Pada zaman Khalifah Al-Manshur,
salah seorang menterinya, Al-Ashma'i, melakukan perburuan. Karena terlalu asyik
mengejar hewan buruan, ia terpisah dari kelompoknya dan tersesat di tengah
padang sahara.
Ketika rasa haus mulai mencekiknya,
di kejauhan ia melihat sebuah kemah. Terasing dan sendirian. Ia memacu kudanya
ke arah sana dan menemukan penghuni yang memukau: wanita muda dan jelita. Ia
meminta air. Wanita itu berkata, "Ada air sedikit, tetapi aku persiapkan
hanya untuk suamiku. Ada sisa minumanku. Kalau engkau mau, ambillah".
Tiba-tiba wajah wanita itu tampak
siaga. Ia memandang kepulan debu dari kejauhan. "Suamiku datang,"
katanya.
Wanita itu kemudian menyiapkan air
minum dan kain pembersih. Lelaki yang datang itu lebih mudah disebut
"bekas manusia". Seorang tua yang jelek dan menakutkan. Mulutnya
tidak henti-hentinya menghardik istrinya. Tidak satu pun perkataan keluar dari
mulut perempuan itu. Ia membersihkan kaki suaminya, menyerahkan minuman dengan
khidmat, dan menuntunnya dengan mesra masuk ke kemah.
Sebelum pergi, Al-Ashma'i bertanya,
"Engkau muda, cantik, dan setia Kombinasi yang jarang sekali terjadi.
Mengapa engkau korbankan dirimu untuk melayani lelaki tua yang berakhlak
buruk".
Jawaban perempuan itu mengejutkan
Al-Ashma'i, "Rasulullah bersabda, agama itu terdiri dari dua bagian:
syukur dan sabar." Aku bersyukur karena Allah telah
menganugerahkan kepadaku kemudaan, kecantikan, dan perlindungan. Ia
membimbingku untuk berakhlak baik. Aku telah melaksanakan setengah agamaku.
Karena itu, aku ingin melengkapi agamaku dengan setengahnya lagi, yakni
bersabar."
Empat bidang kesabaran Kesabaran
bisa melahirkan keajaiban. Salah satunya tergambar dalam kisah di atas.
Dengan kesabaran, wanita cantik tadi mampu berbakti kepada suaminya yang
berakhlak buruk. Sesuatu yang terkadang sulit dicerna oleh rasio.
Tidak diragukan lagi, kesabaran
adalah satu pilar penting dalam pernikahan setelah lurusnya niat. Langgeng tidaknya sebuah pernikahan sangat ditentukan oleh
seberapa jauh tingkat kesabaran yang dimiliki suami istri. Makin banyak bekal
kesabaran yang dimiliki, maka akan makin kokoh pula bangunan pernikahan yang
dijalani. Tapi makin sedikit kesabaran yang dimiliki, maka makin besar pula
kemungkinan hancurnya sebuah pernikahan.
Demikian pentingnya sabar
dalam pernikahan, ada orang mengatakan, "Bila sebelum nikah
kesabaran kita hanya satu, maka setelah nikah kesabaran kita harus
seratus" Pertanyaannya, kesabaran seperti apa yang harus kita
miliki dalam menjalani pernikahan?
Ada empat macam bidang kesabaran. Pertama, sabar menghadapi kekurangan pasangan.
Pernikahan adalah kesimpulan terakhir setelah seseorang mempertimbangkan semua
kekurangan dan kelebihan pasangan. Tidak pada tempatnya bila setelah menikah
seorang suami mengeluhkan kekurangan yang ada pada istrinya. Demikian pula
sebaliknya. Masing-masing harus menerima kekurangan atau kelebihan pasangannya
dengan penuh kesabaran. Pernikahan adalah sarana untuk saling melengkapi, bukan
untuk saling mengalahkan (QS An-Nisa <4>: 1).
