Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Selasa, 07 Desember 2010

Biar Asa Ini Terbang

Bismillaahirrahmaanirrahiim Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ============================ Kesel, suntuk, bete, marah jadi satu saat ini. Bayangkan hanya dua maddah yang lolos dari sembilan maddah tahun kemarin. Strees sudah pasti dan juga ini yang membuatku frustasi plus putus asa. “Alhamdulillah, syukur dong, Dit,“ Amir teman sekamarku mengomentari rasa suntukku. “Syukur sih syukur, ente nggak merasakan sih apa yang aku rasakan.” Amir teman yang juga adik kelasku di pondok sekarang justru kakak tingkatanku. Sewaktu masih anak baru di sini mungkin mereka-mereka itu, oh ya aku lebih suka menyebut orang-orang yang studinya lancar disini dengan ‘mereka’ kamu tahukan mereka-mereka itu berbeda denganku. Mereka-mereka itu boleh saja merayuku dengan bahwa, aku masih anak baru, biasa di Mesir atau, ada juga yang mengatakan “di Kairo ini, Dit, yang wajar itu kalau studi itu di lalui lebih dari empat tahun” waktu kala pertama kali mungkin perkataan itu masih mengena, tapi sekarang Ah… Sebenarnya alasan lain yang membuatku kesal adalah Andrie, pria blasteran ini selalu saja meledekku. Pertama aku mengenalnya saat kami sama-sama lulus utusan Depag. Kuakui dia pintar, tapi sombongnya itu lho, nggak kuat ... "Dirty, tinggal berapa nih? Rencananya mo nambah berapa tahun depan" Andrie, ia selalu memanggil orang lain sesukanya saja. Sepertinya aku sudah kalah, maka sekarang keputusan untuk tidak melanjutkan kuliah di Mesir adalah pilihan yang tepat. Sebenarnya aku tidak mau ada acara apapun menyangkut kepergianku ini, tapi banyak teman-teman memaksa. Aku pikir ada baiknya juga, aku sudah cukup lama tinggal di Kairo, saat perpisahan itu tentu bisa aku manfaatkan buat maaf-maafan. --------------------------------------------------- Malam ini, walaupun ramai sekali kawan-kawan yang datang, tapi terus terang aku agak ragu, ada rasa tak menerima ini semua. Sepi, sepi sekali jiwa ini. Aku lebih memilih menyendiri di kamar dengan alasan membereskan barang-barang yang akan dibawa besok. Aku benar-benar meminta hak privasi penuh untuk sendiri, dan kawan-kawan sepertinya paham. Hanya ... "Tok-tok-tok..." Kudengar suara ketukan di pintu bercampur suara gelak tawa anak-anak di luar. "Tolong kawan jangan coba membujukku lagi, sudah cukup!" "Maaf, Dit kalo ini membuatmu menganggu, hanya..." Ternyata seorang wanita, mungkin suruhan teman-temanku. Ku akui mereka sangat perhatian padaku, hanya sayang tekadku sudah bulat, walaupun harus menurunkan seorang wanita sekalipun. Hanya? "Hanya apa?" Penasaran juga aku dibuatnya. "Hanya sekedar mengobrol." "Ah, bukankah di luar masih banyak orang, kenapa harus aku?" "Yah, tapi mengobrol dengan orang yang senasib tentu berbeda bukan?" Apa sih maunya perempuan ini? "Sudah begini saja, Nona, kalau ukhti masih bersikeras mau bertemu saya dan mungkin untuk merubah keputusan saya, sepertinya ukhti buang-buang waktu aja deh." "Tidak, tidak harus bertatap muka. Begini lebih baik." Mendengar suaranya seperti aku pernah mengenalnya lama, tapi siapa ya? "Apakah saya kenal denganmu?" "Mungkin ia, mungkin juga tidak. Yang pasti saya kenal antum." Walau aku tidak melihat wajahnya kuakui dari cara ia bicara, ia perempuan yang cerdas. Semakin penasaran aku dibuatnya, mau melihat wajahnya, aku masih cukup gengsi menelan kata-kataku sendiri. "Baik kalau ukhti mau sekedar ngobrol silahkan, dengan syarat tak perlu tatap muka dan satu lagi jangan berbicara tentang keputusanku ini. Setuju?" "Sebenarnya aku datang bukan untuk mendengarkan. Boleh saya minta waktu antum sebentar untuk tidak mengomentari apapun yang saya katakan." Apa lagi sih maunya perempuan