Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Sabtu, 12 Maret 2011

Wanita: Antara Pembela dan Pencela (1)


Bismillaahirrahmanirrakhiim.....

Sepuluh Kaidah Penting Menjaga dan Membela Kehormatan Wanita
Ada beberapa kaidah penting dalam rangka menjaga dan membela kehormatan wanita, antara lain:
Kaidah Pertama: Perbedaan Antara Laki-Laki dan Perempuan
a. Wajib bagi setiap muslim untuk meyakini adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena Allah sendiri yang telah menciptakan manusia telah membedakannya, Allah berfirman:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنْثَى
 “Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran: 36)
Secara tegas ayat di atas menafikan adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Dan Allah menjadikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena adanya hikmah yang sangat agung. Dengan perbedaan inilah Allah menggantungkan taklif kepada masing-masing dari kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan kekhususan yang ada pada diri mereka masing-masing. Di bawah ini ada beberapa contoh perbedaan dalam hukum syar’i antara laki-laki dan perempuan:
1. Laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga, dialah yang diberi kewajiban untuk mencari nafkah, membimbing anggota keluarga dengan segala kebaikan, menjaga mereka dari segala kejahatan dan sebagainya, Allah berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisaa: 34)
2. Tugas kenabian dan risalah hanya dibebankan kepada kaum laki-laki tidak kepada perempuan, firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ مِنْ أَهْلِ القُرَى
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS. Yusuf: 109)
3. Tanggung jawab umum hanya dibebankan kepada kaum lelaki seperti, kepemimpinan, pengadilan dan kehakiman, wali nikah dan tugas-tugas lain yang menyangkut kepentingan umum.
4. Banyak sekali kewajiban-kewajiban syar’i yang hanya dibebankan kepada kaum laki-laki seperti; jihad, menghadiri shalat jama’ah di masjid, shalat Jum’at, azan, iqomat, hak cerai, penisbatan anak juga kepada bapaknya dan lain-lain.
5. Pada sebagian hukum laki-laki memiliki hak dua kali lipat melebihi wanita, seperti dalam hak waris, memberikan persaksian, diyat, aqiqah dan lainnya.
b. Setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan, mereka dilarang mendambakan apa yang menjadi kekhususan dari yang lainnya. Seorang laki-laki tidak boleh memimpikan sesuatu yang menjadi kekhususan perempuan begitu juga sebaliknya. Karena ini berarti tidak rela dengan takdir yang digariskan oleh Allah kepada mereka, Allah berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
 “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa: 32)
c. Jika Allah melarang hanya sekedar mendambakan apa yang dimiliki oleh jenis lain dari laki-laki dan perempuan apalagi bagi mereka yang secara terang-terangan menolak adanya perbedaan antara kedua jenis ini bahkan mendakwahkan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu gerakan yang ingin menyamakan antara kaum laki-laki dan perempuan sangat bertentangan dengan syar’i, akal sehat dan juga fitrah manusia itu sendiri. Di samping juga merupakan bentuk kezaliman terhadap wanita itu sendiri, karena secara sadar ataupun tidak telah memberikan beban dan tanggung jawab kepada kaum wanita yang tidak sesuai dengan fitrahnya dan jauh di atas kemampuan yang diberikan Allah kepadanya. Padahal Allah sendiri Dzat Yang Maha Adil tidaklah membebani seseorang melainkan menurut kemampuan mereka.
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Kaidah Kedua: Kewajiban Berhijab Dengan Maknanya yang Umum
Hijab secara umum berarti: menutup aurat. Dan ini berlaku secara umum baik laki-laki ataupun perempuan, besar maupun kecil. Oleh karena itu seorang laki-laki dilarang menampakkan auratnya di hadapan laki-laki lain, seorang wanita juga tidak boleh menampakkan auratnya di hadapan wanita lain lebih-lebih lagi antara lawan jenis kecuali antara suami istri. Ada beberapa ajaran Islam yang menegaskan akan pentingnya hal ini dalam rangka menjaga kesucian manusia, antara lain:
* Islam melarang anak-anak untuk tidur bersama di satu tempat tidur, karena dikhawatirkan terjadi sentuhan dan gesekan yang akan menimbulkan syahwat atau sebagian mereka saling melihat aurat sebagian yang lain.
* Seorang laki-laki dilarang shalat dengan baju yang tidak ada lengannya.
* Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk telanjang bulat baik dalam ibadah seperti thawaf dan shalat (meskipun dilakukan pada waktu malam hari dan tidak ada orang lain yang melihat) maupun di luar ibadah.
* Islam melarang laki-laki menyerupai perempuan dan perempuan menyerupai laki-laki.
* Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berdua-duaan tanpa adanya mahram.
* Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk sama-sama menundukkan pandangan, dll.
Ini semua diajarkan Islam dalam rangka menyucikan jiwa setiap muslim dan muslimah dari hal-hal yang tidak terpuji dan mendidik mereka untuk selalu memiliki sifat malu, dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ »
Dari Imran ibnu Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sifat malu tidaklah mendatangkan kecuali sesuatu yang baik.” (HR. Al-Bukhari no. 5652 Muslim no. 53)
Kaidah Ketiga: Kewajiban Berhijab Dengan Maknanya yang Khusus
Diwajibkan kepada semua wanita muslimah untuk berhijab dengan hijab yang syar’i yang menutupi semua anggota badannya -termasuk di dalamnya wajah dan kedua telapak tangan- dan menutupi semua perhiasan yang dia pakai dari pandangan laki-laki lain. Kewajiban ini berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, berupa:
* Dalil dari al-Qur’an.
* Dalil dari as-Sunnah.
* Ijma’ amaliy dari wanita muslimah yang selalu memakai hijab sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai runtuhnya daulah islamiyah dan terpecah menjadi Negara-negara kecil di pertengahan abad ke-14 H.
* Dalil dari atsar yang shahih.
* Qiyas yang shahih.
* Kaidah “Mengambil manfaat dan mencegah kerusakan”
1. Dalil dari Al-Qur’an
Di antara ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban hijab adalah:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا * وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الجَاهِلِيَّةِ الأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ البَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 32-33)
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الحَقِّ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللهِ عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ * وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا المُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 30-31)
وَالقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)
Berdasarkan dalil-dalil di atas dalam berhijab wanita muslimah hendaknya:
* Tetap tinggal di rumah, karena dengan hal tersebut seorang wanita akan terhindar dari pandangan kaum laki-laki dan terhindar dari ikhtilath (bercampur) dengan mereka.
* Memakai pakaian yang syar’i yang menutup anggota tubuhnya -termasuk di dalamnya wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki- dan menutupi perhiasan yang dipakai.
* Tidak melembutkan ucapan di hadapan laki-laki lain.
* Tidak bertabarruj.
* Jika ada laki-laki lain yang memiliki keperluan hendaknya mereka memintanya dari balik hijab.
* Menundukkan pandangan dari laki-laki lain.
* Tidak menampakkan perhiasan di hadapan laki-laki lain atau mengundang hasrat mereka dengan memukulkan kaki ke tanah agar terdengar perhiasan yang dipakainya.
2. Dalil Dari Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Dahulu orang-orang yang berkendaraan sering melewati kami di saat kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berihram. Jika mereka mendekati kami, maka salah seorang di antara kamipun langsung menurunkan jilbabnya dari kepalanya untuk menutup wajahnya dan jika mereka telah berlalu kamipun membukanya kembali.” (HR. Abu Daud no. 1562dan imam Ahmad no. 22894)
عن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنهما قالت: كنا نغطي وجوهنا من الرجال، وكنا نمتشط قبل ذلك
Dari Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Kami menutup wajah-wajah kami dari pandangan kaum lelaki dan kami menyisir rambut sebelum (melakukan ihram).” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2485 dan Al-hakim dan beliau berkata: Hadits ini shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim dan disepakati imam Adz-Dzahabi)
 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: يَرْحَمُ اللَّهُ نِسَاءَ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلَ لَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ شَقَّقْنَ مُرُوطَهُنَّ فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Semoga Allah memberikan rahmat kepada wanita-wanita dari kaum muhajirin generasi pertama, ketika Allah menurunkan ayat: “dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” maka mereka langsung menyobek baju mantel mereka dan menggunakannya sebagai kain penutup badan mereka.” (HR Al-Bukhari no. 4387)
عن عَائِشَةَ قَالَتْ: لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْفَجْرَ فَيَشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ مُتَلَفِّعَاتٍ فِي مُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَرْجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Dahulu wanita-wanita muslimah ikut menghadiri shalat Subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tertutup oleh baju kurung mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah mereka dan tidak ada seorangpun yang mengetahui mereka.” (Muttafaq ‘alaih)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
Dari Abdullah (ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar setan akan selalu mengintainya. Dan keadaan dia yang paling dekat dengan rahmat Tuhannya adalah dengan tinggal di rumahnya.” (HR. At-Turmudzi no. 5093 dan dia berkata: Hadits ini hasan gharib)
-bersambung insya Allah-

http://www.facebook.com/notes/melati/wanita-antara-pembela-dan-pencela-1/186324924739224

Kisah Inspiratif bag:4 {Ketika Cinta- NYA,Tiada tertandingi}


Dialog Zanimra dan Raja
Abdullah dibangunkan oleh sebuah ketukan dipintu kamarnya, seorang pelayan masuk dengan seragam yang rapi dan sisiran rambut yang licin. Pelayan itu menyampaikan undangan Raja untuk sarapan di ruang makan pribadinya.
“Hmm, hanya aku sendiri?” Lalu Abdullah bergegas mempersiapkan dirinya. Dalam perjalanan menemui Raja, Abdullah menyempatkan diri untuk menengok keadaan Zanimra, tapi Abdullah tak menemukan Zanimra dikamarnya.
Raja menyambut Abdullah dengan secangkir teh sajian pagi yang masih hangat.
“Assalammualaikum Baginda.”
“Walaikum salam Abdullah, duduklah dan temani aku.”
“Terima kasih Baginda.” Setelah duduk, Abdullah dan Raja menyantap hidangannya. Setelah selesai Raja memulai pembicaraan tentang Zanimra.
“Baiklah Abdullah, aku telah lama mengenalmu, kau seperti ayahku sendiri. Kau laki-laki yang jujur dan adil. Ceritakan padaku tentang Zanimra dan apa pendapatmu.”
“Terima kasih atas kepercayaan Baginda. Bulan amatlah cantik dan bercahaya, semua orang yang memandangnya akan mengagumi dan memuji. Sedangkan matahari, tak satupun yang memandangnya atau memuji keindahannya, tapi cahaya bulan masihlah kalah dari cahaya matahari.” Raja tertegun mendengar perumpaan yang diajukan Abdullah.
“Jadi, Zanimra tak secantik Aelia, tapi cahayanya jauh lebih terang. Ceritakan padaku, apa yang membuatmu memiliki penilaian demikian.”
Abdullah lalu menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya sepanjang perjalanan menuju istana. Ketika Abdullah selesai dengan penuturannya Raja berdiri dari duduknya dan berjalan mondar-mandir dengan gusar. Abdullah memahami reaksi rajanya. Kemudia Raja kembali duduk dan memandang tajam Abdullah.
“Apakah kebenaran yang kau katakan tadi hai Abdullah?”
“Demi Allah, begitulah adanya Baginda.”
“Masyaallah, tak mungkin usia gadis itu sama seperti Aelia!”
“Memang usia Zanimra tiga tahun lebih tua.”
“Tidak Abdullah, Zanimra seharusnya jauh lebih tua, bahkan mungkin lebih tua dari usiamu!” Abdullah tersenyum geli, ada rasa bersalah dalam hatinya karena Raja tampak gusar menyadari kelebihan Zanimra. Seperti dugaannya, Raja dengan mudah dapat menangkap kelebihan yang dimiliki Zanimra, cahaya yang tidak dimiliki Putri Aelia itulah yang membuat Ali merasa yakin akan keputusannya.
“Baiklah, dimanakah dia sekarang?”
“Maaf Baginda, pagi ini saya belum sempat menemui Zanimra.”
“Hem, perintahkan dia untuk bergabung bersamaku setelah makan siang untuk berkeliling kota.”
“Titah Baginda akan saya laksanakan.”
“Sekarang kau boleh pergi, terima kasih Abdullah, Assalammualaikum.”
“Terima kasih kembali, walaikum salam.” Abdullah bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Baginda mengerutkan dahinya, dia merasa takjub dengan penuturan Abdullah. Untuk seorang gadis seusia Zanimra jalan pikirannya sangatlah unik dan tak biasa. Yang paling membuat Raja heran adalah kepercayaan diri dan ketenangan Zanimra.
Tepat setelah makan siang Abdullah dan Zanimra menghadap Raja. Disana Raja dan Putri Aelia telah menunggu.
“ Assalammualaikum Zanimra, selamat datang di kerajaan kami.” Sambut Raja dengan ramah.
“Walaikum salam, saya sangat berterima kasih dan merasa terhormat atas undangan Baginda.” Sahut Zanimra dengan senyum. Dari cara bicara Zanimra, Raja dapat menangkap ketenangan dan kepercayaan diri yang amat kuat.
“Bagaimana menurutmu tentang kerajaanku Zanimra?”
“Subhanallah. Seperti yang telah tersohor, kerajaan Baginda adalah kerajaan yang makmur dan kaya.”
“Dan bagaimana menurutmu istanaku?”
“Subhanallah, Allah menurunkan keindahan yang mengagumkan diistana ini.”
“Apa yang menurutmu paling indah di istana ini?”
“Sejauh yang dapat saya temui sepanjang hari ini, Putri Aelia adalah keindahan utama dunia yang Allah turunkan di istana ini.” Raja dan Putri Aelia terkejut mendengar jawaban yang tak terduga dari Zanimra.
“Mengapa demikian?”
“Karena belum pernah saya temui suatu keindahan dari ciptaan Allah yang lebih indah dari Putri Aelia.” Jawab Zanimra kembali dengan jujur tanpa ada kesan nada menjilat.
“Ah, jujurkah kau atau sekedar memujiku Zanimra?” Sahut Putri dengan senyum yang semakin membuatnya menyilaukan.
“Demi Allah, sesungguhnya saya memuji Allah atas kebesaran-Nya yang nampak padamu Putri. Maha Suci Allah yang MenciptakanMu.” Putri merasa malu mendengar jawaban Zanimra.
“Apa yang akan kau lakukan jika kau memiliki kecantikan seperti yang dimiliki adikku Zanimra?” Tanya Raja kemudian.
“Saya akan sangat takut.” Raja dan Putri kembali dibuat terkejut dengan pernyataan Zanimra.
“Sungguh kau gadis yang aneh, dari seluruh gadis dimuka bumi mengharapkan kecantikan seperti Aelia, tapi kau malah sebaliknya. Katakan padaku alasanmu.” Pinta Raja kemudian.
“Saya takutkan, karena dengan kecantikan itu akan bertambah beban saya dalam perjuangan melawan tipu daya setan dan nafsu saya sendiri. Dengan kecantikan yang demikian, akan sulit bagi saya menghindar dari berbagai pujian. Dan sesungguhnya pujian adalah sangat jahat bagi jiwa, karena ia sungguh memabukkan dan dapat mengikis iman. Dari pujian pulalah tumbuh rasa kesombongan, dan sesungguhnya ‘kesombongan’ adalah sebab terkutuknya iblis hingga akhir jaman. Sungguh saya takutkan hal itu terlebih lagi segala pujian itu Hanya Milik Allah.”
Mendengar jawaban Zanimra, Raja tersenyum getir, ujarnya kemudian,
“Demi Allah, Hai Abdullah, sungguh aku melihat apa yang kau lihat dari gadis ini.” Putri memandang Zanimra dengan rasa semakin enggan.
“Baiklah Zanimra, kurasa Abdullah telah menyampaikan undanganku kepadamu untuk menemaniku berkeliling kota kerajaan.”
“Betul Baginda, terima kasih atas undangannya, saya merasa sangat terhormat.”
