Suatu hari saya menancapkan sebuah
paku panjang ke batang anak pohon pisang hingga menelusup ke jantungnya.
Esoknya kembali saya menancapkan satu paku ke pohon yang sama. Setelah beberapa
hari saya melihat bekas membusuk di sekitar paku yang tertancap di batang
tersebut. Saya pun menambahkan paku lainnya untuk ditancapkan di sekitar
batang yang mulai membusuk itu. Esoknya saya bisa melihat luka membusuk di
batang itu semakin besar, mungkin karena ditambah satu paku kemarin.
Saya terus membiarkan beberapa hari
dan melihat kembali batang pohon pisang itu, ternyata busuk di batangnya tak
juga hilang. Saya tak segera mencabut paku-paku yang telah menyebabkan
kebusukan itu, justru saya menambahkannya dengan beberapa paku lain yang tak
kalah panjangnya. Beberapa paku yang tertancap bahkan sudah berkarat sebelum
saya hujamkan ke dalam jantung pohon pisang itu, saya pikir mungkin karat itu
lah yang membuat batang itu membusuk. Ia seperti terluka, dan lukanya semakin
membesar karena semakin banyak paku yang tertancap. Tak sebatas luka, bahkan
batang itu terus membusuk.
Semakin penasaran, saya menancapkan
lagi sepuluh paku besar ke sekeliling batang pohon pisang itu, hingga
terlihatlah barisan paku yang kini sudah lebih mirip kalung yang menghiasi
leher seorang gadis. Saya biarkan paku tajam dan berkarat itu terus bersemayam
di jantung pohon pisang, tak ada sedikit pun niat untuk mencabutnya meski satu
paku pun. Bahkan tak seorang pun saya izinkan untuk mencabutnya.
Puas dengan tancapan demi tancapan
di satu batang pohon, batang pohon pisang di sebelahnya pun menjadi sasaran
berikutnya. Setelah menguliti sebagian pelepahnya, mulailah satu persatu paku
ditancapkan di batang pohon hingga mengenai jantungnya. Seperti batang pohon sebelumnya,
setelah beberapa hari bekas luka dari tusukan paku terlihat membusuk di batang
itu. Kemudian saya tambahkan lagi beberapa paku persis seperti yang saya
lakukan pada batang pohon pertama.
Pagi hari ketika sudah siap dengan
beberapa paku di tangan untuk ditancapkan, saya melihat pohon pertama yang
sekeliling batangnya sudah tertancap paku selama beberapa pekan itu akhirnya
mati.
Teramat banyak paku tajam dan
berkarat yang bersarang di jantungnya, tidak hanya menyakitkan dan membusukkan,
bahkan paku-paku itu membuatnya mati.
Segera saya mencabuti beberapa paku
yang terlanjur menancap di pohon yang belum mati, berharap luka membusuknya
segera membaik. Agar ia tak mati seperti pohon di sebelahnya.
***
♥♥♥♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•♫♥♥♥
Ada jutaan kata hilir mudik mampir
di telinga ini, entah itu penuh makna atau pun nirmakna. Entah membuat segar
atau justru memerahkan telinga. Tapi seburuk apa pun kata-kata yang terdengar,
biarkan ia hanya mampir di telinga saja. Jangan izinkan ia singgah di hati.
Tak terbilang peristiwa dan adegan
berlangsung di pelupuk mata ini, entah membuat kita tersenyum atau sebaliknya.
Entah menyenangkan atau membuat mata ini seperti dilempari pasir. Aneka
kejadian yang berlangsung dan sering kali tak bisa kita pilih itu memang
teramat sering tak menyedapkan pandangan. Namun hentikan itu hanya di pelupuk
mata saja, dan jangan biarkan ia menelusup ke dada hingga memenuhi setiap inci
ruang dalam hati.
Ada banyak hal yang tak
berkesesuaian dengan pikiran dan harapan kita, namun sering kali tak mampu kita
tolak kejadian dan peristiwanya. Tapi tahukah kita apa yang terjadi atas diri
ini jika terus menerus menyimpan sakit dan kecewa itu dalam hati? Sungguh
melelahkan dan menyakitkan terus menyimpannya dalam hati. Satu-satunya orang
yang paling merugi setiap kita menanam sakit hati, iri, dengki, kecewa, kesal,
adalah diri ini sendiri.
Ibakan hati ini dengan tak menyimpan
segala penyakit itu dalam hati. Luaskan ruang dalam hati agar cukup tersedia
permaafan untuk segala kata dan peristiwa yang menyakitkan itu. Satu-satunya
orang yang paling luas hatinya dan langkahnya seringan awan ialah yang tak
menyimpan satu pun dendam dan sakit di hatinya. Saya belajar untuk menjadi
seperti ini, semoga bisa.
http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/ibakan-hatimu-allh-/489053166041