Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Selasa, 07 Desember 2010

Janji Venus ( Part 1 )

Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh =========================== Pekat langit sudah sempurna. Menyambutku yang baru saja tiba di kota ini. Kota tempat seribu satu kenangan tumpah ruah bersama tawa yang masih bersisa. Sisa dari gema tawa yang kami lontarkan beberapa tahun lalu. Serasa sudah seabad lamanya waktu itu. Aku edarkan pandang ke sekelilingku. Tempat ini masih sama. Sangat sama. Langit yang pekat namun bercahaya oleh sinar bulan yang bulat sempurna. Cantik. Rasa cemburuku akan cantiknya seakan tak hilang walau sudah beberapa tahun berselang. Bintang yang berkelip genit, seakan menggodaku untuk terus memandanginya. Terus ku telusuri seluruh langit malam saat itu, mencari kenanganku yang sudah lama hilang dikunyah usia. “Sudah kita pulang yuk, Nak…”, ajak Ibu lembut. “Belum ketemu, Bu…”, tolakku halus dengan masih sibuk mencari serpih kenangan yang entah masihkah tersisa untukku. Aku tak pernah ceritakan masalahku pada Ibu. Pada siapa pun. Ini hanya antara aku dan dia. “Cari apa sih, Nak? Kita baru saja sampai kamu kok ngajaknya langsung ke pantai, gelap gini pula…” “Nggak. Aku kangen aja Bu ama pantai ini. Ibu tahu kan dulu aku paling suka kesini…” “Tapi mbok ya pagi-pagi saja toh Nak, sesudah sarapan kamu minta antar Pak Yusuf, kan masih bisa…” “Nggak…” “Ya wis kalau gitu. Ibu tunggu di mobil ya, kasihan Ayahmu capek, jangan lama-lama nanti masuk angin…” Aku masih mematung di tempat yang sama. Mendengar langkah ibu yang semakin menjauh. Laut yang sedang pasang dan angin yang berhembus ke arah laut merayuku untuk ikuti mereka. Dingin. Gigiku menggeletuk. Badan menggigil, merengek. Aku tak peduli. Aku mencari puzzle yang sudah lama ku tinggalkan di pantai ini. Bertanya sendiri, di mana? Aku masih sibuk mencari kenanganku. Di mana barat, timur, utara, atau selatan, aku tak tahu, aku hanya mencari kenanganku walau entah di mana ia. Kenangan yang mengusik jiwaku beberapa tahun ini. Tega sekali kau membuatku begini! Aku mulai linglung, airmata sudah siap tumpah. Di mana? Di mana kenangan itu? Aku mulai letih mencari, sedangkan yang dicari tak tampak sama sekali. Aku mohon muncul lah! Apa kau tak tahu aku menunggu datangnya hari ini tapi kau malah sembunyi, mengecewakan! Langit mentertawakanku. Menyembunyikan apa yang ku sebut… kenangan. Aku tak peduli. Terus ku telanjangi langit agar mau menyuguhkan apa yang ku harap ada. Mencoba bersabar, berharap Sang Sutradara mau membujuk langit untuk berhenti bermain-main. Aku sudah lelah! Bayangnya begitu melekat, dan itu sungguh menyiksaku. Aku tetap bertahan mencari, tak peduli walau waktu semakin pagi. Ku lirik jam tanganku. Pukul setengah 3. Kasihan Ayah, perjalanan panjang tadi beliau bergantian menyupir dengan Pak Yusuf, supir yang sudah seperti keluarga itu. Aku menyusuri pantai itu. Gelap dan senyap sekali. Ya Allah, tempat ini masih sangat sama seperti beberapa tahun lalu. Aku berusaha mencari pojok kenanganku. Tempat di mana aku dan dia habiskan waktu terakhir. Dulu. Dulu sekali. Berapa tahun? Entah. Aku sudah tak mau memikirkan berapa tahun aku merindukannya. Menangis sebelum tidur berharap memimpikannya. Yang aku inginkan sekarang adalah menemuinya sebelum selesai semua sandiwara ini. Langit menyerah. Mempersilahkanku melihat moleknya. Dan kenanganku itu…. Ada. Aku lemas saking bahagianya. Langit yang pekat namun bercahaya oleh sinar bulan yang bulat sempurna. Amis laut yang menyenangkan. Di