Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Jumat, 10 Desember 2010

Kritikan Keras yang Melukai Perasaan


oleh Ibaadezt Fillah

Kritikan Keras yang Melukai Perasaan
Salah satu faktor yang dapat merusak suasana pembicaraan dan hubungan ukhuwah adalah menyerang dengan kritikan bernada keras atau kritikan yang tidak argumentatif. Seperti ungkapan: "Semua yang kamu katakan adalah salah, tidak memiliki dalil yang menguatkannya." Atau: "Kamu berseberangan dengan saya."
Jika anda seorang yang beretika baik, seharusnya yang anda katakan adalah: "Beberapa sisi dalam pendapatmu itu perlu dipertimbangkan lagi", "Menurut hemat saya...", "Saya mempunyai idea lain, harap anda menyemaknya dan memberi penilaian", dan ungkapanungkapan serupa.
Menurut DR. Abdullah al-Khathir rahimahullah. "Semua orang menyukai siapa saja yang mengoreksi kesalahannya tanpa melukai perasaan." Al- Khathir memberi contoh dengan sebuah kisah, bahawa suatu saat seorang dosen tengah mempersiapkan materi ceramah yang akan disampaikan di dalam sebuah forum umum. Namun makalah yang berhasil disusun olehnya terlalu panjang dan detail, sehingga dapat membosankan para pendengar. Untuk itu, ia minta penilaian dari istrinya dan berkata: "Bagaimana pendapatmu mengenai materi ceramah ini?" Dengan penuh bijak sang istri menjawab: "Materi ceramah ini lebih layak dan sangat baik jika menjadi ertikel untuk sebuah majalah ilmiah yang mengkaji tema-tema spesifik." Dari jawaban tersebut, dosen itu tahu bahawa materi makalah yang ia buat tidak cocok untuk disampaikan di depan forum umum.
Kisah di atas merupakan satu contoh kritik yang sangat baik. Ia menggunakan cara menonjolkan sisi-sisi positif dan kelebihan objek yang dikritik. Oleh kerananya, jika seorang sahabat datang menemui anda dan meminta pendapat mengenai rencananya untuk terjun berdagang—misalnya, maka sebaiknya anda memberi saran dengan mengatakan: "Engkau memiliki potensi menulis dan berpikir yang tajam, jangan sia-siakan potensimu itu." Jika memang ia tidak memiliki bakat berdagang dan menonjol dalam bidang intelektual.
Demikianlah model sikap yang harus diambil, jangan memutuskan suatu masalah dengan gaya ungkapan "Kamu tidak layak menekuni bidang itu", namun katakanlah: "Kamu lebih layak menekuni selain bidang itu."



Dalam suatu majlis, kita sering menemui seorang pembicara yang handal dan berceramah dengan tutur kata yang sangat baik. Kemudian pada akhir pembicaraan, ia membuat satu kesalahan. Jika kita perhatikan ragam sikap manusia dalam kisah seperti ini, ada yang hanya menilai titik kesalahnya saja, sehingga menuntut si pembicara untuk berhenti. Ini merupakan sikap yang tidak benar. Seorang pengkritik seharusnya menonjolkan sisi-sisi positif isi pembicaraannya dahulu seperti dengan mengatakan: "Saya setuju dengan isi pembicaraan anda dalam..., namun untuk masalah terakhir yang anda ungkapkan, saya mempunyai beberapa catatan."
Dengan gaya tersebut, pengkritik memulai dengan sisi-sisi positif, setelah itu, baru mengoreksi kesalahan pembicara. Gaya seperti ini akan lebih mendorong pembicara untuk menerima kritikan yang disampaikan kepadanya, tanpa harus terjebak dalam perdebatan kosong yang tidak menghasilkan apa pun.
Dengan gaya tersebut, berarti kita menerapkan kaidah: "Kita awali dengan perkara yang disepakati, baru kemudian membicarakan perkara-perkara lain."

dikutip dari " VIRUS VIRUS UKHUWAH " oleh : Abu 'Ashim Hisyam bin Abdul Qadir Uqdah

http://www.facebook.com/notes/melati/kritikan-keras-yang-melukai-perasaan/167373579967692 465.95B $ i h H�X �R Dan sisi spiritual manusia ini pun tidak akan terlepas dari baik dan buruk.
Sehingga ada sesuatu yang menunjang kebaikan pada sisi spiritual manusia dan ada juga sesuatu yang menunjang keburukan pada sisi spiritual manusia, sehingga bagaimanakah kita tahu sesuatu itu menunjang kebaikan spiritual bagi manusia atau sesuatu itu menunjang keburukan bagi manusia?
Untuk itulah kemudia Allah mengirim para Rosulnya ke muka bumi ini untuk mendidik manusia mencapai kesempurnaan secara spiritual yang kemudia ajarannya kita kenal dengan sebutan Agama. Jadi tolak ukur kebaikan dan keburukan secara spiritual bagi manusia adalah terletak pada aturan-aturan Agama yang di sampaikan oleh para Rosul Allah dan hal inilah yang membedakan antara manusia dan dua golongan lainnya.
Maka apabila ada manusia yang hanya mencapai kebaikan dan kesempurnaan secara materi dan tidak berusaha mencapai kebaikan dan kesempurnaan secara sepiritual sekaligus, dapat di katakana tidak ada pembeda antara ketiga wujud tersebut, yaitu wujud  manusia, hewan dan golongan tidak memeliki rasa.

Wallahu a’lam