Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Rabu, 30 Maret 2011

Kebutuhan atau Tuntutan ?


Dalam kehidupan rumah tangga, mencari nafkah adalah memang kewajiban seorang suami. Dan sudah menjadi kemakluman jika istri dapat meminta sesuatu kepadanya berdasar apapun keinginannya. Kerja keraspun dilakukan sang suami dengan niat yang kuat demi kebahagiaan dan terpenuhinya kebutuhan keluarga.

Namun,disisi lain, ada sebuah kenyataan yang sangat disayangkan sekali yaitu ketika keinginan tersebut berlanjut menjadi sebuah tuntutan yang memberatkan atau bahkan sampai menyulitkan para suami. Pengorbanan suami menjadi sesuatu yang kurang dihargai. tiada kata terimakasih, yang ada malah selalu kalimat dan keluhan tentang kurang dan selalu kurang. Sampai akhirnya, suami hanya menjadi proyek korban dari ambisi sang istri, MasyaAllah.
...Memanglah mendapatkan pengayoman dan nafkah dari suami adalah kesempatan dan hak para istri. Namun bukan berarti hal tersebut adalah peluang untuk menyusahkan mereka...
Kesempatan bukan berarti memanfaatkan, dan memanfaatkan bukan berarti tidak pengertian. Memanglah mendapatkan pengayoman dan nafkah dari suami adalah kesempatan dan hak para istri. Namun bukan berarti hal tersebut adalah peluang untuk menyusahkan mereka. Jangan biarkan batin mereka berkata, "Mengapa hari- hariku hanya habis untuk mencari uang sebagai pemenuhan dari tuntutan yang berlebihan dari istriku". Betapa menyakitkan jika keadaan kita tersebut dikembalikan pada kita. Betapapun memang pemenuhan nafkah adalah tanggung jawab mereka, betapapun kuat dan tangguhnya fisik dan batin para suami tersebut, namun mereka tetaplah manusia yang membutuhkan istirahat, dihargai dan dibahagiakan atas semua jerih payah mereka. Maka bahagiakan mereka dengan limpahan rasa syukur seorang istri. Syukur bukan berarti membiarkan tidak terpenuhi dan menerima semua keadaan dengan hanya berserah diri. Bersyukur berarti menerima dengan penuh terimakasih dan menunjukkan kesungguhan diri serta kesabaran dalam memanfaatkan dan mengolah pemberian itu.

Belajar menerima dengan senyum tentang nafkah berapapun yanng Diberikan suami adalah memang pembelajaran yang sangat sulit. Mengingat sebagai "manager keuangan", sang istri kadang kala terbentur dengan keadaan yang terdesak karena kurangnya jumlah yang diberikan suami. Sedangkan sebagian sikap dari para "oknum" suami, merasa ogah- ogahan dengan semua permasalahan itu dan menyerahkan tugas pengaturan hanya kepada istri. Kalau sudah begini, kadangkala konflik menjadi jalan penyelesaian. 
...Yakinlah, bahwa sang suamipun sebenarnya tidak sampai hati saat melihat kekurangan yang ada pada keluarganya, namun keterbatasan mereka sebagai manusia tidak banyak memberikan mereka kesempatan untuk bisa berbuat lebih...
Meletakkan ego atas tugas dan kewajiban masing- masing demi kerukunan sebuah rumah juga bukan perkara yang mudah untuk dilakukan. Pikiran sehat yang dikedepankan disaat emosi memuncak, juga bukan tindakan yang sepele untuk dilaksanakan, namun satu hal yang harus kita ingat, suami istri adalah partner seumur hidup dalam kerjasama. Dan kerjasama yang baik adalah tentang diskusi dan komunikasi. dan tetap pada akhirnya keluasan dan kesabaran hati sang istri adalah pengobat dari kesusahan suami. Yakinlah, bahwa sang suamipun sebenarnya tidak sampai hati saat melihat kekurangan yang ada pada keluarganya, namun keterbatasan mereka sebagai manusia tidak banyak memberikan mereka kesempatan untuk bisa berbuat lebih. Dan ketika mereka diberi kesempatan Allah untuk mendapat rejeki yang lebih banyak, insyaallah jika mereka tergolong suami yang baik, maka mereka akan selalu mendahulukan kepentingan keluarga bahkan diatas segala kesukaan mereka sendiri.


http://voa-islam.com/muslimah/article/2011/03/23/13906/kebutuhan-atau-tuntutan/

Kisang Jagung


Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia dibalik buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga disekitar perkebunannya.

"Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?" tanya sang wartawan.

"Tak tahukah anda?," jawab petani itu.

"Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula."

Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang disentuhnya. Tetapi jika kita selalu berpikiran negative dengan mempengaruhi yang lain maka kehidupan kita juga akan menjadi negative.


http://www.facebook.com/notes/kata-kata-hikmah/kisang-jagung/10150127573020849

aku menunggumu.......


*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Ini bukan sekedar kata-kata agar kamu jatuh hati padaku, namun ini
adalah kejujuranku. Mengapa aku berkata seperti ini? Karena aku menyukai
orang-orang yang mencintaiNya. ... yang mencintai RasulNya... dan denganmu...
kuharap keteguhanmu bisa mengajakku serta untuk semakin mencintaiNya. ..

Aku merindukanmu karena Allah

Ini bukan untaian rahasia dalam hatiku untuk memikatmu. Mengapa aku
berkata seperti ini? karena aku tahu... mengucapkan ikrar suci itu
menyempurnakan hidupku. Dan... Pernikahan adalah sunnah Rasullullah dan
Rasulullah adalah kekasih Allah. Cinta adalah anugerahNya yang ditumbuhkan
dihati orang-orang yang dikehendakiNya. Bagaimana aku tidak merindukan
kehadiranmu wahai kekasih.... to come in my life ???

Aku menunggumu karena Allah

Ini bukan rajutan perasaan untuk sebuah penantian. Mengapa aku berkata
seperti ini? Karena aku tahu, diriku terlalu banyak kekurangan.. . dan
karenanya... aku butuh seseorang yang lebih halus untuk menaklukkan hatiku
yang tegas dan yang lebih tangguh untuk menguatkan hatiku yang lemah dengan ijinNya...

Aku tahu... terlalu banyak yang harus aku perbaiki... karenanya, aku menunggumu untuk menjadi pendamping hidupku... aku menunggumu untuk
lebih membimbingku dengan tulusmu... untuk lebih mengajariku dengan
sabar hingga kenikmatan imanku terhadapNya semakin dalam dengan
ijinNya.... disetiap harinya... untuk selama-lamanya Amin...

Aku tahu, dalam hatiku... aku tak ingin hidup sendiri, karenanya, aku
berharap... Allah menganugerahkan padaku seorang imam untuk berbagi
banyak hal dan menerima apa adanya diriku beserta keluargaku.. .
Kekasih... bila Engkau benar-benar ada dalam hidupku...
semoga Allah memantapkan hati kita dan mendekatkan kita dijalan yang lebih Ia Ridhoi
Amin...

Aku mencintaimu karena Allah... aku merindukanmu karena Allah dan aku menunggumu karena Allah...
diraga manakah jiwamu bersemayam?? ?
Dari sini aku menatap jejakmu dengan raga yang menari bersama angin...
diantara gemuruh ombak kerinduanku
Rasakan getarku... yang membiarkan selarik bintang menemanimu serta untuk menjemputku. ..
meski mungkin tak ada peta yang bisa dirimu genggam...
ijinkan bisik hatiku sebagai petunjuk arahmu dengan ijinNya...