ini, terserahlah. "Hemm...." "Sayang ya, ketika kita harus menghancurkan mimpi sendiri." Terus terang aku belum paham apa yang ia inginkan, hanya kerutan di kening ini yang jadi komentarku. "Mimpi yang kita bangun. Letih, lelah, yang selama ini kita tahankan jadi tak berarti, benar-benar tak berarti, kenapa tak dari awal mengambil keputusan ini? Antum masih menyimpan harapan itu bukan?” "Hey, nona! Kita sudah sepakat bukan untuk tidak membicarakan yang satu ini." "Kenapa? Jangan bohongi diri sendiri, Dit. Aku tahu ada rasa tak menerima ini semua, jangan lawan hati nuranimu, Dit..." "Cukup! Tolong nona, aku sudah cukup sabar selama ini. Dan Anda, jangan berbicara hal yang ukhti nggak mengerti itu..." "Apa? Antum pikir saya nggak mengerti? Antum pikir kesabaran itu terhenti pada hitungan tahun? Jangan pikir saya nggak mengerti? Memang antum pikir dua tahun sudah cukup buat mengerti segalanya, gimana kalau tiga atau mungkin malah lima..." Ada gemuruh di dada ini, kalau saja ia bukan seorang wanita mungkin aku sudah mengusirnya dari sini. "Ok, nona, mereka yang kau dengar suara gelak tawa di luar itu berbeda denganku." Aku mencoba merendahkan suaraku. "Mereka tak pernah mengerti dan tak pernah memahami saya. Mereka berbicara ringan padahal berat ada di tanganku. Aku gagal nona, aku gagal. Tak pernah ada yang memahami dan takkan pernah." "Kalau kau pikir ini bisa membuatmu tenang, silahkan saja kau ambil jalan ini. Dan kalau kau berpikir tak ada orang yang memahamimu apa yang kau rasakan, kau salah. Satu lagi kalau kau pikir kau sudah cukup bersabar dengan dua tahun, antum salah, Dit. Karena empat tahun telah mengajarkanku semuanya." Kudengar suara orang berjalan meninggalkan pintu kamarku. Aku masih memikirkan apa yang ia katakan. Malam ini malam yang panjang bagiku. Langit di Kairo dengan sedikit awan, ternyata lebih kupilih. Sekarang aku ada di depan bangunan dengan bendera Amerika, Inggris dan Israel yang tercat di jalan masuk ke pintu gedung. Gedung yang selama dua tahun ini menemaniku. Malam itu benar-benar malam yang panjang, sewaktu perempuan itu bertanya padaku dengan pilihanku ini bisa menyelesaikan segalanya, aku sudah tahu ia benar. Kerana aku tidak ingin kalah dua kali jika harus membayangkan wajah gembira Andrie. Aku masih belum tahu perempuan yang telah menolongku pada malam itu dan aku masih terus mencari tahu. Aku sudah menanyakan kawan-kawan yang datang pada malam itu, tak ada yang tahu dengan kehadirannya, mereka semua terlalu sibuk dengan diri masing-masing, sekarang hanya tinggal satu harapan mencari setiap nama yang pernah gagal di kuliah putri. Ini tidak mudah, sangat tidak mudah. -------------------------------------------------- Aku hampir lupa dengan 'malaikat' yang telah membuatku bangkit, terlalu sibuk dengan ujianku. Semangat ini semakin besar ketika kutahu bahwa telah bertambah satu orang lagi yang akan kecewa melihat aku jatuh, ternyata cukup ampuh tentu dengan do'a juga, sekarang tinggal menunggu hasil tentunya. Liburan ini aku manfaatkan untuk kembali mencari imformasi tentang perempuan misterius itu. Usahaku ternyata tidak sia-sia dengan bantuan kawan-kawan hasilnya, Fitria Ningsih. Keputusannya besok aku akan pergi ke rumahnya, untuk mengucapkan terima kasih yang tertunda. Aku masih membayangkan seperti apa sih, Fitri Ningsih ini? Ah, berpikir tentangnya membuatku susah tidur. Ternyata aku harus pulang juga ke Indonesia liburan ini, perkiraanku hanya akan menghabiskan waktu di Mesir liburan kali ini ternyata meleset. Keputusan pulang ini kuambil setelah seminggu aku memutuskan datang ke rumah Fitria Ningsih, lebih tepatnya bekas rumahnya, karena ternyata sang ‘malaikat’ku sudah pulang dan sepertinya tidak akan kembali. Ketika