Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Kamis, 18 November 2010

Haji, Sebuah Pengembaraan


Oleh Gugun Putra Samiaji

Di kalangan sufi, ada kisah menarik yang sering diceritakan, terutama menjelang orang mau berangkat haji. Dalam kisah itu diceritakan tentang dua santri, yaitu Si Fulan dan Si Rojul. Sebelum menuju ke Tanah Suci, kedua santri itu tidak lupa sowan dulu, pamitan kepada Kiai, guru yang mereka hormati yang selama ini menjadi panutan spiritual mereka.
Dengan senang hati, Sang Guru mendoakan agar kedua santri itu nanti memperoleh haji mabrur. Sudah tentu, sebagai seorang kiai, selain membekali doa, biarpun agak singkat, ia juga memberikan nasihat yang penting-penting. Tetapi, yang selalu ditekankan dalam nasihat itu, Kiai bilang, ingat ya bekal yang paling pokok menunaikan ibadah haji itu tidak lain adalah iman dan takwa kita sendiri.
Banyak orang berhaji, kata Kiai tersebut, hanya datang dengan jasmani, sambil membawa daftar permintaan dan mengingat-ingat doa apa yang seharusnya dibaca di tempat-tempat tertentu, tanpa berusaha secara rohaniah melakukan penyerahan batin dan spiritual sepenuh- penuhnya, sebagai submission kepada Khalik, Tuhan seru sekalian alam.


Seusai mendengarkan nasihat Kiai, dengan rasa hormat dan terharu, kedua santri tersebut mulailah melakukan perjalanan menuju Mekkah, kota suci, tempat berdirinya bayt-Allah, kiblat kaum Muslimin di seluruh dunia. Mereka sengaja berpisah, masing-masing menempuh rutenya sendiri, yang penting keduanya akan bertemu di tanah haram, agar dalam perjalanan itu ada pengalaman yang berbeda, ada juga horizon yang berbeda.
Singkat cerita, selama kedua santrinya pergi haji itu, tidak ada kabar tidak ada berita. Tahu-tahu, begitu selesai musim haji, eh Si Fulan dan Rojul datang lagi menemui Kiai-nya.
Dengan syukur alhamdulillah, Kiai tersebut menyambut, merasa gembira, karena kedua santri kesayangannya telah pulang. Bagaikan seorang anak yang baru dilahirkan, Kiai tersebut memandang keduanya dengan mata berseri-seri karena setiap orang pulang dari haji memang dianggap dosanya lunas, kembali putih dan bersih seperti warna kapas.
Bahkan, kata Kiai itu, selama 40 hari kepulangannya, Si Fulan dan Rojul masih membawa berkah dan dapat memberkahi orang lain. Betapa Si Fulan gembira dengan sambutan Kiai-nya itu. Ia kemudian mulai menceritakan bagaimana perjalanan haji yang telah ditempuhnya.
Sewaktu pertama kali masuk Masjidil Haram, ia bilang hampir-hampir tak bisa melanjutkan langkah kakinya. Dengan nada sedikit terharu, ia menggambarkan betapa suasana emosionalnya tatkala itu melihat, oh inilah rumah Tuhan yang didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim AS yang kemudian menjadi arah sujud berjuta-juta umat Islam sekarang ini. Sambil tak henti-hentinya membaca subhanallah, Si Fulan menangis tersedu-sedu karena dalam hidupnya ternyata, toh, dikaruniai kesempatan bisa datang ke Mekkah, dan bisa bersembahyang di dekat Kabah dan secara fisik memang sangat dekat sekali. Si Fulan kemudian melakukan tawaf, mencium Hajar Aswad, dan tidak lupa ia berdoa di Multazam.
Perasaan terharu dan sempat menangis yang kedua kalinya adalah tatkala ia mendaki bukit Rahmah di Arafah. Betapa di tempat itu, ia ingat kisah Nabi Adam AS yang dipertemukan kembali dengan istrinya setelah turun dari surga.
Yang ketiga, dalam seluruh paket perjalanan hajinya itu, Si Fulan juga mengaku tidak bisa menahan tangisnya sewaktu di Madinah berziarah ke makam Rasulullah. Sungguh, ujarnya, sebagai seorang pelaku sufi yang selama ini selalu mendambakan dalam mimpinya agar bisa bertemu Nabi Muhammad, ia merasa bahagia sekali ada di sana, dekat dengan tempat jasad nabi tersebut disemayamkan.
Dengan rendah hati tampak sekali Si Fulan ingin segera mendapat konfirmasi dari Kiai-nya, apakah dengan menangis di tiga tempat tadi, hal itu merupakan tanda-tanda bahwa hajinya mabrur. Dengan agak lamban akhirnya Kiai menjawab dengan singkat sekali, katanya, ”Insya Allah, insya Allah, Lan.”