tempat yang sama. Dan satu kenangan yang tidak bisa ku lupakan. Hiasan Venus dan Merkurius menggantung di sana. Indah… Menggelitikku untuk tersenyum, juga menangis. Bahagia, rindu, sedih, lega, semua bercampur menjadi tak keruan bentuknya di relung jiwa. “Gadis kecil, sedang apa di sini, gelap-gelap kok sendirian di pantai?” “Lihat bintang, kak…” “Yang mana?” “Itu yang ada dua, yang paling terang dari semua bintang, cantik loh kak..” “Itu bukan bintang dek, itu planet…” “Planet?” “Iya, Venus dan Merkurius…” “Kakak ini kok tahu?” “Ini tempat kakak sering habiskan waktu…” “Aku mau jadi yang paling terang itu. Merkurius…” “Itu venus…” “Ah masak sih?” “Iya, yang atas dan lebih terang itu venus, biasa disebut juga bintang senja atau bintang fajar. Yang di bawahnya itu merkurius.” “Ya sudah, kakak jadi venus aku jadi merkuriusnya ya…” “Nama adik siapa?” “Merkurius…” “Ya sudah dipanggil Meri saja ya biar lebih singkat.” “Nama kakak siapa?” “Venus…” Aku tersenyum sendiri mengingat kenangan yang tertayang begitu saja. Berusaha mengingat suaranya yang hangat. Awal perkenalanku yang menyenangkan. Rumahku dulu memang tak jauh dari pantai. Di sana lah kenangan menjadi terjabarkan tak dapat ku cegah. “Kakak, boleh gandengan nggak?” “Hah?” “Habisnya Meri dari dulu pingin punya kakak, tapinya Ibu malah ngasih Meri adik. Meri pingin kayak temen-temen Meri, ke sekolah bareng sama kakaknya lah Meri malah gandengan ama Dek Ghifa yang ngerengek terus minta beli balon tiap pulang sekolah…” Senyumnya nampak di pelupuk mataku. Sempurna. Tanpa cela satu pun. “Meri dan kakak sudah gede, nggak boleh pegangan tangan, kata guru ngaji kakak kita bukan muhrim…” “Muhrim itu apa kak? Meri nggak ngerti…” “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, tidak boleh bersentuhan, karena itu dosa hukumnya. Kecuali kalau Meri adik kandung kakak, baru boleh gandengan.” “Yah, berarti selamanya Meri nggak bisa gandengan ama Kak venus, padahal Meri mau nunjukkin ama temen-temen kalau Meri juga punya kakak..” Masa kecil yang menyenangkan. Diriku yang masih bertingkah kanak-kanak dapat diimbangi oleh Kak Venus yang kalem dan dewasa. Saat itu aku masih kelas 6 SD dan Kak Venus kelas 2 SMA. “Tapi Ayah Ibu kok boleh gandengan kak? Padahal kan Ibu bukan adik kandungnya Ayah…” “Meri, seorang perempuan yang sudah dinikahi oleh laki-laki menjadi halal hukumnya ke lelaki itu.” “Kalau kayak gitu kita nikah aja kak.. biar bisa gandengan.” Aku tertawa sendiri dalam tangis. Pecah sudah. Mentertawakan polosnya sifat kanakku. Kak Venus saat itu hanya tersenyum. Diam. “Kakak, Meri mau kabur!” “Ada apa?” “Meri mau ke pantai…” “Pagi-pagi gini?” “Biar aja, Meri sebel sama Ayah Ibu! Meri benci…” “Meri, tenang dek, ada apa?” “Ayah katanya pindah kerja. Semua ikut pindah ke sana. Meri nggak mau. Kata Ibu jaraknya jauh dari sini. Meri nggak mau, Meri mau di sini aja sama Kak Venus!” Dulu, belasan tahun yang lalu, aku pindah dari kota ini. Meninggalkan indah kenangan yang sudah terlanjur tertanam. Akarnya sudah merambat panjang dan dalam. Sudah sulit untuk mencabutnya. " Meri, di dunia yang berbeda Kau bisa temukan Kehidupan menamparmu dengan keras, Mengajarimu memeluk harap, Melukis bayang cita di kaki mimpi. Bagiku menemukan cinta Tak sekedar rasa bahagia Tapi pula datang sang duka... Bahagia karena saat ini masih dapat bersama cintanya, Duka karena takut esok tak ada lagi cinta bersamanya. Seperti Venus dan Merkurius itu. Sekarang, Mereka seperti kakak adik yang enggan dipisahkan. Tapi bisa jadi sebentar lagi, Tuhan