“Baiklah, mari kita berangkat sekarang.”
Akhirnya Raja beranjak dari singgasananya diikuti Abdullah, Zanimra dan beberapa petinggi kerajaan, sedangkan Putri tinggal di istana.
Selama perjalanan Raja terus memperhatikan tingkah laku Zanimra, seperti yang dikatakan Abdullah, Zanimra lebih banyak diam sepanjang perjalanan dan mimik wajahnya selalu berubah-ubah seperti layaknya seseorang yang sedang menikmati drama panggung. Raja seperti melihat dirinya sendiri pada Zanimra. Sama halnya dengan dirinya, bagi Zanimra setiap kejadian kecilpun yang dia temui dimanapun dirasakan sangat menarik baginya. Dari kejadian-kejadian kecil itu dapat diambil banyak pelajaran dan hikmah kehidupan. Hal inilah yang pertama kali diajarkan ayahnya pada Raja sebagai dasar kepemimpinan seorang Raja. Pada sore hari rombongan Raja kembali ke istana kecuali Abdullah, dia harus tinggal di kota untuk menyelesaikan beberapa urusan hingga malam. Setibanya di istana, dengan rasa penasaran Raja akhirnya bertanya pada Zanimra.
“Zanimra, selama perjalanan aku memperhatikanmu. Kulihat pikiranmu selalu sibuk dengan perubahan demi perubahan yang kulihat dari mimik wajahmu dan gerakan bibirmu yang terus menerus. Maukah kau ceritakan padaku mengapa kau demikian?”
“Pikiran saya terus sibuk karena mata saya tak henti-hentinya menangkap hal-hal yang menarik terjadi sepanjang perjalanan ini. Bibir saya selalu bergerak karena timbul oleh rasa tasbih kesyukuran atau istighfar ketakutan dari segala sesuatu yang saya lihat.”
“Sesungguhnya aku mengerti apa maksudmu karena Zanimra, yang sebenarnya ingin kuketahui, siapakah yang mengajarkanmu untuk berbuat demikian?”
“Saya mendapatkan hikmah tersebut dari Allah melalui kitab-Nya Al-Qur’an Baginda.”
“Sungguh Al-Qur’an telah mengajarkanmu suatu kebijakan.”
“Tidakkah Al Qur’an mengajarkan hal yang sama pada Baginda?” Baginda tertegun, dia menyadari bahwa sesungguhnya Raja jarang benar-benar membaca Al Qur’an. Kesibukannya dalam menjalani kerajaan membuatnya hampir tidak sempat untuk membaca kitabullah itu. Semua ilmu yang dia dapat dalam kepemimpinan dan kerajaan dia pelajari dari ayahnya dan petinggi negara serta pengalaman hidupnya.
“Sungguh aku malu padamu Zanimra, tapi ketahuilah kesibukanku sebagai raja seringkali menahanku darinya.”
“Masyaallah, sungguh dalam Al-Qur’an terdapat obat bagi semua penyakit dan petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
Q.S Al An’Aam : 155. Dan Al Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan ini, penuh keberkatan, hebat kegunaannya. Karen itu ikutilah petunjuk Tuhan di dalamnya, dan bertaqwalah menjauhi larangan-Nya, semoga kamu diberi rahmat.”
“Tapi Zanimra, Al-Qur’an adalah sebuah kitab agama, apa yang bisa kutemui didalamnya tentang cara menjalankan suatu pemerintahan bernegara?”
“Sungguh Nabi Muhammad adalah pemimpin yang menyatukan seluruh tanah Arab dalam waktu yang sangat singkat dan Beliau adalah jendral perang yang luar biasa, pembimbing Beliau tidak lain dan tidak bukan adalah Al-Qur’an. Qur’an bukanlah kitab yang mengatur hablum minallah (hubungan antara Tuhan dan manusia) saja, tapi juga mengatur hablum minan-naas (hubungan antar sesama manusia).”
“Zanimra, seperti yang kau lihat, walau bagaimanapun aku berhasil membawa kerajaan ini dalam kemakmuran. Apakah menurutmu yang kuperbuat belum cukup?”
“Saya akui kerajaan ini sangat makmur dengan kekayaan yang berlimpah, tapi apakah ini saja yang Baginda kejar?” Tanya Zanimra dengan sangat hati-hati. Baginda mengernyitkan alisnya,
“Apa maksudmu kemakmuran ini tidak cukup bagi rakyatku? Kerajaanku walau kecil adalah kerajaan kaya dan rakyatku hidup dalam kemakmuran.”
“Benar sekali, saya akui demikian adanya. Tapi seberapa kekalkah kehidupan dunia ini Baginda? Apakah terlupa dari ingatan, bahwa tujuan akhir manusia adalah negeri Akhirat? Manakah yang lebih baik, kehidupan dunia atau akhirat?” Baginda terhenyak dengan pertanyaan Zanimra. Zanimrapun melanjutkan,
“Kekayaan dan kemakmuran yang ada pada dunia ini pada saatnya akan ditinggalkan, lalu kepada siapakah kita akan dikembalikan? Sungguh apa yang Baginda raih saat ini hanyalah keberhasilan dunia yang bersifat sementara. Apakah hanya sampai sini akhir perjalanan Baginda?”
“Zanimra!” kecam Raja tiba-tiba. Dia terkejut dengan keberanian Zanimra dalam mengajukan pernyataan yang mempertanyakan kebijaksanaannya dalam menjalankan roda pemerintahan.
“Maafkan saya jika saya menyinggung perasaan Baginda, saya hanya berbicara sebagai seorang hamba Allah. Kerajaan ini adalah kerajaan mayoritas perpenduduk Islam, tapi sangat disayangkan jika roda pemerintahan jauh dari Islam itu sendiri. Saya sungguh sedih, saya datang dari kerajaan Hindu, kebebasan kami dalam menjalankan ibadah beragama sangat terbatas, tapi alhamdulillah, kebanyakan muslim yang berada dinegeri saya jauh lebih mencerminkan ke-Islamannya daripada dikerajaan ini.”
“Zanimra, sungguh berani kau menyampaikan kritik tajam padaku. Tidak adakah sedikit rasa takutpun padamu terhadap Raja seperti aku ini?”
“Demi Allah saya menghormati Baginda sebagai seorang pemimpin, tapi hanya pada Allah sajalah seluruh makhluk itu harus takut, karena Allah adalah Raja dari segala raja.
Qur’an Surat Al Mu’minuun:116. Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (Yang mempunyai) `Arsy yang mulia.”
Kembali Raja tergagap, tak terbayang olehnya ada seorang gadis biasa yang begitu berani pada seorang Raja seperti dirinya.
“Dan bolehkah saya bertanya pada Baginda, takutkah Baginda kepada Allah?”
“Tentu saja aku takut!”
“Sesungguhnya seorang pemimpin seperti Baginda akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah di hari Perhitungan nanti. Apakah dalih Baginda jika Allah bertanya pada Baginda dengan apakah dan bagaimanakah Baginda memimpin rakyat? Mengapa rakyat yang Baginda pimpin jauh dari jalan Allah sedangkan mereka beragama Islam?” Mendengar pertanyaan Zanimra tubuh Raja bergetar hebat.
“Lihatlah disekeliling Baginda, para wanita dari rakyat baginda berjalan dengan setengah telanjang di hampir seluruh penjuru kota. Padahal kita tahu perintah dari Allah, dalam Surat An-Nuur:31
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. “
Para laki-laki memakai jubah sutra hingga menyapu tanah. Sungguh seperti inikah ajaran Islam? Memakai perhiasan emas hampir diseluruh bagian tubuh yang nampak,
Diriwayatkan daripada al-Bara’ bin Azib r.a katanya: Rasulullah s.a.w memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara … Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum dengan bekas minuman dari perak, hamparan sutera, pakaian buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan pakaian sutera, sutera tebal dan sutera halus” (Hadis sahih Bukhari-Muslim)
Tidakkah Baginda sadari, keadaan rakyat dan keluarga Baginda sangat sedikit sekali yang patuh pada perintah Allah dalam Al Qur’an maupun dalam hadis Rasulullah yang telah saya sebutkan. Astaghfirullah…Kebanyakan orang yang saya temui selama saya berada disini melanggarnya.”
Bibir Raja terkatup rapat. Bagai dihantam badai yang amat keras, saat itu jiwa baginda terombang-ambing amat keras. Pikirannya bergelut amat hebat, kata-kata Zanimra bagaikan sebuat hantaman dasyat yang membuatnya terbangun dari mimpi. Keterkejutannya membuat raja tak mampu menerima bahwa yang dikatakan Zanimra adalah benar,
“Sungguh kau gadis yang sangat berani Zanimra, tak tahukah kau berada dikerajaanku?”
“Saya lebih takut kepada Allah jika saya berdiam diri melihat seorang yang saya kagumi terbelenggu dalam keadaan lupa wahai Baginda.”
“Aku selalu meminta Abdullah pergi setiap kali dia mulai berbicara tentang hal ini, mengapa kau pikir aku mau mendengarkanmu?” Zanimra tersenyum sedih.
“Yang manakah teman yang baik bagi Baginda? Seorang teman yang mengingatkan Baginda atau seorang teman yang tak ambil perduli akan keselamatan Baginda dari kecelakaan yang sesungguhnya dan kekal?” Baginda terhenyak mendengar pertanyaan Zanimra tanpa bisa manjawab.
“Apa kau pikir aku ini sungguh celaka dan bukan Raja yang bijak.”
“Baginda adalah raja yang bijak, hanya saja baginda lupa… bahwa baginda adalah juga seorang hamba Allah dan Baginda pemimpin dari berjuta hamba Allah yang lainnya, renungkanlah peringatan penuh kasih dari Allah dalam Al-Qur’an;
Surat Yunus: (7) Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, (8) mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.
Surat Ali Imran:185. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
“Baginda yang bijak, Anda lupa, bahwa akhirat adalah tujuan sesungguhnya dari manusia, dan sebagai Raja, kepemimpinan Baginda akan dimintai pertanggung jawabannya. Saya sekedar mengingatkan, berhati-hatilah menanti datangnya panggilan Allah di hari kiamat nanti;
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Allah s.w.t menggenggam bumi pada Hari Kiamat dan melipat langit dengan tangan kananNya kemudian berfirman: Akulah Raja! Di manakah raja-raja bumi?” (Sahih Bukhari-Muslim)
Surat An Nahl 93. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”
Raja menjadi amat gusar, sebagian hatinya mengakui kebenaran kalimat Zanimra, tapi sebagian hatinya merasa tersinggung.
“Hentikan pembicaraan ini Zanimra, ijinkanlah aku berpikir. Sejujurnya perkataanmu seperti menamparku dengan sangat keras. Berilah aku ruang untuk bernafas. Pergilah sekarang, hadirlah pada jamuan malam kerajaan nanti.”
“Terima kasih Baginda, maafkan saya telah merepotkan, insyaallah saya akan hadir dijamuan kerajaan malam nanti. Assalammualaikum.” Zanimra akhirnya meninggalkan Raja.
“Ah Abdullah, bukan saja gadis itu memporak-porandakan jiwa adikku, sekarang dia juga memporak-porandakan jiwaku!” gumamnya dengan galau pada diri sendiri. Selama hidupnya Raja berpikir bahwa dirinya telah menjadi Raja yang baik, karena keberhasilannya dalam membawa rakyatnya dalam kemakmuran duniawi. Urusan kenegaraan dan agama baginya adalah hal yang berbeda. Dia tidak pernah berpikir sebagaimana yang dituturkan Zanimra, baginya akhirat masihlah sekedar dongeng sebelum tidur yang tidak pernah dipikirkannya secara serius. Lisannya selalu berkata dia muslim dan takut kepada Allah, tapi kenyataannya dia sangat jauh dari Islam, sangat jauh dari Al Qur’an dan alpa akan keberadaan Allah.
Hatinya terpukau penuk kekeruhan, dia tak menyangka seorang gadis biasa dapat berkata dengan lantang tentang kesalahannya. Sunnguh gadis itu tak takut pada dirinya, tapi dia takut pada Tuhan-Nya.
Raja menggapai sebuah Al-Qur’an yang berdebu disudut meja kerjanya, dibukanya secara acak, matanya tertumbuk pada sebuah surat yang berbunyi,
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S Al An-‘Aam:32)
Tiba-tiba dadanya menjadi berat, hatinya berkecamuk antara pengakuan diri dengan kesombongannya sebagai Raja, ia masih tidak rela menerima bahwa gadis biasa yang lebih muda itu benar perkataannya. Akhirnya Raja menenggelamkan diri pada badai dihatinya yang tiba-tiba berkecamuk.
Selendang Kebesaran Raja
Makan malampun tiba, semua tamu undangan dan petinggi negara telah hadir dan duduk dimejanya masing-masing. Mereka serentak berdiri menghormati kehadiran Raja, Permaisuri dan Putri Aelia. Setelah ketiga orang utama tersebut duduk, yang lainnyapun kembali duduk. Raja menyapu ruangan dengan seksama, dia terhenyak ketika mendapati sebuah kursi masih kosong.
“Siapakah yang belum hadir disini?” Tanya Raja lantang. Para tamu dan petinggi kerajaan saling berbisik dan melihat ke kanan kiri mereka. Lalu Putri Aleia berbisik pada Raja,
“Zanimra yang belum hadir.” Raja sangat gusar dibuatnya.
“Pelayan, cepat cari gadis itu dan bawa dia kemari!” Titah Raja kemudian, dia merasa terhina dengan kejadian itu.
Tak lama kemudian Zanimra muncul dengan langkah yang cepat. Serta merta seluruh pandangan tertuju tajam padanya. Zanimra berhenti disebelah kursinya, lalu dengan sangat tenang dia berkata,
“Beribu maaf atas keterlambatan saya Baginda.”
“Apa alasan dari keterlambatanmu ini Zanimra?”
“Sekali lagi saya minta maaf, sewaktu saya sedang bersiap untuk hadir disini, saya mendengar adzan tanda waktu shalat tiba, maka dari itu saya shalat terlebih dahulu.”
“Tidak tahukah bahwa dirimu telah menghinaku, dengan menghinaku kau juga menghina seluruh kerajaan ini?”
“Sungguh bukan maksud saya berbuat demikian.”
“Zanimra, bukankah kau tahu bahwa shalat terakhir (Isha) sangat panjang waktunya? Mengapa tidak kau tangguhkan dulu, tidakkah kau menghormati undanganku ini?”
“Demi Allah, bukan maksud saya menghina Paduka, tapi…”
“Zanimra? Ketahuialah, terlambat dari undangan makan seorang Raja berarti telah mengina Raja dan seluruh rakyatnya!”
“Astaghfirullah, sekali lagi saya minta maaf dan Demi Allah saya tidak bermaksud menghina siapapun. Jika Baginda masih murka juga, maafkan jika saya bertanya, Masya Allah, apakah Baginda menganggap diri Baginda lebih tinggi dari pada Allah?”
Serta merta seluruh ruangan riuh rendah mendengar pertanyaan Zanimra yang sangat berani. Tak urung Raja membelalakkan matanya, begitupun Putri Aleia dan Permaisuri.
“Zanimra! Apa maksud dari perkataanmu itu?!!” Tanya Raja dengan nada meninggi. Zanimra memandang tepat kearah Raja lalu berkata dengan merendahkan suaranya tanpa rasa takut.
“Maaf Baginda, saya mendengar dua panggilan secara bersamaan, yang satu datang dari seorang pemimpin yang saya hormati, dan yang satu lagi datang dari Tuhan yang saya takuti. Jika saya memilih untuk memenuhi panggilan dari Baginda, maka sama saja saya meletakkan keberadaan Baginda diatas Allah.”
“Astagfirullah!!!” Teriak Raja kemudian. Tubuhnya menggigil karena rasa terkejut yang hebat. Serta merta keadaan menjadi riuh rendah, para petinggi kerajaan sangat terkejut dengan keberanian tamu undangan Raja tersebut.
“Berani sekali kau terhadap Raja!” Teriak beberapa orang petinggi kemudian dengan geram. Suasanapun menjadi riuh rendah dengan ucapan keheranan.