Kini, giliran Si Rojul. Ia bilang, ”Kiai, sebelumnya saya mohon maaf,” begitulah dengan suara lirih dan nada tampak penyesalan. Dengan jujur Rojul bilang bahwa perjalanannya ternyata tak sampai ke Tanah Suci.
”Sungguh maaf Kiai, bekal saya habis di tengah jalan,” ucapnya. Bekal itu, oleh Rojul, katanya, habis diberikan kepada anak-anak yatim, orang-orang tua yang lapar, fakir-miskin yang menjumpainya selama dalam perjalanan. Jadi, alhasil, Si Rojul urung, tidak sampai niatnya ke Mekkah, apalagi menunaikan wukuf di Arafah dan bisa menziarahi makam Rasulullah. Sambil terharu dan sedikit terisak-isak, Rojul menyudahi cerita pahitnya itu.
Anehnya, berbeda dengan yang dirasakan oleh Si Rojul, Kiai sepuh yang alim itu, setelah mendengarkan betapa terjal jalan setapak yang pernah dilalui Rojul menuju ke Tanah Suci ini, dengan sangat spontan berkomentar, ”Alhamdulillah,” yang diucapkannya beberapa kali menunjukkan kepuasan batinnya.
”Kau Rojul,” ungkapnya, ”ternyata telah mengerjakan haji mabrur yang sesungguh-sungguhnya.” Sebab, tambahnya, ”Kamu dengan niat ikhlas selama ini ternyata sudah berihram. Memakai pakaian itu dalam hidupmu, dalam hati dan jiwamu, biarpun secara fisik ibadah hajimu belum sampai ke Arafah.”
Dan kata Kiai ini, memang tidak semua orang yang telah pergi haji memperoleh makna substantif ibadahnya seperti itu. Sebab, ritual haji, yang sebenarnya lebih banyak didominasi oleh ibadah gerak untuk merekonstruksi sejarah kenabian monoteistik itu, jika dilaksanakan tanpa refleksi, tanpa perenungan kritis, ya bisa saja memuaskan secara emosional seperti ungkapan tangisnya Si Fulan tadi. Apalagi kalau orang yang pergi wukuf hanya sekadar ingin mencuci dosa pribadi, maka bunyi istigfar tak akan membekas secara spiritual dan memberikan implikasi yang bermakna bagi kehidupan sosial. Sebab, tanpa kesadaran yang mendalam bahwa noda kesalehan yang harus kita bersihkan di samping yang sifatnya perorangan, di sana tentu ada banyak dosa struktural, yakni bagian dari tanggung jawab kita bersama untuk membangun kesetaraan, keadilan, dan keadaban publik.
Dalam hal ini, simbolisasi berpakaian ihram dalam haji, tidak lain, saya kira merupakan pernyataan dan peringatan tentang betapa penting menegakkan secara terus-menerus komitmen keberagamaan dan kesalehan egalitarianistik seperti itu, apalagi dalam kehidupan yang hedonistik dan individualistik sekarang ini.
Masuk dalam horizon makna yang luas seperti itu adalah pilihan kita. Pilihan tatkala harus merumuskan diri kita sendiri, apa yang kita maksud dengan ibadah, dengan kesalehan selama ini.
Dan kisah tentang Kiai dan dua santrinya itu, saya kira tidak lain dan tidak bukan memberikan pelajaran yang bagus, betapa pentingnya kita selalu mencari makna yang lebih substantif di luar semaraknya ritual selama ini,


yang ditandai misalnya dengan semakin meningkatnya jumlah jemaah haji setiap tahun dan bisa jadi akan semakin banyaknya hewan kurban yang secara seremonial akan kita sembelih, sehabis shalat Idul Adha besok pagi.

http://www.facebook.com/notes/renungan-dakwah-islam/renungan/131744433543129

Apa Kabar Cinta●●●●


Mencintai dan dicintai adalah hal yang diinginkan oleh setiap orang. Cinta antara orang tua dan anaknya, suami dengan istri, kakak dengan adik atau antara sesama manusia. Tak jarang beberapa benda-benda kesayang pun tak luput dari cinta kita, seperti mobil, baju, hp, komputer,dll. Semuanya manusiawi.
Namun kita perlu waspada ketika cinta kita kepada anak, istri, suami, kakak, adik dan orang tua bahkan harta benda telah membuat kita jauh atau bahkan lupa kepada Sang pemilik Cinta yang hakiki.
 Saat kita menikah, kita telah dianggap telah melaksanakan 1/2 dari agama. Artinya yang setengahnya lagi harus kita gapai bersama pasangan didalam mahligai rumah tangga. Idealnya, setelah menikah harusnya kualitas keimanan dan ibadah suami istri semakin meningkat dibandingkan saat sebelum menikah. Kalau dulu waktu masih singgle sholat fardhu sendiri, setelah menikah bisa berjama'ah bersama istri atau suami. Waktu masih sendiri susah sekali bangun malam untuk menjalankan sholat tahajud, setelah menikah ada suami atau istri yang akan membangunkan kita untuk mengajak tahajud bersama. Intinya yang dulu biasa dilakukan sendiri kini bisa dilakukan bersama dan tentunya ada yang berperan sebagai pengontrol atau pembimbing mungkin suami sebagai qowwam akan lebih berperan dalam membimbing istrinya dalam hal peningkatan kualitas ibadah
nya. Mulai dari sholat bareng, tilawah bareng atau mengkaji al qur'an dan hadist bareng. Harapannya dengan menikah maka makin terbentang luas ladang amal bagi kita, sehingga istilah menggenapkan dien untuk pernikahan itu benar adanya.Namun tak jarang pula, saat kita mencitai makhluk atau benda membuat kita jauh atau bahkan melupakan Dia sang pemilik cinta. Misalnya, saat sebelum menikah sangat aktif dalam majelis dakwah, sholat selalu tepat waktu, tilawah setiap abis sholat magrib, tahajud pun tidak ketinggalan dan bahkan puasa sunnah senin kamis pun masih rajin dilakukan.
Namun keadaan menjadi terbalik setelah menikah, sholat jadi sering telat, puasa sunah sudah jarang dilakukan, tilawah hampir tidak pernah lagi apalagi bangun tengan malam untuk tahajud.Semuanya dilakukan diluar kesadaran kita, karena cinta kita kepada mahkluk lebih besar dari pada Sang pencipta makhluk. Mungkin bagi seorang istri kesibukan seharian bekerja atau mengurus anak bisa dijadikan excuse untuk sholat tidak tepat waktu, untuk tidak tilawah dan meninggalkan tahajud. Toh mengurus anak, suami dan rumah tangga juga merupakan ibadah. Begitu juga bagi suami, excuse kesibukannya dalam bekerja untuk memberi nafkah anak dan istri telah membuat dia lupa untuk sholat berjama'ah, tahajud, tilawah dan bahkan peran sebagai qowwam yang harusnya dia lakukan untuk membimbing keluarganya telah terlupakan.Tak jarang pula yang beranggapan bahwa "hubungan" suami-istri,


 sudah cukup memberikan nilai ibadah bagi mereka. Dengan kata lain jika ada aktifitas ibadah yang lebih ringan untuk dikerjakan kenapa harus mencari yang berat atau susah untuk dilakukan seperti tahajud, tilawah atau sholat berjama'ah.Gambaran diatas hanya sepenggal kisah dari kecintaan kita pada makhluk melalui ikatan pernikahan. Belum lagi kecintaan kita kepada anak setelah mereka kita lahirkan. Bisa jadi kita bisa lebih jauh lagi dari Sang pemilik cinta karena cinta kita kepada anak.Saya ingat nasehat Aa Gym dalam ceramahnya, "hati-hati jika mencintai makhluk, jangan sampai karena hadirnya makhluk cintamu kepada Sang pencipta makhluk menjadi berkurang, karena suatu saat nanti makhluk yang kamu cintai itu bisa saja diambil dari kamu"Jadi, bagaimanakah kabar cinta Anda hari ini???
Mudah-mudahan cinta yang kita miliki membuat kita semakin cinta kepada Sang pemilik cinta bukan malah sebaliknya.