Ya Rabbi... redamkanlah rinduku dijalan yang terbaik menurut Engkau untuk dunia dan akhiratku Amin....
Bila kerabat dan teman tak lagi cukup untuk menemani kehidupanku. ..
maka hari itu adalah yang aku tunggu... apakah dia, jawaban itu???


http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/aku-menunggumu/10150166871676042

Saat Bu Direktur Jadi Pembantu


*¨*•.¸¸¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Ini merupakan kisah nyata. Saya mengetahui sendiri kisah ini, saya tuliskan di blog saya agar menjadi pelajaraan bagi kita semua. Kisah ini mengingatkan saya bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan dariNya. Tidak ada kuasa apa pun bagi kita untuk menyombongkan diri terhadap titipan Tuhan karena setiap saat bisa diambil olehNya, seperti yang dialami ibu direktur ini.
Ibu direktur ini, dulunya adalah istri seorang pengusaha yang sukses. Iya dong, namanya aja ibu direktur, pasti istri seorang direktur dong, hehehe. Saat masih jaya sebagai orang kaya, kehidupan keluarganya sangat royal. Setiap keluar produk kendaraan baru, pasti keluarganya segera membeli. Barang-barang di rumahnya adalah barang dengan kualitas terbaik. Terkadang saat saya ke rumah beliau, saya sering “ngiler” dibuatnya.
Dibalik kekayaan yang dimiliki, ada satu sisi kejelekan yang dipunya oleh keluarga ibu direktur ini. Sang ibu direktur kurang akrab dengan keluarganya. Menurut kabar burung yang saya dengar, ibu direktur ini selalu enggan menolong keluarganya saat mereka dilanda kesusahan. Bahkan dalam pergaulan dia selalu pilih-pilih, dia mau bergaul dan menyapa orang yang sepadan dengan dirinya dalam hal ekonomi. Jangan harap orang biasa akan disapa oleh ibu direktur ini.
Walaupun ibu direktur tidak mau menolong sesama apalagi keluarganya yang kesusahan, ditambah hidupnya yang boros, tetapi Allah tetap memberinya kesempatan menjadi orang kaya. Rejeki yang diberikan Allah pada suaminya tetap dicurahkan dengan jumlah yang besar sehingga tidak pernah kurang sedikit pun.
Akhirnya, mungkin karena doa saudara-saudaranya yang sakit hati. Ditambah kesombongan keluarga ibu direktur ini. Allah pun memberinya peringatan. Bisnis suaminya mengalami hambatan, sampai akhirnya sang suami jatuh bangkrut. Sepanjang pengetahuan saya waktu itu, salah satu penyebab lain karena sang suami juga berselingkuh dengan wanita muda. Mungkin uangnya dihambur-hamburkan dengan wanita simpanan tersebut.
Semua harta keluarga ibu direktur akhirnya habis untuk membayar hutang-hutang bisnis suaminya. Saat mengalami kondisi inilah akhirnya ibu direktur sadar, betapa tidak enaknya menjadi orang susah. Batapa sakit hatinya saat mengalami kesusahan, minta tolong pada saudara-saudara tapi dicueki oleh mereka. Betapa tidak enaknya menjadi orang yang dipandang rendah, karena kini dia menjadi seorang PEMBANTU…!!!
Saudaraku, dari kisah ini, marilah kita mengambil pelajaran. Marilah tetap kita ingat, bahwa hidup itu benar-benar seperti roda. Kadang kita diatas, kadang kita di bawah. Kita tidak akan pernah tahu bahwa orang yang kita anggap remeh suatu saat akan lebih baik dari kita. Karena itu,  saat kita berada di atas, janganlah kita sombong, meremehkan orang lain, dan berbuat sesuka kita. Karena semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah semata.
Semoga bermanfaat, sukses untuk anda…..


http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/saat-bu-direktur-jadi-pembantu/10150166866996042

Ngepel bareng Jin


Hari ini giliran jarun yang mengepel lantai masjid. Jarun mendapat jatah setiap Sabtu pagi selepas sholat dhuha. Lantai masjid yang dua kali lebih besar dari lapangan basket di jajaki dari pojok dekat tempat wudhu.

Satu petak dua petak jarun melangkah, tapi rasanya ada yang salah.
Satu petak dua petak jarun mengulangi, tetap saja ada yang keliru.
Satu petak dua petak lagi, walaaaa pasti ada yang tidak beres..!!

