Mengenai Saya
Laman
Rabu, 12 Januari 2011
“ MELINTASI BATAS “
Senja merah
Saksi bisu gemuruh di dada
Begitu kuat mengguncang
Mengiring
Langkah… menuju Satu
arena.
Meski tak kupaham apa
maknanya
Egoku ini tetap berjalan
Kadang… sejenak langkah
terhenti
Sekedar mencari-cari
pembenaran diri Tapi…
ketika ada yang berteriak
lantang ini toleransi
Langkah pun terayun lagi
Bersama gumpalan ragu yang
menggelayuti
Perlahan… senjapun merayap
pergi
Kutatap langit malam
Terlihat bulan tertawa lepas
Sepertinya mengejekku
tentang kadar keimanan
Binatang kecilpun menjerit
keras
Agar lembar Wala’ (Loyalitas) Bara’ (Pelepasan Diri) aku
buka… duh!
Seketika langkahku terhenti
dan bergumam lirih
“ Ya Alloh, ampuni hamba “
Yang sering terbelenggu
pandang dunia
Hamba mengerti…
Ketegaran hati tentukan jalan
setelah mati
Menuju samudra nikmat tak
bertepi
Ataukah kubangan api yang
abadi
Teguhkan nyali… ya Alloh
Kuatkan tulang belulang kaki
Hingga mampu melintasi
Sunnah Nabi yang Engkau
Ridhoi
Luruskanlah pandang mata ini
Agar nanti tak kujumpai, siksa
yang teramat pedih
Bimbinglah kami
Berjalan sampai ke tepi
Ya… tepi samudra-MU
Hamba percaya pintu ampunan
lebar terbuka
Bagi yang bertaubat
Dan kuat menggenggam
Syari’at
http://www.facebook.com/notes/melati/-melintasi-batas-/174504479254602
“ Engkaulah Cahaya Syurgaku “
Ada senandung cinta ketika aku dalam buaianmu
Ada damai di hati ketika aku dalam dekapanmu
Sungguh, engkaulah melodi hidupku,
Lembut suaramu membuat aku selalu merindukanmu
Setiap kata terurai bagaikan syair penyejuk kalbu
Setiap tetesan air susumu adalah hidupku
Setiap tetesan darahmu adalah semangat jiwaku
Setiap tetesan keringatmu adalah masa depanku
Ibu…
Ketika pagi menyongsong siang
Engkau bekerja membanting tulang
Tak peduli panas menggarang demi anak/ananda tersayang
Ketika petang menjelang
Engkau panjatkan do’a yang tak terbilang
Mengiringi hidupku hari ini dan mendatang
Sungguh, engkaulah lambing ketegaran hidup
Kokoh jiwaku karena cintamu
Damai hidupku karena kasih sayangmu
Ibu…
Apa yang dapat kubagi untukmu?
Aku tak punya apa-apa ibu
Kecuali cinta, cinta, cinta
Dan cintaku hanya padamu
Ibu…
Sungguh,
Engkaulah pahlawanku
Engkaulah ‘Cahaya Syurgaku’
http://www.facebook.com/notes/melati/puisisyair-tema-engkaulah-cahaya-syurgaku-/174502355921481
BELAJAR dari BURUNG dan CACING
Bismillaahirrahmanirrakhiim.....
Sahabatku,
marilah kita meluangkan waktu untuk bertafakur sejenak. Karena Rasulullah saw.
Telah bersabda, “Bertafakur sejenak lebih baik daripada ibadah satu tahun.”
Marilah
kita kaji pelajaran yang di berikan oleh burung dan cacing.
Seorang
ulama besar mengatakan, bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena
himpitan kebutuhan materi, maka cobalah kita ingat pada burung dan cacing.
Burung
setiap pagi keluar dari sarangnya untuk mencari makan tanpa mengetahui di mana
harus mendapatkannya. Karena itu, kadangkala sore hari ia pulang dalam keadaan
perut kenyang, kadangkala ia pulang dengan membawa oleh-oleh makanan untuk
keluarganya; tetapi sering juga ia pulang ke sarangnya dengan perut yang masih
keroncongan.