Ditengah suasana yang kritis itu masuklah Abdullah bersamaan dengan Ali. Mereka tertegun melihat keadaan ruangan yang sedemikian rupa, terlebih lagi ketika melihat sosok Zanimra yang masih berdiri dan Raja yang juga berdiri dengan tatapan tajam kearah Zanimra.
“Kau benar-benar tidak menghormati Raja! Bersyukurlah jika Raja tidak menghukummu!” Teriak seorang petinggi lagi. Abdullah dan Ali yang mendengar teriakan itu menjadi panik.
“Diamlah kalian!” Teriak Raja kemudian menggelegar keseluruh ruangan, serta merta seluruh ruangan menjadi sunyi. Raja menatap Zanimra dalam-dalam, tak ada rasa takut atau gusar sedikitpun terpancar dimata Zanimra.
“Baiklah Zanimra.” Lanjut Raja kemudian,
“Sekarang apa usulmu? Apakah sebaiknya sekarang sebaiknya kami semua meninggalkan meja makan ini dan shalat terlebih dahulu?”
“Tidak, Baginda.” Keadaan menjadi riuh rendah kembali mendengar jawaban ‘tidak’ dari Zanimra.
“Bukankah kita harus mendahulukan shalat diatas apapun?”
“Sungguh Baginda, Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Allah juga Maha Bijaksana.
“Diriwayatkan daripada Ibnu Umar r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila makanan dihidangkan kepada kamu sedangkan sembahyang hendak didirikan, maka hendaklah kamu makan terlebih dahulu. Janganlah kamu terburu-buru hinggalah kamu selesai makan.” (Sahih Bukhari-Muslim)
Saya melaksanakan shalat terlebih dahulu karena saya jauh dari meja ini sehingga saya belum melihat hidangan ini tersaji. Sedangkan Baginda dan yang lain telah berada disini, maka sebaiknyalah Baginda makan terlebih dahulu.”
“Mengapa demikian? Apa alasannya?”
“KarenaAllah ingin hambanya menghadap dengan sepenuh hati tanpa memikirkan makanan yang telah terhidang dimeja atau merasakan perut yang terus menggoda.”
“Siapakah diantara kalian yang tahu akan hadis dan ketentuan ini?” tanya Baginda kemudian kepada semua yang hadir. Dari 70 orang yang ada hanya sembilan belas orang yang mengangkat tangannya termasuk Ali dan Abdullah. Pada saat itu kehadiran Abdullah dan Ali baru sisadari. Mata Putri Aelia langsung tertumbuk pada Ali, hatinya kecut ketika dilihatnya Ali tengah memandang Zanimra sambil tersenyum.
Raja masih tetap berdiri mematung, tiba-tiba air mata meleleh membasahi pipinya. Pemandangan itu sangat mengejutkan seluruh penghuni ruangan. Dia menyadari betapa dia telah membiarkan diri dan rakyatnya begitu jauh dari Islam, dari 70 orang petinggi yang hadir, tidak ada setengahnya yang mengetahui akan kesalahan mereka, dan meskipun mereka tahu, mereka tetap melanggarnya karena lebih takut kepada dirinya daripada kepada Allah.
“Hai Zanimra, sungguh apa yang kau katakan sore tadi dan malam ini adalah benar adanya. Demi Allah aku bertobat!” Katanya kemudian dengan gemetar.
“Makanlah kalian semua, setelah itu adakan shalat Isha berjama’ah.”
Akhirnya makan malam berlangsung dengan sangat sunyi karena Raja nampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya terus tertunduk lesu.
Setelah shalat Raja mengumpulkan semua orang di Balai Kerajaan lalu memperkenalkan Zanimra sebagai tamu undangannya.
“Wahai orang-orang kepercayaanku, sesungguhnya Zanimra ini adalah cahaya matahari yang singgah dikerajaan ini untuk membagikan cahayanya. Hormatilah dia sebagai tamu istimewa dan kasihilah dia sebagai salah satu anggota keluarga besar kerajaan ini.” Lalu baginda menyampirkan selendang kebesarannya pada Zanimra sebagai tanda penghormatan dan pengakuan Raja. Selendang kebesaran Raja adalah pengakuan kerajaan bagi Zanimra sebagai salah seorang anggota keluarga kerajaan. Melihat hal itu Abdullah dan Ali saling memandang, keduanya mengucap syukur dan pujian kepada Allah tak henti-henti. Dengan demikian Raja telah mengakui keberadaan Zanimra dan merestui hubungannya dengan Ali.
Dilain pihak Putri Aelia menggigil hebat menahan gejolak yang berkecamuk di dalam jiwanya. Raja menyadari hal itu, lalu dengan perlahan dia mengisyaratkan Permaisurinya untuk membawa Putri Aleia keruangan lain.
“Zanimra, selamat bergabung sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan, kedudukanmu di kerjaan ini adalah setaraf dengan bangsawan tertinggi.”
“Alhamdulillah, subhanallah…segala puji bagi Allah. Terima kasih yang tak terhingga kuucapkan kepadamu Baginda.”
“Ali, Abdullah dan Zanimra. Ikutlah denganku.” Lalu Raja meninggalkan singgasananya menuju ruangan tempat Putri Aelia dan Permaisurinya berada.
Disana Putri Aelia tengah menyembunyikan wajahnya dipelukan Permaisuri. Menyadari kedatangan Raja dia melepaskan diri dari pelukan Permaisuri dan berdiri dengan tegar, tampak sekali dari wajahnya, Putri Aelia berusaha sekuat tenaga membendung air matanya. Harga diri sebagai seorang Putri masih dia pertahankan hingga saat-saat terakhir. Tapi Raja sangat mengenal adiknya. Ia mendekati adiknya lalu membelai kepalanya dengan lembut.
“Adikku Aelia. Maafkan Aku.” Bisik Raja kemudian.
“Percayakah kau bahwa Aku akan menyakitimu?” tanyanya lagi pada adiknya yang dijawab gelengan lemah oleh Putri Aelia.
“Apakah menurutmu keputusanku ini keji dan tidak adil bagimu?” Lagi-lagi Putri Aelia menggeleng.
“Relakah kau menerima keputusanku?” Kali ini Putri mengangguk
“Aku tahu dari tatapan matamu bahwa sejak kedatanganmu bersama dengan Zanimra, kau telah mengakui kekalahanmu. Hanya saja kau tak mau menerimanya. Saat ini akupun tak berdaya untuk menolak kenyataan bahwa Zanimra dengan telak telah melumpuhkan aku didepan rakyatku sendiri. Aku harus mengakui bahwa Ali memiliki alasan yang kuat dan Zanimra telah membuktikan dirinya.”
“Sudahlah Kak, aku mengerti.” Kata Putri dengan lemah, lalu dia memandang nanar kearah Ali dan Zanimra.
“Kuucapkan selamat bagi kalian berdua. Maafkan aku yang selama ini menyusahkan kalian.” Kata putri dengan nada datar dan pandangan yang dingin. Dengan langkah pasti dia berbalik. Ali menundukkan kepalanya, Zanimra lalu membisikan sesuatu pada Ali.
“Ada sesuatu yang ingin kau katakan Zanimra?” Tanya Baginda ketika melihatnya.
“Maaf, Baginda. Jangan berburuk sangka dahulu. Jika diijinkan, saya ingin menyusul Putri Aelia untuk berbicara padanya.”
“Apakah kau pikir itu bijak? Sedangkan karenamulah dia hancur. “Apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan membuat adikku itu lebih hancur?”
“Tidak Baginda.”
“Lalu? Kau akan merelakan Ali padanya?”
“Tidak juga.”
“Mengapa? Karena kau takut kau yang akan hancur?”
“Bukan karena itu Baginda.”
“Jelaskan padaku.”
“Karena bukan saya ataupun Ali yang membuat Putri hancur, tapi rasa cintanya itulah yang membuat dia demikian. Meskipun Putri mendapatkan Ali, rasa cintanya tetap akan membakarnya dalam derita.”
“Apa dalihmu tentang itu?”
“Pernahkan Baginda mendengar pepatah atau syair-syair masyur tentang cinta?”
“Katakan padaku.”
“Cinta, tawanya sehari tangisnya seribu tahun.”
“Banyak manusia setuju bahwa cinta itu memang begitu adanya, Cinta butuh pengorbanan dan penuh penderitaan. Dan masih banyak pepatah lain yang melukiskan kepedihan cinta.”
“Ya, aku mengerti. Lalu?”
“Sesungguhnya anggapan kebanyakan manusia itulah yang telah menyesatkan arti dari cinta hakiki yang sesungguhnya. Cinta menjadi bumerang karena manusia sangat salah menilai tentang cinta. Cinta bagi kebanyakan manusia bukan lagi sekedar perasaan hati, tapi sudah menjadi tuhan yang menguasai tubuh dan jiwa, hidup dan mati mereka. Kecelakaan apakah yang lebih besar daripada menuhankan yang lain selain Allah?”
Raja untuk kesekian kalinya dibuat diam oleh Zanimra.
“Ijinkanlah Zanimra berbicara dengan Putri Aelia, Baginda.” Pinta Ali dan Abdullah hampir berbarengan. Akhirnya Rajapun menganggukan kepalanya dan Zanimrapun melangkah pergi
“Zanimra…” Panggilan raja yang tiba-tiba menghentikan langkah Zanimra.
”Terima Kasih.” Lanjut Raja. Zanimra menganggukan kepala lalu bergegas pergi.
Sebaiknya kita kembali ke Balai Kerajaan, tamu yang lain masih menunggu.” Ujar Raja sambil melangkah. Ali dan Abdullah mengikuti dibelakangnya.
Cinta Yang Hakiki
Dari salah seorang dayang Zanimra mengetahui bahwa Putri pergi ke danau dibelakang istana. Sesampai disana Zanimra menemukan Putri Aelia sedang duduk dengan menenggelamkan wajahnya dalam-dalam disela lututnya. Cahaya lentera membias redup disepanjang tepian danau, kunang-kunang terbang berkeliling dengan indahnya. Tapi keindahan itu tak dapat mengalahkan kecantikan putri yang tengah kalut hatinya.
“Assalammualaikum.” Salam Zanimra dengan hati-hati. Putri Aelia tersentak dan melihat kearah Zanimra dengan sangat tajam. Tampak pipinya yang putih mulus basah degan air mata.
“Apa tujuanmu kemari? Ingin melihatku menangis? Atau ingin mengejek kekalahanku?” Tanyanya ketus.
“Apakah seburuk itu tabiat saya dimata Putri?”
“Tidak perlu bersopan santun saat ini, aku sungguh muak.”
“Baiklah, maafkan aku.” Putri tidak menjawab, dia hanya membuang muka.
“Putri, aku tahu kau marah dan benci padaku. Maka dari itu aku datang kemari untuk kau caci dan kau maki agar lega hatimu.”
“Apa kau juga ingin aku membunuhmu?” sahut Putri Aelia semakin ketus.
“Apa kau ingin melakukannya?”
“Tidak, Aku lebih ingin membunuh diriku sendiri.”
“Astaghfirullah…” bisik Zanimra pelan mendengar keputus asa-an Putri.
“Putri, pukulah aku jika itu bisa meringankan bebanmu.”
“Zanimra! Mengapa kau seperti ini? Dari pertama kali aku bertemu denganmu sebenarnya aku telah menyadari aku telah kalah, semakin hari aku bersamamupun aku semakin tahu dirimu dan apa yang kuketahui malah membuatku kagum padamu!
Ya! Aku membencimu karena kau sungguh beruntung! Aku membencimu karena kau lebih dari aku!”
“Putri…aku mengerti akan perasaanmu…” Tiba-tiba Putri Aelia memotong perkataan Zanimra dengan nada yang amat tinggi.
“Jangan kau mengatakan padaku bahwa kau mengerti akan perasaanku! Tahu apa dirimu tentang hancurnya hatiku?”
“Sesungguhnya aku tidak selalu seperti sekarang ini. Hanya karena Kasih Allah-lah aku bisa kembali untuk menyembah Allah. Lembaran kehidupanku memiliki coretan-coretan hitamnya sendiri. Kehilangan demi kehilangan aku rasakan beberapa kali. Kehancuran dan kegelapan kuhadapi dengan amarah dan kebencian. Jadi, aku memang tahu akan apa yang kau rasakan karena aku pernah sepertimu sekarang ini.”
“Aku memang tak seberuntung dirimu! Bahagiakah kau sekarang karena membuatku begitu iri padamu?”
“Sesungguhnya Putri tidak perlu iri, tidakkah putri menyadari bahwa yang ada padaku sebenarnya dapat diraih oleh semua orang, sedangkan kelebihan yang ada pada dirimu hanya dirimulah yang dapat meraihnya?”
“Apa maksudmu?”
“Apa yang kumiliki dapat juga kau miliki, tapi kelebihan yang kau miliki tak akan pernah dapat aku raih selama hidupku didunia ini. Sesungguhnya kau tak perlu mengeluh karena Allah Maha Adil.”
“Benarkah Allah Maha Adil? Dimanakah keadilan yang kau lihat itu?”
“Putri, kau bisa menjadi aku yang sekarang ini. Merubah jalan pikiran, merubah tingkah laku dapat dilakukan semua orang jika mereka benar-benar berusaha. Tapi, apakah orang bisa merubah dirinya menjadi secantik dirimu?”
“Jika kecantikan yang kumiliki ini dapat kugadaikan demi mendapatkan Ali, maka aku akan senang melepaskannya!”
“Jikapun kau menggadaikan kecantikanmu dan mendapatkan Ali, kau tetap tak akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.”
“Bagaimana tidak? Jika hidupku adalah Ali?”
“Karena Ali yang akan kau dapatkan bukanlah Ali yang sekarang ini kau kenal.”
“Dengan kata lain kau berkata bahwa Ali tak akan pernah mencintaiku walaupun telah kugadai kecantikanku?”
“Putri, walaupun wajah dan tubuhku dapat menghibur hati Ali, tapi bukanlan wajah atau tubuhku yang membuat Ali mencintaiku.”
“Sungguh lidahmu licin seperti Ali, tutur katamupun tak ubahnya seperti tutur katanya. Berbaik hatilah padaku Zanimra, katakan kepadaku apa yang membuat Ali mencintaimu?”
“Yang membuat Ali mencintaiku adalah karena caraku mencintainya.”
“Bagaimana caramu mencintainya hai Zanimra?”
“Aku mencintainya karena Ali mencintai Allah.”
“Allah….Allah…selalu itu yang terucap dibibirmu dan Ali, sebegitu besarkah cinta kalian pada-Nya, bagaimana jika Allah memisahkan kalian berdua, apakah kau masih mencintai Allah?”
“Ya,”
“Mengapa?”
“Karena kami percaya apapun keputusan Allah adalah yang terbaik bagi hambanya.”
“Mengapa kau sepasrah itu?”
“Karena Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil dan Bijaksana.”
“Zanimra, jika kau mencintai Ali, tidakkah kau akan merasa sakit jika Allah mengambil Ali darimu?”
“Tentu.”
“Lalu kau masih berpikir Allah mencintaimu?”
“Ya.”
“Mengapa? Bukankah Allah telah membuat hatimu sakit?”
“Karena aku masih memiliki cinta kepada Allah. Dengan mengingat Allah maka jiwaku merasa tenang.”
“Sungguh kau dusta! Kau tak mengerti cinta! Kau tak mencintai Ali sebesar aku mencintainya! Dan mengapa Ali masih memilihmu?!” Teriak Putri Aelia dengan geram.
Zanimra tertegun sedih karena merasa kasihan pada Putri Aelia yang sedemikian marahnya sehingga buta akan kebenaran. Dengan lembut Zanimra menjawab.