memisahkan keduanya. Kau dan aku hanya pemeran Kuncinya ada pada sang Sutradara kehidupan.. Tunggu saja sampai ambang waktu, Kakak pasti datang menjemputmu…” Tangisku sudah habis pagi ini. Langit pekat yang sama. Bulan yang sempurna bulat. Amis laut yang menyenangkan. Tempat yang sama dengan belasan tahun lalu. Tapi tanpamu. Kau tak juga datang untuk memenuhi janji yang sudah mengendap lama. Yang membuatku kuat untuk terus berharap. Mungkin sekarang janji itu sudah lapuk. Sudah habis masa berlakunya. Aku sendiri, merutuki dingin dengan masih memainkan bayangmu di benak. ---------------------------------------------------------------------------------------------- "Meriiiiii...", teriakan nyaring dengan aksen yang khas menjedot ruang langit. Suaranya yang membahana sontak membuatku menoleh. "Fia...", aku yang masih terkaget dengan teriakannya itu menyahut pelan, ragu, takut melakukan kesalahan setelah sekian lama tak bersua. "Fi.. Fiaaa...", aku mengulang menyebut namanya, setelah yakin orang yang menyapaku itu benar adanya. Afia Anisa. Teman sebangkuku ketika SD dulu. "Wah, Meri, kok bisa ada sini? Kapan sampai? Ih, kangen deh!", Ia langsung memelukku erat. Cerocosannya membuatku tersenyum. Ia masih sama. Fia yang cerewet dan ceria. "Hehe, iya ya. Kangen juga aku Fi ama kamu. Aku sampai tadi pagi jam 3..", jawabku berusaha menanggapi dengan seriang mungkin. "Kemana aja kamu Mer? Kok bilangnya waktu itu mau main ke rumah saudara, tapi belasan tahun ndak pulang-pulang, piye toh Mer!", protesnya sambil menahan tawa. Melihat wajahnya yang sumringah teringat masa indah dulu. Fia yang sering memohon untuk menyalin PR di sekolah karena tidak bisa mengerjakan tugas di rumah karena kakak-kakaknya sering mengusilinya. Walaupun aku tidak tahu itu benar atau hanya alasannya saja. "Meri, aku nyalin PR mu yo! Mas Tyo ama Mas Adnan ndak berenti ngusilin aku terus, aku jadi ndak bisa belajar!" Aku tersenyum mengingat perilaku Fia kecil dulu. "Aku pindah ke Irian Fi. Ayah pindah tugas kesana. Maaf aku bohong waktu itu, sedih rasanya ninggalin kota ini...", lirihku parau. "Ya wis toh Mer, ndak papa, yang penting sekarang kamu balik lagi ke sini, ya toh?" Aku tersenyum tak berani mengiyakan. Aku hanya ingin menyelesaikan kisahku sebelum semua terlambat, sebelum taqdir menggerogoti sisa usiaku. Aku berbisik dalam hati. "Fia makin cantik aja nih, ayu...", aku mengalihkan topik pembicaraan sembari memperhatikan paras Fia yang memang makin nampak keanggunannya, melenyapkan gurat masa kanaknya. "Bisa aja kau Mer. Kayaknya Meri makin kurusan nih, diet ya Bu...", candanya, membuatku tertawa. "Nggak, biasa lah, sakit...", jujurku membuat Fia menggoreskan gurat prihatin. "Sing sabar Mer, Insya Alloh jadi penggugur dosa...", hiburnya. "Iya Bu Ustadz..." "Ih, iseng!", tinjunya pelan di pundakku. "Wis ketemu ama Mas Rasyid durung Mer?", tanya Fia tiba-tiba. "Siapa? Mas Rasyid?", tanyaku heran. Tidak mengenal nama yang ditanyakan oleh Fia. "Oalah Mer, lama ndak ketemu tapi mbok ya jangan dilupain toh mas mu itu...", ucapan Fia makin membuat mukaku bertekuk. Mas Rasyid? Siapa dia? Apakah dia juga orang yang pernah menggoreskan kisah pada buku kehidupanku? >>>To be continued *jangan penasaran ya siapa mas-mas itu :p, nantikan jawabannya seminggu lagi, hehe lama amat cha..? suka-suka penulisnya dong xixixi ( becanda )* Barakallahufikum..jabat erat dan salam hangat Wassalamualaikum 


http://www.facebook.com/notes/renungan-dan-motivasi-ifta-istiany-notes/motivasi-janji-venus/172900859405236