Meskipun
burung tampaknya lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya
‘kantor’ yang tetap (apalagi setelah lahannya berubah menjadi real estate),
namun yang jelas kita tidak pernah melihat ada burung yang berusaha bunuh diri.
Kita tidak
pernah melihat burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu
cadas; atau kita pun tidak pernah melihat ada burung yang sekonyong-konyong
meluncurkan dirinya kedalam sungai! Nampaknya burung menyadari benar bahwa
demikianlah hidup, suatu waktu berada di atas, lain waktu terhempas ke bawah.
Suatu waktu kekenyangan, lain waktu kelaparan
Sahabatku
yang berbahagia, sekarang marilah kita lihat binatang yang lebih lemah dari
burung, yaitu cacing. Cacing seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak
untuk mencari makanannya. Cacing tidak mempunyai tangan, kaki, tanduk atau
bahkan mungkin ia tidak mempunyai mata dan telinga. Tetapi cacing serupa dengan
makhluk Tuhan yang lainnya, yaitu ia mempunyai perut yang bila tanpa di isi ia
akan mati.
Kalau kita
bandingkan dengan manusia, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari
nafkah jauh lebih canggih daripada yang dimiliki cacing. Tetapi mengapa manusia
yang diciptakan oleh ALLAH paling sempurna dibandingkan dengan
makhluk-makhluk~Nya yang lain itu, banyak yang kalah hanya dengan seekor
cacing. Manusia banyak yang bunuh diri akibat merasa kesulitan dalam mencari
nafkah hidupnya, sementara kita tidak pernah melihat ada cacing yang
membentur-benturkan kepalanya ke batu!
Allah
telah berfirman dalam A-Qur’an:
- Apabila telah di tunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu dan carilah karunia Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung ( Al-Jumu’ah:10 )
- Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya…( Ath-Thalaq:3 )
Demikianlah
note ini disampaikan, mudah-mudahan diwaktu kita terhimpit dalam kesusahan
untuk mencari kebutuhan materi, kita tidak kalah dengan burung, apalagi oleh
cacing !!!!! ^_^
Al-Qur’an, Ilmu, Dan Filsafat Manusia
Bismillaahirrahmanirrakhiim....
Al-Quran Al-Karim dalam kaitannya
dengan perkembangan ilmu dan filsafat manusia, dapat disimpulkan mengandung
tiga hal pokok:
Pertama, tujuan.
- Akidah atau kepercayaan, yang mencakup kepercayaan kepada (a) Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya; (b) Wahyu, dan segala kaitannya dengan, antara lain, Kitab-kitab Suci, Malaikat, dan para Nabi; serta (c) Hari Kemudian bersama dengan balasan dan ganjaran Tuhan.
- Budi pekerti, yang bertujuan mewujudkan keserasian hidup bermasyarakat, dalam bentuk antara lain gotong-royong, amanat, kebenaran, kasih sayang, tanggung jawab, dan lain-lain.
- Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesamanya, dirinya, dan alam sekitarnya.
Kedua, cara.
Ketiga hal tersebut di atas
diusahakan pencapaiannya oleh Al-Quran melalui empat cara:
- Menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, bintang-bintang, udara, darat, lautan dan sebagainya, agar manusia --melalui perhatiannya tersebut-- mendapat manfaat berganda: (a) menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan; dan (b) memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup.
- Menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah untuk memetik pelajaran dari pengalaman masa lalu.
- Membangkitkan rasa yang terpendam dalam jiwa, yang dapat mendorong manusia untuk mempertanyakan dari mana ia datang, bagaimana unsur-unsur dirinya, apa arti hidupnya dan ke mana akhir hayatnya (yang jawaban-jawabannya diberikan oleh Al-Quran).
