-galanya. Setitik pun tidak ada cinta yang tertinggal, semua kupersembahkan hanya kepadamu,” jawabku, dengan intonasi serta mimik sangat serius.
“Ah, jangan begitu! Aku justru tidak mau kalau cinta pertama itu kamu berikan kepadaku, apalagi hanya kepadaku. Juga, aku tidak mau kalau kamu menyerahkan segala-galanya kepadaku. Sekali lagi, aku tidak mau cinta seperti itu,” jawabnya, mantap. “Maksudmu?”
“Kamu harus tetap realistis. Kamu harus tetap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jangan menempatkan sesuatu bukan pada tempat yang sebenarnya. Kamu tidak boleh fasik!” tuturnya, lembut namun menyentuh relung hatiku yang terdalam.

“Artinya?”
“Ya, aku hanya manusia biasa yang tak lepas dari cela. Aku bukan manusia sempurna, bahkan, mungkin, sangat jauh dari sempurna. Kalau pun manusia sempurna, aku masih juga belum berhak dan pantas menerima cinta pertama dari siapa pun. Juga penyerahan atas segalanya dari siapa saja, aku tak berhak menerima, dan karena itu aku wajib menolaknya,” jelasnya.

“Lalu…lalu…lalu…?”
“Ya sudah, titik. Tidak boleh lalu, lalu.” “Aku masih belum paham maksudmu”. “Belum paham atau tak mau paham?”
Aku diam. Namun, hatiku bergejolak. Aku penasaran. Ingin rasanya segera mendapatkan jawaban yang melegakan dari dia.

“Kamu orang beragama kan?” tanyanya, menyengat hatiku.
“Ya, tentu!”, jawabku dengan nada agak tinggi, namun masih dalam kendali kesabaran. “Kamu juga orang beriman kan?”
“Ya, pasti!”, jawabku dengan rasa dongkol di dalam hati, namun kedongkolan itu kubungkus rapat-rapat dengan daun-daun kesabaran dan ketabahan. “Kalau begitu, Kamu pasti yakin dan percaya kepada Alloh kan?” “Ya, otomatis,” jawabku dengan kedongkolan yang semakin sulit kututupi. “Apakah Kamu mencintai Alloh?”
“Sangat cinta!”, jawabku sambil berupaya keras untuk memegang teguh kesabaran dan kedewasaan berpikir. “Cinta yang keberapa yang Kamu berikan kepada Alloh?” Aku terdiam. Berpikir dalam-dalam, berintrospeksi. Aku sadar bahwa cinta yang seharusnya kupersembahkan kepada Alloh adalah cinta yang pertama dan utama. Aku juga sadar bahwa yang seharusnya menerima dan berhak atas segala penyerahanku hanyalah kepada Alloh. Dan, kini aku pun benar-benar paham mengapa dia menolak cinta pertamaku dan segala penyerahanku.

“Sudah paham?” tanyanya, mengejar. “Sudah,” jawabku, pendek, dan tanpa sedikit pun rasa dongkol. “Apakah Kamu masih tetap ingin menyerahkan cinta pertama Kamu kepadaku?” kejarnya.
“Tidak! Cinta pertama hanya pantas diberikan kepada Alloh,” jawabku.
Dia tersenyum tipis, yang kemudian perlahan-lahan senyum itu mengembang hingga menjadi sebuah tawa yang indah, bukan tawa yang terbahak-bahak. “Kalau begitu, cinta yang kupersembahkan kepadamu adalah cinta yang kedua, setelah cinta kepada Alloh,” lanjutku.
“Oh, jangan! Jangan! Jangan! Yang kedua pun aku belum berhak dan belum pantas menerimanya”. Aku kembali diam. Terpekur. Introspeksi lagi. Bertanya-tanya kepada hati sanubari, siapa gerangan yang paling berhak menerima cinta keduaku.

“Kamu percaya kepada utusan-utusan Alloh?” tanyanya, kemudian.
“Ya, saya percaya karena itu satu paket dengan percaya kepada Alloh,” jawabku.
“Kalau begitu, Sampean juga cinta kepada utusan Alloh yang paripurna?” lanjutnya. Lagi-lagi, aku terdiam, tersadar, dan terpekur. Aku tahu bahwa pertanyaan selanjutnya yang harus kujawab adalah “Cinta keberapa yang Kamu berikan kepada utusan Alloh yang paripurna itu?”
“Kok, nggak jawab, apa Kamu tidak cinta kepada utusan Alloh yang terakhir itu?” “Aku sangat mencintainya, dan karena itu, sekarang aku sadar bahwa cinta keduaku seharusnya untuk junjunganku itu,” jawabku.

