وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ
وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
٢:١٥٥ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ ٢:١٥٦ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْمُهْتَدُونَ ٢:١٥٧
"Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa,
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,"Inna
lillahi wa inna ilaihi raji'un." Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan
yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk". [al Baqarah/2:155-157]
PENJELASAN AYAT Firman Allah Ta’ala
:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ
وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
"Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa,
dan buah-buahan".
Dalam menafsirkan ayat di atas, Imam
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, (pada ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta'ala
memberitahukan bahwa Dia menguji dan menempa para hamba-Nya. Terkadang
(mengujinya) dengan kebahagiaan, dan suatu waktu dengan kesulitan, seperti rasa
takut dan kelaparan. [2]
Senada dengan keterangan sebelumnya,
Syaikh Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menyatakan: “Allah
Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa Dia pasti akan menguji para hambaNya
dengan bencana-bencana. Agar menjadi jelas siapa (di antara) hamba itu yang
sejati dan pendusta, yang sabar dan yang berkeluh-kesah. Ini adalah ketetapan
Allah Subhanahu wa Ta'ala atas para hamba-Nya. Seandainya kebahagiaan selalu
menyertai kaum Mukminin, tidak ada bencana (yang menimpa mereka), niscaya
terjadi percampuran, tidak ada pemisah (dengan orang-orang tidak baik).
Kejadian ini merupakan kerusakan tersendiri. Sifat hikmah Allah Subhanahu wa
Ta'ala (ini) menggariskan adanya pemisah antara orang-orang baik dengan
orang-orang yang jelek. Inilah fungsi musibah”.[2]
Makna dari "dengan sedikit
ketakutan dan kelaparan," yaitu takut kepada para musuh dan kelaparan yang
ringan. Sebab bila diuji dengan rasa takut yang memuncak atau kelaparan yang
sangat, niscaya mereka akan binasa. Karena, hakikat ujian adalah untuk menyeleksi,
bukan membinasakan. Sedangkan musibah berupa "kekurangan harta,"
mencakup berkurangnya harta akibat bencana, hanyut, hilang, atau dirampas oleh
sekelompok orang zhalim, ataupun dirampok.
Adapun bencana yang menimpa
"jiwa," yaitu berupa kematian orang-orang yang dicintai. Misalnya,
seperti anak-anak, kaum kerabat dan teman-teman. Atau terjangkitinya tubuh
seseorang, atau orang yang ia cintai oleh terjangkiti berbagai penyakit.
Berkaitan dengan kekurangan pada
"buah-buahan," lantaran bergulirnya musim dingin, salju, terjadinya
kebakaran, gangguan dari belalang dan hewan lainnya, sehingga kebun-kebun dan
ladang pertanian tidak menghasilkan sebagaimana biasanya.[3]
Semua ini dan bencana lain yang
serupa, merupakan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi para hamba-Nya.
Barangsiapa bersabar, niscaya akan memperoleh pahala. Dan orang yang putus asa,
akan ditimpa hukuman-Nya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengakhiri ayat
ini dengan berfirman:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
"(Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar)".[4]
Maksudnya, berilah kabar gembira
atas kesabaran mereka. Pahala kesabaran tiada terukur. Akan tetapi, pahala ini
tidak dapat dicapai, kecuali dengan kesabaran pada saat pertama kali mengalami
kegoncangan (karena tertimpa musibah).[5]
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa
Ta'ala menjelaskan kriteria orang-orang yang bersabar. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ
قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
"(Yaitu), orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi
raji'un".
Kata-kata إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" inilah, dikenal
dengan istilah istirja’, yang keluar dari lisan-lisan mereka saat didera
musibah.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata,"Mereka menghibur diri dengan mengucapkan perkataan ini saat
dilanda (bencana) dan meyakini, bahwa mereka milik Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dia (Allah Subhanahu wa Ta'ala) berhak melakukan apa saja terhadap ciptaan-Nya.
Mereka juga mengetahui, tidak ada sesuatu (amalan baik) yang hilang di
hadapan-Nya pada hari Kiamat. Musibah-musibah itu mendorong mereka mengakui
keberadaanya sebagai ciptaan milik Allah, akan kembali kepada-Nya di akhirat
kelak.”[6]
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan
kata-kata itu sebagai sarana untuk mencari perlindungan bagi orang-orang yang
dilanda musibah dan penjagaan bagi orang-orang yang sedang diuji. Karena
kata-kata itu mengandung makna yang penuh berkah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (إِنَّا
لِلَّهِ) ini mengandung nilai tauhid dan pengakuan penghambahaan diri, dan di
bawah kepemilikan Allah.