http://www.facebook.com/notes/renungan-dakwah-islam/apa-kabar-cinta/128375303880042

Azab Bagi Wanita (tolong ingatkan kepad semua kaum perempuan yang kamu kenal)


Seorang kawan ana telah memberi artikel ini kpd ana untuk sampaikan kepada kaum hawa. Apabila ana baca artikel ini,ana takut jika ana berada di tempat salah satu di bawah ini..
Kepada kaum hawa,terlalu byk ujian bagi kaum hawa.Semoga artikel ini bermanfaat buat kamu.
Buat kaum adam,kamu juga pasti tidak mahu orang yang kamu syg menghadapi salah satu siksaan di bawah ini.
Harap artikel ini dapat disampaikan kepada org lain.INSYAALLAH.
 khususnya untuk para wanita dan diri sendiri.....
Sayidina Ali ra menceritakan suatu ketika melihat Rasulullah menangis manakala ia datang bersama Fatimah . Lalu keduanya bertanya mengapa Rasul menangis.
 Beliau menjawab, "Pada malam aku di-isra'- kan , aku melihat perempuan-perempuan yang sedang disiksa dengan berbagai siksaan. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena, menyaksikan mereka yang sangat berat dan mengerikan siksanya.
 Putri Rasulullah kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya."Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih.
 Aku lihat perempuan digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke dalam tengkoraknya.
 Aku lihat perempuan tergantang kedua kakinya dengan terikat tangannya sampai ke ubun-ubunnya, diulurkan ular dan kalajengking.
 Dan aku lihat perempuan yang memakan badannya sendiri, di bawahnya dinyalakan api neraka. Serta aku lihat perempuan yang bermuka hitam, memakan tali perutnya sendiri.
 Aku lihat perempuan yang telinganya pekak dan matanya buta, dimasukkan ke dalam peti yang dibuat dari api neraka, otaknya keluar dari lubang hidung, badannya berbau busuk karena penyakit sopak dan kusta. Aku lihat perempuan yang badannya seperti himar, beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya. Aku lihat perempuan yang rupanya seperti anjing,


sedangkan api masuk melalui mulut dan keluar dari duburnya sementara malikat memukulnya dengan pentung dari api neraka,"kata Nabi.
 Fatimah Az-Zahra kemudian menanyakan mengapa mereka disiksa seperti itu?
 *Rasulullah menjawab, "Wahai putriku, adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya.
 *Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang 'mengotori' tempat tidurnya.
 *Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah perempuan yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas.
 *Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain.

 *Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang yang kepada orang lain bersolek dan berhias supaya kecantikannya dilihat laki-laki yang bukan muhrimnya.

 *Perempuan yang diikat kedua kaki dan tangannya ke atas ubun-ubunnya diulurkan ular dan kalajengking padanya karena ia bisa shalat tapi tidak mengamalk! annya dan tidak mau mandi junub.
 * Perempuan yang kepalanya seperti babi dan badannya seperti himar ialah tukang umpat dan pendusta.. Perempuan yang menyerupai anjing ialah perempuan yang suka memfitnah dan membenci suami.
   "Mendengar itu,Sayidina Ali dan Fat imah Az-Zahra pun turut menangis.
 Dan inilah peringatan kepada kaum perempuan.
 sampai2kan kpd kwn2 kita yg lain..insyaALLAH
http://www.facebook.com/note.php?note_id=118784714841619&id=153780151308733&ref=mf

~..~ Merajut Benang Ukhuwah Islamiyah ~..~


Di tengah semangat pecah-belah yang dihembuskan orang-orang yang memusuhi Islam, ukhuwah Islamiyah menjadi sangat penting. Bagaimana bentuk ukhuwah dan apa saratnya?
DR. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya" Merajut Benang Ukhuwah Islamiyah" merinci satu persatu permasalahan itu, sebagai berikut:

Ta'aruf
Kata ta'aruf berarti saling mengenal. Misalnya ada kalimat ta'araftu ila Fulan artinya: saya memperkenalkan diri kepada si Fulan. Di sini dimaksudkan, hendaknya seorang Muslim mengenal saudaranya yang seiman, menyangkut nama, nasabnya dan status sosialnya. Di samping itu, kenalilah juga apa yang disukai dan yang tidak disukainya. Mengenal secara baik karakteristik saudara kita, akan menjadi kunci pembuka hati persaudaraan.

Ta'aluf
Kandungan makna Ta'aluf adalah: menyatunya seorang Muslim dengan saudaranya sesama Muslim. Bahwa semangat bersatu kepada saudara seiman dan seakidah hendaknya menjadi jiwa Muslim. Rasulullah bersabda,"Orang mukmin itu mudah disatukan. Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa menyatu dan tidak bisa mempersatukan." (HR.Imam Ahmad

Tafahum
Syarat ukhuwah selanjutnya adalah tafahum, yakni sikap saling memahami antara seorang Muslim dengan saudaranya sesama Muslim, dengan menciptakan kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran Islam (ushuluddin), lalu hal-hal yang berkaitan dengan masalah cabang (furu'iyyah). Kita diperingatkan oleh Allah SWT agat tidak saling berbantah-bantahan. "Tatalah kepada Allah dan Rasul-Nya serta janganlah berbantah-bantahan yang akan mengakiibatkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian." (QS.Al-Anfal:46)
 Ri'ayah dan Tafaqud
Ia adalah sikap respek seorang Muslim dengan yang lainnya. Bila saudaranya membutuhkan bantuan, maka tanpa dimintanya segera bergegas memberikan bantuannya sesuai dengan kemampuannya.