- Janji dan ancaman baik di dunia (yakni kepuasan batin dan kebahagiaan hidup bahkan kekuasaan bagi yang taat, dan sebaliknya bagi yang durhaka) maupun di akhirat dengan surga atau neraka.
Ketiga, pembuktian.
Untuk membuktikan apa yang
disampaikan oleh Al-Quran seperti yang disebut di atas, maka di celah-celah redaksi
mengenai butir-butir tersebut, ditemukan mukjizat Al-Quran seperti yang pada
garis besarnya dapat terlihat dalam tiga hal pokok:
- Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab.
- Ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
- Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Melihat kandungan Al-Quran seperti
yang dikemukakan secara selayang pandang tersebut, tidak diragukan lagi bahwa
Al-Quran berbicara tentang ilmu pengetahuan. Kitab Suci itu juga berbicara
tentang filsafat dalam segala bidang pembahasan, dengan memberikan
jawaban-jawaban yang konkret menyangkut hal-hal yang dibicarakan itu, sesuai
dengan fungsinya: memberi petunjuk bagi umat manusia (QS 2:2) dan memberi
jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang mereka perselisihkan (QS 2:213).
Al-Quran di Tengah Perkembangan Ilmu
Sebelum berbicara tentang masalah
tersebut, terlebih dahulu perlu diperjelas pengertian ilmu yang dimaksud dalam
tulisan ini.
Al-Quran menggunakan kata 'ilm
dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain sebagai
"proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan" (QS 2:31-32).
Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada pembicaraan tentang
sumber-sumber ilmu di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya.
Sementara ini, ahli keislaman
berpendapat bahwa ilmu menurut Al-Quran mencakup segala macam pengetahuan
yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan;
fisika atau metafisika.
Berbeda dengan klasifikasi ilmu yang
digunakan oleh para filosof --Muslim atau non-Muslim-- pada masa-masa silam,
atau klasifikasi yang belakangan ini dikenal seperti, antara lain, ilmu-ilmu
sosial, maka pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional
Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua
katagori:
- Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya.
- Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas dan pengalihan antarbudaya selama tidak bertentangan dengan Syari'ah sebagai sumber nilai.
Dewasa ini diakui oleh ahli-ahli
sejarah dan ahli-ahli filsafat sains bahwa sejumlah gejala yang dipilih untuk
dikaji oleh komunitas ilmuwan sebenarnya ditentukan oleh pandangan terhadap
realitas atau kebenaran yang telah diterima oleh komunitas tersebut. Dalam hal ini, satu-satunya yang menjadi tumpuan perhatian
sains mutakhir adalah alam materi.
Di sinilah terletak salah satu
perbedaan antara ajaran Al-Quran dengan sains tersebut. Al-Quran menyatakan
bahwa objek ilmu meliputi batas-batas alam materi (physical world),
karena itu dapat dipahami mengapa Al-Quran di samping menganjurkan untuk mengadakan
observasi dan eksperimen (QS 29:20), juga menganjurkan untuk menggunakan
akal dan intuisi (antara lain, QS 16:78).
Hal ini terbukti karena, menurut
Al-Quran, ada realitas lain yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera,
sehingga terhadapnya tidak dapat dilakukan observasi atau eksperimen seperti
yang ditegaskan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan apa-apa yang dapat
kamu lihat dan apa-apa yang tidak dapat kamu lihat (QS 69:38-39). Dan,
Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari satu tempat
yang tidak dapat kamu melihat mereka (QS 7:27).
"Apa-apa" tersebut
sebenarnya ada dan merupakan satu realitas, tapi tidak ada dalam dunia empiris.
Ilmuwan tidak boleh mengatasnamakan ilmu untuk menolaknya, karena wilayah
mereka hanyalah wilayah empiris. Bahkan pada hakikatnya alangkah banyaknya
konsep abstrak yang mereka gunakan, yang justru tidak ada dalam dunia materi
seperti misalnya berat jenis benda, atau akar-akar dalam matematika, dan
alangkah banyak pula hal yang dapat terlihat potensinya namun tidak dapat dijangkau
hakikatnya seperti cahaya.
