♥●♥_◕_♥●♥
Kemegahan Masjid Nabawi telah tampak dari
kejauhan. Setiap langkah yang membawaku mendekati masjid, seolah menambah
kerinduan akan junjungan kita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Itu adalah sebagian dari rahmat mengunjungi
tanah suci, yaitu memperoleh kesempatan untuk merasakan kesyahduan berada di
masjid warisan Nabi serta menikmati perjumpaan dengan sesama Muslimah dari
seluruh penjuru bumi. Kami semua berada dalam satu kesamaan yang menggetarkan
cinta dan rindu yang begitu tulus terhadap Nabi Muhammad.
Saat itu aku tengah menanti giliran berdoa di
Raudhah-tempat antara kamar Nabi dengan mimbar di Masjid Nabawi. Di tempat ini,
doa yang dipanjatkan insya Allah sangat makbul. Pandangan mataku tertuju pada
seorang Muslimah. Belakangan aku tahu namanya Farhana, seorang gadis belia.
Sosok Farhana memang menarik perhatianku. Di
tengah jamaah yang resah menunggu dibukanya pintu Raudhah, ia kelihatan tenang
saja. Matanya terus mencermati kitab yang ada di depannya. Tampak sekali
Farhana tengah membaca dengan khidmat dan penuh ketenangan.
Aku yang beberapa saat kemudian bisa duduk di
sebelahnya, tertarik untuk ikut melongok kitab apa itu. Ternyata sebuah buku
dengan tulisan huruf Arab gundul.
Apa yang tertangkap mataku membuatku semakin
tertarik padanya. Ditilik dari wajahnya, tidak ada rona Timur Tengah pada
dirinya. Yang terlihat dengan jelas adalah kecantikan khas wanita India atau
Pakistan. Namun saat itu ia mengenakan jubah hitam. Aku juga sempat lihat,
ketika belum memasuki daerah khusus wanita, ia mengenakan burdah yang rapat
menutup wajah cantiknya itu.
Sekelebat ia menoleh ke arahku. Barangkali
merasa dirinya diperhatikan. Aku melempar senyum.
"Assalaamualaikum. Saya tidak bermaksud
apa-apa. Tetapi saya tertarik melihat Anda dan kitab yang Anda baca. Anda
berasal darimana?" sapaku dalam bahasa Inggris.
Jawabannya sungguh di luar perkiraan,
"Wa'alaikum salaam. Saya berasal dari London."
Wow, pikiranku, tebakanku, salah semua. Kitab
Arab gundul, jubah dan burdah berwarna hitam, wajah India, tapi berasal dari
London?
Aku semakin tertarik untuk mengenal lebih jauh
sister Muslimahku yang satu ini. Kami akhirnya terlibat perbincangan hangat.
♥●♥_◕_♥●♥
Farhana keturunan India. Konon keluarganya
sudah tinggal di London sejak beberapa generasi lalu.
Ketika berusia sekitar 13 tahun, orangtuanya
menyekolahkan Farhana di sebuah boarding school (sekolah berasrama) khusus
Muslimah di London. Di sekolah ini, para gadis muda usia digembleng agar
menjadi seorang ustadzah. Mereka diharapkan dapat menjadi hafidzah Al-Qur'an
serta menguasai berbagai kitab. Sekolah ini memang menjadi tempat pengkaderan
ustadzah yang kelak akan disebar ke berbagai sekolah lain. Farhana sendiri
dalam usia yang masih muda telah menjadi ustadzah di Moslem School, London.
Pikiranku segera terganggu sebuah pertanyaan,
bagaimana bisa dia yang seumur hidupnya tinggal di kota London, salah satu pusat
kebudayaan Barat, tetap bisa kokoh memelihara aturan-aturan sebagai seorang
Muslimah? Pikiran itu kolantarkan pada Farhana.
Gadis cantik itu mengaku sebagai penganut
mazhab Hanafi. Mazhab ini mengajarkan bahwa wanita tidak boleh berpakaian yang
menarik perhatian lawan jenis. Oleh karena itu, Muslimah hendaknya memakai
pakaian yang warnanya paling aman, yaitu hitam atau gelap. Burdah selalu
dipakai manakala mereka memasuki daerah yang ada nonmuhrimnya. Ini semua
diperlukan agar para Muslimah bisa senantiasa kehormatannya terjaga, apalagi
bagi mereka yang hidup menjadi minoritas di sebuah komunitas.
Sebuah paparan yang inspiratif bagiku. Aku
kembali mencecar dengan obrolan lanjutan, "Farhana, saya tinggal di sebuah
negeri dengan penduduk 90 persen beragama Islam. Namun kadang kami tetap harus
memperjuangkan hak meski hanya untuk menggunakan jilbab sederhana ini."
