Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Minggu, 28 November 2010

Shalat Milyuner


Diantara shalat sunnan non-rawatib Lainnya adalah Shalat Dhuha. Shalat ini termasuk yang amat dianjurkan (muakkadah). Rasulullah saw biasa melaksanakannya dengan rutin, menganjurkan ornag lain untuk melakukannya, dan menekannkan keutamaannya.
Saudaraku, apakah Anda biasa melakukan sholat dhuha? Tanpa harus memuji berlebihan, saya rasa anda akan menjawab "Iya!"
Waktu pelaksanaan shalat ini adalah sepertiga jam setelah terbitnya matahari, sampai sekitar sepertiga jam menjelang masuknya waktu dhuhur. Rasulullah saw bersabda, "Ketika memasuki pagi hari, setiap persendian kalian akan mengandung potensi shadaqah. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, dan setiap takbir adalah shadaqah. Setiap perintah untuk berbuat kebajikan adalah adalah shadaqah, dan setiap larangan berbuat kejelekan adalah juga shadaqah. Semua itu bisa tergantikan  oleh dua rekaat yang dilakukan pada waktu dhuha." (HR, Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad)
Ada sekitar 360 buah persendian dalam tubuh kita. Jadi, saudaraku, mari kita bersedekah sejumlah persendian kita!
Tapi, siapa yang mampu melakukan itu? Puji syukur kehadirat Allah yang telah mensyariatkan Shalat Dhuha (sebagai gantinya). Dengan shalat ini , kita betul-betul menjadi milyuner!
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah r.a. Beliau berkata, "Kekasihku (Rasulullah saw) berpesan 3 hal kepadaku yang tidak akan pernah aku abaikan: yaitu agar aku tidak memulai tidur kecuali setelah melakukan shalat witir, juga agar aku tidak meninggalkan sholat Dhuha, sebab shalat ini adalah shalatnya orang-orang ahli ibadah, dan agar aku  melakukan puasa tiga kali dalam sebulan."
(HR. AL-Bukhari, Muslim, An-Nasai, dan Ahmad)
Saudaraku, jadikanlah diri anda termasuk orang-orang ahli ibadah............................Kerjakanlah shalat dhuha dengan rajin!
Lalu bagaimana dengan jumlah rekaatnya?


Shalat dhuha paling sedikit dilakukan dua rekaat, dan paling banyak delapan rekaat. Diriwayatkan dari Ummu Hani' bahwa Rasulullah saw, biasa melaksanakan shalat dhuaha sebanyak delapan rekaat, dengan melakukan salam setiap dua rekaat." (HR, Al-Bukhari, Muslim, At -Thurmudzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Segala yang sedikit tapi rutin selalu lebih baik dibanding banyak tapi tidak kontinyu. Mulailah dengan dua rekaat akan tetapi terus berkesinambungan. Anda akan meraih sekian banyak shadaqah yang harus anda dermakan!

'Ibadatul Mukmin'

http://www.facebook.com/notes/melati/shalat-milyuner/164851900219860

Kunci Mendidik Anak


Sahabat Taqwa, prosa berikut mungkin telah sering kita baca, sering pula kita dengar.
Kali ini mungkin ada baiknya kita mengulang kembali prosa ini dengan makna yang lebih dalam sembari mengoreksi diri, Adakah kita telah berlaku aniaya kepada buah hati kita atau pada anak didik kita.
Bisakah kita mengharapkan anak-anak yang shalih dari perilaku yang kurang mendidik.Selamat menyimak
_______________________________________________________
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah

Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.
____________________________________________
Ayo sahabat, kita
Lindungi anak kita dari pengaruh negatif lingkungannya,
Lindungi anak kita dari kebiasaan buruk teman-temannya,
Tapi terutama,
Lindungi mereka dari ketidakbaikan kita sendiri...


http://www.facebook.com/notes/inspirasi-taqwa/kunci-mendidik-anak/179812865365652

Tukang Becak Yang Luar Biasa


Berbagai keutamaan sedekah sering kita dengar, begitu pula kisah balasan yang mereka terima dan akibat baik yang mereka peroleh. Kisah berikut ini adalah kisah nyata yang terjadi di daratan Cina dan dialami seorang kaket tua yang mulia.
Seutama-utama sedekah adalah di kala susah, dan seutama-utama pemberian adalah yang dilandasi ketulusan, silakan menyimak, sahabatku...
----------------------------------------------------------------------------------
Kisah Bai Fang Li ini saya harap menjadi pelajaran hidup bagi kita semua untuk saling membantu sesama kita yang kesusahan, walaupun hidup serba pas-pasan tetapi tetap membantu orang tanpa pamrih.
Tak perlu menggembar-gemborkan sudah berapa banyak kita menyumbang orang karena mungkin belum sepadan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bai Fang Li. Kebanyakan dari kita menyumbang kalau sudah kelebihan uang. Jika hidup pas-pasan keinginan menyumbang hampir tak ada.