Termasuk dalam pengertian ri'ayah dan tafaqud adalah menutupi aibnya, serta berusaha menghilangkan rasa cemasnya.

Ta'awun
Ta'awun berarti saling membantu. Maksudnya, Allah SWT memerintahkan kita untuk saling membantu melaksanakan kebaikan (al-birr), dan meninggalkan kemunkaran(at-taqwa). Dengan ber-ta'awun yakni memberi petunjuk kepada saorang Muslim untuk mendapatkan ridha Allah, serta melakukan amal sholeh lebih berharga dari pada memperoleh suatu yang sangat istimewa. Rasulullah Saw bersabda, "Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seseorang karena dakwah yang kau sampaikan kepadanya, sungguh hal itu lebih baik bagimu daripada unta merah.." (HR.Abu Dawud)

Tanashur
Langkah ukhuwah yang terakhir ini adalah sejenis dengan ta'awun.  Hanya pengertian tanashur lebih mendalam dan lebih luas lagi, bahkan di sana menggambarkan semangat cinta dan loyalitas.
 Tanashur memiliki makna:
-Tidak menjerumuskan saudaranya kepada sesuatu yang buruk
-Mencegah sudaranya agar tidak tergelincir dalam tindak dosa dan kejahatan
-Menolongnya menghadapi setiap orang yang menghalanginya dari jalan kebenaran, hidayah dan dakwah
-Membrikan pertolongan kepada orang yang dizhalimi maupun yang menzhalimi(mencegah perbuatan zhalim) tersebut.

Waallahu'Alam bissawwab
http://www.facebook.com/notes/renungan-dakwah-islam/-merajut-benang-ukhuwah-islamiyah-/127097894007783

Biarkan Teguran Itu Datang


Khudzaifah bin Al Yaman ra dalam suatu kesempatan, mendatangi sahabatnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.Tidak seperti biasanya, Khudzaifah yang juga disebut shahibus sirri (penyimpan rahasia) Rasulullah saw itu mendapati Umar dengan raut muka yang muram,penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?”Saudaraku,Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang takut bila aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku,” ujar Umar pelan.


Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. “Alhamdulillah Yang menjadikan untukku sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang,” katanya.
Seperti itulah Umar. Jika banyak orang gusar dan marah mendapat teguran atas kesalahan yang dilakukannya. Tapi ia justru menginginkan teguran. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ra itu justru ingin kesalahannya diketahui orang lain, untuk kemudian ditegur dan diluruskan. Subhanallah....
Saudaraku,Berterus terang kepada diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan bukan hal mudah. Terlebih mengaku berterus terang kepada orang lain dan menerima kesalahan yang dilakukan. Lebih sulit lagi, menerima teguran orang lain atas kesalahan. Tapi sebenarnya, teguran atas kesalahan itu kita perlukan.Al-Qur ’an memberi banyak ilustrasi tentang ajakan bermuhasabah, mengevaluasi diri dan teguran langsung atas kesalahan. Metode muhasabah dan teguran yang ada dalam ayat-ayat Al Qur ’an, mengajak kita mau mengakui semua perbuatan dengan jujur dan tulus. Agar kita terbiasa berterus terang mengungkap berbagai kesalahan kepada diri sendiri. Memeriksa noda-noda kesalahan dan kekeliruan yang ada lalu mengakuinya. Bukan untuk membesar-besarkan kesalahan dan membuat diri menjadi gelisah, tetapi agar kita mengetahui kadar kebaikan dan keburukannya. Inilah makna yang dimaksud dalam perkataan Said bin Jubair saat ia ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Ia menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya ia memandang kecil amal perbuatannya.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad, 387)
Saudaraku,Perhatikanlah bagaimana para sahabat radhiallahu anhum dalam Perang Uhud mendapat teguran langsung dari Allah swt, saat mereka terluka dan mengalami situasi tertekan dan sulit.Ketika itu turun firmanAllah swt, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, mereka digelincirkan oleh setan karena sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau). Dan sesungguhnya Allah telah mengampuni mereka...” (QS.Ali Imran 155). Lihatlah juga di saat bagaimana Allah swt menegur langsung mereka dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 165. “...Kalian berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Perhatikanlah bagaimanaAllah swt menegur para sahabat dalam peperangan Hunain.“...Dan (ingatlah) peperangan Hunain, di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun...” (QS.At Taubah :25)
Maksud teguran langsung tersebut adalah membangkitkan suasana muhasabah, mengangkat kejujuran dan keterbukaan yang bisa menjadikan seseorang mampu mengambil pelajaran dari kekeliruan dan kesalahannya. Musharahah atau keterusterangan untuk mengakui kesalahan adalah langkah paling awal untuk memulai perbaikan.



Saudaraku,Teguran itu pahit. Tapi cobalah lebih jauh merenungi, pentingnya teguran atas kesalahan. Ustadz Abdul Hamid Al Bilali, dalam Waahaat Al Iiman, menguraikan banyak hal tentang akibat dosa dan kesalahan yang terus menerus dilakukan karena tidak mendapat teguran. Menurutnya, akibat kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bisa disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan. Situasi seperti inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zayyat rahimahullah. Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa menjadi tidak memiliki kepekaan lagi.” (Tanbiihu Al Ghafiliin,93) Bagi Al Hasan, kesalahan dan dosa itu masih bisa dianggap kewajaran lantaran manusia memang pasti melakukan salah dan dosa. Yang ia khawatirkan justru ketika kesalahan dan dosa itu tidak dapat dihentikan, dilakukan terus menerus, lalu jiwa menjadi tidak sensitif terhadap kesalahan dan dosa itu. Juga, ketika dosa dan kesalahan tak terhenti karena tak mau menerima teguran yang bisa menyadarkan. Dan, ketika dosa dan kesalahan terlalu sering dilakukan karena tak ada nasihat serta teguranyang bisa menghentak diri dari kelalaian. Ada lagi akibat dosa yang lebih berbahaya dari kondisi itu. Yakni perasaan aman dan tidak mendapatkan hukuman dari berbagai dosa yang dilakukan. Artinya, seseorang bukan saja tidak menyadari dosa yang dilakukan, tapi lebih dari itu, merasa tenteram dan aman dari hukuman yang Allah swt berikan.
Saudaraku,Camkanlah nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai.” (Shaidul Khatir, 169)