Hal ini membuktikan keterbatasan
ilmu manusia (QS 17:85). Kebanyakan manusia hanya mengetahui fenomena. Mereka
tidak mampu menjangkau nomena (QS 30:7). Dari sini dapat dimengerti adanya
pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Al-Quran dan yang --disadari atau
tidak-- telah diakui dan dipraktekkan oleh para ilmuwan, seperti yang
diungkapkan di atas.
Pengertian ilmu dalam tulisan ini
hanya akan terbatas pada pengertian sempit dan terbatas tersebut. Atau dengan
kata lain dalam pengertian science yang meliputi pengungkapan sunnatullah
tentang alam raya (hukum-hukum alam) dan perumusan hipotesis-hipotesis yang
memungkinkan seseorang dapat mempersaksi peristiwa-peristiwa alamiah dalam
kondisi tertentu.
Seperti telah dikemukakan dalam
pendahuluan ketika berbicara tentang kandungan Al-Quran, bahwa Kitab Suci ini
antara lain menganjurkan untuk mengamati alam raya, melakukan eksperimen dan
menggunakan akal untuk memahami fenomenanya, yang dalam hal ini ditemukan
persamaan dengan para ilmuwan, namun di lain segi terdapat pula perbedaan yang
sangat berarti antara pandangan atau penerapan keduanya.
Sejak semula Al-Quran menyatakan
bahwa di balik alam raya ini ada Tuhan yang wujud-Nya dirasakan di dalam
diri manusia (antara lain QS 2:164; 51:20-21), dan bahwa tanda-tanda
wujud-Nya itu akan diperlihatkan-Nya melalui pengamatan dan penelitian manusia,
sebagai bukti kebenaran Al-Quran (QS 41:53).
Dengan demikian, sebagaimana
Al-Quran merupakan wahyu-wahyu Tuhan untuk menjelaskan hakikat wujud ini dengan
mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (QS
51-56), maka alam raya ini --yang merupakan ciptaan-Nya-- harus berfungsi
sebagaimana fungsi Al-Quran dalam menjelaskan hakikat wujud ini dan
mengaitkannya dengan tujuan yang sama. Dan dengan demikian, ilmu dalam
pengertian yang sempit ini sekalipun, harus berarti: "Pengenalan dan
pengakuan atas tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan sehingga membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan akan
'tempat' Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperluan."
Dalam definisi ini kita lihat bahwa
konsep tentang "tempat yang tepat" berhubungan dengan dua wilayah
penerapan. Di satu pihak, ia mengacu kepada wilayah ontologis yang mencakup
manusia dan benda-benda empiris, dan di pihak lain kepada wilayah teologis yang
mencakup aspek-aspek keagamaan dan etis.
Hal ini dapat dibuktikan dengan
memperhatikan bagaimana Al-Quran selalu mengaitkan perintah-perintahnya yang
berhubungan dengan alam raya dengan perintah pengenalan dan pengakuan atas
kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Bahkan, ilmu --dalam pengertiannya
yang umum sekalipun-- oleh wahyu pertama Al-Quran (iqra'), telah
dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini berarti bahwa "ilmu
tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional atau nasional, dengan
mengurbankan kepentingan-kepentingan lainnya". Ilmu pada saat
--dikaitkan dengan bismi rabbika-- kata Prof. Dr. 'Abdul Halim
Mahmud, Syaikh Jami' Al-Azhar, menjadi "demi karena (Tuhan)
Pemeliharamu, sehingga harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga
masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa
kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa."