Bai Fang Li berbeda. Ia menjalani hidup sebagai tukang becak. Hidupnya sederhana karena memang hanya tukang becak. Namun semangatnya tinggi. Pergi pagi pulang malam mengayuh becak mencari penumpang yang bersedia menggunakan jasanya. Ia tinggal di gubuk sederhana di Tianjin , China .
Ia hampir tak pernah beli makanan karena makanan ia dapatkan dengan cara memulung. Begitupun pakaiannya. Apakah hasil membecaknya tak cukup untuk membeli makanan dan pakaian? Pendapatannya cukup memadai dan sebenarnya bisa membuatnya hidup lebih layak. Namun ia lebih memilih menggunakan uang hasil jerih payahnya untuk menyumbang yayasan yatim piatu yang mengasuh 300-an anak tak mampu.
Tersentuh
Bai Fang Li mulai tersentuh untuk menyumbang yayasan itu ketika usianya menginjak 74 tahun. Saat itu ia tak sengaja melihat seorang anak usia 6 tahunan yang sedang menawarkan jasa untuk membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Usai mengangkat barang belanjaan, ia mendapat upah dari para ibu yang tertolong jasanya.
Namun yang membuat Bai Fang Li heran, si anak memungut makanan di tempat sampah untuk makannya. Padahal ia bisa membeli makanan layak untuk mengisi perutnya. Ketika ia tanya, ternyata si anak tak mau mengganggu uang hasil jerih payahnya itu untuk membeli makan. Ia gunakan uang itu untuk makan kedua adiknya yang berusia 3 dan 4 tahun di gubuk di mana mereka tinggal. Mereka hidup bertiga sebagai pemulung dan orangtuanya entah di mana.
Bai Fang Li yang berkesempatan mengantar anak itu ke tempat tinggalnya tersentuh. Setelah itu ia membawa ketiga anak itu ke yayasan yatim piatu di mana di sana ada ratusan anak yang diasuh. Sejak itu Bai Fang Li mengikuti cara si anak, tak menggunakan uang hasil mengayuh becaknya untuk kehidupan sehari-hari melainkan disumbangkan untuk yayasan yatim piatu tersebut.
Tak Menuntut Apapun
Bai Fang Li memulai menyumbang yayasan itu pada tahun 1986. Ia tak pernah menuntut apa-apa dari yayasan tersebut. Ia tak tahu pula siapa saja anak yang mendapatkan manfaat dari uang sumbangannya. Pada tahun 2001 usianya mencapai 91 tahun. Ia datang ke yayasan itu dengan ringkih. Ia bilang pada pengurus yayasan kalau ia sudah tak sanggup lagi mengayuh becak karena kesehatannya memburuk. Saat itu ia membawa sumbangan terakhir sebanyak 500 yuan atau setara dengan Rp 675.000.
Dengan uang sumbangan terakhir itu, total ia sudah menyumbang 350.000 yuan atau setara dengan Rp 472,5 juta. Anaknya, Bai Jin Feng, baru tahu kalau selama ini ayahnya menyumbang ke yayasan tersebut. Tahun 2005,


Bai Fang Li meninggal setelah terserang sakit kanker paru-paru.
Melihat semangatnya untuk menyumbang, Bai Fang Li memang orang yang luar biasa. Ia hidup tanpa pamrih dengan menolong anak-anak yang tak beruntung. Meski hidup dari mengayuh becak (jika diukur jarak mengayuh becaknya sama dengan 18 kali keliling bumi), ia punya kepedulian yang tinggi yang tak terperikan.

Dari:http://aatblog.wordpress.com/
-----------------------------------------------------------------------------------
Ayo Sobat Taqwa, jangan mau kalah dengan yang lain, mari berlomba menebar kasih dan kebaikan.

http://www.facebook.com/notes/inspirasi-taqwa/tukang-becak-yang-luar-biasa/179532612060344

Dukungan Kita Adalah Segalanya Bagi Dirinya


Sahabatku, pernahkah kita bertanya bagaimanakah anak-anak kita dididik di sekolahnya. Apakah dia diperlakukan selayaknya insan pembelajar atau sekedar manusia pecundang. Ataukah dia diposisikan sebagai pengejar kesuksesan ataukah sekedar pemburu nilai kelulusan.
Mari pula merenung, tentang bagaimana kita memperlakukan dia kala dirumah, Apakah kita tetap mendukung dan mencintainya meskipun nilai-nilainya berantakan dan berselimut kesedihan, ataukah kita justru berang meradang penuh kemarahan jika dia gagal dalam studinya. Kisah inspiratif berikut dialami seorang tokoh nasional kita, semoga hikmahnya mampu membuka mata hati kita semua. Selamat membaca
___________________________________________________________



LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
Mereka menunjukkan grafik grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.


Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.


Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-
temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

http://www.facebook.com/notes/inspirasi-taqwa/dukungan-kita-adalah-segalanya-bagi-dirinya/180023758677896

Ketika Jilbab Terasa Berat


♥♥♫•*¨*•.¸¸ï·²¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨*•.¸¸ï·²¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Aku persembahkan untaian mawar kata yang tak akan engkau lupa selamanya.
Ingat-ingat selalu…dan pahamilah sebaik-baiknya!
• Berjilbab sebelum menghadapi hisab.
• Wanita tak berjilbab bagai rumah tak berpagar.
• Kerudung lambang ketakwaan dan Islam …kerudung bukti rasa malu dan kesusilaan….kerudung menjaga kewibawaan dan kehormatan…kerudung mahkota terindah untuk kecantikanmu dan bukti terbesar atas kesopanan serta kesempurnaan dirimu.
 • Hai wanita mukmin yang mulia, lindungilah tubuhmu dari sorot tajam mata-mata keranjang…bentengi dengan perisai kesusilaan untuk melumpuhkan panah-panah tajam.
• Bukankah satu hal konyol sekaligus memperhatiakan bila kita melihat wanita tua menambal garis-garis keriput di wajahnya dengan kosmetik dan mengenakan pakaian laki-laki seperti celana panjang dan t-shirt??
• Betapa ruginya wanita yang tak berjilbab…ia sesat dan lalai…ia jual surga dengan harga murah untuk membeli neraka jahim dengan harga mahal.
Apakah diantara wujud iman kepada Allah itu mendahulukan maksiat kepada-Nya ketimbang manaati-Nya? Duh betapa ruginya para wanita, kala mereka rela melepaskan sesuatu yang lebih baik dan mengambil yang tidak bergarga. Yakni ketika mereka memilih bertabarruj menggantikan busana jilbab. Sepadankah budaya buka-bukaan, ugal-ugalan ketelanjangan bila dibandingkan dengan budaya malu, kesusilaan dan kewibawaan ? Modal menikmati masa muda bagaimana yang engkau inginkan, sementara saat keluar ke jalan tanpa berhijab hakikatanya engkau melakukan dosa setiap orang memandangmu? Hitung setiap hari, berapa jumlah dosa yang engkau pikul akibat tabarrujmu saat beribu-ribu pasangmata laki-laki menatapmu.
Berpikirlah wahai wanita, betapa sering engkau melakukan dosa besar ini dan mempertontonkan aurat! Betapa banyak kehormatan yang telah engkau rampas! Banyak sudah fitnah yang engkau bangkitkan! Berapa banyak mata tajam yang telah menelan dangingmu dan menikmati kecantikanmu? Dan berapa banyak jiwa kotor yang ingin menjalin hubungan denganmu? Totallah jumlah dosa-dosa ini setiap kali engkau keluar dan pergi sepanjang hayatmu, niscaya engkau mendapatinya sebagai dosa yang sangat berat, membuatmu tertatih-tatih memikulnya. Dan engkau tak kan sanggup membawanya di hari kiamat. Beginikah cara menikmati masa muda wahai wanita malang, tanpa batas dan aturan-aturan syariat?!


Sesungguhnya jika ia mau merenungkan barang sebentar hal tersebut, pasti wajahnya merah merona karena malu dan ia akan menutup kecantikan dan perhiasannya dari mata-mata buas yang tak tau malu. Tidak berarti ketika memakai jilbab engkau hidup introvert, menjauh dari pergaulan masyarakat. Sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, Islam menghendakimu menjadi pribadi yang supel, mudah akrab dan ramah dengan orang lain: enerjik dengan tetap menjaga rasa malu: rendah hati tapi tidak rendah diri; memiliki harga diri tanpa di bumbui kesombongan.
Pemalu, tidak suka menyakiti, jujur, tidak banyak bicara, banyak berbuat, hati-hati, berbakti lagi suka menyambung silaturahmi, tahu terimakasih lagi penyebar, Siapa melihatmu , siapa berkawan denganmu ia mencintaimu. Dan, seorang wanita yang murah senyum serta berpandangan luas. Renungkanlah sendiri betapa berat beban dosa-dosa ini. Dan untuk selanjutnya, ingat kembali misimu dalam kehidupan ini, untuk apa engkau diciptakan? Engkau akan menemukan jawaban yang benar-benar kontras dengan realita yang engkau jalani. Maka segeralah melakukan taubat tulus kepada Allah sebelum perjalanan ke negeri akhirat keburu lepas.
♥♥♫•*¨*•.¸¸ï·²¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨*•.¸¸ï·²¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/ketika-jilbab-terasa-berat/10150091364891042