Renungkanlah, kalimat terakhir dari nasihat Ibnul Jauzi ini...(Majalah Tarbawy)

http://www.facebook.com/notes/melati/biarkan-teguran-itu-datang/162673013771082

Aku Mencintainya Namun Jangan Jadikan Dia Jodohku


Di suatu kajian, dengan tema jelajah hati…
Sebuah kajian yang panjang, bermakna dan ‘mengena’…
Sebuah kajian bagaimana menjaga hati, menjaga cinta dalam dada ini hanya untukNya…
Masih teringat jelas dalam benakku ketika ustad tersebut berkata



“jika ada yang hatinya mulai tergoda oleh hal selainNya, maka jujurlah pada hati, namun lakukan apa yang berkebalikan dengan hawa nafsu… Misalnya, suatu saat kita melihat baju yang sangat bagus dan sangat ingin untuk membeli.. jujurlah pada hati bahwa kita sangat menyukai baju itu, jika perlu beli, namun berikan baju yang sangat kita senangi itu untuk orang lain… untuk masalah cinta, ketika hati tergoda tuk mencintai selainNya apalagi lawan jenis, jujurlah pada hati, dan berdoalah
‘ya Allah..aku mencintainya namun jangan jadikan ia sebagai jodohku…”
 Kira2 begitu intinya, meski ga saklek seperti itu…
mendengar kalimat terakhir para hadirin yang datang tertawa… namun aku, justru bertanya-tanya. Ketika cinta itu datang, meskipun bukan untuk memiliki, mengapa justru kita seperti itu? Bukankah sangat baik jika doa itu menjadi ‘jagalah hati ini dari cinta terhadapnya sampai rasa cinta ini halal bagi kami’… Begitu batinku dulu…dulu…
Namun aku mengerti sekarang..sangat mengerti mengapa doa itu yang disarankan oleh sang ustad (meskipun mungkin doa ini ga saklek juga)… aku sangat mengerti sekarang…
Mengapa?
Karena di suatu kajian lain, aku mengambil suatu hikmah, yakni suatu keluarga yang ingin menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, itu bukan hal yang mudah… keluarga yang ingin dibangun seperti itu memang harus didasarkan pada suatu kesucian… kesucian masing-masing pasangan baik secara hati dan fisik, dan yg paling penting kesucian PROSES itu sendiri…
Keluarga yang sebersih itu juga harus diawali dengan proses yang bersih sebagaimana hal yang baik harus diawali dengan hal yang baik pula… bagaimana keluarga itu akan menjadi keluarga yg suci jika dalam proses saja tidak bersih?
Dalam proses harusnya tak ada pelanggaran-pelanggaran syar’i… sebagaimana tak ada berpacaran sebelum menikah.. sebagaimana tak ada bergoncengan dan bersentuhan selama itu belum halal..
sebagaimana tak ada perkenalan lebih mendalam selama proses ta’aruf belum dimulai secara resmi..
Sebagaimana itu pula kesucian hati itu harusnya terjaga sebelum itu semua juga akan menjadi halal..tak ada cinta selain padaNya dan tak ada cinta tuk lawan jenis kecuali cinta itu halal.. Ya, ‘baik’ dalam proses untuk mencapai ‘kebaikan’ pada akhirnya…


Tuk mencapai rumah tangga yang diberkahi yang di dalamnya harapannya akan lahir para mujahid dan mujahiddah tuk menjalankan estafet dakwah ini, terlalu suci tuk dinodai dengan proses yang tidak baik…
Tuk membangun rumah tangga yang slalu dalam naungan cintaNya yang harapannya akan lahir para hafidz dan hafidzah tuk mewarnai ummat ini, terlalu suci tuk dinodai dengan proses yang kotor..
Baik dalam proses…
Sebenarnya mungkin hanya itu yang ingin disampaikan sang ustadz dalam doa itu… doa yang berharap ketika ada getaran yang tak seharusnya ada tuk seseorang, maka tidak sepantasnya berharap seseorang tersebut tuk menjadi jodoh kita kelak… semua ini hanya demi BAIK dalam PROSES agar PREOSES ini mengantarkan pada KEBERKAHAN yang sesungguhnya..
Sebuah keluarga yang di dalamnya akan lahir para mujahid-mujahiddah dan hafidz-hafidzah tuk mewarnai dunia ini.. mewarnai dengan warna warni pelangi cinta di dunia dan akhirat…

Wallahu’alam..       


Di Ambang Kehancuran


By: agussyafii

Biasanya setiap orang yang menghadapi kesulitan atau masalah dalam rumah tangganya selalu saja godaan meninggalkan atau bercerai dengan pasangannya, saya selalu menjawabnya, 'Beranikah anda Menjadi perantara Kasih Sayang Allah untuk tetap menjaga keutuhan keluarga dan menyelamatkan keluarga dari ambang kehancuran?' Sekeras apapun hati seseorang akan selalu bisa berubah, hanya dengan kasih sayanglah perubahan itu bisa terjadi menuju kehidupan yang yang lebih baik.
Begitulah yang saya katakan pada seorang ibu. Saya selalu mengatakan kepada beliau bahwa hanya dengan Kasih Sayang Allah keluarganya bisa diselamatkan. Beliau telah memiliki tiga putri yang cantik-cantik namun suaminya menginginkan anak laki-laki. Bagi suami, anak laki-laki ada penerus keturunan bagi dirinya. Sampai pernah suami mengatakan bila tidak mendapatkan anak laki-laki, dia akan menikah lagi. Sikap romantis yang biasa ditunjukkan suami sudah hilang. Berjudi dan minum2an keras hampir dilakukan setiap malam. Usaha yang dirintisnya bangkrut, semua tanah dijual.
Sang Ibu menjadi penyelamat bagi keluarganya. Buka warung nasi dipinggir jalan. Semua kehidupan yang dulu menjadi kebanggaannya ditanggalkan. Disaat orang lain tertidur lelap, beliau harus bangun, berbelanja, memasak, sehabis sholat subuh sudah berjualan. Setelah dhuhur tiba pulang mengurus rumah, mencuci, juga melayani suami dan anak-anaknya. Sampai pada satu hari ditengah kelelahan beliau ambruk, jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit.


