Bismillahirohmannirrohim
Mungkin kita pernah
mendengar dari temen atau saudara semuslim kita yang mengeluh akan kehidupan
mereka dengan mengatakan,
“Mengapa ya, hidupku kok masih saja
susah? Padahal ku kan selalu rajin sholat.”
Atau mungkin,
“Mengapa ya, rejeki ku kok masih
juga seret? Padahal aku kan rajin sodaqoh.”
Atau masih banyak lagi
keluhan-keluhan yang ditimpahkan kepada Allah karena keadaan yang terjadi.
Pernah juga satu kali, aku
mendengarkan curhat dari seorang friend yang non muslim, yang di situ dia
bercerita, kalau setelah dia rajin pergi ke rumah ibadah, rejeki yang di
peroleh dari usahanya semakin bertambah dan mudah dalam mendapatkan harta.
Sedangkan di satu sisi dia
juga menceritakan bagaimana kodisi salah satu dari keluarganya yang menjadi
seorang mualaf, ternyata kehidupan ekonominya menjadi serba susah dan
berkesulitan.
Pada saat itu karena tidak
mau berkonfrontasi maka saya hanya tersenyut dan terus menikmati ceritanya yang
sebenarnya membuat saya geli.
Bagaiamana sebenarnya
hubungannya antara Agama dan Harta ( Rejeki ) itu?
Apakah benar dengan memeluk
agama tertentu maka akan mendapatkan kekayaan dan hidup menjadi serbah mudah
dalam segala hal?
Apakah pernah ada seorang
utusan Tuhan menjanjikan kekayaan harta pada pengikutnya?
Apakah benar dengan selalu
mengahadiri masjlis taklim maka pendapatan harta akan bartambah?
Dan apakah benar bila tidak
selalu menghadiri majlis taklim maka sumber pendapatan harta akan
berkuran?
Apakah harta dan kekayaan
dapat menjadi ukuran sesorang itu dekat dengan Tuhan? Lalu apakah kemiskinan
merupakan bukti murka Tuhan?
Apabila seperti itu bukankah
sama halnya kita beragama untuk mendapatkan kekayaan, kamakmuran, kedudukan dan
menghindari kemiskinan di dunia ini?
Untuk mengerti itu semua,
ada baiknya kita memahami bagaiaman kekayaan itu dan bagaimana sebenarnya agama
itu.
Mengenai kekayaan, bukankah
tidak dapat disangkal bahwa didunia ini berlaku juga hukum alam yang selaras
dengan hukum sebab akibat yang konstan."Dan engkau tidak akan menemukan
perubahan dalam aturan Allah." Dan kekayaan atupun kemiskinan tidaklah di
kecualikan dari hukum alam. Seseorang, aktif di pengajian ataupun tidak
aktif, bisa menjadi kaya karena
sebab-sebab yang tersedia di hadapannya, seperti waktu, tempat, relasi dan,
jangan juga, "keinginan untuk kaya" serta usaha yang sangat gigih
untuk menjadi kaya.
Sedangkan mengenai agama,
secara epitemologi, kata “agama” dalam bahasa Sansekerta adalah “kumpulan
aturan”. Dengan akar kata “gam” yang berarti “pergi” dan awalan “a” berarti
“tidak”, maka “agama” berarti “tidak pergi” atau “yang tidak berubah”. Kalau
“gama” diartikan “kacau”, maka “agama” artinya “yang tidak kacau” atau
“teratur.”
Sedangkan secara terminologi
, agama merupakan pedoman dasar untuk membuat manusia pemeluknya hidup teratur
sesuai dengan yang diajarkan agama itu.
Agama diklaim sebagai
“kebenaran mutlak” karena dipercayai ajarannya bukan berasal dari manusia
melainkan dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia melalui utusanNya.
Jadi ternyata secara
epitemologi ataupun terminologi bahwa agama itu hanya mengatur manusia untuk
dapat hidup secara benar sebagai manusia, sehingga tidak terjatuh pada
kekacauan dan tingkah laku yang di luar fitrah manusia.
Contoh dari aturan-aturan
tersebut adalah meliputi mana sesuatu yang boleh di lakukan dan mana yang tidak
boleh di lakukan dalam hidup ini, serta penjelasan-penjelasan bagaimana kita seharusaya
berbuat di dunia ini.
Misalnya pada harta, maka di
dalam agama ada aturan-aturan bagaiamana kita seharusnya mendapatkan harta
dengan baik dan bukanya mengambil hak orang lain, seperti merampok.
Dan pada harta yang dimiliki
itupun juga ada aturan-aturan bagaimana membelanjakannya. Jadi didalam agama
bukanlah di tunjukkan cara untuk mendapatkan harta yang banyak akan tetapi
bagaimana mendapatkan harta dengan cara yang baik dan benar.
Dan tidaklah benar bahwa
amalan yang kita lakukan di dunia ini maka akan dibalas secara instan di dunia
ini oleh Allah dan dosa yang kita lakukan akan mendapat balasan secara instan
juga di dunia ini oleh Allah, sebab apabila hal itu terjadi maka adanya surga
dan neraka di hari pembalasan akan menjadi sia-sia.
Lalu bagaimana dengan
al-Quran pada surat Ibrahim, ayat 7?
Yang berbunyi:
“ Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." “
Sering kali dipahami
penambahan nikmat pada ayat itu adalah dengan bertambahnya kekayaan atau
sesuatu yang telah di dapatkan akan bertambah secara instan, bukannya lebih
ideal apabila memahami penambahan nikmat itu adalah sebuah penambahan kemuliaan
seorang yang telah bersyukur itu di akherat kelak, atau lebih mudahnya
penambahan pahala Sebab bukankah Nabi tidak pernah mengiming-imingi umatnya
dengan harta materi dan kekayaan, akan tetapi berusaha mendidik manusia untuk
menjadi mulia di dunia dan akherat.
Lain dari pada itu kata
“fid-dun’ya hasanah” berarti menjadi baik di dunia, dan bukanlah menjadi kaya
di dunia, sebab ukuran suatu kemuliaan dalam agama adalah menjadi baik sesuai
dengan tuntunan agama itu.
Sehingga tidaklah benar kita
menilai kemuliaan seseorang itu dari kekayaan dan menilai kemiskinan seseorang
itu sebagai suatu kehinaan, melaikan merupakan ujian Tuhan bagi hamba-hamba
Nya.
Seperti halnya yang di
jelaskan dalam al-Quran surat Al-Fajr, ayat : 15 dan 16, yaitu :
15. “ Adapun manusia apabila
Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia
akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku." “
16. Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"[1575].
[1575]. Maksudnya: ialah
Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu
kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat
15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi
hamba-hamba-Nya.
Wallahu a’lam