“Kalau begitu, apakah Kamu akan memberikan cinta yang ketiga kepadaku?” kejarnya. Aku diam. Aku mencoba berpikir dalam-dalam. Aku yakin dia pasti akan menolak lagi jika itu kuutarakan. Pasti! “Aku benar-benar bodoh. Aku ingin tahu, cinta keberapa yang seharusnya kau inginkan dariku…??!” tanyaku.
“Yang keenam!” jawaban gadis itu, pendek.

“Lho, yang ketiga, keempat, dan kelima untuk siapa?” tanyaku, heran.
“Yang ketiga untuk jihad di jalan Alloh, yang keempat untuk Ibumu, dan yang kelima untuk Bapakmu,” jawabnya.

“Berarti, cinta yang kupersembahkan kepadamu harus merupakan sisa-sisa dari kelima cinta itu?” tanyaku.
“Cinta itu bukan benda padat, bukan benda cair, dan bukan pula benda gas. Cinta itu tidak akan pernah habis meski diberikan kepada siapa saja dalam kadar yang sangat besar sekalipun. Cinta juga bukan bilangan matematika. Cinta juga tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka-angka dan persentase”. Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan petuah cintanya. Aku semakin menyadari kebodohanku selama ini, terutama tentang cinta yang benar.

“Selama ini sangat banyak orang yang salah menempatkan cinta. Cinta kepada sesuatu diletakkan di atas cinta kepada ibu-bapaknya, di atas cinta kepada jihad di jalan Tuhan, di atas cinta kepada utusan Tuhan, dan bahkan di atas cinta kepada Tuhan sendiri. Karena itu, berjuta-juta pelanggaran cinta pun terjadi dan terus-menerus selalu terjadi di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi-kondisi bagaimanapun. Orang tidak segan-segan durhaka kepada ibu-bapaknya, keluar dari jalan Tuhan,
keluar dari ajaran rasul, dan bahkan berani menantang Tuhan hanya karena cintanya yang sangat tidak proporsional kepada harta, tahta, wanita, keluarga, saudara, kolega, penguasa, dan sebagainya,” tuturnya, jelas dan tandas.

Kini aku semakin paham dan jelas akan makna teologi cinta yang semestinya, senyatanya, dan sebenarnya. Aku pun sadar bahwa selama ini aku belum mengenal teologi cinta yang benar itu. Selama ini wawasan cintaku sangat sempit, dangkal, dan rendah. Seiring dengan kesadaran itu, sebuah pemikiran jernih yang bersemayam di dalam sanubariku yang suci seketika itu pun
kontan melayang-layang mengitari alam bebas nan luas.

“Kesalahan menempatkan cinta itulah, sebenarnya, yang merupakan sumber segala malapetaka, musibah, dan bencana yang menimpa manusia. Kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat atau penentu kebijakan pasti melahirkan kebijakan atau keputusan yang salah, yang pasti akan menimbulkan malapetaka, musibah, bencana, kehancuran, dan kebinasaan bagi siapa dan apa saja yang berada di dalam kawasan berlakunya kebijakan atau keputusan itu.”
“Kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang politik akan melahirkan kerusakan di bidang politik; kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang hukum akan melahirkan kerusakan di bidang hukum; serta kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang ekonomi akan melahirkan kerusakan di bidang ekonomi. Demikian pula kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang-bidang lainnya Ðsosial, budaya, pertahanan-keamanan, lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan sebagainya, pasti akan melahirkan kerusakan, kehancuran, dan kebinasaan bagi siapa dan apa saja yang berada dalam kawasan berlakunya kebijakan itu.”


Begitu pemikiran jernihku berhenti melayang-layang di alam bebas nan luas, aku pun merasa telah sampai di suatu titik kesadaran yang setinggi-tingginya. Tiba-tiba, dari dalam sanubariku tercetus ikrar kesetian kepada Tuhan, pencipta sekaligus pemilik kebenaran dan kebaikan hakiki dan sejati.


“Mulai saat ini, hamba-Mu yang lemah dan sering zalim ini akan selalu berupaya sekuat tenaga untuk menempatkan cinta kepada-Mu di tempat yang pertama, utama, dan tertinggi. Dan, hamba juga akan berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa menempatkan cinta kepada selain Engkau di tempat yang sebenarnya dan semestinya.”


http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/teologi-cinta/10150206056886042

Menikmati Kebosanan


*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥
ANDA SEDANG mengalami kebosanan, jenuh dan “bete” karenanya? Ini sebuah cerita ringan tentang kebosanan. Seorang tua yang bijak ditanya oleh tamunya.

