Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Rabu, 03 November 2010

Masa lalu...penyegar di kala perlu


Tidak semua masa lalu itu negative. Bahkan masa lalu harus tetap didudukkan dalam bingkai yang tepat. Hari ini disebut hari ini, juga karena ada hari kemarin. Sebagaimana disebut hari esok, karena ada hari ini.

Begitulah. Seluruh perjalanan hidup ini tak pernah sepi dari petuah, apa pun bentuknya. Dari kata-kata hingga berderet peristiwa. Semuanya nyata adanya manfaat dibaliknya. Al-Qur’an sendiri sebagiannya berisikan kisah-kisah umat terdahulu. Bahkan kisah-kisah di dalam Al-Qur’an merupakan kisah terbaik. Tak lain agar kita belajar dari masa lalu. Allah SWT. berfirman, “Demikianlah Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-Qur'an).” (QS. Thaha (20): 99)
Banyak sekali fungsi kisah-kisah masa lalu itu. Diantaranya sebgai pengingat, sebagai sarana belajar. Allah SWT. berfirman, “Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi. Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj (22): 45-46)
Maka, apapun warna masa lalu kita, dalam batas tertentu ia tetap ada gunanya. Tetapi ia bukan segala-galanya. Ia seperti taman rekreasi bagi jiwa kita. Kadang kita perlu memutar ulang, sekadarnya, agar kita bisa berwisata sejenak. Mengenang seluruh lorong-lorong hidup yang pernah kita lalui. Untuk kemudian kembali kepada apa yang nyata di hari ini. Untuk selanjutnya, kita menatap hari esok dengan lebih hati-hati.
Merenungkan masa lalu, harus juga diiringi denga membayangkan masa depan. Terlebih dalam kontek kehidupan akhirat. Agar terjadi keseimbangan yang wajar. Kita harus menumbuhkan kesadaran dalam diri, bahwa segala kehidupan ini akan ada akhirnya. Tinggal masalahnya bagaimana akhir diri kita.
Orang-orang shalih pendahulu kita, banyak mengajarkan bagaimana mereka sering menangis membayangkan apa yang akan terjadi esok pada dirinya. Seperti yang dilakukan oleh Rabi’ bin Hutsain. Suatu malam ia melakukan shalat tahajjud ia membaca firman Allah yang artinya, “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah (45): 21)
Ia terus mengulang-ulang ayat tersebut. Sampai datang waktu pagi. Ia tidak beralih dari ayat itu. Sampai datang waktu pagi. Ia tidak beralih dari ayat tersebut dalam keadaan menangis tersedu-sedu.Hidup ini harus berjalan diatas rel yang seimbang. Sesekali tengoklah masa lalu. Tetapi jangan lupa pula sering-seringlah menatap masa depan. Setiap kita hanyalah pejalan, yang pasti mengakhiri perjalanannya, cepat atau lambat.
 Diambil dari : Majalah Tarbawi