Suatu
hari, saya terlibat sebuah pembicaraan di sebuah masjid bersama beberapa
pengurus masjid tersebut. Topik obrolan seputar marbot (penjaga masjid) yang
bermaksud meminjam uang kas masjid untuk biaya pernikahan keponakannya.
“Keponakan saya anak yatim piatu, saya yang menanggung semua kebutuhannya sejak
kecil. Sekarang hendak menikah pun, butuh biaya tambahan, ” kira-kira begitu
permohonannya.
Mengingat jasa dan jerih payahnya
dalam menjaga dan membersihkan masjid tersebut, sebagian besar pengurus tak
keberatan untuk membantunya. Yang menjadi masalah, apakah bantuan pinjaman itu
akan diambil dari kas masjid atau dari sumber lainnya. Sementara menurut
bendahara masjid, kondisi keuangan masjid belum bagus. Obrolan pun menjadi
lebih serius, tentu saja tanpa melibatkan orang yang bersangkutan.
Seorang pengurus agak ragu untuk
meminjamkan, bukannya ia kikir. Justru sebaliknya, ia berpendapat jika
sebaiknya sang marbot benar-benar dibantu, bukan dipinjamkan sejumlah uang.
“Saya khawatir ini akan memberatkan dia, jika setiap bulan harus mencicil ke
kas masjid”.
Pengurus lainnya setuju untuk
memberinya sejumlah uang tanpa harus dikembalikan. Begitu juga dengan beberapa
pengurus lainnya yang sepakat untuk mengumpulkan uang yang mungkin tak
sepenuhnya akan menutupi kekurangan biaya pernikahan, namun sedikit bisa
meringankan bebannya.
Seorang pengurus lainnya pun
mengajukan diri untuk berkeliling ke seluruh jamaah untuk membantu Pak marbot
ini, memberi kesempatan untuk bersedekah. Sebab, bukan saja meringankan beban
Pak marbot, melainkan juga memuliakan anak yatim yang hendak menjalankan sunnah
Rasulullah SAW.
Tetapi kesempatan itu tiba-tiba
berubah, seorang pengurus lain mengusulkan ide lain yang dianggap akan lebih
membuat Pak marbot lebih terhormat. “Apakah dengan memberinya bantuan begitu
saja Pak marbot menjadi tidak terhormat?” tanya yang lain.
Tentu saja tidak, ia tetap terhormat
dan tak berkurang kehormatannya. Hanya saja usul yang satu ini dirasa lebih
pas, dan akan mendudukkan seseorang pada posisi yang sejajar, tak merasa
‘berhutang’ dan tak merasa ‘di bawah’. Yang dipinjamkan pun tak harus
menunduk-nunduk setiap kali bertemu orang yang membantunya. Sementara yang
memberi bantuan pun tak serta merta merasa di atas atau seolah lebih terhormat.
Ide cemerlang itu yakni dengan
mempekerjakan Pak marbot sesuai keahliannya. Sangat kebetulan, ia memiliki
beberapa keahlian seperti membuat taman, memasang rumput dan merapihkan
tanaman, membetulkan genteng bocor, atau pekerjaan-pekerjaan berat lainnya yang
ternyata sering dibutuhkan warga perumahan sekitar masjid. Ia akan mendapatkan
upah dari hasil kerjanya itu, sehingga ia akan merasa puas dengan uang
didapatkannya karena bukan hasil meminjam atau menerima bantuan tanpa berbuat
apa-apa. Pak marbot pun tak harus pusing memikirkan pengembalian uang kas
masjid jika ia benar-benar jadi meminjamnya.
Semua pengurus masjid menyetujui ide
tersebut dan langsung memanggil Pak marbot untuk membicarakannya. Dan
Alhamdulillah ia menyetujuinya dengan senang hati dan bersemangat. Pagi itu
juga, beberapa pengurus masjid dan warga perumahan mulai mengorder pekerjaan,
ada yang memasang rumput, membuat taman atau sebagai tenaga angkut puing.
***
Berat, mungkin memang lebih berat
apa yang harus dikerjakan Pak marbot untuk mendapatkan sejumlah uang guna
membiayai pernikahan keponakannya. Tetapi saya yakin itu lebih suka
dilakukannya, ketimbang ia menadahkan tangannya di bawah tanpa berbuat apapun.
Itu juga lebih baik daripada ia harus pusing memikirkan pengembalian pinjaman.
Dan yang terpenting, hal itu membuat dirinya jauh lebih terhormat.