“Tidakkah kau bisa mengambil kesimpulan wahai Putri yang cerdas, cinta yang terjalin diantara kami dikarenakan kecintaan kami kepada Allah. Cinta kami kepada Allah diatas cinta kami kepada apapun atau siapapun, bahkan diatas cinta kami berdua.” Zanimra menarik nafas lalu melanjutkan,
“Cinta dunia bukanlah yang kami kejar, kami merasa cukup dan tenang dengan keduniaan yang kami dapatkan, karena Allah telah menetapkan takarannya sedari mula kita diciptakan. Akan tetapi kami tak akan pernah merasa cukup dengan rasa rindu dan cinta kami kepada Allah dan hari kemudian. Kami berdua memiliki tujuan yang sama dalam hidup, untuk bersama berjuang dijalan Allah dan menjadi hambaNya.”
“Apapun yang aku lakukan didunia ini hanya karena Allah, aku mencintai Alipun juga karena Allah. Jika Allah mengambil Ali, maka aku percaya itu yang terbaik bagi diriku. Aku mencintai Allah bukan karena Ali, tapi aku mencintai Ali karena Allah.”
“Sungguh jika benar demikian, cintamu pada Ali palsu! Dan ketetapan Allah itu kejam dan keji!”
“Astaghfirullah………” Mata Zanimra berkaca mendengar kalimat Putri. Kesedihannya bertambah melihat syaitan semakin menguasai hati rapuh Putri Aelia.
“Sungguh Putri, Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
“Jika memang demikian. Mengapa Allah memberikan aku begitu banyak derita padahal aku selalu berbuat baik pada sesama.”
“Karena cinta yang kau kenal adalah salah.”
“Apa maksudmu?”
“Putriku yang bijak, kekalkah diri kita ini?”
“Tidak.”
“Kekallah kecantikanmu hingga akhir jaman?”
“Tidak.”
“Kekalkah Ali?”
“Tidak.”
“Tidakkah kau mengerti juga? Apapun yang kita dapati didunia ini tidaklah kekal dan memiliki akhir. Hanya Allah yang Maha Pengasihlah yang Kekal, maka dari itu Allah Maha Mengetahui dan Mengerti akan ciptaan-Nya. Masihkah kau tak mengerti?”
“Zanimra, jangan cemooh kecerdasanku. Aku telah merasakan bagaimana sakitnya kehilangan orang yang amat aku cintai berulang kali, ayahku, bundaku, dan kini Ali. Mengapa Allah mempertemukan aku dengan Ali jika aku tak bisa memilikinya. Tidak perdulika Allah jika hal itu akan menghancurkan jiwaku? Bagaimana aku bisa percaya Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Mengerti akan ciptaan-Nya jika kepedihan hatiku ini tak tertahankan dan terjadi berulang-ulang?”
“Sesungguhnya Engkau telah menjawab pertanyaanmu sendiri duhai Putri yang Cantik.” Putri Aelia terhenyak lalu menatap Zanimra dengan tajam.
“Apa maksudmu?”
“Putri, Kau merasakan pilu dan sakit yang sangat dalam karena kehilangan mereka yang kau cintai, sekarang aku bertanya padamu.” Zanimra merapatkan dirinya lalu memegang lembut wajah Putri Aelia dan berkata lirih penuh kesungguhan.
“Apakah Engkau akan merasakan sakit jika yang kau cintai itu KEKAL?”
“Tidak.”
“Adakah makhluk atau benda dibumi ini yang kekal?”
“Tidak…” Putri Aelia terperangah dengan jawabannya sendiri, kemarahan diwajahnya tiba-tiba pecah dan luruh. Mata yang semula penuh kebencian dan kekecewaan kini berkaca-kaca. Pertanyaan Zanimra seperti tamparan yang membuatnya tersadar dari mimpi buruk yang panjang.
“Dan siapakah yang kekal dan tak akan meninggalkanmu?”
Bibir Putri bergetar tak mampu menjawab pertanyaan Zanimra, dengan lembut Zanimra berbisik,
“Laa illaa haillallaah.” Lalu ia melanjutkan,
“Apakah kejam dan keji jika Allah memintamu untuk mencintai Dirinya Yang Maha KEKAL?”
“T…i…dak…” Jawab Putri Aelia semakin melambat, airmatanya yang menggenang dipipinya bergulir membasahi pipinya yang putih dengan derasnya. Zanimra semakin melembutkan suaranya melanjutkan pertanyaannya.
“Mengapa wahai Putri yang bijak?”
Tangis Putri pecah hingga tubuhnya bergetar hebat,
“Duhai Zanimra, karena Allah ingin Menjagaku dari rasa sakit yang amat sangat seperti yang telah dan tengah kurasakan ini.” Jawab Putri Aelia dengan terbata disela isak tangisnya.
“Alhamdulillah….subhanallah…tiada daya dan upaya tanpa pertolongan Allah.
Q.S. Al Baqarah : 165. Dan diantara manusia itu ada yang mempertuhankan sesuatu yang lain daripada Allah sebagai tuhan-tandingan; dicintainya seperti mencintai Allah. Orang yang beriman hanya mencintai Allah semata…”
Zanimra bertasbih penuh rasa syukur akan kebersaran Allah tuhan semesta alam.
“Duhai Zanimra, aku telah hidup dalam kesesatan yang nyata dengan mata buta dan telinga yang tuli.” Tangisnya semakin menjadi, Putri Aelia menjatuhkan dirinya pada pelukan Zanimra.
“Sungguh Cinta Hakiki hanyalah pada Allah semata. Kasihilah manusia karena Allah, maka hidupmu akan tenang.”
Setelah tangisnya sedikit reda, Putri Aelia berkata lirih,
“Sungguh sekarang aku mengerti mengapa Ali mencintaimu, karena Ali percaya kau akan menjaga cintanya kepada Allah.”
“Dan begitupun sebaliknya Putri, aku mencintai Ali karena dia akan menjadi pemimpin yang baik bagiku untuk menuju cinta Allah.”
“Zanimra…bernjanjilah padaku satu hal.”
“Jika aku bisa. Insyaallah”
“Ajari aku bagaimana mencintai Allah dan panggilah aku adik karena begitu ingin aku mengikat tali persaudaraan denganmu.”
“Insyaallah, aku sendiripun sedang belajar unutk mencintai Allah, duhai Putri,”
“Katakan padaku, apa yang pertama kali harus kulakukan untuk menunjukan rasa cintaku kepada Allah.” Zanimra tersenyum penuh haru, ditariknya selendang yang tersampir dibahu putri. Dengan halus Zanimra menutup rambut dan pundak putri hingga nampak wajahnya yang putri saja dari balik selandang itu.
“Kepatuhan akan Perintah-Nya adalah tanda cinta kita pada Allah.”
“Sungguh ajaib cinta kepada Allah wahai Zanimra, seluruh badai dalam jiwaku luruh berganti dengan ketenangan dan kebahagiaan yang nyata dalam sekejap. Sekarang aku mengerti mengapa kau selalu terlihat tenang.” Putri Aelia menggengam erat tangan Zanimra lalu menariknya setengah berlari menuju balai kerajaan.
Setibanya disana, berpuluh mata tertuju pada dua sosok wanita itu. Seluruh penghuni ruangan amat terkejut melihat penampilan baru Putri Aelia dengan kerudungnya. Kulitnya tubuh yang putih bersinar kini penuh tertutup, rambutnya yang panjang dan hitam legampun tersembunyi dibalik kerudung putihnya. Sedangkan disudut lain, Abdullah dan Ali tersenyum penuh haru. Sedangkan Raja tertegun keheranan seperti yang lain, melihat perubahan Putri Aelia yang begitu cepat.
Dengan tenang dan anggunnya Putri Aelia melangkah mendekati singgasana Raja.
“Wahai Aelia adikku, sungguh sekarang kau mengejutkan aku. Apa yang terjadi padamu?”
“Duhai kakakku Raja dari negri ini, aku mendapat cahaya matahari ditengah malamku yang gelap dan penuh badai.”
“Dan bagaimanakah keadaanmu saat ini?”
“Terang dan damai dengan sirnanya kegalapan dari jiwaku.”
“Sungguh, cahaya matahari yang bagaimanakah yang kau telah dapatkan?”
“Cahaya Cinta yang Hakiki.”
“Cinta Hakiki?” Tanya Raja penasaran,
“Cinta yang sama yang dimiliki Zanimra.”
“Maksudmu Ali?” Raja tampak agak terkejut,
“Bukan.” Jawab Putri Aelia mantap,
“Bukankah cinta yang dimiliki Zanimra adalah Ali?”
“Benar duhai Kakakku Raja dari negri ini, tapi yang kudapati adalah cinta diatas cinta Zanimra pada Ali.”
“Dan siapakah itu?” Raja tertegun.
“Cinta kepada Allah.” Jawab putri dengan rasa haru, Raja tersenyum bahagia dan bertasbih penuh syukur.
“Terima kasih kuucapkan padamu Zanimra, sungguh akupun merasa malu padamu dan Ali. Kecintaan kalian pada Allah menyadarkan aku betapa selama ini aku memimpin negriku dengan kecintaan pada dunia semata. Jikalah Allah bukan Tuhan Yang Maha Pengasih, tak akan didatangkan Ali dan dirimu untuk membuka mataku.”
“Kerajaan ini adalah kerajaan Islam, tapi penduduknya kebanyakan melupakan Tuhannya. Sungguh celaka diriku dihari akhir nanti jika aku masih memimpin kerajaanku seperti sekarang ini. Allah akan menghukumku dengan sangat pedih karena kesombonganku dan kelalaianku sebagai seorang pemimpin.”
Raja kemudian memanggil Ali.
“Ali abdul Jabbar bin Abdullah, menghadaplah kepadaku.”
Alipun keluar dari sela-sela kerumunan petinggi kerajaan.
“Apakah Kau dengar dengan jelas apa yang kukatakan barusan Ali?”
“Ya! Baginda, dan saya berterima kasih atas pujian Baginda, Alhamdulillah.”
“Apakah kau setuju dengan yang kukatakan?”
“Ya, saya setuju Baginda.”
“Kalau begitu, bersediakah kau membantuku menata kembali kerajaan ini di jalan Allah?”
“Insyaallah, sebagai seorang muslim saya berkewajiban kepada tanah air, saya bersedia.”
“Baiklah, sebagai pemimpin kerajaan ini kuperintahkan dirimu tinggal di istana sebagai Penasihat Utamaku.” Lalu raja mengalihkan pandangannya pada Zanimra,
“Zanimra.”
“Saya Baginda.”
“Sungguh kau adalah satu-satunya wanita yang berani menentangku di atas meja makanku sendiri. Kukagumi keberanianmu dan kukagumi kecerdasanmu. Entah apa yang kau lakukan sehingga dalam sekejap adikku tak mau melepaskan tangannya darimu. Begitu cepat kau rubah kebencian dengan kecintaan.”
“Segala Puji hanya bagi Allah. Sungguh Allah-lah yang Maha Kuasa dalam menentukan perubahan, saya hanyalah seorang hamba yang hina dari-Nya. Atas Kasih dan Kuasa Allah sajalah Putri menemukan kebahagiaan pada cintanya yang hakiki.”
“Sungguh kau telah mengajarkan aku apa itu kesombongan Zanimra! Dan aku sungguh hamba yang celaka karena kesombonganku kepada Allah. Kupikir selama ini aku Raja yang bijak, tapi ternyata pujian rakyat dan kerajaan tetanggaku membuat aku lupa bahwa aku ini hanyalah seorang hamba yang hina dari Tuhan-Nya.” Mata Raja berkaca-kaca, dengan lembutnya terdengar suara Ali melantunkan ayat-ayat dari Al-Qur’an, Al Hadid : 20-23;
20. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
21. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
22. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
23. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu (sukses yang telah kamu capai). Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,”
“Astagfirullah……” tiba-tiba Raja tersungkur dan bersujud dilantai sambil menangis. Serentak seluruh penghuni ruangan hingar bingar penuh keterkejutan. Ali, Abdullah dan Zanimra ikut bersujud diikuti oleh Putri Aelia yang kembali menangis. Satu demi satu bangsawan yang hadir menundukan dirinya. Rasa hormat dan rakyat pada Raja sangatlah besar karena kebaikan budinya dan kebijaksanaannya selama ini, mereka merasa takjub melihat junjungannya tersungkur mencium tanah dengan tubuh gemetar ketakutan. Perasaan Raja terbias menembus nurani pengikutnya, satu demi satu merekapun turut menjatuhkan diri kelantai dan bersujud.
Pada hari itu, nama Allah diagungkan dan pada hari itulah kerajaan Andimarsedonia diberkahi. Raja merayakan pernikahan Ali sebagai hadiah bagi Ali dan Zanimra. Zanimra diangkat sebagai Penasihat umum kaum wanita kerajaan. Semenjak hari itu kerajaan Andimarsedonia menjalankan roda pemerintahan dibawah panji bendera Islam secara menyeluruh. Pembimbingan akhlak diutamakan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sungguh Cinta yang Hakiki dan kekal kebahagiaannya hanyalah cinta kepada Allah semata. Allahuakbar.

Sahabat fillah,,,
selesailah cerita di atas, begitu panjang, penuh makna penuh motifasi
betapa cerita di atas mulai dari wal awal hingga akhir adalah pelajaran tentang mentauhid kan ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA,,
betapa hati ini bergetar kala awal2 membaca kisah tersebut

Subhanallah walhamdulillah wala ilaa haillah allahu akbar
Laa haulaa walaa quwwata illahbillahil 'aliyyi 'adzim,,
Ya ALLAH,, lindungilah kami dari fitnah dunia yang kadang melalikan hati kami mengingat MU,,
condong kan hati ini hanya kepada MU..
Penuhi cinta hati ini hanya terhadap MU,
tempat kan rasa cinta kami dalam keridhaan MU
YA ALLAH,,lindungi kami para wanita dalam perantauan,,
semoga kami tetap teguh memegang kokoh hijab kami karena MU
Ya ALLAH ,,tiada daya kekuatan selain kepunyaan MU
kami berlindung pada MU,, dari segala godaan syaithan yang akan senantiasa menjauhkan kami dari MU,,
amien Ya Rabb,,

http://www.facebook.com/notes/melati/kisah-inspiratif-bag4-ketika-cinta-nyatiada-tertandingi/187209014650815

Kisah Inspiratif bag:3 { ketika cinta-NYA, tiada tertandingi}


Kedatangan Zanimra
Ali berkuda dengan riang menuju hutan, pertemuannya dengan Raja semalam diluar dugaannya. Semula dia merasa khawatir jika Raja bukanlah raja yang bijak. Tapi ternyata Raja adalah seorang raja yang patut dikagumi ayahnya selama ini. Pikirannya melayang kepada kekasihnya Zanimra yang sebentar lagi akan datang. Pagi ini dia telah menerima surat kilat yang mengabarkan Zanimra akan datang. Sekilah terlintas bayangan Putri Aelia, sungguh dia wanita yang luar biasa kecantikannya dan baik budi pekertinya, tapi Ali tidak pernah tertarik pada kecantikan paras wanita. Ada sesuatu pada diri Zanimra yang tidak dimiliki sang putri.
Ali tersentak dari lamunanya ketika dia melihat serombongan tandu menghadang jalannya. Kereta Putri Aelia yang gemerlap berdiri dengan anggun dihadappannya, kemudian sosok cantik yang menyilaikan mata itupun turun dengan langkah yang hampir melayang seperti peri.
“Salaam ya Ali,”
“Walaikum salam Putri,” jawabnya tenang.
Putri melihat tajam ke arah Ali, lagi-lagi pemuda itu menundukkan pandangannya.
“Hai Ali, kau tidak memiliki janji saat ini bukan? Sudikah kau menghormatiku dengan turun dari kudamu?” Dengan sekali anggukan Ali turun dari kudanya dengan mata tetap menunduk.
“Terima kasi Ali, aku ingin bertanya kepadamu, pernahkah sekalipun kau melihat wajahku?”
“Duhai tuan Putri, sungguh wajahmu telah terkenal akan kecantikannya.”
“Aku tidak bertanya tentang apa yang kau pernah dengar, aku bertanya apakah kau pernah melihat wajahku?”
“Pernah.”
