Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Selasa, 07 Desember 2010

Di Jalan Dakwah Aku Menikah

Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ============================ Afwan saudaraku, judul tersebut memang meminjam judul sebuah buku karya Cahyadi Takariawan. Tapi itu hanyalah sebuah judul. Adapun tulisan ini adalah hasil renungan dari kajian perjalanan saya beberap hari ke kota Ganesha, Bandung. Dan tulisan ini tidak bermaksud sok menggurui atau ujub dan riya', hanyalah sekedar berbagi pengalaman yg barangkali bisa diambil hikmah dan RENUNGAN buat saudaraku semua. Saudaraku dan saudariku fillah..muslim mana sih yang tidak ingin mempunyai pendamping yang sholih atau sholihah?? jika memperoleh pendamping yang sholih atau sholihah laksana sudah ada jaminan awal akan keluarga bahagia (walaupun terkadang materi kurang). Bukankah kebahagiaan bukan ditakar dengan ukuran materi?? Kebahagiaan adalah bahasa bathin, bukan bahasa lisan. Sehingga kemarin saya teringat akan pertanyaan seorang suami kepada istrinya ( sahabat saya ): “Dik selama ini apakah engkau bahagia menikah denganku?” tanya suaminya. “InsyaAllah mas, saya bahagia sekali..” jawab sahabat saya tersebut. “Kalau memang engkau bahagia dengan kondisi sekarang yang masih kekurangan materi, untuk apa kita mengejar materi yang berlimpah ruah jika sekedar hanya untuk mengenyangkan perut, dan besokpun akan lapar lagi ? Jika selama ini kita makan dengan sayur bening dan lauk tempe saja sudah bahagia, untuk apa kita menghabiskan semua harta untuk makan dengan menu yang lebih mahal ? Jika selama ini kita hanya punya sepeda motor saja sudah cukup dan bahagia, mengapa harus memburu mobil mewah? sehingga kita menghabiskan waktu kita untuk mengejar dunia. Materi hanyalah sebagai alat adan media kita buat menghadapi hidup yg kekal kelak.. Masya Allah, sungguh saya salut dengan jawaban suami sahabat saya tersebut. Jika ada harapan memperoleh pendamping yang sholih / sholihah maka jalan untuk mencapainya yang pertama kali adalah berusaha menjadi pribadi yang sholih atau sholihah dulu. Baru pada tahapan selanjutnya proses “pencarian” yang juga tidak melangggar syari’at. Ketika jalan “pencarian” sudah sesuai dengan syari’at, azzam tertanam sejak awal bahwa “dijalan dakwah aku menikah” sehingga akan bersama-sama menjadi teman berbagi mengenyam pahit getirnya dakwah dan kehidupan sehari-hari. Tetapi langkah mirisnya hati ini, melihat beberapa ikhwan (semoga kita terhindar darinya, amien), sebelum nikah ikut aktif di berbagai lembaga dakwah, dengan jam terbang yang lumayan, menjadi aktor di balik acara-acara islami, ikut memikirkan nasib ikhwan-ikhwan yang pembinaannya masih terseok-seok, bahkan menjelang pernikahannya pun juga masih sibuk mengusuri sebuah acara besar. Tapi setelah menikah sedikit demi sedikit mulai berubah, (semoga saja berubahnya jadi tambah baik). Terkadang dengan segudang alasan yang (maaf.. dengan sedikti su’udzan, terasa di buat-buat), sering tidak hadir di halaqoh, dengan alasan sering nganter istri pulang kampung, jarang ikut syuro’ dengan alasan (maaf lagi) habis waktunya untuk ngurusi “anaknya orang”… (sekali lagi maaf dengan sangat) Bahkan sebuah perbincangan singkatku dengan seorang ikhwan, yang mulai disibukkan dengan “ngurusi” istrinya. Bukan lagi menjadi aktor di balik acara-acara islami sebagaimana yang dahulu. Bahkan ketika di minta bantuan untuk mengurus lembaga dakwah karena kader yang mulai menipis, dan amanah sang ketua semakin menumpuk, tapi dengan santainya dia menjawab “Bukankah sudah ada si Fulan yang ngurusi?” Yaaa Allah.,Ampuni kami yaa Allah….Beginikah sikap seorang pejuang dakwah?? Sehingga tak jarang saya temui beberapa ustadz yang “menunda” keinginan ikhwan yang masih sangat “belia” untuk segera menikah. Bukan bermaksud menunda kebaikan, tetapi dengan pertimbangan sebuah “ketakutan” jika kelak jadi menikah lantas meninggalkan aktivitas dakwahnya (padahal secara “bergerak” masih sangat butuh bimbingan). Memang, banyak urusan baru yang harus di emban oleh seorang ketika memutuskan untuk menikah. Banyak amanah baru yang harus segera diselesaikan, dan rasanya tidak baik pula ketika kita hanya menghakimi orang lain tanpa melihat realitas dia yang sesungguhnya. Memang ketika kita memposisikan diri sebagai “pewaris para nabi dan Rasul ( pada generasi ke sekian ), maka pastilah ada konsekuensi dari posisi tersebut. Konsekuensi untuk meluangkan waktu untuk ummat. Kita tidak hanya menjadi milik suami atau istri seorang, tetapi milik Ummat. Jika gara-gara menikah lantas mulai meninggalkan hampir sebagian besar aktivitas dakwahnya maka marilah koreksi bagi kita bersama. Istilah “dijalan dakwah aku menikah” memang benar!! ketika menikah masih di jalan dakwah, tetapi belum tentu “di jalan dakwah aku berkeluarga” setelah menikah mulai menjauh dari jalan dakwah. “di jalan lain aku berkeluarga”. Astaghfirullah. Mungkin tidak sedikit akan kita temui kasus yang seperti ini,dan tak menutup kemungkinan bagi yang belum berumah tangga, suatu saat ketika sudah berumah tangga akan terjangkiti “virus” ini. Hanya do’a pada Allah saja semoga di langgengkan di jalan dakwah. bukan hanya ketika menikah tetapi setiap saat sampai ajal menjemput. Yaa Muqollibal Qulub Tsabbit Qolbi ‘ala diinika. Afwan jiddan,,jika ada yg tidak berkenan dengan tulisan ini. Note ini hanya sebuah refleksi dari pengembaraan beberapa hari, dan terbentuklah dalam sebuah tulisan pendek ini. Semoga bermanfaat.. Barakallahufik Wassalam 


http://www.facebook.com/notes/renungan-dan-motivasi-ifta-istiany-notes/renungan-di-jalan-dakwah-aku-menikah/169042353124420