Ayat-ayat Al-Quran seperti antara
lain dikutip di atas, disamping menggambarkan bahwa alam raya dan seluruh
isinya adalah intelligible (dapat dijangkau oleh akal dan daya manusia),
juga menggarisbawahi bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini telah
dimudahkan untuk dimanfaatkan manusia (QS 43:13). Dan dengan demikian,
ayat-ayat sebelumnya dan ayat ini memberikan tekanan yang sama pada sasaran
ganda: tafakkur yang menghasilkan sains, dan tashkhir
yang menghasilkan teknologi guna kemudahan dan kemanfaatan manusia. Dan dengan
demikian pula, kita dapat menyatakan tanpa ragu bahwa "Al-Quran"
membenarkan --bahkan mewajibkan-- usaha-usaha pengembangan ilmu dan teknologi,
selama ia membawa manfaat untuk manusia serta memberikan kemudahan bagi mereka.
Tuhan, sebagaimana diungkapkan
Al-Quran, "menginginkan kemudahan untuk kamu dan tidak menginginkan
kesukaran" (QS 2:85). Dan Tuhan "tidak ingin menjadikan
sedikit kesulitan pun untuk kamu" (QS 5:6). Ini berarti bahwa
segala produk perkembangan ilmu diakui dan dibenarkan oleh Al-Quran selama
dampak negatif darinya dapat dihindari.
Saat ini, secara umum dapat
dibuktikan bahwa ilmu tidak mampu menciptakan kebahagiaan manusia. Ia
hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu dimensi,
sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala sesuatu, namun sering
bertindak tidak bijaksana, bagaikan seorang pemabuk yang memegang sebilah
pedang, atau seorang pencuri yang memperoleh secercah cahaya di tengah
gelapnya malam.
Bersyukur kita bahwa akhir-akhir ini
telah terdengar suara-suara yang menggambarkan kesadaran tentang keharusan
mengaitkan sains dengan nilai-nilai moral keagamaan.
Beberapa tahun lalu di Italia
diadakan suatu permusyawaratan ilmiah tentang "cultural relations for
the future" (hubungan kebudayaan di kemudian hari) dan ditemukan dalam
laporannya tentang "reconstituting the human community" yang
kesimpulannya, antara lain, sebagai berikut: "Untuk menetralkan pengaruh
teknologi yang menghilangkan kepribadian, kita harus menggali nilai-nilai
keagamaan dan spiritual."
Apa yang diungkapkan ini sebelumnya
telah diungkapkan oleh filosof Muhammad Iqbal, yang ketika itu menyadari dampak
negatif perkembangan ilmu dan teknologi. Beliau menulis: "Kemanusiaan saat
ini membutuhkan tiga hal, yaitu penafsiran spiritual atas alam raya, emansipasi
spiritual atas individu, dan satu himpunan asas yang dianut secara universal
yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual."
Apa yang diungkapkan itu adalah
sebagian dari ajaran Al-Quran menyangkut kehidupan manusia di alam raya ini,
termasuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Segi lain yang tidak kurang
pentingnya untuk dibahas dalam masalah Al-Quran dan ilmu pengetahuan adalah
kandungan ayat-ayatnya di tengah-tengah perkembangan ilmu.
Seperti yang dikemukakan di atas
bahwa salah satu pembuktian tentang kebenaran Al-Quran adalah ilmu pengetahuan
dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Memang terbukti, bahwa sekian banyak
ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang hakikat-hakikat ilmiah yang tidak
dikenal pada masa turunnya, namun terbukti kebenarannya di tengah-tengah
perkembangan ilmu, seperti:
- Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47).
- Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya matahari (QS 10:5).
- Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisan-lapisan yang berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan awan (QS 27:88).
- Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis sehingga menghasilkan energi (QS 36:80). Bahkan, istilah Al-Quran, al-syajar al-akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil (hijau daun), karena zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
- Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan 7; 96:2).
Demikian seterusnya, sehingga amat
tepatlah kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Maurice Bucaille dalam
bukunya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern, bahwa tidak satu ayat pun
dalam Al-Quran yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari sini ungkapan "agama
dimulai dari sikap percaya dan iman", oleh Al-Quran, tidak diterima secara
penuh. Bukan saja karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan pula
hanya disebabkan karena ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat
diyakini kecuali dengan pembuktian logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan
seseorang yang berdasarkan "taqlid" tidak luput dari
kekurangan, tapi juga karena Al-Quran memberi kesempatan kepada siapa
saja secara sendirian atau bersama-sama dan kapan saja, untuk membuktikan
kekeliruan Al-Quran dengan menandinginya walaupun hanya semisal satu surah
sekalipun (QS 2:23).