“Pernahkan sedekat ini?” Tiba-tiba Putri telah berdiri sagat dekat dengan Ali, keharuman tubuhnya merebak sangan kuat dan memabukkan siapapun yang menciumnya. Ali dengan sigap mengambil langkah mundur, tapi tertahan ketika Putri menangkap tangannya.
“Ali, sekarang kau melihatku!” Putri membungkukan dirinya dengan wajah menengadah tepat di depan mata Ali yang tertunduk. Sungguh kecantikan yang luar biasa terpampang dihadapan Ali. Kemerduan tawanya sangar renyah dan menggemaskan. Tapi hal itu malah membuat Ali merasa geram. Menyadari posisi Raja yang dihormatinya, Ali menahan kegeramannya. Dengan sopan Ali melepaskan genggaman tangan Putri Aelia dan melangkah mundur.
“Maaf Putri, sungguh putri memiliki kecantikan yang luar biasa. Jadikanlah ia berkah Allah bagimu dan jangan jadikan kecantikan itu bencana bagimu. Sesungguhnya syaitan amat licik dalam membuat tipu daya, dan kecantikan wanita adalah salah satu senjata terampuh bagi mereka.”
“Ah Ali, aku tak merasa beruntung dengan kecantikan ini, karena dengan kecantikan yang kumiliki inipun tak mampu mendapatkan apa yang paling aku mau, yaitu dirimu!”
“Demi Allah wahai Putri, sungguh kecantikanmu tak semua orang memilikinya, sungguh itu adalah berkah dari Allah jika Putri bersyukur.”
“Ali!…Ali…tak tahukan betapa pedih rasa cinta yang kurasakan untukmu? Jika aku buruk kau mau mencintaiku, maka aku rela untuk menjadi buruk bagimu!”
Ali menghela nafas panjang, ia tahu apapun yang akan dia katakan hanya akan membuat Putri semakin galau. Ali hanya berkata lirih.
“Maafkan saya duhai Putri, sungguh saya telah terikat sumpah, maka saya tak
akan mengingkarinya.”
“Yah aku tahu, sumpah pada seorang gadis. Sungguh Ali, jika dia tidak melebihi aku, aku akan terus berjuang untuk mendapatkan hatimu. Tapi jika kau bisa meyakinkan aku bahwa dia lebih baik dariku, aku akan rela melepaskanmu!”
“Saya tahu janji saya pada Raja, dan saya akan menepatinya.”
“Oh Ali, ijinkan aku bersamamu sebelum dia datang… ijinkan aku berada disekelilingmu, berkuda bersamamu, apapun yang kau lakukan.”
“Maaf Putri, sumpah saya adalah sumpah atas nama Allah, sebagaimana saya tidak akan rela jika kekasih saya menghabiskan waktu bersama laki-laki lain, begitupun dia tidak akan bahagia jika saya berbuat demikian.”
“Ah Ali, mengapa begitu kejam dirimu padaku?”
“Sesungguhnya aku hanya bersikap yang semestinya Putri.”
“Aku tahu Ali, aku hanya mengujimu. Ternyata memang kau seperti apa yang aku harapkan! Ini membuatku semakin menginginkanmu Ali. Aku akan berjuang demi dirimu Ali!” Putri lalu berbalik menuju keretanya. Beberapa langkah kemudian dia menghentikan langkahnya dan berbalik kearah Ali lagi,
“Ali, apakah kau pikir aku bertabiat buruk?”
“Saya banyak mendengar tentang Putri, sungguh Putri adalah seorang Putri yang dicintai rakyatnya. Jadi tidak mungkin Putri bertabiat buruk.” Jawaban Ali membuat Putri Aelia tersenyum pilu, lanjutnya lagi dengan lirih,
“Jika kau belum bertemu gadis itu, apakah kau akan menerima pinanganku?”
“Demi kebaikan Raja dan kerajaan ini, insyaallah Putri.”
“Mengapa kau tak pernah sekalipun datang padaku sebelum kau bertemu gadis itu Ali?”
“Jikapun saya menemui dirimu, bukan berarti pada saat itu Putri akan berhasrat pada saya, boleh jadi pada saat itupun Putri akan menolak saya.”
“Sungguh pandai kau bersilat lidah Ali! Aku semakin kagum padamu. Katakan Ali, aku tahu kau begitu percaya akan kekasihmu, tapi bagaimana jika dia melanggar janjinya padamu?” Dengan tenang Ali menjawab,
“Na udzubillah, aku berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. Tapi jika Allah berkehendak demikian, maka itu adalah urusan Allah dengan dirinya. Dan hidupku kupasrahkan sepenuhnya di tangan Allah.”
“Aku masih tak mengerti, apa yang membuat kau terpaku pada gadis itu.” Gumam Putri Aelia.
Putri menaiki keretanya dan berlalu. Ali menghela nafas dengan lega, dia beristigfar untuk beberapa saat mengingat kejadian singkat denga putri. Sebagai laki-laki sungguh kecantikan dan keharuman tubuh Putri Aelia sangat memabukkan, tapi rasa mabuk itu bagi Ali tidak lebih dari harumnya bau arak, semakin harum dan memabukkan semakin ia menjauhinya. Sungguh desakan Putri Aelia membuatnya gusar, tapi beberapa saat kemudia dia teringat akan kedatangan Zanimra, bayangan kekasihnya itu menyejukkan hati Ali seketika. Kecintaannya pada Zanimra bagi Ali adalah kecintaan yang menyejukkan jiwanya, kecintaan kepada wanita seperti Putri Aelia baginya adalah kecintaan yang memabukkan jiwanya. Ali menyadari bahwa tak semua orang akan mengerti jalan pikirannya, tapi dia tidak perduli, dengan tangkas Ali menaiki kudanya lalu melaju dengan pesat meninggalkan tempat itu, dalam hati dia berkeras tak akan mengunjungi hutan itu lagi selama Putri masih berada disana.
*****
“Assalammualaikum.” Abdullah dikejutkan oleh kemerduan suara seorang wanita dari belakangnya, “Walaikum salam.” Jawabnya bersemangat. Dia membalikkan tubuhnya dan melihat sosok anaknya Ali yang berdiri dengan seorang wanita disebelahnya dan seorang lelaki paruh baya.
“Zanimra, putriku! Selamat datang!” sambutnya riang. Untuk beberapa saat Abdullah memperhatikan Zanimra, kecantikan Zanimra sungguh biasa-biasa saja dan jauh dibandingkan dengan kencantikan Putri Aelia. Tubuhnya kecil dan tidak terlalu tinggi. Pakaiannya sederhana dan rapi, tapi tak satupun dari diri Zanimra yang bercahaya dan memukau pandangan. Hanya saja Zanimra tampak lebih muda dibanding Putri Aelia, mungkin karena tubuhnya yang kecil. Abdullah menyadari bahwa ukuran tubuh penduduk Madagashphur memang kecil.
“Terima kasih Tuan Abdullah, sangat senang saya berada disini. Sudah banyak sekali Ali bercerita tentang Anda. Alhamdulillah akhirnya saya bisa berkunjung.”
“Ayah, ini calon menantumu bersama Pamannya Nagosh Abdurrahman.” Kemudian Abdullah merangkul paman Zanimra
“Selamat datang sahabatku Nagosh Abdurrahman, sungguh suatu kehormatan bertemu kalian.” Paman Zanimra membalas pelukan Abdullah dengan ramah tapi tak bersuara sedikitpun.
“Maaf Tuan, Paman saya tidak dapat berbicara, tapi dia bisa mendengar.” Kata Zanimra kemudian. Abdullah melepaskan pelukannya lalu mempersilahkan semuanya duduk. “Ah maaf jika begitu, silahkan duduk, kalian pasti sangat lelah…”
“Terima kasih.” Sahut Zanimra lembut.
“Ah yaaah, aku merasa senang ketika mengetahui akhirnya Ali menemukan wanita yang bisa membuatnya jatuh hati! Sungguh aku pikir hanya wanita yang luar biasa sajalah yang mampu meluruhkan hati Ali! Sungguh sahabatku Nagosh, keponakanmu ini membuat kerajaan ini geger.” Nagosh tertawa mendengar ucapan Abdullah yang dikiranya hanya sebagai lelucon.
“Alhamdulillah…segala puji hanya bagi Allah.” Jawab Zanimra tersipu segan, Abdullah terhenyak melihat mimik wajah Zanimra dan reaksinya yang sama persis seperti Ali jika dia menerima pujian.
“Sungguh aneh Ali, aku seperti melihat dirimu dalam sosok wanita pada Zanimra!” Ali tertawa kencang mendengar kalimat jujur ayahnya sedangkan Zanimra hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba Zanimra membisikan sesuatu pada Ali lalu Ali tersenyum.
“Maaf Ayah, Zanimra takut jika dia tidak sopan, tetapi ini sudah waktunya shalat dan dia belum sempat membersihkan diri dari perjalanan jauhnya.”
“Ah! Bodohnya Abdullah,” Jawab Abdullah memaki dirinya sendiri.
“Aku yang tidak sopan wahai putriku! Aku tahu kau pasti sangat lelah dan memang ini sudah waktunya shalat. Baik- baik…bersihkan dirimu dan kita shalat bersama.”
“Insyaallah Tuan Abdullah, terima kasih banyak, Anda benar-benar Tuan rumah yang sangat menyenangkan.”
“Ah Zanimra! Berhenti memanggilku Tuan! Panggil aku Ayah!”
“Baiklah Ayah, dengan senang hati. Saya permisi dulu.”
“Ya, aku akan tunggu kalian di Mushalah.” Abdullah tidak melepaskan pandangan dari Zanimra dan anaknya sewaktu mereka berjalan meninggalkannya. Semula ia merasa kecewa dengan perawakan Zanimra yang biasa saja, tapi setelah berbicara dengan gadis itu, Abdullah merasakan sesuatu yang berbeda dan sangat kuat, seperti yang selalu ia rasakan bila bersama anaknya. Zanimra adalah bentuk lain dari Ali! Sebagai ayah kini ia mengerti mengapa Ali memilih Zanimra, tapi apakah Raja dan Putri akan memahami apa yang dia rasakan?
Hari itu berlalu dengan riang hingga tibalah malam, Abdullah melihat gairah hidup pada mata anaknya. Gairah hidup yang tak pernah dia temukan selama dia mengenal Ali. Abdullah dapat menangkap keyakinan Ali pada Zanimra dan hal sama pada sebaliknya, kekuatan hubungan batin kedua insan didepannya dijalin oleh sesuatu ikatan kuat. Abdullah melihat keindahan yang manis dari jalinan cinta anaknya, tapi Abdullah juga menyadari, tak semua orang mampu memahaminya. Semakin lama dia melihat Zanimra dan Ali, Abdullah semakin merasa lapang dan damai. Waktu makan malampun tiba, tetapi sayangnya Nagosh harus menghabiskan waktu di tempat tidur karena kelelahan. Ditengah kehangatan makan malam tiba-tiba seorang pelayan masuk dengat tergesa.
“Maaf Tuan, Putri Aelia datang berkunjung.” Abdullah dan Ali terhenyak. Ali tak ingin memberitakan perihal Putri Aelia pada Zanimra melalui surat, tapi karena begitu bahagia Ali lupa untuk memberitahu Zanimra pada hari itu. Lagipula kedatangan Putri Aelia sungguh diluar dugaan.
“Kami akan menjemputnya di ruang utama.” Jawab Abdullah singkat, pelayan itu bergegas kembali keruang utama.
“Putri Aelia, Putri yang terkenal dengan kecantikannya itu datang? Subhanallah, kecantikan seperti apakah yang Allah limpahkan padanya hingga namanya terucap disetiap bibir laki-laki diseluruh dunia?” ujar Zanimra dengan penuh rasa keingin tahuan.
“Mari anak-anakku, kita sambut tamu agung kita terlebih dahulu.”
Lalu ketiganya beranjak dari kursi makan mereka. Sewaktu memasuki ruang tamu utama langkah Zanimra terhenti. Matanya begitu silau seperti melihat bidadar. Ali menyadari keterpanaan kekasihnya, sedangkan Abdullah yang berjalan didepannya terus menyambut Putri dengan ramah. Zanimra menoleh pada Ali lalu berbisik,
“Subhanallah wahai kekasihku, demi Allah dia begitu elok rupanya dan merdu suaranya. Subhanallah, Maha Besar Allah dengan ciptaan yang berdiri didepanku ini.”
Mendengar kekaguman Ali berbisik ketelinga kekasihnya,
“Ya Zanimra, sungguh kecantikan yang kau miliki lebih memikat hatiku daripada seribu kecantikan paras wanita yang kau kagumi itu. Kutahu kau mengerti benar akan maksudku.” Zanimra tersenyum simpul lalu menjawab, “Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya. Aku mengenalmu wahai Ali seperti engkau mengenalku, aku percaya padamu Ali seperti engkau percaya padaku. Aku hanya mengagumi kebesaran Allah yang terlihat didepan mataku.”
Ali dan Zanimra tidak menyadari keakrabannya menjadi sorotan tajam Putri Aelia, Abdullah yang melihat hal tersebut mencoba mencairkan kebekuan sikap Putri.
“Ah Putri Aelia, mari aku perkenalkan tamu terhormatku Zanimra.”
Zanimra dan Ali tersadar lalu dengan tersipu Zanimra mendekati sang Putri dan menghulurkan tangannya.
“Assalammualaikum Putri Aelia, subhanallah sungguh senang bertemu dengan Anda.”
“Walaikum salam Zanimra, senang juga bertemu denganmu. Kami tidak sabar menunggu kehadiranmu diistana.” Zanimra tertegun mendengar perkataan putri.
“Istana?”
“Ah, jadi Paman Abdullah dan Ali belum memberi kabar padamu bahwa Raja mengundangmu untuk tinggal diistana?”
“Maaf Putri, Zanimra baru saja datang hari ini, belum sempat kami mengabarkan apapun tentang undangan Raja.” Jawab Abdullah menengahi, lalu ia melanjutkan,
“Tuan Putri, jika tidak berkeberatan, kami hendak memulai makan malam. Apakah Putri berkenan bergabung bersama kami?”
“Ah maafkan aku mengganggu makan malam kalian, tentu saja aku merasa terhormat menerima tawarnmu Paman.”
“Kehormatan berada pada kami Putri Aelia.” Putri menyadari bahwa kecantikannya jauh diatas Zanimra, dengan sengaja dia menjajari Zanimra dengan ramah dan mengajaknya berjalan didepan Ali. Abdullah tahu perilaku ramah itu hanya siasat Putri untuk membuat Ali melihat perbandingan kecantikan kedua gadis itu. Abdullah melirik anaknya yang sedang tersenyum geli, tak ayal Abdullahpun ikut tersenyum geli. Putri belum juga memahami bahwa apa yang dilihat Ali bukanlah kecantikan paras Zanimra. Dalam jamuan makan pembicaraanpun berlanjut.
“Bagaimana menurutmu tentang kerajaan kami Zanimra?”
“Alhamdulillah kerajaan ini sangat menyenangkan, dari pelabuhan yang sangat tertib sudah mencerminkan betapa baiknya ketata negaraan kerajaan ini.”
“Hmmm… apakah kau pikir kerajaan ini aman?”
“Inshyaallah. Alhamdulillah, kerajaan ini adalah negri yang sangat makmur, sebuah kerajaan hanya bisa mencapai kemakmuran seperti kerajaan ini jika keamaan terjaga baik didalamnya Putri. Tapi selain dari hal itu, saya sering mendengar bahwa Putri Aelia memiliki kesenangan menjelajah hutan dengan sedikit pengawal dan dayang. Dari kebiasaan tersebut tercermin betapa amannya kerajaan ini.”
“Ah, jadi kau tahu beberapa hal mengenai diriku?”
“Insyaallah, Putri Aelia…alhamdulillah, Anda sangat terkenal dengan keelokan rupanya. Saya belajar banyak tentang negara ini dari Ali.”
“Oh? Ali pernah berbicara perihal diriku padamu?”