Aku lalu menjelaskan peraturan di zaman
perkuliahan dulu, yang mengharuskan foto di kartu mahasiswi memperlihatkan
rambut dan telinga. "Bagaimana pula dengan dirimu yang harus hidup sebagai
minoritas di tengah pusat kebudayaan Barat yang demikian bebas? Tidakkah kau
merasa terganggu?" pertanyaanku polos.
Dia menggeleng mantap. "Alhamdulillah,
kami tidak pernah merasa tertekan hidup di London. Kami tinggal di sebuah
kawasan Muslim yang sangat tegas menerapkan aturan-aturan Islam. Bahkan kami
mempunyai beberapa sekolah, lengkap dari play group sampai tingkat pendidikan
tinggi," sambungnya.
"Farhana, aku tidak mengerti. Sedang aku
yang hidup di kampung halamanku sendiri, jauh di Timur, jauh dari pusat
kebudayaan Barat, merasa sangat risau dan resah dengan pengaruh Barat yang
demikian membahana dalam kehidupan keseharian kami. Setiap hari aku dikejar
kekhawatiran, apakah anak remajaku tidak sedang terpengaruh oleh gemerlapnya
kehidupan bebas ala Barat, yang hidup untuk mengejar kenikmatan? Sementara kau
dapat hidup dengan kokoh memegang ajaran Islam tepat di tengah-tengah jantung
kebudayaan Barat. Oh, Farhana, aku sungguh-sungguh kagum," seruku spontan.
Ia segera menanggapi, "Kalau kau begitu
resah dengan masa depan anakmu, sebaiknya kirimkan putra-putrimu ke boarding
school kami di London. Insya Allah ia akan terpelihara dalam iman Islam yang
kokoh. Dan tentunya aku bisa berkesempatan mengajar anakmu nanti,"
sambungnya sambil tersenyum.
Aku menggeleng-gelengkan kepala tak
habis-habisnya. Sungguh kagum aku dibuatnya. Komunitas Muslim dimana Farhana
tinggal di London demikian berhati-hati menjaga aqidahnya.
Ada salah satu cara yang ditempuh mereka guna
memperteguh keyakinan agamanya. Yaitu dengan tidak mau mengenal televisi.
Perkembangan berita terkini cukup diikuti lewat koran atau majalah atau
internet yang sumbernya tepercaya. Mereka tak mau membuang waktu dengan
menonton acara televisi yang sebagian besar justru melalaikan seorang Muslim dari
ibadah dan kemurnian aqidah.
Mereka tidak membuat dan memajang foto, karena
takut akan terjerumus pada pemujaan dan berbangga diri atau pengkultusan
terhadap tokoh-tokoh tertentu. Alasannya, Nabi Muhammad pun tak boleh
dipuja-puja dan dikultuskan berlebih-lebihan, karena bagaimanapun beliau
tetaplah seorang hamba Allah.
Kutatap matanya yang berbinar, sungguh cantik.
Sempat terlintas dalam pikiranku, tidakkah dia pernah merasa tergoda untuk
memamerkan wajah cantiknya? Tetapi jawabannya langsung kudapatkan dari
kesyahduan tatap matanya saat kembali menyimak kitab di hadapannya. Wajah itu
memancarkan sinar kebahagiaan dan ketenangan batin.
Oh, Farhana, kau sungguh beruntung. Tidak
perlu ada keresahan sedemikian rupa seperti yang dirasakan oleh wanita lain,
yang banting tulang demi mendapatkan kesempurnaan dalam penampilan fisik. Kau
telah menemukan kebahagiaan yang hakiki dengan melaksanakan ajaran Islam secara
kaffah. Kau tak perlukan lagi puja atau puji dari luar, karena Islam jalan
selamat telah kaujalani secara total dan memberimu kebahagiaan sebagai hamba Allah
yang sejati.
Sejujurnya, aku merasa sangat malu. Aku dan
komunitas di negeriku serasa tak kuasa menghadapi gelombang pengaruh Barat yang
menerjang pada seluruh sisi kehidupan. Banyak kaum Muslimah yang merasa malu
bila tak bergaya ala Barat. Hilang sudah jubah dan dan kain panjang, berganti celana jeans dan pakaian ketat. Tak
lupa pula mewarnai rambut supaya lebih menyerupai para noni Barat yang
kosmopolit. Kami tenggelam dalam sudut pandang yang menekankan bahwa penampilan
adalah segala-galanya. Kami tenggelam dalam pemujaan fisik sehingga rohani kami
lupa untuk diisi dengan sempurna.
Ya Allah, Farhana yang lahir dan dibesarkan di
kota kosmopolitan, justru tak sedikit pun terpengaruh dengan gegap gempitanya
dunia Barat. Ia begitu tegar dan teguh dengan keyakinannya.
terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat
hati..
♥●♥_◕_♥●♥