Jarun membanting  pel membiarkan tergeletak berantakkan dengan air di ember yang bercipratan di sekeliling tempatnya ngepel tadi. Ada yang salah, ada yang keliru memang. Kemana lagi jarun pergi kalau bukan ke rumah gurunya kyai Badrun yang dia kenal sejak kecil.

" Kenapa lagi, run?"
" Masalah, kyai. Gawat!"
"Gawat apanya?"
"Gawat ya gawat kyai"
"La iya tapi kenapa gawat?'
" Masjid sudah di susupin jin nakal kyai, dari dulu sampai sekaang, baru sekarang, saya berani di goda sama jin, kyai."
"ah jin. Jin apa?"
"Jin ya jin , kyai. Ini sudah tidak beres."
"Walaa memangnya jin itu ngapain kamu run?"
"Begini kyai, ketika saya ngepel lantai masjid, bukannya tambah bersih malah tambah kotor. Sekali dua kali masih kotor. tiga kali tambah kotor. Gimana toh kyai, pasti ini ada apa-apanya. Ndak tahu jin dari mana yang berani-beraninya ganggu saya bersihin mushola."
"Haha jin arab kali run..."
"Arab itu jauh kyai, jinnya pasti naik pesawat, bayarnya mahal. Ndak mungkin kyai, kalau benar dari arab, pasti jinnya kaya."
Haha.. kyai ketawa lagi.

Muridnya yang satu ini memang aneh. Kalau masjid kotor karena di pel, bukan berarti ada jin yang sedang mengganggu.
Bukan pula karena lantainya tak mau diatur. Bisa jadi karena kain pelnya yang kotor, lupa di bersihkan, dan justru membuat lantai jadi kotor.

****

Manusia itu seperti lantai, setiap hari, setiap detik selalu aja ada debu yang menempel dan menjadi kotor. Sebersih apapun seseorang, dia tak akan luput dari kesalahan dan kekeliruan. Baik karena khilaf, lupa, tidak sengaja atau malah di sengaja sekalipun. Namanya juga manusia, tempat salah dan lupa. Al insaanu mahallul khoto wan nisyaan.

Begitupun sebagai umat, tak lepas dari kesalahan dan kekeliruan menempuh jalan kekhilafan dalam mengambil keputusan. Maka di utuslah Nabi dan Rasul yang menunjukkan jalan kebaikan kepada umat. Lalu setelah habis masa kenabian setelah sang penghulu para nabi Muhammad Saw  wafat berpindah pula tugas itu kepada umat yang menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Ulama yang memegang peranan penting dalam proses ini, membimbing umat menuju cahaya kegemilangan sepeninggal Rasul. Kalau ada yang kotor di bersihkan, kalau ada yang keliru di luruskan. Begitulah kiranya tugas para tokoh agama, entah apa sebutannya : kyai, ustadz, habib, syekh, guru, mu'allim, atau cendekiawan. Seperti kain pel, dia bersihkan lantai yang kotor  agar kembali menjadi bersih. Masalahnya, tidak setiap waktu kain pel yang semula bersih akan tetap terus bisa membersihkan dengan baik.

Menjadi orang yang memberi taushiah penyejuk hati, mengajar pengajian atau sibuk berda'wah ternyata tidak semudah penampilan di kasat mata. Menyerukan kebaikan selalu bermula dari hati. Hati yang bersih akan membuat orang yang diajaknya berbuat baik dan meninggalkan keburukan akan terbukalah hatinya. Hati yang kotor akan kehilangan ketajaman kata dan teladan.
Bukan pula pekerjaan yang mudah di lakoni, karena setiap ucap kata yang keluar, harus di barengi dengan ke ikhlasan dan konsistensi dalam ucapan. Sunggguh besar kebencian di sisi Allah orang yang mengatakan apa yang tidak ia lakukan.

Jika Muhammad sang utusan pun mohon ampun pada TUHANnya paling sedikit seratus kali dalam sehari, bagaimana mungkin seorang manusia biasa telah cukup dengan apa yang telah di lakukannya...
Hati-hati ketika menjadi pemimpin, salah mengucap pun, pengikut setianya akan manut. Kalau banyak kesalahan akan banyak pula orang yang ikut bersalah. Kalau salah mengucap, banyak orang yang menjadi korban kesalahannya.