Tamu :”Sebenarnya apa itu perasaan ‘bosan’, pak tua?”
Pak Tua :”Bosan adalah keadaan dimana pikiran menginginkan perubahan,mendambakan sesuatu yang baru, dan menginginkan berhentinya rutinitas hidup dan keadaan yang monoton dari waktu ke waktu.”
Tamu :”Kenapa kita merasa bosan?”
Pak Tua :”Karena kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki.”
Tamu :”Bagaimana menghilangkan kebosanan?”
Pak Tua :”Hanya ada satu cara, nikmatilah kebosanan itu, maka kita pun akan terbebas darinya.”
Tamu :”Bagaimana mungkin bisa menikmati kebosanan?”
Pak Tua:”Bertanyalah pada dirimu sendiri: mengapa kamu tidak pernah bosan makan nasi yang sama rasanya setiap hari?”
Tamu :”Karena kita makan nasi dengan lauk dan sayur yang berbeda, Pak Tua.”
Pak Tua :”Benar sekali, anakku, tambahkan sesuatu yang baru dalam rutinitasmu maka kebosanan pun akan hilang.”
Tamu: “Bagaimana menambahkan hal baru dalam rutinitas?”
Pak Tua :”Ubahlah caramu melakukan rutinitas itu. Kalau biasanya menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil jongkok atau berbaring. Kalau biasanya membaca di kursi, cobalah membaca sambil berjalan-jalan atau meloncat-loncat. Kalau biasanya menelpon dengan tangan kanan, cobalah dengan tangan kiri atau dengan kaki kalau bisa. Dan seterusnya.”
Lalu Tamu itu pun pergi.
Beberapa hari kemudian Tamu itu mengunjungi Pak Tua lagi.
Tamu :”Pak tua, saya sudah melakukan apa yang Anda sarankan, kenapa saya masih merasa bosan juga?”
Pak Tua :”Coba lakukan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan.”
Tamu :”Contohnya?”
Pak Tua :”Mainkan permainan yang paling kamu senangi di waktu kecil dulu.”
Lalu Tamu itu pun pergi.


Beberapa minggu kemudian, Tamu itu datang lagi ke rumah Pak Tua.
Tamu :”Pak tua, saya melakukan apa yang Anda sarankan. Di setiap waktu senggang saya bermain sepuas-puasnya semua permainan anak-anak yang saya senangi dulu. Dan keajaiban pun terjadi. Sampai sekarang saya tidak pernah merasa bosan lagi, meskipun di saat saya melakukan hal-hal yang dulu pernah saya anggap membosankan. Kenapa bisa demikian, Pak Tua?”
Sambil tersenyum Pak Tua berkata: “Karena segala sesuatu sebenarnya berasal dari pikiranmu sendiri, anakku. Kebosanan itu pun berasal dari pikiranmu yang berpikir tentang kebosanan. Saya menyuruhmu bermain seperti anak kecil agar pikiranmu menjadi ceria.Sekarang kamu tidak merasa bosan lagi karena pikiranmu tentang keceriaan berhasil mengalahkan pikiranmu tentang kebosanan. Segala sesuatu berasal dari pikiran. Berpikir bosan menyebabkan kau bosan. Berpikir ceria menjadikan kamu ceria.”
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)


Jadi apa salah saya menikmati hidup ini dengan kekanak-kanakan?
Aku ingin dekat KEKASIHku karena KEKASIHku itu pemaaf, tidak pendendam, suka memberi, mudah iba. aku ingin dekat KEKASIHku dan belajar apa yang KEKASIHku perbuat.
Aku ingin mudah melupakan kesalahan orang lain, mengganggap orang lain selalu berniat baik padaku, mecintai orang lain lebih daripada mencintai diriku sendiri, memberi kepada orang lain sehingga lupa akan kebutuhanku sendiri.
Apa salah aku hanya berfikir secara anak kecil yang tidak punya prasangka pada manusia lain?


http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/menikmati-kebosanan/10150206032131042