Dalam keputusasaannya karena sakit tidak sembuh, putrinya yang telah duduk di bangku SMA selalu menguatkan hatinya dan mengajak berdoa, memohon kepada Allah.
'Ma, Yuk berdoa memohon kesembuhan kepada Allah, jangan putus asa Ma..' kata putrinya, 'Allah tidak ada,' jawab beliau dengan tetesan air mata, putrinya terkejut mendengarkan. 'Kalo ada kenapa Allah membiarkan aku hidup menderita terus.' 'Istighfar Ma, Mama harus yakin. Bukankah Mama yang mengajarkan hanya Allah penolong kita.' tutur putrinya. Kemudian beliau berdoa bersama putrinya memohon kesembuhan kepada Allah. Pada pagi hari, dokter memperbolehkannya pulang.
Anugerah Allah tidak berhenti sampai disitu, putri-putrinya menjadi lebih peduli dan perhatian kepada beliau. Kehidupan keluarganya berubah, kesabaran sang ibu membuahkan hasil. Suami mulai berubah kebiasaan buruknya berjudi dan minuman keras sudah ditinggalkan, sang suami berkomitmen untuk mengurus istri dan putri-putrinya dengan baik. Di dalam kehidupan rumah tangga senantiasa membutuhkan pengorbanan dan kasih sayang. Bila ditengah jalan Ibu memilih untuk berpisah atau bercerai dari suami maka tidak ada kebahagiaan yang bisa dirasakan. Pengorbanan dan kasih sayang ibu telah menjadi teladan bagi putri-putrinya.

Barangkali kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya banyak kebaikan. (QS. al-Baqarah : 216).

http://www.facebook.com/notes/melati/di-ambang-kehancuran/162460243792359

Antara Kita dan Pengamen


Mengamen menjadi rutinitas laki-laki remaja ini setiap harinya. Ia lakukan itu demi kedua adiknya, satu perempuan dan satu laki-laki yang masih menginjak bangku sekolah, selain juga sebagai penyangga hidup mereka bertiga. Ia sendiri rela melepas bangku sekolahnya agar leluasa mencari nafkah demi kebutuhan hidup yang teramat berat harus ditanggungnya untuk anak seusia dirinya.
Tak ayal cacian dan makian menjadi sarapan paginya. Tatapan mata benci dan sinis menjadi bekalnya. Dan tak jarang pula bentakan dan hinaan menjadi teman di kala sepinya. Tak ada pelindung, tak ada pengayom dan tak ada kasih sayang dalam kerasnya hidup yang ia jalani. Hanya senyum dan tawa adik-adiknyalah yang menjadi penyemangat hidupnya yang pilu saat ini.
Saat ditanya oleh seorang penanya dalam suatu kesempatan acara ia hanya berujar bahwa yang ia lakukan ini semata untuk bertahan hidup mereka bertiga. Kedua orang tua yang seharusnya menjadi pelindung hidup mereka telah terenggut nyawanya dalam suatu kecelakaan maut. Semuanya berubah seketika setelah musibah itu menimpa keluarga mereka.
Sang penanya yang menanyakan hal ini tak kuat menahan butiran bening yang meleleh dari kedua bola matanya. Haru tatkala mendengar ketegaran remaja yang harus tunduk dalam ganasnya ibukota Jakarta. Tak sepantasnya anak seusianya harus berjuang hidup menanggung nafkah diri dan adik-adiknya. Ia bukan pengemis. Ia bukan pencopet, ia juga bukan gelandangan yang hidup tanpa arah dan cita-cita. Tapi ia adalah ayah untuk adik-adiknya dan ibu untuk masa depannya. Ia membimbing adik-adiknya dengan kesabaran dan ia menyulam masa depannya dengan air mata ketegaran.
Tapi sungguh Allah Maha Agung, ia yang seharusnya masih dicibir dan dicemooh, Allah selamatkan diri dan adik-adiknya melalui sang penanya dalam kesempatan acara tersebut. Karena tak kuasa menahan haru sang penanya berencana memberikan beasiswa dan pekerjaan yang layak untuknya dan adik-adiknya. Selamatlah hidup mereka, lantaran doa sang kakak yang tak henti-hentinya dipanjatkan demi mengharap pertolongan Allah dalam kehidupannya.
Kini hidup mereka sedikit lebih baik karena telah ada yang menfkahi dan mengayomi mereka. Tapi di luar sana masih banyak anak-anak yang terlantar dan terseret dalam susahnya hidup seperti yang ia rasakan. Masih banyak pengamen jalanan yang dicemooh dan dicaci hanya karena ia menyanyi demi sebuah harapan untuk bertahan hidup, dan mungkin salah satunya adalah kita yang mencemooh dan mencaci mereka. Akankah kita seperti sang penanya itu yang mau berempati dan bersimpati terhadap para pengamen jalanan seperti mereka?


Kini Allah telah memanggil sang penanya itu, ia menghadap Sang Penciptanya dalam suatu tragedi maut yang merenggut nyawanya. Ia adalah Taufiq Savalas, artis yang memberi teladan untuk kita semua. Semoga Allah berkenan menerima semua amal baiknya dan semoga pula Allah tumbuhkan Taufiq Savalas – Taufiq Safalas yang lain yang mau peduli terhadap anak-anak pengamen jalanan di sekitarnya. Amiiin...

http://www.facebook.com/notes/setetes-peluh-perjuangan/antara-kita-dan-pengamen/175789475770789