Dari kasus kain pel dapat diambil kesimpulan ;
Alih-alih membersihkan justru mengotori, alih-alih meluruskan justru membuat orang tersesat. Jadi pemimpin itu sulit.
Selain paham dia butuh keikhlasan. Lillahi ta'ala. Wallahua'lam bishshowab..


http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/-ngepel-bareng-jin-/10150166807996042

KAPAN BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH KUFUR ASHGHAR ?


Setiap orang yang menggunakan dalil surat Al-Maidah : 44 sebagai bukti kekafiran atas thaghut yang tidak berhukum dengan hukum Allah dianggap khawarij dan tidak memperinci tanpa pengecualian. Sungguh ini adalah fitnah !!! Maka adalah kewajiban mendudukkan persoalan ini dengan benar sesuai nash-nash yang ada dan pendapat ulama salafusshalih.

KAPAN BERHUKUM DENGAN SELAIN  HUKUM ALLAH KUFUR ASGHAR ?

Berhukum dengan selain hukum Allah hukumnya kufur asghar ketika seorang penguasa atau hakim memutuskan suatu perkara tertentu[1] dengan selain hukum Allah namun ia masih meyakini bahwa memutuskan perkara tertentu tersebut wajib dengan hukum Allah. Ia berpaling dari hukum Allah dalam masalah tersebut karena maksiat, hawa nafsu dan syahwatnya dengan mengakui bahwa hal itu termasuk dosa dan karena perbuatannya itu ia berhak untuk dihukum.

Kita ketengahkan disini perkataan para ulama dalam masalah ini :

Imam Al Qurthubi berkata :
“ Jika ia menghukumi dengannya (maksudnya bukan dengan hukum Allah) karena mengikuti hawa nafsu dan berbuat maksiat maka itu hukumnya dosa yang bisa diampuni berdasar aqidah ahlu sunah dalam masalah ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa.”[2]

Ibnu Taimiyah berkata :
“ Adapun orang yang komitmen dengan hukum Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan batin tapi ia berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, maka ini seperti pelaku maksiat / dosa lainnya.”[3]

Ibnu Qayyim berkata :
“ Jika meyakini wajibnya menghukumi dengan hukum Allah dalam masalah ini (kasus tertentu) kemudian ia berpaling darinya karena maksiat sementara ia masih mengakui ia berhak mendapat hukuman (atas sikap meninggalkan hukum Allah dalam kasus ini) maka ini kafir asghar.”[4]

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh berkata :
“ Adapun jenis kedua dari dua jenis kekufuran karena meninggalkan berhukum dengan hukum Allah adalah  kufur yang tidak mengeluarkan dari milah…yaitu jika syahwat dan hawa nafsunya membawanya untuk memutuskan suatu kasus dengan selain hukum Allah dengan masih meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itulah yang benar dan ia masih mengakui perbuatannya itu salah dan menjauhi petunjuk. Ini sekalipun tidak mengeluarkan dari milah namun kemaksiatannya sangat besar, lebih besar dari dosa-dosa besar seperti berzina, minum khamr, mencuri, sumpah palsu dan sebagainya. Karena sebuah kemaksiatann yang disebut Allah dalam kitab-Nya sebagai sebuah kekufuran  lebih besar dosanya dari maksiat yang tidak disebut sebagai kekufuran.”[5]

Asy Syanqithi berkata :
“ Siapa tidak menghukumi dengan hukum Allah dengan masih meyakini perbuatannya itu haram dan ia melakukan suatu hal yang buruk, maka kekufuran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari milah.”[6]

Kondisi seperti inilah ---yang disebut tadi--- yang dimaksudkan oleh  perkataan Ibnu Abbas, Atha’, Thawus dan Abu Mijlaz.