Peliharalah Dengan Bersungguh-Sungguh


"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." - [QS. At Tahrim 66:6]
Menjaga Diri dan Keluarga Dari Api Neraka
Seorang muslim diajar supaya mendisiplinkan keluarganya, sanak saudaranya dalam perihal kewajipan kepada Allah serta mengajar apa yang disuruh dan dilarang dengan harapan tidak pula diri sendiri dan keluarganya menjejaki alam neraka.
Sebagaimana yang diketahui umum antara kita yang islam sentiasa mendidik diri, anak-anak serta kaum kerabat lain dalam ibadah kepada Allah, sesama manusia dengan istiqamah agar ahli keluarga dapat meninggalkan jauh-jauh segala kemungkaran, disebabkan kemungkaran yang dilakukan terjerumuslah diri dalam neraka yang tidak terperi pula azabnya.
Orang-orang Islam wajib percaya dengan apa yang di Firman oleh Allah dan Sabda Nabi, oleh itu haruslah ia menjalankan kewajipan mendidik kepada kaum kerabatnya terlebih dahulu jika tidak mahu seperti menepuk air di dulang terpercik ke muka sendiri. Umat manusia hari ini lebih teruja untuk membicarakan keaiban orang lain dari memperbetulkan keadaan keluarga yang masih tunggang-langgang dalam mencari keredhaan Allah.
Sebagaimana Sabda Rasulullah Salallahualihiwasallam:
Hak anak terhadap orang tua, hendaklah orang tua memberikan nama yang baik, mengajarkannya tulis menulis dan menikahkan bila telah baligh. Tidak ada pemberian orang tua terhadap anak yang lebih baik daripada mendidiknya dengan didikan yang baik.
"Perintahlah anak-anakmu sholat jika sudah berumur 7 tahun, dan pukullah jika umur 10 tahun dan masih meninggalkan sholatnya, serta pisahkanlah tempat tidur mereka." [Hadis]
Sedar atau tidak, umat Islam hari ini lebih besar peratusannya untuk mengambil tahu hal aib orang lain dari menjalankan apa yang terdahulu diperintah oleh Allah dan para rasulnya. Jika ingin menyelamatkan keluarga dari api neraka hendaklah setiap orang-orang mempelajari dan mengikuti Rasulullah.
Islam mendorong para pemelukya menjadi pandai dan berkualiti dalam segenap perkara dengan mempelajari ilmu yang benar agar dapat pula mengajar kepada orang lain sebagaimana Rasulullah, para Sahabat, Tabiin dan Tabiut Tabiin yang sering kali di contohi oleh seluruh umat Islam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."
[Surah At-Tahrim 66: Ayat ke 6]

 

 

http://www.iluvislam.com/design/e-kad/2036-peliharalah-dengan-bersungguh-sungguh.html

Taqwa dan Alam Sekitar


Melakukan kebaikan terhadap alam sekitar yang menjadi elemen utama alam ini adalah sebahagian daripada tuntutan untuk menjadi hamba yang bertakwa dan diredhai Allah.
Jaga Alam Sekitar
Sebagai orang Islam, kita perlu memahami bahawa segala usaha untuk memelihara atau membaik pulih alam sekitar adalah sama halnya dengan usaha menjaga agama. Ini adalah kerana segala kemungkaran dan dosa mencemari dan memusnahkan alam sekitar sebenarnya mengganggu intipati hidup beragama kerana secara tidak langsung menodai kewujudan manusia di muka bumi ini.
Perbuatan merosakkan alam sekitar adalah sama seperti menafikan sikap adil dan ihsan, sedangkan kedua-dua sikap ini merupakan perintah Allah yang perlu dilaksanakan.
Perbuatan mencemar dan merosakkan alam sekitar juga menodai fungsi kekhalifahan yang telah dibebankan kepada manusia. Ini kerana bumi bukan milik manusia untuk dia berbuat sesuka hati tetapi bumi ini adalah milik Allah yang dipinjamkan kepada manusia yang kemudiannya dituntut untuk menjalankan segala perintah Allah di atasnya.
Oleh hal yang demikian manusia perlu ingat bahawa ia dilantik sebagai khalifah Allah di atas muka bumi yang juga milik Allah. Maka tidak sepatutnya manusia bertindak seperti raja yang seolah-olah tidak akan diminta pertanggungjawabkan di atas segala yang telah dikerjakannya.
Ilmu etika atau akhlak (tasawuf) adalah satu bidang ilmu yang sangat berkait rapat dengan alam sekitar.
Sememangnya kod etika pemeliharaan dalam bahasan etika atau akhlak dianggap sebagai salah satu rukun tasawuf.
Sebagaimana definisi oleh golongan tasawuf bahawa 'kejujuran berserta kebenaran, dan etika (akhlak) berserta ciptaan,' sudah pasti alam sekitar adalah sebahagian daripada ciptaan yang dinyatakan tersebut.
Allah s.w.t juga telah berfirman di dalam al-Quran:
إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحۡسِنُونَ
"Sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berusaha memperbaiki amalannya (berbuat kebaikan)"
(Surah An-Nahl 16: Ayat ke 128)

 

 

http://www.iluvislam.com/design/facebook/2039-taqwa-dan-alam-sekitar.html