^^ Istikharoh Cinta ^^


Semuanya berawal dari kedua mata
 Ketika aku hanya berani mencuri pandang wajahmu di sana
 Dengan pakaian rapat tak kau biarkan auratmu terbuka
 Karena memang tak selayaknya bisa dipandang oleh sembarang mata
 Maka seiring perjalan masa
 Ku mulai beranikan diri tuk bertanya
 Tuk selanjutnya berbagi cerita
 Telah kukatakan kepadamu semenjak awal mula bahwa aku adalah lelaki ibuku sepanjang masa sebagai wujud bakti sebagaimana rasul telah bersabda
 "ibumu, ibumu, ibumu!" begitulah dalam sebuah hadits yang pernah ku baca
 "Lalu ayahmu!" sebagai kelanjutan ucapan dari lidah yang mulia
 Sebuah jawaban darimu membuatku begitu lega
 Kau berkata bahwa lebih baik memiliki suami yang berbakti daripada yang durhaka
 Kau berkata lebih baik memiliki suami yang dermawan daripada yang daripada yang bakhil harta
 Dan kau pun berharap bahwa pendampingmu kelak bisa membuatmu bahagia
 Kau berkata ibgin segera menikah sebagai suatu rencana
 Bila kelak ALLAH mempertemukanmu dengan jodoh pilihan-Nya
 Agar mampu menjaga kemurnian dan kesucian niatmu dalam mewujudkan berbagai cita
 Serta menjadikanmu lebih kuat kala cobaan dan ujian datang menerpa


Karena akan ada seseorang yang insya ALLAH akan mendampingi senantiasa
 Namun yang harus kau tahu adalah bahwa aku lelaki biasa
 Segala kelebihan dan kelemahan pastilah ku punya
 Senanglah hati ketika mengetahui dirimu rutin dalam sebuah tarbiyah
 Tidak seperti aku yang hanya pernah masuk madrasah
 Mulai ibtidaiyah, tsanawiyah namun tidak lanjut ke aliyah
 Namun sekarang aku sudah lulus kuliah
 Saat ini pun aku sudah memiliki ma'isyah
 Temen - temanku berkata, bahwa sudah waktunya bagiku mencari aisyah
 Mungkin dengan simpanan yang ada cukuplah untuk sebuah walimah
 Tentu saja yang sederhana dan bukan yang meriah dan aku pun belum sanggup untuk menyediakanmu sebuah rumah
 Karena itu ku berpikir untuk mengontrak dulu sajalah
 Suatu ketika kau bertanya tentang poligami
 Ku jawab itu adalah ketentuan ILLAHI
 Lantas kau bertanya, apakah aku akan melakukannya suatu hari nanti?
 Ku jawab, apa mungkin bila adil sebagai syarat utama tak mampu kumiliki
 Engkau tersenyum di mulut atau mungkin sampai ke hati
 Sambil mengakui bahwa dirimu belum bisa menerima bila hal itu terjadi
 Dan dirimu juga tak bisa menyamai saudah binti zam'ah istri sang nabi
 Yang tulus ikhlas kepada 'aisyah dalam berbagi suatu ketika giliran aku bertanya tentang kemampuanmu bertilawah


Kau menjawab, bisa walau tak mau dibandingkan dengan para qoriah
 karena kau merasa masih banyak berbuat salah dalam mengucap hukum tajwid dan huruf - huruf hijaiyah
 Insya ALLAH kita akan bersama - sama belajar bila kelak kita menikah
 Untuk mewujudkan keinginanmu agar bisa menerangi setiap ruang rumah
 Dengan alunan suara Al-Qur'an yang merupakan ayat - ayat qauliyah
 Dari situ mungkin kita bisa membaca ayat - ayat kauniyah
 Untuk memastikan keyakinanku untuk menikah
 Kau pun mengundangku ke tempat temanmu seorang murabbiyah
 Dan tak lupa kau undang aku tuk datang ke rumah sebagai awal perkenalan dengan bunda dan ayah dan sebuah titik temu tercapailah
 Istikhoroh mencari jawaban tuk menggapai alhub fillah wa lillah
 Dalam doa ku bersimpuh pasrah memohon datangnya jawaban kepada Sang Pemberi Hidayah
 Bila jawaban itu masih menggantung di langit, maka turunkanlah
 Bila jawaban itu masih terpendam di perut bumi, maka keluarkanlah
 Bila jawaban itu sulit kuraih, maka mudahkanlah
 Bila jawaban itu masih jauh, maka dekatkanlah
 ---------------------******************************----------------------

 BY : buku "ISTIKHOROH CINTA"

http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/-istikhoroh-cinta-/499259296041

Cara Menggapai Ketenangan Jiwa


Dalam perkembangan hidupnya, manusia seringkali berhadapan dengan berbagai masalah yang mengatasinya berat. Akibatnya timbul kecemasan, ketakutan dan ketidaktenangan, bahkan tidak sedikit manusia yang akhirnya kalap sehingga melakukan tindakan-tindakan yang semula dianggap tidak mungkin dilakukannya, baik melakukan kejahatan terhadap orang lain seperti banyak terjadi kasus pembunuhan termasuk pembunuhan terhadap anggota keluarga sendiri maupun melakukan kejahatan terhadap diri sendiri seperti meminum minuman keras dan obat-obat terlarang hingga tindakan bunuh diri.
Oleh karena itu, ketenangan dan kedamaian jiwa sangat diperlukan dalam hidup ini yang terasa kian berat dihadapinya. Itu sebabnya, setiap orang ingin memiliki ketenangan jiwa. Dengan jiwa yang tenang kehidupan ini dapat dijalani secara teratur dan benar sebagaimana yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Untuk bisa menggapai ketenangan jiwa, banyak orang yang mencapainya dengan cara-cara yang tidak Islami, sehingga bukan ketengan jiwa yang didapat tapi malah membawa kesemrautan dalam jiwanya itu. Untuk itu, secara tersurat, Al-Qur'an menyebutkan beberapa kiat praktis.
1. Dzikrullah
Dzikir kepada Allah Swt merupakan kiat untuk menggapai ketenangan jiwa, yakni dzikir dalam arti selalu ingat kepada Allah dengan menghadirkan nama-Nya di dalam hati dan menyebut nama-Nya dalam berbagai kesempatan. Bila seseorang menyebut nama Allah, memang ketenangan jiwa akan diperolehnya.