Telah tersebut riwayat bahwa Ibnu Abbas berkata tentang ayat,” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.”  [Al Maidah :44].
 “ Bukan kekafiran yang mereka (Khawarij) maksudkan.”[7] Dalam riwayat lain beliau berkata,” Kekafiran yang tidak mengeluarkan dari milah.”[8]

Atha’ berkata,:
” Kufur duna kufrin, dzulmun duna dzulmin dan fisqun duna fisqin.”[9]

Thawus berkata,”
“ Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”[10]

Ketika sekelompok Ibadhiyah menemui Abu Mijlaz, mereka bertanya kepadanya,” Allah berfirman :
” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang dzalim.”
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang fasiq.”
Abu Mijlaz menjawab,” Mereka ---para penguasa--- mengerjakan perbuatan mereka namun mereka tahu itu perbuatan dosa…”[11]

Yang perlu disebutkan di sini ada sementara orang yang memaknai pendapat Ibnu Abas dan atsar-atsar di atas bukan pada tempatnya. Mereka memahaminya secara buruk, karena itu perlu diingatkan di sini beberapa hal:

1). Dhahir konteks ayat-ayat di atas : menunjukkan bahwa maksud ayat –ayat tadi pada asalnya adalah kekufuran, kedzaliman dan kefasikan akbar (yang mengeluarkan dari Islam).[12] Sebagaimana diterangkan oleh asbab nuzulnya ayat, di mana diturunkan kepada orang-orang Yahudi ---sebagaimana telah diterangkan dimuka--- . Kemudian juga para imam tadi seperti Ibnu Abbas dan lain-lain memaknainya secara umum termasuk orang-orang yang tidak kafir[13], mereka mengatakan,”kufur duna kufrin,” padahal konteks ayat menunjukkan ayat-ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir (yang keluar dari Islam—pent), sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain dari Bara’ bin Azib sebab turunnya ayat ini,” Semua ayat ini berkenaan dengan orang kafir.”

2). Yang dikatakan oleh Abu Mijlas kepada Ibadhiyah adalah jawaban beliau untuk menolak pendapat mereka yang mewajibkan Abu Mijlaz untuk mengkafirkan para penguasa (Umawiyah—pent) saat itu karena mereka berada dalam barisan tentara sultan, juga karena mereka melanggar beberapa larangan Allah.

Di antara yang dikatakan oleh Mahmud Syakir mengenai perkataan Abu Mijlaz :
“ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan. Wa Ba’du. Sesungguhnya ahlu raib (orang-orang yang ragu) dan ahlu fitnah di kalangan orang-orang yang mengeluarkan pandangannya (ulama) pada masa sekarang ini telah mencari-cari alasan untuk membela para penguasa dalam hal meninggalkan menghukumi dengan hukum Allah dan dalam memutuskan perkara dalam masalah darah, kehormatan dan harta dengan selain syariah Allah yang diturunkan dalam kitab-Nya dan sikap penguasa yang mengambil UU kafir sebagai UU dalam negeri-negeri Islam. Ketika mereka menemukan dua khabar (riwayat) ini[14], mereka mengambilnya sebagai pendapat yang dengannya mereka membenarkan memutuskan perkara dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan selain hukum Allah dan bahwasanya memutuskan perkara secara umum tidak membuat orang yang ridha dengan hal itu dan pelakunya kafir.
Sampai pada perkataan beliau :
“ Pertanyaan mereka bukanlah apa yang dijadikan hujah oleh para pengikut bid’ah zaman sekarang ini yaitu memutuskan (menetapkan) hukum dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan UU yang menyelisihi syariah orang Islam dan bukan pula dalam masalah membuat UU yang diwajibkan untuk orang Islam dengan berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan atas lisan nabi-Nya. Perbuatan membuat UU selain hukum Allah ini adalah berpaling dari hukum Allah, membenci dien-Nya dan mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum Allah Ta’ala. Ini jelas kekafiran yang tak seorang muslimpun yang ragu mengenainya meskipun mereka masih berbeda pendapat mengenai kafirnya orang yang mengatakannya dan penyeru kepadanya…”
“ Kalau masalah ini seperti apa yang mereka kira mengenai khabar Abu Mijlaz, bahwasanya mereka memaksudkannya untuk sikap sultan yang menyelisihi salah satu hukum dari hukum-hukum syariah Islam, maka sesungguhnya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam peristiwa seorang penguasa membuat suatu hukum dan dijadikannya sebagai UU yang wajib dijadikan keputusan dalam memutuskan perkara. Ini pertama. Selain itu, seorang penguasa yang memutuskan perkara dalam satu masalah tanpa hukum Allah, kedudukan ia boleh jadi karena tidak tahu, maka posisi dia seperti orang tidak tahu lainnya dalam masalah syariah. Dan boleh jadi juga karena memutuskan perkara itu karena mengikuti hawa nafsu dan bermaksiat, maka ini dosa yang bisa diampuni dengan taubat dan maghfirah.”[15]