kutanya kepada kawan-kawannya alasan ia berhenti tak ada yang tahu alasan jelasnya dan akhirnya... "Tunggu sebentar ya, Non Fitri masih ada kerjaan di belakang." Seorang wanita setengah baya mempersilahkanku duduk, mungkin pembantu Fitri. Entahlah. Rumahnya cukup besar, eh itu dia datang bersama adiknya sepertinya, kira-kira seumuran Dita adik perempuanku. "Assalamualaikum, Fit." "Wa’alaikum salam, silahkan duduk." "Masih kenal saya kan?" Ia hanya tersenyum sebentar dan kembali tertunduk, dan kulihat Adiknya duduk di sebelahnya masih asik menyisiri boneka Barbienya. "Sebenarnya maksud kedatangan saya kesini ingin mengucapkan terima kasih." "Atas apa?" "Atas apa yang telah ukhti lakukan buat saya. Lewat lisan ukhti saya mencoba bangkit kembali." Kulihat ia hanya mengangguk sedikit. "Dan ada lagi maksud kedatangan saya kesini ingin menanyakan alasan ukhti berhenti kuliah? Itupun kalau ukhti tidak keberatan menjawabnya." Kulihat ia menarik nafas panjang, sepertinya ada beban yang menghimpit di dadanya. "Saya malu Dit, terlalu lama saya bertahan... " Berat sepertinya ia mengucapkan itu. "Saya bingung dengan ukhti, ukhti mampu merubah saya tetapi kenapa ukhti tidak mampu melawan diri ukhti sendiri. Bukankah ukhti yang bicara sendiri kepada saya bahwa kesabaran itu tidak pada hitungan tahun bukan?" terpaksa ku potong ucapannya. "Masalahnya berbeda, Dit. Saya seorang perempuan, Dit." "Berbeda? Apa yang berbeda, yang saya tahu ukhti sekarang sedang putus asa seperti apa yang saya pernah rasakan." "Orang tua saya takut kalau saya tidak mendapatkan jodoh, Dit!" Kulihat ada beberapa titik air mata yang jatuh dari matanya, ia berusaha menutupi sedihnya. "Kenapa ukhti tidak menyakinkan orang tua ukhti?" "Menyakinkan apa? Menyakinkan saya akan mendapatkan jodoh. Bagaimana saya menyakinkan orang lain pada hal yang saya sendiri tidak yakin akan hal itu?" "Ukhti tidak yakin?" Kulihat ia hanya menggeleng dengan tetap menundukkan kepalanya. "Tahukah ukhti, saya percaya dan saya akan membuktikannya?" Aku berhenti sebentar, mencoba benar-benar menyakinkan dan menenangkan diri. Kutarik nafasku dalam-dalam, tekadku sudah baik insya Allah, bismillahirrahmanirrahim.. "Saya siap menjadi suami ukhti.." "Jangan bercanda, Dit" "Saya tidak sedang bercanda, saya serius," kataku mantap. Kulihat ia diam agak lama, mungkin bingung memikirkan apa yang baru saja saya utarakan. "Dengan alasan apa? Dan lagi saya lebih tua dari antum, juga antum belum mengenal saya." "Kalau ukhti menanyakan alasan, karena saya cinta ukhti karena Allah, saya pikir ini sudah cukup menjawab semuanya. Sekarang tolong jawab pertanyaan saya, maukah ukhti menikah dengan saya?" Kulihat ia hanya diam. "Saya akan menghitung sampai tiga, jika tidak ada jawaban saya anggap ukhti setuju. Satu.. dua..ti..tiga. Alhamdulillah," ucapku syukur. Kulihat ia menangis tapi aku juga melihat ada senyuman di sana, ia pun bangkit dari duduknya dan sebelum ia pergi aku sempat berkata. "Terima kasih ukhti, saya permisi dulu dan minggu depan saya akan buktikan kata-kata saya, saya akan melamar ukhti." Setelah itu akupun pulang dengan seribu bunga di dada, oh indahnya. ------------------------------------------------------------------------------------- Epilog: Akhirnya kami menikah dan bulan madunya keluar negeri, tepatnya ya... ke Kairo. Aku juga naik, walaupun masih tinggal satu maddah. Tapi, aku tidak perlu takut lagi untuk berputus asa karena ada yang akan menemani, memberiku semangat dan meneguhkanku istriku, Fitria Ningsih. Asa ini akan terbang tinggi, sangat tinggi... Barakallahufikum..semoga bermanfaat Wassalam 


http://www.facebook.com/notes/renungan-dan-motivasi-ifta-istiany-notes/motivasi-biar-asa-ini-terbang/176041685757820