Ketika berada dalam ketakutan lalu berdzikir dalam bentuk menyebut ta'awudz (mohon perlindungan Allah), dia menjadi tenang. Ketika berbuat dosa lalu berdzikir dalam bentuk menyebut kalimat istighfar atau taubat, dia menjadi tenang kembali karena merasa telah diampuni dosa-dosanya itu. Ketika mendapatkan kenikmatan yang berlimpah lalu dia berdzikir dengan menyebut hamdalah, maka dia akan meraih ketenangan karena dapat memanfaatkannya dengan baik dan begitulah seterusnya sehingga dengan dzikir, ketenangan jiwa akan diperoleh seorang muslim, Allah berfirman yang artinya:
 "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tentram". (13:28).
 Untuk mencapai ketenangan jiwa, dzikir tidak hanya dilakukan dalam bentuk menyebut nama Allah, tapi juga dzikir dengan hati dan perbuatan. Karena itu, seorang mu'min selalu berdzikir kepada Allah dalam berbagai kesempatan, baik duduk, berdiri maupun berbaring.
 2. Yakin Akan Pertolongan Allah

Dalam hidup dan perjuangan, seringkali banyak kendala, tantangan dan hambatan yang harus dihadapi, adanya hal-hal itu seringkali membuat manusia menjadi tidak tenang yang membawa pada perasaan takut yang selalu menghantuinya. Ketidaktenangan seperti ini seringkali membuat orang yang menjalani kehidupan menjadi berputus asa dan bagi yang berjuang menjadi takluk bahkan berkhianat.
 Oleh karena itu, agar hati tetap tenang dalam perjuangan menegakkan agama Allah dan dalam menjalani kehidupan yang sesulit apapun, seorang muslim harus yakin dengan adanya pertolongan Allah dan dia juga harus yakin bahwa pertolongan Allah itu tidak hanya diberikan kepada orang-orang yang terdahulu, tapi juga untuk orang sekarang dan pada masa mendatang, Allah berfirman yang artinya:
 "Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tentram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (3:126, lihat juga QS 8:10).
 Dengan memperhatikan betapa banyak bentuk pertolongan yang diberikan Allah kepada para Nabi dan generasi sahabat dimasa Rasulullah Saw, maka sekarangpun kita harus yakin akan kemungkinan memperoleh pertolongan Allah itu dan ini membuat kita menjadi tenang dalam hidup ini. Namun harus kita ingat bahwa pertolongan Allah itu seringkali baru datang apabila seorang muslim telah mencapai kesulitan yang sangat atau dipuncak kesulitan sehingga kalau diumpamakan seperti jalan, maka jalan itu sudah buntu dan mentok.


Dengan keyakinan seperti ini, seorang muslim tidak akan pernah cemas dalam menghadapi kesulitan karena memang pada hakikatnya pertolongan Allah itu dekat, Allah berfirman yang artinya: 
 "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman ,bilakah datangnya pertolongan Allah?". Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat". (QS 2:214).
 3. Memperhatikan Bukti Kekuasaan Allah
 Kecemasan dan ketidaktenangan jiwa adalah karena manusia seringkali terlalu merasa yakin dengan kemampuan dirinya, akibatnya kalau ternyata dia merasakan kelemahan pada dirinya, dia menjadi takut dan tidak tenang, tapi kalau dia selalu memperhatikan bukti-bukti kekuasaan Allah dia akan menjadi yakin sehingga membuat hatinya menjadi tentram, hal ini karena dia sadari akan besarnya kekuasaan Allah yang tidak perlu dicemasi, tapi malah untuk dikagumi. Allah berfirman yang artinya:
 "Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?". Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tenang (tetap mantap dengan imanku)". Allah berfirman: ("kalau begitu) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah, kemudian letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS 2:260).
 4. Bersyukur
 Allah Swt memberikan kenikmatan kepada kita dalam jumlah yang amat banyak. Kenikmatan itu harus kita syukuri karena dengan bersyukur kepada Allah akan membuat hati menjadi tenang, hal ini karena dengan bersyukur, kenikmatan itu akan bertambah banyak, baik banyak dari segi jumlah ataupun minimal terasa banyaknya. Tapi kalau tidak bersyukur, kenikmatan yang Allah berikan itu kita anggap sebagai sesuatu yang tidak ada artinya dan meskipun jumlahnya banyak kita merasakan sebagai sesuatu yang sedikit.
 Apabila manusia tidak bersyukur, maka Allah memberikan azab yang membuat mereka menjadi tidak tenang, Allah berfirman yang artinya: "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rizkinya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (QS 16:112).


5. Tilawah, Tasmi' dan tadabbur Al-Qur'an
 Al-Qur'an adalah kitab yang berisi sebaik-baik perkataan, diturunkan pada bulan suci Ramadhan yang penuh dengan keberkahan, karenanya orang yang membaca (tilawah), mendengar bacaan (tasmi') dan mengkaji (tadabbur) ayat-ayat suci Al-Qur'an niscaya menjadi tenang hatinya, manakala dia betul-betul beriman kepada Allah Swt, Allah berfirman yang artinya: "Allah telah menurunkan perkataan yang baik (yaitu) Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhanya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya". (QS 39:23).
 Oleh karena itu, sebagai mu'min, interaksi kita dengan al-Qur'an haruslah sebaik mungkin, baik dalam bentuk membaca, mendengar bacaan, mengkaji dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Manakala interaksi kita terhadap Al-Qur'an sudah baik, maka mendengar bacaan Al-Qur'an saja sudah membuat keimanan kita bertambah kuat yang berarti lebih dari sekedar ketenangan jiwa, Allah berfirman yang artinya:
 "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal". (QS 8:2).
 Dengan berbekal jiwa yang tenang itulah, seorang muslim akan mampu menjalani kehidupannya secara baik, sebab baik dan tidak sesuatu seringkali berpangkal dari persoalan mental atau jiwa. Karena itu, Allah Swt memanggil orang yang jiwanya tenang untuk masuk ke dalam syurga-Nya, Allah berfirman yang artinya:
 "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku". (QS 89:27-30).
 Akhirnya, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memantapkan ketenangan dalam jiwa kita masing-masing sehingga kehidupan ini dapat kita jalani dengan sebaik-baiknya.

By : Gugun Putra Samiaji

http://www.facebook.com/notes/renungan-dakwah-islam/cara-menggapai-ketenangan-jiwa/124303827620523