Al-Quran di Tengah Perkembangan
Filsafat
Apakah filsafat itu, dan bagaimana
perkembangannya? Adalah satu pertanyaan yang memerlukan jawaban singkat sebelum
permasalahan yang diketengahkan ini diuraikan.
Bertrand Russel menjelaskan bahwa
filsafat merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu
pengetahuan melalui pengujian kritis terhadap dasar-dasar keputusan,
prasangka-prasangka dan kepercayaan. Hal ini disebabkan karena pemikiran
filsafat bersifat mengakar (radikal) yang mencoba memberikan jawaban menyeluruh
dari A-Z, mencari yang sedalam-dalamnya sehingga melintasi dimensi fisik dan
teknik.
Objek penelitiannya ialah segala
yang ada dan yang mungkin ada, baik "ada yang umum" (ontologi 'ilm
al-kainat) maupun "ada yang khusus atau mutlak" (Tuhan). Atau,
dengan kata lain, objek penelitian filsafat mencakup pembahasan-pembahasan
logika, estetika, etika, politik dan metafisika.
Melihat demikian luasnya pembahasan
filsafat tersebut, maka pembahasan kita kali ini dibatasi pada bagian "ada
yang umum". Itu pun hanya dalam masalah yang menjadi pusat perhatian
pemikir dewasa ini dan yang merupakan penentu jalannya sejarah kemanusiaan,
yakni "manusia". Karena, memang, dewasa ini orang tidak banyak
lagi berbicara tentang bukti wujud Tuhan atau kebenaran wahyu, tidak pula
menyangkut pertentangan agama dengan aliran-aliran materialisme, tapi topik
pembicaraan adalah "manusia" karena pandangan tentang hakikat
manusia akan memberikan arah dari seluruh sikap dan memberikan penafsiran
terhadap semua gejala.
Dalam abad pertengahan, manusia
dipandang sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang melebihi
makhluk-makhluk lainnya, pandangan yang sejalan dengan keyakinan agama serta
menganggap bahwa bumi tempat manusia hidup merupakan pusat dari alam semesta.
Tapi pandangan ini digoyahkan oleh Galileo yang membuktikan bahwa bumi tempat
tinggal manusia, tidak merupakan pusat alam raya. Ia hanya bagian kecil dari
planet-planet yang mengitari matahari. Pandangan yang didukung oleh penelitian
ilmiah ini, bertentangan dengan penafsiran Kitab Suci (Kristen) dan membuka satu
lembaran baru dalam sejarah manusia Barat yang menimbulkan krisis keimanan dan
krisis lainnya.
Disusul kemudian dengan teori
evolusi yang dikemukakan oleh Darwin. Segi-segi negatif dari teori ini bukannya
hanya diakibatkan oleh teori tersebut, tapi lebih banyak lagi diakibatkan oleh kesan-kesan
yang ditimbulkannya dalam pikiran masyarakat serta para ahli pada masanya dan
masa sesudahnya. Dari Darwin perjalanan dilanjutkan oleh Sigmund Freud yang
mengadakan pengamatan terhadap sekelompok orang-orang sakit (abnormal)
dan yang pada akhimya berkesimpulan, bahwa manusia pada hakikatnya adalah
"makhluk bumi" yang segala aktivitasnya bertumpu dan terdorong oleh
libido, sedangkan agama -menurutnya-- berpangkal dari Oedipus complex
dan, dengan demikian, Tuhan tidak lain kecuali ilusi belaka.
