Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Jumat, 10 Desember 2010

"Agama dan Kekayaan Harta"


Bismillahirohmannirrohim

Mungkin kita pernah mendengar dari temen atau saudara semuslim kita yang mengeluh akan kehidupan mereka dengan mengatakan,
            “Mengapa ya, hidupku kok masih saja susah? Padahal ku kan selalu rajin sholat.”
Atau mungkin,
            “Mengapa ya, rejeki ku kok masih juga seret? Padahal aku kan rajin sodaqoh.”
Atau masih banyak lagi keluhan-keluhan yang ditimpahkan kepada Allah karena keadaan yang terjadi.
Pernah juga satu kali, aku mendengarkan curhat dari seorang friend yang non muslim, yang di situ dia bercerita, kalau setelah dia rajin pergi ke rumah ibadah, rejeki yang di peroleh dari usahanya semakin bertambah dan mudah dalam mendapatkan harta.


Sedangkan di satu sisi dia juga menceritakan bagaimana kodisi salah satu dari keluarganya yang menjadi seorang mualaf, ternyata kehidupan ekonominya menjadi serba susah dan berkesulitan.
Pada saat itu karena tidak mau berkonfrontasi maka saya hanya tersenyut dan terus menikmati ceritanya yang sebenarnya membuat saya geli.
Bagaiamana sebenarnya hubungannya antara Agama dan Harta ( Rejeki ) itu?
Apakah benar dengan memeluk agama tertentu maka akan mendapatkan kekayaan dan hidup menjadi serbah mudah dalam segala hal?
Apakah pernah ada seorang utusan Tuhan menjanjikan kekayaan harta pada pengikutnya?
Apakah benar dengan selalu mengahadiri masjlis taklim maka pendapatan harta akan bartambah?
Dan apakah benar bila tidak selalu menghadiri majlis taklim maka sumber pendapatan harta akan berkuran?   
Apakah harta dan kekayaan dapat menjadi ukuran sesorang itu dekat dengan Tuhan? Lalu apakah kemiskinan merupakan bukti murka Tuhan?
Apabila seperti itu bukankah sama halnya kita beragama untuk mendapatkan kekayaan, kamakmuran, kedudukan dan menghindari kemiskinan di dunia ini?
Untuk mengerti itu semua, ada baiknya kita memahami bagaiaman kekayaan itu dan bagaimana sebenarnya agama itu.
Mengenai kekayaan, bukankah tidak dapat disangkal bahwa didunia ini berlaku juga hukum alam yang selaras dengan hukum sebab akibat yang konstan."Dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam aturan Allah." Dan kekayaan atupun kemiskinan tidaklah di kecualikan dari hukum alam. Seseorang, aktif di pengajian ataupun tidak aktif,  bisa menjadi kaya karena sebab-sebab yang tersedia di hadapannya, seperti waktu, tempat, relasi dan, jangan juga, "keinginan untuk kaya" serta usaha yang sangat gigih untuk menjadi kaya.
Sedangkan mengenai agama, secara epitemologi, kata “agama” dalam bahasa Sansekerta adalah “kumpulan aturan”. Dengan akar kata “gam” yang berarti “pergi” dan awalan “a” berarti “tidak”, maka “agama” berarti “tidak pergi” atau “yang tidak berubah”. Kalau “gama” diartikan “kacau”, maka “agama” artinya “yang tidak kacau” atau “teratur.”
Sedangkan secara terminologi , agama merupakan pedoman dasar untuk membuat manusia pemeluknya hidup teratur sesuai dengan yang diajarkan agama itu.


Agama diklaim sebagai “kebenaran mutlak” karena dipercayai ajarannya bukan berasal dari manusia melainkan dari Tuhan yang diturunkan kepada manusia melalui utusanNya.
Jadi ternyata secara epitemologi ataupun terminologi bahwa agama itu hanya mengatur manusia untuk dapat hidup secara benar sebagai manusia, sehingga tidak terjatuh pada kekacauan dan tingkah laku yang di luar fitrah manusia.
Contoh dari aturan-aturan tersebut adalah meliputi mana sesuatu yang boleh di lakukan dan mana yang tidak boleh di lakukan dalam hidup ini, serta penjelasan-penjelasan bagaimana kita seharusaya berbuat di dunia ini.
Misalnya pada harta, maka di dalam agama ada aturan-aturan bagaiamana kita seharusnya mendapatkan harta dengan baik dan bukanya mengambil hak orang lain,  seperti merampok.
Dan pada harta yang dimiliki itupun juga ada aturan-aturan bagaimana membelanjakannya. Jadi didalam agama bukanlah di tunjukkan cara untuk mendapatkan harta yang banyak akan tetapi bagaimana mendapatkan harta dengan cara yang baik dan benar.
Dan tidaklah benar bahwa amalan yang kita lakukan di dunia ini maka akan dibalas secara instan di dunia ini oleh Allah dan dosa yang kita lakukan akan mendapat balasan secara instan juga di dunia ini oleh Allah, sebab apabila hal itu terjadi maka adanya surga dan neraka di hari pembalasan akan menjadi sia-sia.
Lalu bagaimana dengan al-Quran pada surat Ibrahim, ayat 7?
Yang berbunyi:
“ Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." “
Sering kali dipahami penambahan nikmat pada ayat itu adalah dengan bertambahnya kekayaan atau sesuatu yang telah di dapatkan akan bertambah secara instan, bukannya lebih ideal apabila memahami penambahan nikmat itu adalah sebuah penambahan kemuliaan seorang yang telah bersyukur itu di akherat kelak, atau lebih mudahnya penambahan pahala Sebab bukankah Nabi tidak pernah mengiming-imingi umatnya dengan harta materi dan kekayaan, akan tetapi berusaha mendidik manusia untuk menjadi mulia di dunia dan akherat.
Lain dari pada itu kata “fid-dun’ya hasanah” berarti menjadi baik di dunia, dan bukanlah menjadi kaya di dunia, sebab ukuran suatu kemuliaan dalam agama adalah menjadi baik sesuai dengan tuntunan agama itu.


Sehingga tidaklah benar kita menilai kemuliaan seseorang itu dari kekayaan dan menilai kemiskinan seseorang itu sebagai suatu kehinaan, melaikan merupakan ujian Tuhan bagi hamba-hamba Nya.
Seperti halnya yang di jelaskan dalam al-Quran surat Al-Fajr, ayat : 15 dan 16, yaitu :
15. “ Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku." “
16. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"[1575].
[1575]. Maksudnya: ialah Allah menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.

Wallahu a’lam