“Ya, dia berkata bahwa Putri adalah Bulan dari Andimarsedonia.”
“Zanimra, apa menurutmu tentang diriku sekarang setelah kau bertemu denganku?”
“Maha Besar Allah, kecantikan Putri jauh lebih daripada yang saya bayangkan.”
“Apa menurutmu laki-laki yang menikah denganku aku bahagia?”
Zanimra terdiam sesaat,
“Putri terkenal dengan kebaikannya diseluruh negri, kecantikannya juga tak terperi. Insyaallah barang siapa yang menikahi putri akan bahagia.”
“Apakah kau ikhlas jika orang yang kau sayangi mendapatkan wanita seperti aku?” Zanimra tersenyum lalu dengan perlahan dia menjawab.
“Demi Allah, jika kecantikan akhlak Putri sebaik kecantikan paras Putri, laki-laki manapun dibumi akan sangat beruntung. Jika orang yang saya sayangi mendapatkan yang demikian, maka saya ikhlas.” Lalu putri menoleh pada Ali dengan tajam,
“Ah! Kau dengar itu Ali? Zanimra rela dan ikhlas jika memang aku lebih baik darinya!” Zanimra tertegun mendengar kalimat Putri Aelia, sedangkan Ali tersenyum dengan penuh keyakinan dan melancarkan pandangan tepat pada mata Putri. Putri tersentak gugup ketika menangkap tatapan tajam Ali yang sungguh diluar dugaan. Putri Aelia dapat mengangkap keyakianan luar biasa di mata Ali pada Zanimra.
“Ah Paman, putramu ini sungguh menyiksaku!” Katanya singkat pada Abdullah. Zanimra yang masih gamang terhadap situasi itu hanya diam seribu bahasa. Abdullah hanya terdiam menahan senyum. Abdullah merasa kagum pada putranya.
“Paman, terima kasih atas makan malamnya, saya rasa hari sudah larut. Sebaiknya saya mohon pamit.” Ucap Putri kemudian dengan lembut dan sopan berusaha menutupi kekacauan dihatinya. Ingin sekali Putri berteriak pada Zanimra bahwa ia mencintai Ali, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Dengan berwibawa dan anggun Putri kemudian bertitah,
“ Zanimra, kakakku menunggu kedatanganmu segera.”
“Terima kasih Putri, entah karena apa saya mendapat kehormatan dengan undangan Raja ini. Saya menerimanya dengan senang hati, insyaallah saya akan bersedia.”
“Paman, berangkatlah dengan Zanimra bersama rombonganku besok pagi.”
“Baik Putri Aelia. Tapi Ali akan berangkat lusa karena saya memiliki tugas penting yang harus dia kerjakan besok.” Jawab Abdullah.
“Oh Ali! Kau akan membiarkan Zanimra bersama kami sendirian?”
“Putri, Zanimra bersama ayah saya, isnyaallah saya akan datang keesokan harinya.” Jawab Ali tenang.
“Baiklah, sekali lagi terima kasih dan selamat malam.”
Abdullah, Ali dan Zanimra melepas Putri Aelia, setelah kereta putri tidak terlihat lagi Abdullah tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Ali hanya tersenyum geli. Zanimra hanya memandang keheranan. Ada banyak pertanyaan dalam otaknya, dengan akrab Abdullah merangkul pundak Zanimra, sambil memasuki ruang duduk Abdullah mulai berbicara.
“Ah putriku Zanimra yang manis, pasti kami telah membuatmu kebingungan dengan kehadiran Putri Aelia dan undangannya itu. Maafkan kami!”
Abdullah duduk di kursi besarnya, Ali dan Zanimra duduk dikursi panjang yang berhadapan dengan Abdullah.
“Baiklah Ali, sebaiknya kau ceritakan apa yang telah terjadi pada putri manisku ini.” Dengan pelan dan hati-hati Ali menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dia dan Putri Aelia. Zanimra mendengarkannya dengan takjub, tapi tak nampak sedikitpun perasaan galau atau gusar dimatanya. Setelah selesai mendengarkan cerita Ali Zanimrapun tersenyum kaku.
“Masyaallah, sungguh diluar dugaanku! Ternyata wanita secantik bidadari itu menyatakan perang dengan diriku?” Mendengar ucapan polos Zanimra Ali dan ayahnya tertawa.
“Zanimra, aku tak mengenalmu sejauh Ali mengenalmu. Aku minta kau jujur padaku, katakan apa pendapatmu tentang masalah ini?”
“Ayah, apalah arti dunia? Ketidak kekalan. Apa yang terjadi didunia ini hanyalah bagian dari dunia itu sendiri. Dan bagi Ali dan aku, bukanlah dunia tujuan akhir kami. Aku percaya pada Ali, tapi terlepas dari itu, aku percaya pada Allah diatas segala sesuatu. Maka tenanglah selalu hatiku.”
“Ha ha ha! Putri manisku Zanimra, sungguh aku akan dengar hal yang sama dari mulut putraku. Demi Allah jika urusan Raja dan Putri ini selasai, akan kunikahkan kalian segera!”
“Alhamdulillah, Insyaallah Ayah.” Jawab keduanya dengan tersipu.
“Hemh, aku hanya berharap Putri akan memahami cara pandang kalian. Pada Raja aku optimis dia akan mengerti, tapi Putri Aelia…..aku tak tahu.” Abdullah menggelengkan kepalanya sambil melenguh…
“Ayah, tenanglah… percayalah pada Zanimra.”
“Ha ha ha, yah aku percaya sebesar rasa percayamu padanya, Ali, Aku akan tinggalkan kalian berdua. Sungguh kalian tak sempat melepas rindu, apalagi besok pagi kita harus keistana Zanimra.” Abdullah meninggalkan kedua insan itu, Ali lalu memanggil seorang dayang terdekatnya untuk menemani mereka berbincang-bincang.
“Bibi Alima, kau mengasuhku sedari kecil dan mengenalku seperti ibuku sendiri, tolong jaga kami berdua karena sungguh tidak baik jika kami hanya berdua karena syaitanlah ketiganya, jika kita bertiga Allahlah ke-empatnya.” Dayang itu tersenyum lalu duduk diam dipojok ruangan yang sama. Ujar Ali kepada dayangnya, lalu dia mendekati Zanimra.
“Wahai kesejukan jiwaku Zanimra, sungguh aku rindu akan dirimu.”
“Demi Allah, akupun rindu, tapi jarak yang memisahkan kita adalah hijab yang sangat baik bagi kita Ali.”
“Yah akupun setuju, sungguh aku ingin segera menikahimu sewaktu aku datang menemui ayah. Dan kau tau tujuanku itu. Diluar dugaan dan kuasaku Putri bertemu denganku dan membuat hambatan ini.”
“Allah hendak mencoba kesabaran kita, dan hanya orang yang bersabar yang berhak mendapatkan tempat kembali yang baik.”
“Kau benar Zanimra, ini mungkin ujian bagi kita, atau mungkin pula teguran bagi kita. Sungguh aku selalu beristighfar memohon ampunan Allah dari kesalahanku dan dirimu.”
“Aku juga berpikir demikian, sungguh Allah Maha Pengasih dan Maha Bijaksana, kita percaya pada-Nya, apapun yang telah dan akan terjadi adalah demi kebaikan kita juga. Sungguh aku takut akan murka Allah padaku.” Ucap Zanimra lirih.
“Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita. Aku percaya padamu Zanimra. Percayalah padaku, hatiku tak akan goyah karena kecantikan atau kekayaan Putri itu.”
“Wahai Ali, aku percaya padamu, jika kau tak benar-benar mencintaiku maka tak akan berani kau bersumpah padaku atas nama Allah.” Lalu keduanya tersenyum geli mengingat semua yang terjadi, lama kelamaan senyum mereka pecah menjadi tawa yang riang.
“Aku benar-benar tak tahu apa rencana Raja padamu Zanimra, berhati-hatilah.”
“Relakah jika kau harus keluar dari negri ini selama-lamanya Ali?”
“Dunia…apalah artinya dunia Zanimra?” kembali keduanya tersenyum.
Dayang Alima yang sedari tadi memperhatikan menggelengkan kepalanya dengan kagum pada pasangan majikannya itu. Dia dapat mendengar semua pembicaraan majikannya karena memang majikannya tak ingin ada fitnah atau aib yang muncul.
“Baiklah, sebaiknya kau tidur Zanimra, aku harus lebih bersabar dengan kerinduanku padamu.”
“Ya Ali, demikian halnya sama denganku. Kita memang harus lebih bersabar.”
Ali mengantarkan Zanimra ke kamarnya diikuti Alima, lalu dia bergegas kekamarnya sendiri penuh senyuman bahagia dan syukur.
Pengakuan Abdullah
Pagi menjelang tanpa terasa, Abdullah tergopoh-gopoh menuju keretanya diikuti Zanimra dan Ali. Tiba saatnya ujian bagi mereka yang datang dari Raja. Zanimra telah menunggu bersama Ali dipintu kereta kuda, Nagosh yang masih kelelahan tidak dapat menemani Zanimra keistana, sehingga Zanimra harus pergi sendiri.
“Ayah, aku titip Zanimra padamu.”
“Ali, apakah kau tak melihat? Zanimra terlihat jauh lebih tenang daripada aku. Aku rasa dia yang malah akan menjagaku nantinya,” gurau Abdullah menggoda Ali. Zanimra hanya tersenyum simpul.
“Insyaallah Ya Ayahku,” Sambut Ali dengan tawa. Abdullah masuk kedalam kereta kudanya terlebih dahulu.
“Hati-hatilh Penyejuk mataku,” bisik Ali lirih pada kekasihnya.
“Kau juga, semoga Allah selalu bersama kita, amin.”
“Amin, assalammualaikum.”
“Walaikum salam.”
Keretapun berlalu, Ali amat pasrah kepada Allah akan nasib kekasihnya. Ali berdoa semoga Allah menjaga hati Raja dari godaan syaitan sehingga dapat melihat kelebihan Zanimra yang sesungguhnya.
Didalam kereta Abdullah diam-diam memperhatikan Zanimra yang sedang sibuk memperhatikan sekelilingnya sepanjang perjalanan. Dia menangkap expresi wajah Zanimra yang sering berubah.
“Hai Zanimra, apa yang sedang kau pikirkan? Sedari tadi aku perhatikan, reaksi wajahmu selalu berubah. Kadang kau tersenyum, lalu termenung sedih dan mulutmu selalu bergerak.”
“Ah maaf Ayah, sudah menjadi kebiasaanku yang sulit hilang. Aku mengerti, Ayah bukan satu-satunya orang yang bertanya. Baiklah, semoga penjelasanku akan menyingkirkan prasangka buruk.” Zanimra meluruskan duduknya yang sedari tadi dimiringkan menghadap jendela. Sama seperti Ali, jika dia berbicara pada orang, dia selalu dengan penuh menghadapkan tubuh dan pandangannya pada orang yang diajaknya bicara.
“Ayah, Ini adalah kali pertama aku di kerajaan ini. Tak sedikitpun aku ingin membuang kesempatan dalam perjalanan ini untuk memperhatikan segala sesuatu yang terjadi disepanjang jalan yang kulalui. Tak pernahkan Paman memperhatikan, bahwa banyak sekali adegan kehidupan nyata yang secara sekilas yang kita lewati dapat menjadi pelajaran bagi kita?”
“Hm, aku mulai tertarik. Lanjutkan.”
“Banyak Ayat dalam Al-Qur’an yang memperingati tentang banyak kejadian dimuka bumi ini, dan sebagian besar dari peringatan itu akan diikuti dengan kalimat…”… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. Lalu banyak juga ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi, ‘…sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi telah tertulis dalam kitab Allah.’
Dari ayat-ayat tersebut, kita dapat mengambil makna global, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi ini, bahkan perjalanan yang kita lakukan ini telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Agung, Allah. Bahkan jatuhnya selembar daun dari pohonnya juga sudah merencanakan rencana tertulis dari Allah. Tidak satupun yang kita anggap sebagai kebetulan diluar dari rencana dan diluar dari pengetahuan Allah. Dan sungguh sangat banyak ayat dalam Al Qur’an yang meminta kita untuk berfikir. Berfikir itu dapat mematahkan sihir, insyaallah.”
Abdullah tersenyum, semangat yang dipancarkan mata Zanimra membiaskan rasa kecintaan yang dalam pada apa yang sedang ia utarakan.
“Ya Zanimra, kau benar.”
“Alhamdulillah, Ayah tuaku yang bijak, apakah tidak akan menarik hatimu untuk melihat mencari petunjuk Allah dan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang terjadi disepanjang jalan ini?”
Abdullah termenung, sungguh Zanimra lain dari kebanyakan gadis yang pernah dia temui selama ini. Bagi kebanyakan orang, kejadian sekelilingnya hanyalah kegiatan sehari-hari dan mereka tak akan memperhatikan hal-hal itu seperti Zanimra.
“Sungguh menarik apa kata-katamu itu Zanimra, kalau begitu katakan padaku, apa yang sejauh ini kau dapatkan dari balik jendela kereta ini? Kulihat kau tersenyum, apa yang membuatmu tersenyum?”
“Entah kejadian mana yang pasti yang dimaksud ayah, ada beberapa kejadian yang membuatku tersenyum. Tapi ada satu kejadian yang paling membuatku terharu. Dipersimpangan pertama memasuki gerbang kota kita berhenti beberapa waktu untuk memperbaiki roda depan yang rusak. Ada seorang pemuda yang tiba-tiba berhenti ditengah jalan lalu menjatukhan tas besar bawaannya tepat didepan sebuah kereta yang darang dari arah berlawanan. Kusir kereta kebingungan karena tiba-tiba pemuda itu berlari ketepi jalan yang semula dengan meninggalkan tas besarnya. Ternyata seorang kakek sangat renta dengan tongkatnya melambai-lambai ingin ikut menyeberang. Lalu lintas kota ini memang tak terlalu ramai, tapi untuk kakek yang jalannya sangat lambat, jalan kereta yang lambatpun akan membuat lututnya kelu. Pemuda itu menghampiri kakek itu lalu menggendongnya dibelakang, lalu ia lari lagi mengambil tas besarnya dan karena beban bertambah, akhirnya dia berjalan menyeberang sambil minta maaf dan berterima kasih pada sang kusir.”
“Ah, tapi mengapa pemuda itu mempertaruhkan tas besarnya dengan resiko digilas kusir kereta atau dibuang ketepi oleh sikusir. Mengapa dia tidak kembali ketepi jalan lalu menunggu bersama si kakek hingga kereta itu lewat saja?”
“Aku juga sempat berpikir demikian ayah, sewaktu pemuda itu lari menjemput si kakek aku melihat keseberang jalan yang hendak mereka tuju, ternyata disana telah menunggu sebuah perahu angkutan yang akan berjalan. Pemuda itu tak ingin ditinggalkan perahu angkutan itu dan juga tak ingin membiarkan kakek itu. Seperti dugaan pemuda itu, kakek itupun sedang mengejar perahu yang sama.”
“Ha ha ha! Ternyata si tua Abdullah ini mendapat pelajaran dari seorang gadis belia sepertimu hai Zanimra, sangat menarik! Kurasa mulai sekarang aku akan lebih banyak memperhatikan jalan daripada tidur dalam kereta, ha ha ha….” Lalu Abdullah berbicara serius,
“Apakah kau ingat wajah pemuda itu Zanimra?”
“Sungguh Ayah , aku memiliki kekurangan dalam mengingat wajah orang. Maafkan aku. Tapi aku rasa aku akan ingat si kakek tua itu.”
“Ah kurasa itu sudah cukup, aku sedang mencari kurir yang bisa kupercaya. Kurasa pemuda itu cocok, ah Zanimra, jika saja aku melakukan apa yang kau lakukan, niscaya aku sudah memiliki seorang pegawai yang cakap dan berbudi!”
“Semoga kita berjodoh untuk bertemu dengannya lagi Ayah, insyaallah.”
“Insyaallah, lalu adegan seperti apa yang membuatmu sedih Zanimra?”