Di antara yang menguatkan kenyataan ini adalah :

أخرج عبد بن حميد و أبو الشيخ عن أبي مجلزومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون). قال : نعم. قالوا : (  ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون). قال : نعم. قالوا :( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون).قال :نعم. قالوا : فهؤلاء يحكمون بما أنزل الله ؟ قال : نعم, هو دينهم الذي به يحكمون و الذي به يتكلمون و إلبه بدعون. فإذا تركوا منه شيئا علموا أنه جور منهم و إنما هذه اليهود و النصارى و المشركون الذبن لا يحكمون بما أنزل الله

Riwayat Abd bin Humaid dan Abu Syaikh dari Abu Mijlaz ia berkata;
“ Saat orang Ibadhiyah  membaca ayat,” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”  Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”
Mereka membaca lagi ayat,“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul ”
Mereka membaca lagi ayat,“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”
Orang-orang Ibadhiyah bertanya,” Apakah para penguasa memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah ?”
Abu Mijlaz menjawab,” Ya, itulah dien mereka yang dengannya mereka memutuskan perkara dan dengannya mereka berkata dan kepadanya mereka menyeru. Jika mereka meninggalkan sesuatu darinya, maka mereka mengetahui bahwa hal itu kezaliman dari mereka. Sebenarnya (ayat ini) mengenai orang-orang Yahudi, Nasrani dan musyrikin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.”[16]

Maka seyogyanya perkataan Abu Mijlaz –demikian juga perkataan Ibnu Abbas—menurur dhahirnya dan sesuai tempatnya tanpa sikap ghuluw (ekstrem) maupun melalaikan, sehingga tidak seperti Khawarij yang menjadikan sikap menyelisihi syariah secara mutlak kafir akbar dan dalam waktu yang sama juga tidak seperti lawan Khawarij (Murjiah) yang menjadikan menolak syariah dan meminggirkan syariah dan berpaling darinya sebagai sekedar kafir asghar.

Ibnu Abbas sama sekali tidak bermaksud --- demikian juga Abu Mijlaz ---  orang yang menolak komitmen dengan syariah Allah dan berhukum kepada UU jahiliyah. Karena pada masa-masa itu tidak ada orang yang berbuat seperti ini. Perkataan salafus sholih --- dalam masalah ma’siat kufur duna kufur--- berkisar tentang satu masalah atau kasus saja di mana tidak diputuskan menurut hukum Allah, karena lebih menururti hawa nafsu dan bisikan syahwat, dengan disertai sikap mengetahui keharaman dan dosa perbuatan ini, jadi bukan manhaj (system perundang-undangan) secara umum. Hal ini adalah perkara yang sudah jelas sebagaimana dijelaskan oleh perkataan Ibnu Taimiyah yang telah lalu,”Adapun orang yang komitmen dengan hukum Allah dan rasul-Nya secara lahir dan bathin namun berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya maka ia seperti pelaku maksiat lainnya.”[17]

Demikian juga perkataan Ibnu Qayyim,” Jika ia meyakini wajibnya memutuskan hukum dengan hukum Allah dalam satu masalah, kemudian ia berpaling karena maksiat namun ia mengakui ia berhak mendapat hukuman atas perbuatan ini maka ini kafir asghar.”[18]


http://www.facebook.com/notes/melati/kapan-berhukum-dengan-selain-hukum-allah-kufur-ashghar-/192526977452352