Kemajuan yang dicapai Eropa di
bidang industri dan ilmu pengetahuan sejak masa renaissance,
mengantarkan masyarakat untuk lebih jauh menolak kekuasaan agama secara total
yang mengakibatkan pula kekaguman yang berlebihan kepada otoritas sains yang
terlepas dari nilai-nilai spiritual keagamaan, dan yang pada akhirnya mencapai
puncaknya pada peristiwa pemboman di Hiroshima dan Nagasaki pada waktu Perang
Dunia II. Setelah itu terjadi beberapa hal yang mendasar: agama, antara lain,
mulai disebut-sebut walaupun dengan suara yang sayup-sayup. Pretensi sains
dipermasalahkan.
Eksistensialisme mulai berbicara
lagi: "Sebenarnya tak ada arah yang harus dituju, pergilah ke mana engkau
sukai. Engkau mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala sesuatu. Mari kita
berpegang erat-eras pada kebebasan kita. Sosialisme telah merebut
segala-galanya dan menyerahkan kepada negara. Agama juga mengembalikan segala
sesuatu kepada Tuhan, sedangkan Tuhan di luar esensi manusia. Jadi agama
juga menghalangi kebebasan manusia. Agama menipu para pengecut sehingga ia
--demi mengalihkan manusia dari eksistensinya-- menciptakan surga yang kekal di
langit, dan --untuk memberikan rasa takut-- neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu." Demikian antara lain pandangan Sartre, salah
satu tokoh aliran ini.
Sebelum kita sampai pada pandangan
Al-Quran, ada baiknya kita mengutip pendapat Alexis Carrel, seorang ahli bedah
dan fisika, kelahiran Prancis yang mendapat hadiah Nobel. Beliau menulis dalam
buku kenamaannya, Man the Unknown, antara lain: "Pengetahuan
manusia tentang makhluk hidup dan manusia khususnya belum lagi mencapai
kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
lainnya. Manusia adalah makhluk yang kompleks, sehingga tidaklah
mudah untuk mendapatkan satu gambaran untuknya, tidak ada satu cara untuk
memahami makhluk ini dalam keadaan secara utuh, maupun dalam
bagian-bagiannya, tidak juga dalam memahami hubungannya dengan alam
sekitarnya."
Selanjutnya, ia mengatakan:
"Kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para ahli yang
mempelajari manusia hingga kini masih tetap tanpa jawaban, karena terdapat
daerah-daerah yang tidak terbatas dalam diri (batin) kita yang tidak
diketahui".
Keterbatasan pengetahuan,
menurutnya, disebabkan karena keterlambatan pembahasan tentang manusia,
sifat akal manusia dan kompleksnya hakikat manusia. Kedua faktor
terakhir adalah faktor permanen, sehingga tidaklah berlebihan menurutnya
"jika kita mengambil kesimpulan bahwa setiap orang dari kita terdiri dari
iring-iringan bayangan yang berjalan di tengah-tengah hakikat yang tidak
diketahui."
Dari segi pandangan seorang
beragama, kiranya dapat dikatakan bahwa untuk mengetahui hal tersebut
dibutuhkan pengetahuan dari pencipta Yang Maha Mengetahui melalui
wahyu-wahyu-Nya, karena memang manusia adalah satu-satunya makhluk yang
diciptakan atas peta gambaran Tuhan dan yang dihembuskan kepadanya Ruh
ciptaanNya.
Nah, apa yang dikatakan Al-Quran
tentang manusia? Tidak sedikit ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia;
bahkan manusia adalah makhluk pertama yang telah disebut dua kali dalam
rangkaian Wahyu Pertama (QS 96:1-5).
Manusia sering mendapat pujian
Tuhan. Dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, ia mempunyai kapasitas yang
paling tinggi (QS 11:3), mempunyai kecenderungan untuk dekat kepada
Tuhan melalui kesadarannya tentang kehadiran Tuhan yang terdapat jauh di bawah
alam sadarnya (QS 30:43). Ia diberi kebebasan dan kemerdekaan serta
kepercayaan penuh untuk memilih jalannya masing-masing (QS 33:72; 76:2-3). Ia
diberi kesabaran moral untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sesuai
dengan nurani mereka atas bimbingan wahyu (QS 91:7-8). Ia adalah makhluk
yang dimuliakan Tuhan dan diberi kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk lainnya
(QS 17:70) serta ia pula yang telah diciptakan Tuhan dalam bentuk yang
sebaik-baiknya (QS 95:4).