“Segala sesuatu yang membuat Allah murka dan benci adalah hal yang membuatku sangat takut dan sedih Ayah.” Air muka Zanimra yang semula ceria berubah dengan drastisnya.
“Sungguh Ayah, banyak sekali manusia yang lupa akan Penciptanya. Itu yang membuatku amat takut dan sedih. Aku sedih akan nasib mereka di hari akhir nanti, tapi terlabih aku takut jika aku menjadi salah satu dari mereka.
Ketika aku memasuki keramaian kota, aku lihat hal seperti itu. Aku tahu kerajaan ini adalah negri yang sangat makmur. Karen kemakmuran itulah kulihat banyak ke-alpaan yang manusia lakukan. Aku banyak melihat laki-laki yang memakai pakaian dan jubah terbuat dari sutra penuh, sungguh Rasulullah pernah bersabda, tidak akan memakai sutra di surga bagi laki-laki yang memakai sutra lebih dari selebar ini,” ujar Zanimra memperlihatkan selendang kecilnya. Abdullah mengangguk setuju.
“Kerajaan ini adalah kerajaan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tapi yang kulihat didalam kota banyak wanita yang mempertontonkan kecantikannya dan mencabut alisnya… Ah Ayah, sungguh itu membuatku ngeri, Rasulullah bersabda, “Laknatullah…. Laknat Allah …bagi wanita yang menyukur alisnya. Betapa pedih murka Allah, terlebih lagi ‘Laknat’ Allah.”
Abdullah sungguh terpana dengan tutur Zanimra selama ini. Segala keraguan dan rasa was-was didalam hatinya tentang nasib anaknya dan Zanimra hilang. Abdullah mengakui secara tulus, Putri Aelia sedang berhadapan dengan lawan yang amat sulit. Abdullah semakin mengerti akan perasaan Ali pada Zanimra dan mengapa tak sedetikpun Ali ragu akan keputusannya. Tapi walaupun Putri Aelia sangat cerdas, kebijakan hatinya yang belia masihlah berdiri dibalik dinding kecintaan pada dunia, seperti apa yang diucapkan Zanimra, banyak manusia yang melupakan Penciptanya.
“Masya Allah Zanimra, sungguh kau adalah pilihan dari Ali.”
“Alhamdulillah Ayah, tiada daya dan upaya tanpa pertolongan Allah.”
Abdullah menahan pertanyaannya tentang bibir Zanimra yang terus bergerak, karena ia sudah tahu jawabannya. Meskipun semula Abdullah ingin memperingati Zanimra, karena dia sadar akan banyak orang berprasangka buruk tentang perilaku Zanimra di istana nanti. Abdullah merebahkan kepalanya dengan damai di sandaran kereta, dengan perlahan dia menggumam hingga tak terdengar oleh Zanimra.
“Ah putriku Zanimra, meskipun bulan cantik, tetapi saja tetap saja tak mampu mengalahkan cahaya matahari.”
Melihat Abdullah memejamkan mata, Zanimra kembali asyik dengan jendela keretanya. Tiba-tiba Abdullah berkata masih dengan mata terpejam,
“Zanimra, jadilah mataku saat ini dan ceritakan padaku hal-hal yang menarik yang kau nanti malam padaku.” Zanimra tersenyum, “Baik Ayah.”
Kereta Abdullah akhirnya tiba di istana peristirahatan Putri Aleia, dia telah menunggu disana. Putri Aelia bersikeras agar Abdullah dan Zanimra duduk satu kereta dengannya.
“Zanimra, bagaimana tidurmu malam ini?”
“Alhamdulillah, tidur saya nyenyak. Semoga Putri mengalami hal yang sama.”
“Masya Allah, belumkah Abdullah dan Ali bercerita padamu?” Tanya putri terheran mendengar jawaban Zanimra yang sangat tenang.
“Jika yang Putri maksudkan adalah lamaran Putri terhadap Ali, kami telah memberitahukan hal itu pada Zanimra.” Sahut Abdullah denan hormat. Putri Aelia merasa amat takjub, setelah mengetahui bahwa Zanimra tengah bersaing dengannya, tak sedikitpun ia menangkap kegusaran dimata Zanimra.
“Zanimra, apakah kau juga terbuat dari es seperti Ali?” ucapnya tanpa sadar, Abdullah yang mendengarnya tak mampu menahan tawanya. Sedangkan Zanimra hanya tersenyum manis.
“Mengapa tak terpancar sedikitpun rasa khawatir dirimu Zanimra? Apakah yang membuatmu sangat percaya diri?”
Zanimra menjawab dengan satu kata sambil tersenyum,
“Allah.” Abdullah diam-diam tertawa geli melihat kebingungan diwajah Putri Aelia, seperti dugaannya, Putri Aelia belum bisa memahami jalan pikiran Zanimra.
“Tidakkah kau takut atau benci pada diriku Zanimra?”
“Mengapa saya harus merasa demikian?”
“Karena aku ingin merebut Ali darimu.”
“Saya akui, kecantikan paras tuan Putri tak tertandingi. Tapi jika Putri benar-benar mengenal Ali, maka putri akan merasakan apa yang saya rasakan saat ini.”
“Zanimra! Bukankah laki-laki dimuka bumi ini semua sama saja? Hiburan apalagikah dari wanita yang mereka dambakan selain dari kesempurnaan wajah, otak dan budi pekertinya? Seperti ucapanmu semalam, kau menilaiku sebagai wanita yang bertabiat baik dan terpelajar sepertimu. Apa yang membuatmu merasa tenang seperti itu, sedangkan aku memiliki beberapa kelebihan atasmu.”
“Putri Aelia yang bijak, bukankah karena Ali tidak seperti kebanyakan laki-laki dimuka bumi ini Putri menginginkannya?” tak ayal Abdullah merasa sakit perut karena begitu hebat dia mencoba menahan tawanya. Zanimra membalikan pertanyaan Putri Aelia dengan amat telak. Putri Aelia tampak salah tingkah dibuatnya.
“Sungguhkah kau seyakin itu bahwa Ali tak akan berubah pikiran, ingat kata-katamu semalam Zanimra, kau akan ikhlas jika orang yang kau kasihi memiliki yang lebih baik?”
“Baiklah Putri, bolehkah saya balik bertanya?”
“Silahkan.”
“Apakah Putri benar-benar mencintai Ali.”
“Jika tidak, aku tak akan memperjuangkan dia seperti ini.”
“Ya, dan Putri mencintai Ali karena dia laki-laki terhormat yang jujur dan baik bukan?”
“Benar adanya.”
“Apakah perasaan Putri akan berubah jika tiba-tiba wajah Ali rusak?”
“Tidak! Aku akan terus mencintainya.”
“Jika demikian, mengapa Putri begitu yakin Ali akan merubah cintanya hanya karena wajah dan tubuh saya tidak secantik Putri?” tenggorokan Putri Aelia tercekat, Abdullah sekuat tenaga untuk tidak tertawa melihat expresi wajah bidadari didepannya itu memerah semerah tomat segar.
Putri Aelia sadar akan posisinya, dia memilih untuk diam sebelum pertanyaannya membuat dia semakin kecil dihadapan Zanimra. Didalam hati Abdullah menyayangkan kondisi mental Putri yang kacau karena cintanya yang begitu membara pada Ali. Ketangkasan berpikir dan bersilat lidahnya menjadi kabur, Putri Aelia mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Yang membuat Zanimra dapat mematahkan setiap kalimat Putri Aelia hanyalah ketenangan dan keyakinan Zanimra yang begitu kuat sehingga pikirannya jernih. Abdullah mengenal Putri sejak kecil, kecerdasan intelektual Putri tak kalah dengan Zanimra, tapi pengendalian emosi dan keyakinan Putri masih jauh dibawah Zanimra. Akhirnya Putri memutuskan untuk berbincang-bincang dengan Abdullah tentang masalah-masalah kerajaan. Zanimra mendengarkan dengan penuh rasa tertarik.
Gadis Bertelanjang Kaki dan Perjanjiannya
Perjalanan menempuh waktu tiga perempat hari, di tengah perjalanan rombongan Putri beristirahat di tempat peristirahatan keluarga kerajaan yang terdapat dipinggir sebuah desa pertanian yang sangat rapi.
Begitu turun dari kereta, Putri Aelia disambut sangat hangat oleh penduduk setempat. Zanimra dapat melihat keramahan Putri bada rakyatnya. Dia tersenyum ketika Putri turun ketengah ladang sayur dan berbicara langsung dengan petani yang sedang bekerja disana. Sungguh sosoknya amat menyilaukan ditengah ladang itu.
“Ayah, desa ini kecil tapi sangat menarik,”
“Tentu saja, desa ini khusus dibangun sebagai tempat persinggahan bangsawan. Hasil pertanian disini juga diperuntukan bagi keluarga kerajaan.”
“Putri Aelia nampak seperti bidadari ditengah penduduk yang berkerumun itu.” Guman Zanimra.
“Hei Putriku, apakah kau kehilangan rasa percaya dirimu?”
“Masyaallah Ayah, bukan begitu. Hanya saja aku tak bisa berhenti mengagumi keindahan yang sedemikian rupa sampai aku tak bisa membayangkan bagaimanakah keindahan bidadari disyurga nanti. Jika seluruh penghuni syurga keindahannya dapat melebihi Putri Aelia, bagaimanakah keindahan syurga itu sendiri?… Terlebih lagi, bagaimanakah keindahan dari Dzat Penciptanya?……Sungguh aku gemetar jika membayangkannya….subhanallah….subhanallah…….” Abdullah tertegun, selama ini diapun mengagumi kecantikan Putri Aelia, tapi tak pernah dia berpikir sejauh Zanimra.
“Hem, bagaimana menurutmu sejauh ini tentang Putri Aelia?”
“Saya kagum akan kecerdasannya dibidang ketata negaraan, terlebih lagi sekarang ini, kecantikannya tidak membuatnya angkuh. Tak segan dia turun keladang untuk berbicara pada petani tentang tanaman-tanaman itu. Dia adalah Putri sejati, seorang wanita pemimpin yang baik. Sayang sekali dia sedang berjalan diatas pematang yang salah.”
“Pematang yang salah? Apa maksudmu?”
“Rasa cintanya Ayah, rasa cintanya yang dapat menghancurkan.” Guman Zanimra sedih.
“Sayang memang, dia mencintai Ali setelah Ali bertemu denganmu.”
“Bukan itu Ayah, jikapun dia mendapatkan Ali sebelum Ali bertemu denganku, cinta yang dimiliki putri tetap akan menghancurnya.” Abdullah mengangguk setuju.
“Apa yang akan kau lakukan Zanimra?”
“Semoga Allah memberikan aku kekuatan untuk menolongnya.”
“Amin.” Sahut Abdullah tulus. Sekarang dia benar-benar mengerti mengapa Ali begitu yakin akan kekasihnya ini.
Tiba-tiba sebuah bola menggelinding dikaki Zanimra, seorang anak perempuan melihat bola itu dengan malu-malu. Zanimra memungut bola itu dan menghampiri gadis kecil yang dibelakangnya berdiri segerombolan anak lainnya.
“Assalammualaikum, gadis cantik, apakah ini bolamu?”
“Walaikum salam, Iya itu bola saya.”
“Boleh aku bermain dengan kalian?” Anak itu terkejut, mendadak anak laki-laki dibelakang gadis cilik itu berkata lantang.
“Wah tidak adil nanti jadinya!”
“O? kenapa begitu?” tanya Zanimra menggoda.
“Tubuhmu lebih besar dari kami, kami pasti kalah.” Ujar anak laki-laku itu lagi.
“Hummm…… tapi aku pakai rok yang panjang, lariku tak dapat secepat kalian. Apakah itu masih tidak adil?” Gerombolan anak itu saling memandang untuk beberapa saat, kemudian tertawa kecil.
“Iyah, kakak larinya jadi pendek seperti kami!” canda anak-anak itu riang.
“Jadi…aku boleh ikut bermain?”
“IYA…” jawab anak-anak itu serempak. Maka Zanimra melepaskan sepatunya lalu ikut berlarian bersama anak-anak petani itu. Abdullah tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. Dia sungguh tak habis pikir pada Zanimra, didepan keanggunan dan keindahan Putri Aelia yang luar biasa, dia melepas sandalnya untuk bermain bersama anak-anak diatas tanah berumput. Dari seberang yang berlawanan Putri Aelia tercengang melihat kejadian itu. Dia bersaing dengan seorang gadis yang saat ini bertelanjang kaki berlarinan kesana kemari mengejar bola bersama anak-anak kecil. Dalam hati dia merasa malu untuk mengakui bahwa dia sedang bersaing dengan gadis itu. Putri merasa khawatir dengan penilain penduduk karena Zanimra turun dari satu kereta dengannya. Seperti yang dia duga perhatian para petani didekatnya tertuju pada Zanimra, Tapi diluar dugaannya, mereka tertawabahkan beberapa diantaranya ikut bersorak.
“Sungguh baik sekali putri itu, dia mau bermain bersama anak-anak kita seperti itu!” Celetuk seorang wanita paruh baya tanpa sadar bahwa didekatnya a berdiri Putri Aelia
“Iya, putri kepala desa saja tak akan sudi melepas sandalnya untuk bermain bersama mereka.” Sahut petani lainnya.
“Ah aku merasa seperti sungguh dihormati sebagai bangsawan!”
Ketika menyadari keadaannya dia buru-buru minta maaf dengan muka pucat pada Putri Aelia.
“Maafkan perkataan saya Putri, saya tidak bermaksud merendahkan Putri dengan perkataan tadi.” Putri Aelia hanya tersenyum mengangguk.
“Kamu tak bersalah.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Maaf Putri, jika diijinkan saya bertanya, siapakah putri itu? Bukankah dia datang satu kereta dengan Tuan Putri?” Tanya kepala perkebunan dengan sedikit ragu pada Putri Aelia.
“Dia tamu undangan Raja.”
“MasyaAllah, Sungguh luar biasa! Jarang anak-anak dapat menerima orang dewasa untuk bermain bola bersama mereka. Terlebih lagi, sungguh langka seorang tamu kehormatan raja bersikap ramah seperti itu. Siapakah namanya?”
“Zanimra.”
“Nama yang sangat asing.”
Putri Aelia jadi merasa canggung berdiri disana sedangkan sekelilingnya memperhatikan Zanimra dengan pandangan cinta. Mereka baru saja melihat Zanimra, tapi dengan cepat Zanimra dapat memikat hati banyak orang. Diapun berpamitan pergi, lalu menghampiri Abdullah yang masih terus tertawa.Untuk kesekian kalinya Putri merasa dipatahkan.
“Ya Abdullah, sungguh apa yang dilakukan Zanimra?”
“Oh Putri, maafkan saya, sungguh lucu sekali putriku itu berlari dengan rok panjangnya yang sedikit sempit. Anak-anak terus tertawa sambil mengejarnya.”
“Yah, aku dapat melihatnya, dan seluruh orang disinipun memperhatikannya.” Jawab Putri dingin. Mendengar nada datar Putri, Abdullahpun menghentikan tawanya.
“Aku mendengar dari Ali, Zanimra sangat menyukai anak-anak, jika melihat anak-anak dia akan berubah seperti anak-anak. Sekarang saya bisa melihatnya secara langsung.”
“Apakah kau pikir pantas jika seorang Putri undangan Raja bertingkah laku demikian Abdullah?”
“Ehm, maafkan saya Putri, yang saya lihat dari mata penduduk adalah rasa kagum dan hormat pada Zanimra, apakah itu suatu hal yang buruk?” Putri tertegun, dalam hati diapun mengakui bahwan Abdullah benar. Tapi rasa persaingan dihatinya telah membuatnya memupuk rasa iri yang semakin mengaburkan presepsinya. Akhirnya Putri Aelia mengajak Abdullah menemaninya untuk duduk di beranda.