Salah satu hakikat sabar dalam
pernikahan adalah menghilangkan keluh kesah pada saat tidak enaknya menghadapi
segala kekurangan. Tidak ada keluh kesah selain pada Allah SWT. Karena itu,
Rasulullah SAW mengingatkan bahwa siapa saja yang menikah karena ketampanan
atau kecantikan, maka satu saat rupa tersebut akan menghinakannya. Kecantikan
dan ketampanan itu temporer sifatnya, tidak langgeng.
Ketika belum menikah, pasangan kita
begitu cantik, tapi setelah punya anak maka kecantikan itu akan semakin menurun
untuk kemudian hilang sama sekali setelah tua. Tanpa adanya kesabaran, sebuah
rumahtangga tidak akan bertahan lama.
Kedua, sabar menghadapi godaan. Rumahtangga itu laksana perahu. Untuk mencapai pula
kebahagiaan di syurga, perahu itu harus berlayar mengarungi luasnya samudera
masalah. Indahnya pernikahan analog dengan indahnya pantai. Namun jangan lupa,
siapa saja siapa yang bertolak dari pantai untuk menyeberangi lautan, maka ia
akan menemukan ganasnya ombak. Siapa saja yang tidak membawa bekal dan
persiapan yang matang, tidak mustahil bahtera rumahtangganya akan karam ditelan
gelombang.
Nikah adalah ikatan yang teramat
suci lagi kuat, mitsaqan ghalidza, sehingga jangan dinodai dengan saling
menyakiti. Dalam Alquran, kata mitsaqan
ghalidza dipakai untuk menyebutkan ikatan antara Allah dengan rasul-Nya. Tidak
akan pernah sukses seorang suami yang sering menyakiti istrinya. Walau
awalnya bergelimang harta, sukses dalam karier, tapi pada suatu saat ia akan
menemui kehancuran. Begitu pula seorang istri yang tidak taat dan selalu
menyakiti suaminya, hidupnya tidak akan berkah dan bahagia.
Karena itu, suami istri harus punya
komitmen untuk saling setia. Inilah hakikat mitsaqan ghalidza. Sehingga,
menjaga tali pernikahan agar tetap kokoh adalah jihad akbar. Arasy' tidak
akan berguncang saat seseorang meninggalkan shaum wajib, tidak akan berguncang
saat seseorang lalai dalam shalat, namun ia akan berguncang tatkala sepasangan
suami istri memutuskan untuk bercerai.
Pernikahan itu menandai bersatunya
darah daging suami dan istri. Karena sudah bersatu, maka tidak mungkin lagi ada
rahasia. Syurga bisa terbuka karena pernikahan, dan neraka pun bisa terbuka
lebar karena pernikahan. Orang yang menyayangi istri atau suaminya, mereka akan
disayangi Yang Maha Penyayang. Rasulullah SAW bersabda, "Orang-orang yang
kasih sayang ( al-rahimun) akan dikasihsayangi oleh yang Mahakasih Sayang
(Al-Rahman). Karena itu kasih sayangilah manusia dibumi maka Dia yang di langit
akan kasih-sayang kepadamu".
Ketiga, sabar menghadapi kekurangan
dan keterbatasan rezeki.
Berapa pun rezeki yang kita dapat, kita harus mampu mensyukurinya. Dengan
syukur itulah Allah akan menolong rumahtangga kita dan melipatgandakan rezeki
yang kita dapatkan. Allah SWT berfirman, Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih (QS Ibrahim <14>:
7).
Keempat, sabar menghadapi keluarga
dari pihak suami atau istri.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa pernikahan itu mengawali
bertemunya dua keluarga besar. Karena pertemuan dua keluarga, maka yang nikah
bukan aku, tapi kami.
Berkaitan dengan hal ini, Imam
Syafi'i menganjurkan agar orangtua memilihkan jodoh untuk anaknya, dengan
catatan anaknya harus saling mencintai.
Siapa pun yang akan menikah, maka ia
harus siap punya ayah dua dan ibu dua. Ia pun harus siap menghormati mertua
sebagaimana menghormati kedua orangtuanya.
Sabar adalah sebuah keniscayaan.
Karena itu, dalam QS Az-Zumar ayat 10, Allah SWT menjanjikan pahala luar bisa
bagi orang yang sabar, Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa batas. Wallahu a'lam.