Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Jumat, 03 Desember 2010

~..~ Sentuhlah Aku Setelah Kau Bersuci ~..~


Mungkin para pembaca akan punya pikiran yang beraneka ragam ketika membaca judul diatas, bahkan bisa jadi ada yang berkata "Emang siapa sih kamu, kok sombong amat?!" atau mungkin ada yang berpikiran bahwa penulis sedang dikhianati kekasihnya, dan dikatakanlah kata itu sebagai syarat damai dan rujuk kembali. Apakah demikian?he he he
Semua orang pada dasarnya suka dengan kesucian, baik kesucian cinta, kasih-sayang, jiwa, raga, pakaian, makanan dan lain sebagainya. Hanya saja untuk mendapatkan sebuah kesucian membutuhkan berbagai macam usaha, perjuangan, dan pengorbanan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak di capainya. Meskipun kita tahu bahwa orang-orang yang terjebak dalam jurang ke-najis-an tak bisa dihitung jumlahnya, namun bukan berarti mereka tidak suka dengan kesucian. Hanya saja mungkin kesukaan kepada kesuciannya terlalu tipis dan terkalahkan oleh nafsu ke-najis-an dalam dirinya.


Kesucian dalam cinta, setiap perempuan tentu sangat suka jika kekasihnya mencintainya dengan cinta yang suci, yang bersih dari khiyanat, selingkuh, kekerasan, memperbudak, dan berbagai kotoran yang termasuk hal-hal yang membatalkan cinta yang suci. Maka wajarlah jika seorang perempuan berkata "sentuhlah aku setelah kau bersuci" tentunya bukan bersuci untuk sholat, sebab kalau bersuci untuk sholat terus menyentuhnya tentu menjadi batal (tidak suci) lagi.
Laki-laki pun seperti itu saya pikir, dalam soal cinta rata-rata akan sangat suka kalau kekasihnya mensucikan hatinya dari orang lain, kecuali memang punya budaya nomaden (alias suka pindah-pindah) apalagi tak punya tujuan untuk menetap, bisa jadi akan memakan banyak korban-korban hati yang berjatuhan hancur seperti serpihan kaca. Ah.. betapa banyak kisah seperti itu dalam kehidupan ini, dan mungkin semua orang pernah merasakannya dengan standar masing-masing, hanya untuk memburu cinta yang suci.
Kesucian raga, tentunya semua orang pernah mandi, dan tujuannya tak lain adalah membersihkan badan dari kotoran, baik kotoran dhohir ataupun kotoran bathin (maknawi). Kita tentu akan marah ketika orang yang penuh kotoran ditubuhnya tiba-tiba menyentuh kita, bahkan menyentuh barang milik kita saja kita akan marah, atau paling tidak akan berkata "sentuhlah aku setelah kau mandi". Bukan hanya badan yang kotor kita enggan disentuhnya, bahkan bau badan yang nggak sesuai aja kita enggan berdekatan, apalagi disentuhnya.
Manusia memang sering lupa terhadap berbagai kotoran dalam tubuhnya, karena keterbatasan jangkauan mata yang dimilikinya, hingga tak mampu melihat matanya sendiri yang terkena pasir, atau bahkan "blobok" (aduh sori ya, apa sih namanya kotoran diujung mata, kalau habis tidur?). Maka dari itulah dibutuhkan cermin untuk melihat kekurangannya, dan cermin itu tak lain adalah "orang lain".
Adalah salah, jika orang melihat wajahnya buruk lalu menghantam cermin yang ada, bukankah tidak baik, "tak bisa menari menyalahkan lantai yang tidak rata". Kecuali cermin yang ada memang juga cermin yang kotor, makanya kalau bercermin pada cermin yang bersih agar tahu kotoran dalam tubuh kita, apalah untungnya bercermin pada cermin yang kotor? Keindahan kita aja jadi kotor dan nggak jelas, apalagi kotoran kita malah tidak tampak.
Begitulah soal bercermin untuk tubuh kita, kalau cermin untuk pikiran kita adalah pembaca, dan tulisan adalah tubuh kita, kenapa harus takut dengan apa yang akan terlihat di cermin, toh itulah sesungguhnya kita. Kenapa takut dengan kritik orang atas tulisan kita, asalkan dia adalah cermin yang bersih tentunya kebaikan untuk kita benahi kekurangan yang tampak, kalau ternyata pengkritik hanya cermin yang lusuh, biarkan saja "anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu".
Biasanya untuk cari sensasi orang-orang suka bercermin dengan topeng, apalagi musim pemilu, bisa dipastikan topeng-topeng akan beraneka ragam, maka tak heran kalau topengnya dibuka, mengalir darah dan nanah di wajahnya. Ah..betapa beratnya bercermin dengan wajah kita sesungguhnya, sampai kapankah kita tetap memakai topeng itu?


Jika semua orang memakai wajah aslinya, damailah alam semesta.
Adakah manusia yang tak pernah kotor? Setiap manusia pernah bergelut dengan kotoran, baik kotoran jiwa maupun raga, hanya Allahlah yang selalu suci dan tak akan bisa mendekatiNya kecuali jiwa-jiwa yang disucikan. Bahkan mendekati surat-surat cintaNya pun hanya boleh untuk tubuh-tubuh yang disucikan. "Laa yamassahu illa-lmutthoharun" Jika tubuhmu ingin menyentuh tubuh Al qur'an (Mushaf) maka bersihkanlah, dan jika jiwamu ingin menyentuh jiwa Al qur'an maka bersihkanlah pula.
Mungkin sebagian orang bisa menyentuh mushaf dalam keadaan kotor, tapi manusia tak akan mampu menyentuh jiwa Al qur'an dengan jiwa yang kotor. Lalu dimanakah penghormatan dan kecintaan kita yang kita teriak-teriakkan pada semua orang, jika bersuci pun kita enggan sebelum menyentuh surat-suratNya. Lalu bagaimana jiwa kita bisa menyentuhnya jika membersihkan raga yang tampak jelas saja kita enggan?.
Maka pantaslah bagi Allah, berkata "Sentuhlah Aku setelah kau bersuci", "Sentuhlah KalamKu dengan tubuh yang disucikan" karena hanya Dialah yang selalu suci.
Marilah kita mempelajari cara-cara bersuci dan mulai melakukannya sedikit demi sedikit, teratur, dan kontinyu untuk membersihkan jiwa kita dari berbagai noda hitam kenajisan yang terlalu sulit untuk dilihat mata, bahkan mata hati kita masih tidur berselimut dosa. Jika tidak ada cermin yang bisa menunjukkan keadaan kita, marilah kita raba diri kita, seperti apakah kita sebenarnya??