Tak lama kemudian permainan anak-anak dan Zanimra selesai, mereka duduk diatas tikar yang disediakan penduduk. Satu persatu petani mendatangi dan memberi salam pada Zanimra. Mereka tampak sangat senang ketika Zanimra dengan lahap memakan buah yang diberikan penduduk. Mereka lebih takjub lagi ketika Zanimra menyuapi beberapa anak yang bersandar dipangkuannya.
“Sungguh siapakah dirimu wahai putri yang baik?”
“Alhamdulillah jika kau menganggapku baik. Aku adalah orang biasa seperti kalian juga, janganlah panggil aku Putri, karena aku bukan berasal dari keluarga bangsawan.”
“Tapi Putri Aelia mengatakan bahwa, kau adalah tamu undangan kerajaan. Sungguh kedudukanmu diatas kami semua wahai Putri. Kami hanya petani.”
“Alhamdulillah aku mendapat kehormatan itu dari Raja, pemimpin dari negara ini. Tapi tetap saja aku ini adalah tamu kalian dan kalian adalah tuan rumahnya. Makanan yang kumakan sekarang ini adalah pemberian kalian, mengapa kedudukanku lebih tinggi dari kalian sedangkan kalian yang memberi hadiah dan aku yang menerima?”
“Sungguh kami merasa terhormat dengan duduk ditikar yang sama denganmu.”
“Sesungguhnya aku lebih merasa terhormat diijinkan bermain dengan anak-anak kalian.”
“Kakak, gelangmu bagus!” celetuk gadis kecil yang sedang bermain dengan tangan Zanimra.
“Ah, Salama, kau suka?”
“Iyah, indah sekali warnanya!”
“Ambillah jika kau mau.” Penduduk makin tercengang melihat Zanimra membiarkan gadis kecil itu membuka gelang dari tangannya,
“Eh, tunggu dulu. Kau boleh memilikinya jika kau janji dua hal padaku.” Kata Zanimra tiba-tiba sambil menahan tangan anak yang dipanggil Salamah.
“Apa itu?”
“Patuh pada orang tuamu dan takutlah pada Allah, jangan pernah tinggalkan shalatmu.” Gadis itu mengangguk setuju.
“Jika lain kali, insyaallah jika kakak datang dan orang tuamu mengatakan bahwa kamu melanggar janji, aku akan meminta kembali gelang ini darimu. Setuju?”
“Iya, aku berjanji kakak!”
“Baik, siapa orang tua dari Salama?”
“Saya Pamannya, Hasan”
“Baik, Paman Hasan sebagai saksi! Salama, Insyaallah jika kau memegang janjimu disaat aku datang nanti, aku akan memberi hadiah yang lebih lagi dari gelang ini.”
“Benarkah? Kakak aku janji!” Kemudian Hasan, paman dari Salama bertanya heran, “Nona Zanimra, mengapa kau mengadakan perjanjian dengan Salama, bukankan dia hanya seorang anak kecil?”
“Paman Hasan, sesungguhnya anak-anak akan mengingat janji dan memegangnya dengan seluruh kepercayaannya yang tulus. Jika kita melanggar janji pada mereka, maka kepercayaan mereka kepada kita akan musnah. Jadi berhati-hatilah dalam memegang janji pada siapapun, terutama pada anak-anak.”
“Jadi kakak janji akan datang lagi?” tanya Salama lagi.
“Tidak Salama, aku berkata Jika aku datang lagi, Insyaallah. Aku tidak tahu apakah aku bisa datang lagi atau tidak dikemudian hari, tapi jika aku datang lagi aku akan menagih janjimu dan jika kau menepatinya aku akan memberikan hadiah yang lain padamu. Dan aku berjanji, jika Allah mengijinkan, aku akan datang lagi.”
“Aku berharap kakak akan datang lagi dan lagi!” Ucap Salama keras-keras, mengundang tawa yang lain.
“Insyaallah Salama, selalu ucapkan Insyaallah.” Sahut Zanimra lembut.
“Insyaallah!” celetuk Salama dengan logat yang lucu.
“Nah, untuk anak-anak lainnya, apakah mau mengikat perjanjian denganku? Jika mau aku akan mencarikan beberapa hadiah untuk kalian.” Kata Zanimra lagi pada anak-anak yang lain. Serentak yang lain menyetujui. Zanimra tersenyum ceria, diapun melangkah pergi menuju kereta kuda. Abdullah dan Putri melihat Zanimra yang tergopoh-gopoh membuka tas besarnya.
“Sedang apa kau Zanimra?” Tanya Abdullah penasaran.
“Aku hendak mengadakan perjanjian dengan anak-anak Ayah.”
“Perjanjian dengan anak-anak? Apa maksudmu?” Tanya Abdullah semakin heran. Putri Aeliapun ikut penasaran.
“Jika Ayah ingin tahu, ikutlah denganku.” Abdulahpun meminta ijin pada putri,
“Bolehkah saya permisi untuk melihat perjanjian itu Putri?”
“Aku sendiri penasaran hai Abdullah, sungguh Zanimra itu aneh-aneh saja.” Maka mereka berdua turun dari beranda Pondok dan menghampiri Zanimra.
“Ah Ayah, adakah sesuatu benda yang bisa kau berikan padaku sebagai hadiah yang cocok bagi anak laki-laki?”
“Hem…yang kumiliki hanya teleskop kecil ini.”
“Bagus sekali! Bolehkah aku memintanya?”
“Ambillah putriku.” Zanimra meletakkan beberapa benda kecil diatas selembar kain hijabnya.
“Yang kumiliki kurasa sudah cukup untuk enam anak, dua gadis kecil dan empat anak laki-laki, nilai masing-masing benda tak jauh berbeda, kurasa ini cukup adil.” Gumamnya pada diri sendiri.
“Bagaiman menurutmu ayah, apakah nilai benda-benda ini cukup adil?” Abdullah memperhatikan benda-benda tersebut dan dia mengangguk setuju. Zanimra mengambil beberapa selendang lagi dari tasnya lalu bergegas menghampiri petani yang masih duduk menunggunya diikuti Abdullah dan Putri Aelia.
Setibanya disana Zanimra membagikan benda-benda tadi sesuai dengan pilihan setiap anak,. Lalu Zanimra melakukan perjanjian yang sama seperti yang dilakukannya dengan Salamah. Dari setiap anak dimintanya seorang saksi laki-laki atau dua orang saksi perempuan. Setelah selesai dengan semua anak-anak diapun bertanya,
“Apakah kalian semuanya senang dan ikhlas?”
“Kami senang sekali!”
“Anak-anak, ingat, apapun hadiah yang ada ditangan kalian bukanlah dariku, tapi dari Allah semata. Aku hanya sebagai alat penyalur berkah dan rahmatnya, jadi ucapkanlah…. Alhamdulillah. Sebagaimana benda yang ada ditanganmu itu Rahmat/pemberian Allah yang datang melalui tanganku, jika kalian melanggar janji, maka karena Allah pulalah aku akan mengambilnya kembali, apakah kalian mengerti?”
“Kami mengerti,”
“Jika kalian mengerti, sekarang katakan kepadaku, Demi siapakah kalian memegang akan memegang janji?”
“Demi Allah!” jawab anak-anak serempak,
“Mengapa demikian?”
“Karen Allah-lah yang memberikan hadiah ini melalui tangan kakak dan Allah pula yang akan mengambilnya dari kami melalui tangan kakak jika kami melanggar janji.”
“Insyaallah jika Allah memberi kesempatan pada kakak. Alhamdulillah kalian mengerti….. subhanallah, kalian memang anak-anak yang cerdas.”
“Ingat janji kalian baik-baik, patuhlah pada orang tua, takutlah pada Allah dan dan kerjakanlah shalat lima waktu.
Q.S. Al Fath:10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. ”
“Kami berjanji.” Jawab anak-anak secara serempak lagi.
“Para saksi, aku sangat berterima kasih atas kesediaan kalian menjadi saksi, sungguh aku hanya dapat memberikan ini sebagai ucapan terima kasihku yang sangat.”
Zanimra membagikan beberapa selendang sutra miliknya yang diterima dengan suka ria.
“Nona, seharusnya kamilah yang berterima kasih padamu, karena perjanjianmu membuat kami sadar akan dari mana datangnya rezeki yang kami dapatkan sekarang ini. Sungguh kami jarang sekali bersyukur. Berjanjilah untuk sering berkunjung jika kau berkesempatan.”
“Insyaallah jika memang saya memiliki kesempatan dilain hari, jagalah anak-anak ini dalam memegang janjinya, sesungguhnya janji yang mereka ucapkan adalah janji seluruh manusia kepada Allah. Aku hanya mencoba mengingatkan mereka. Semoga pada usianya yang tepat mereka akan mengerti keseluruhan dari maksud perjanjian ini.”
“Amin.” Jawab semua yang hadir secara serempak.
“Baiklah, selagi aku sempat, maukah kalian mendengar sebuah kisah tentang dua petani dan kebunnya?” Dengan hampir berbarengan yang hadir menyetujui,
“Kami akan senang mendengarkannya.”
“Insyaallah, alhamdulillah… cerita ini terdapat didalam Al-Qur’an, semoga kita semua mendapat Rahmat Allah untuk mendapat pelajaran darinya.” Zanimra diam sebentar lalu membuka Al-Qur’an kecil yang selalu dibawanya.
“Bismillahirohmaan nirrohiim, Surat Al Kahf ayat 32-46;
32. Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.
33. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,
34. dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”.
35. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
36. dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”.
37. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?
38. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.
39. Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,
40. maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
41. atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”.
42. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku”.
43. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.
44. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.
45. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.” Zanimra menutup Qur’annya.
“Sungguh ceritamu membuat kami semakin sadar dan takut kepada Allah, kami berlindung kepada Allah dari kesombongan seperti yang dilakukan petani pertama itu.” Kata seorang petani dengan tulus, yang lainnya mengangguk-angguk setuju. Zanimra tersenyun bahagia, dia begitu bersyukur karena Allah begitu Pemurah melembutkan hati orang-orang yang ditemuinya hari ini, dengan senyum lebar dia berkata lagi.
“Sungguh banyak sekali cerita menarik dan pengajaran penuh rahmat dari Allah di dalam Al Qur’an. Bacalah Al Qur’an, hatimu akan merasa tenang dan bahagia, insyaallah.
Q.S. Yusuf:111. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Abdullah kali ini benar-benar dibuat tercengang oleh tingkah laku Zanimra, tak jauh beda dengan Putri Aelia, dia semakin tercekat melihat kejadian itu. Akhirnya Zanimra minta Abdullah untuk memimpin shalat berjama’ah dibawah pohon itu. Selesai shalat merekapun melanjutkan perjalanan ke istana. Suasana hening karena tak satupun berbicara, Zanimra masih asyik dengan kain katun yang diberikan penduduk setempat sebagai kenang-kenangan.Tiba-tiba Putri melontarkan pertanyaan karena tak tahan menahan rasa penasarannya,
“Zanimra mengapa kau melakukan perjanjian seperti ini dengan anak-anak?”
“Karena aku ingin mengajarkan pada anak-anak tentang perjanjian.”
“Apakah kau pikir mereka akan memegang janjinya? Mereka hanya anak-anak.”
“Bukankan pelajaran lebih baik dimulai dari dini? Anak-anak sangat kuat daya ingatnya dan sangat rapuh kepercayaannya. Jika aku melanggar janjiku, mereka akan mencabut kepercayaannya dariku dan akan mengingat hal itu selamanya. Tapi yang terpenting disini, anak-anak mengerti dari siapa hadiah itu datang dan untuk siapa perjanjian itu sebenarnya dilaksanakan. Dan demi siapa mereka akan memegang janjinya. Semua karena Allah semata. Aku ingin anak-anak memahami, bahwa darimanapun atau siapapun datangnya rezeki sesungguhnya semua itu datang dari Allah. Dan hanya pada Allah seharusnya mereka bersyukur.”
“Apakah kau merencanakan hali ini Zanimra?”
“Bagaimana mungkin saya merencanakannya jika saya baru saja menginjak pedesaan itu?”
“Bagaiman kau bisa berbuat demikian jika tidak kau rencanakan?”
“Alhamdulillah, Allah-lah yang menginginkannya terjadi. Hal itu terlintas dipikiranku ketika si kecil Salamah meminta gelangku.”
“Jika Salamah tidak menerima perjanjian itu, kau tak akan memberikan gelang itu padanya?”
“Tidak.”
“Bukankah itu kejam?”
“Yang kutawarkan dalam perjanjian itu jauh lebih berharga dari gelangku Tuan Putri.” Putri tertegun mendengar jawaban Zanimra.
“Yang kuminta pada Salamah adalah menjalankan shalat dan patuh kepada orang tuanya. Hal itu tidak sulit bagi Salamah, karena dia lahir dari keluarga muslim. Shalat dan patuh pada orang tua adalah hal yang sudah biasa mereka kerjakan karena memang itu diwajibkan. Yang kulakukan hanyalah meberi mereka motivasi dalam menjaganya lebih baik. Salamah menyadari hal itu, oleh karenanya dia dengan berani menyetujui perjanjian itu.”
“Bagaimana dengan anak yang lain? Bukankah tidak semua anak berpikiran sama?”
“Sebagaimana Salamah, aku tanya tentang kerelaan mereka terlebih dahulu, dan mereka merasa rela mengadakan perjanjian itu. Dan mereka tak merasa dirugikan sedikitpun, terlebih lagi dengan hadiah imbalan yang kujanjikan jika mereka menjalankan janji mereka.” Lalu Zanimra mengarahkan pandangannya pada Abdullah dan berkata,
“Ayah, kau dengar tentang janjiku kepada mereka bukan?”
“Bahwa kau akan mempertanyakan tanggung jawab mereka dalam memegang janji atau tidak. Dan jika mereka melanggar janji, kau akan mengambil kembali hadiah itu, tapi jika mereka memegang janji, kau akan memberikan hadiah lain lagi bagi mereka. Ya! Aku dengar Zanimra.”
“Sudikah ayah membantu aku dalam memegang janjiku?”
“Tentu saja, insyaallah jika aku bisa putriku, Aku akan merasa senang sekali jika bisa ikut serta dalam perjanjian mulia ini!” sahut Abdullah dengan semangat.
“Aku akan menitipkan beberapa hadiah yang kujanjikan itu kepadamu. Jika dalam setahun aku tak bisa kembali kesini, maukah paman menyampaikan hadiah-hadiah itu bagi mereka yang memegang janji dan mengambil hadiah yang mereka miliki jika mereka melanggar janji?”
“Ha ha ha, subhanallah, tentu saja. Insyaallah jika umurku masih panjang. Dan insyaallah aku akan menambahkan beberapa hadiah lagi!”
“Alhamdulillah, terima kasih Ayah.” Jawab Zanimra dengan riang.
“Zanimra, kau memberikan pelajaran yang sangat berharga kepadaku. Jika kau bisa melakukan hal itu pada anak-anak di negri yang baru saja kau kunjungi, mengapa aku tak bisa? Aaaahh, aku sungguh malu padamu Zanimra!”
“Sungguh segala sesuatu datangnya dari Allah Ayah, aku hanya seorang hamba. Alhamdulillah.” Abdullah tersenyum bahagia karena ia mendapatkan Zanimra sebagai calon menantu. Dia tak dapat berkata terlalu banyak demi menjaga perasaan Putri. Karena kelelahan bermain dengan anak-anak akhirnya Zanimra jatuh tertidur. Perjalananpun menjadi kembali hening, bertolak belakang dengan isi kepala Putri Aelia yang semakin berkecamuk. Dalam beberapa jam saja Putri sudah merasakan kelebihan-kelabihan yang dimiliki Zanimra, hatinya semakin gusar. Jika dirinya bisa mengakui kelebihan Zanimra seperti ini, apalagi orang lain dan kakaknya. Kereta memasuki gerbang istana ditengah malam buta. Abdullah dan Zanimra langsung di antarkan ke kamar mereka.

BERSAMBUNG...

 Afwan ya ikhwah fillah kalu penasaran,,,heheheh

http://www.facebook.com/notes/melati/kisah-inspiratif-bag3-ketika-cinta-nya-tiada-tertandingi/187042791334104