Namun di lain segi, manusia ini juga
yang mendapat cercaan Tuhan. Ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS
14:34), dan sangat banyak membantah (QS 22:67). Ini bukan berarti bahwa
ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu sama lain, tetapi hal tersebut menunjukkan
potensi manusiawi untuk menempati tempat terpuji, atau meluncur ke tempat yang
rendah sehingga tercela.
Al-Quran menjelaskan bahwa manusia
diciptakan dari tanah, kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan
menghembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya (QS 38:71-72). Dengan "tanah"
manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga
ia butuh makan, minum, hubungan seks, dan sebagainya, dan dengan
"Ruh" ia diantar ke arah tujuan non-materi yang tak berbobot dan tak
bersubstansi dan yang tak dapat diukur di laboratorium atau bahkan dikenal oleh
alam material.
Dimensi spiritual inilah yang
mengantar mereka untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan,
pemujaan, dan sebagainya. Ia mengantarkan mereka kepada suatu realitas yang
Maha Sempurna, tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa Akhir: wa anna ila
rabbika Al-Muntaha -- dan sesungguhnya kepada Tuhan-Mu-lah
berakhirnya segala sesuatu (QS 53:42). Hai manusia, sesungguhnya
engkau telah bekerja dengan penuh kesungguhan menuju Tuhanmu dan pasti akan
kamu menemui-Nya" (QS 84:6).
Dengan berpegang kepada pandangan
ini, manusia akan berada dalam satu alam yang hidup, bermakna, serta tak terbatas,
yang dimensinya melebar keluar melampaui dimensi "tanah", dimensi
material itu.
Al-Quran tidak memandang manusia
sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipta dari kumpulan
atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu
tugas, Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi
(QS 2:30). Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk
mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (QS 13:11),
serta ditundukkan dan dimudahkan
kepadanya alam raya untuk dikelola dan dimanfaatkan (QS 45:12-13). Antara lain, ditetapkan arah yang
harus ia tuju (QS 51:56) serta dianugerahkan kepadanya petunjuk
untuk menjadi pelita dalam perjalanan itu (QS 2:38).
Penutup
Demikian filsafat materialisme
dengan aneka ragam panoramanya berbicara tentang manusia. Dan demikian pula
Al-Quran. Keduanya telah menjelaskan pandangannya. Keduanya telah mengajak
manusia untuk menemukan dirinya, tapi yang pertama berusaha untuk menyeretnya
ke debu tanah dari Ruh Tuhan, sedangkan Al-Quran mengajaknya untuk meningkat
dari debu tanah menuju Tuhan Yang Mahaesa.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa
menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin,
3/101)
Hal ini sangat menyelisihi sabda
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Menikahlah kalian,
sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah
kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits
ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
PERINGATAN ULAMA SALAF TERHADAP
KITAB IHYA` ‘ULUMUDDIN [3]
Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh
berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menulis dengan metode
filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan
permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat.
Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu
filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai
bagian dari zindiq’."
Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali
mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat,
dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.” [4]
Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata:
“Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang
besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya
untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau
mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam
berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh
Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib
–berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi
karyanya.”
Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini
penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
Ahmad bin Shalih Al-Jaili:
“(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang
tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara
sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia
nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia
juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan
para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang
manfaat dan yang berbahaya.”
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu
Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak
kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah
Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah
sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan
khayalan.”
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala
selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.
[1]
Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu
Wata’ala yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
[2] Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak
lagi terpisah antara dia dengan Allah.
[3] Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya`
‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
[4] Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah
Rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali,
ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada
tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Sholallahu
‘Alaihi Wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan
Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya
yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa
perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.”
(‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)
Langganan:
Postingan (Atom)