Sedangkan firmanNya (وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ) mengandung makna pengakuan terhadap kehancuran yang akan menimpa
manusia, dibangkitkan dari kubur, serta keyakinan bahwa segala urusan kembali
kepada Allah.[7]
أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن
رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ
"(Mereka itulah yang mendapatkan
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya)".
Betapa besar balasan kebaikan yang
diperoleh orang-orang yang mampu bersabar, menahan diri dalam menghadapi
musibah dari Allah, Dzat yang mengatur alam semesta ini.
Kata Imam al Qurthubi rahimahullah :
“Ini merupakan rangkaian kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala bagi
orang-orang yang bersabar dan mengucapkan kalimat istirja’.
Yang dimaksud "shalawat"
dari Allah bagi hamba-Nya, yaitu ampunan, rahmat dan keberkahan, serta
kemuliaan yang diberikan kepadanya di dunia dan di akhirat. Sedangkan kata
"rahmat" diulang lagi, untuk menunjukkan penekanan dan penegasan
makna yang sudah disampaikan”. [8]
Imam ath-Thabari mengartikannya
dengan makna maghfirah (ampunan)[9]. Sedangkan menurut Ibnu Katsir rahimahullah
maknanya ialah, mereka mendapatkan pujian dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.[10]
وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
"(dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk)".
Disamping karunia yang telah
disebutkan, mereka juga termasuk golongan orang-orang muhtadin (yang menerima
hidayah), berada di atas kebenaran. Mengatakan ucapan yang diridhai Allah,
mengerjalan amalan yang akan membuat mereka menggapai pahala besar dari Allah
Subhanahu wa Ta'ala [11]. Dalam konteks ini, yaitu keberhasilan mereka bersabar
karena Allah.[12]
Ayat ini menunjukkan pula balasan
bagi orang yang tidak mampu bersabar. Yaitu akan mendapat balasan dalam bentuk
celaan, hukuman dari Allah, kesesatan dan kerugian.[13]
KESABARAN MENGHADAPI MUSIBAH
MELURUSKAN AQIDAH Kata sabar berasal dari shabara. Yakni menahan dan
menghalangi. Mengandung makna mengekang jiwa dari menolak ketetapan takdir,
menahan lisan dari keluh-kesah dan murka, serta mengendalikan anggota tubuh
dari tindakan memukuli pipi, merobek-robek baju, dan reaksi-reaksi lainnya yang
bersifat jasmine, dengan maksud menggugat takdir.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ
اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ٦٤:١١
"Tidak ada sesuatu musibah pun
yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." [at
Taghabun/64:11]
Alqamah rahimahullah, seorang dari
kalangan Tabi’in berkata: “Ia adalah seseorang yang dilanda musibah. Kemudian
ia meyakini bahwa musibah itu berasal dari Allah, sehingga tetap ridha dan
berserah diri".
Said bin Jubair berkata,"Maksud
firman Allah di atas, yakni ia mengucapkan istirja’ dengan mengatakan 'inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un' (saat dilanda bencana)."
Ayat di atas, sebagaimana
disampaikan Syaikh Shalih al Fauzan, adalah merupakan dalil, bahwa amalan
termasuk dalam lingkup keimanan. Ayat ini juga menunjukkan, bahwa kesabaran
merupakan pintu hidayah bagi hati. Dan seorang mukmin membutuhkan kesabaran
dalam segala keadaan. Yang lebih penting lagi, saat dilanda berbagai macam
musibah, maka kesabaran benar-benar dituntut untuk selalu dikuatkan
keberadaannya. Tidak bisa tidak, karena musibah-musibah yang terjadi tidak
lepas dari ketentuan Allah Ta’ala. Sehingga ketidaksabaran, justru akan
menggoreskan cacat pada keimanan seseorang terhadap rububiyah Allah Subhanahu
wa Ta'ala.[14]
Bahkan hakikatnya musibah itu
mendatangkan berbagai kemanfaatan. Diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah : “Bencana-bencana merupakan kenikmatan. Sebab
menggugurkan dosa-dosa dan menuntut adanya kesabaran, sehingga memperoleh
pahala. Juga mengharuskan inabah (kembali) kepada Allah, menghinakan diri
kepada-Nya, berpaling dari sesama manusia dan kemaslahatan penting lainnya.
Terhapusnya dosa dan kesalahan dengan adanya musibah-musibah, (juga) termasuk
kenikmatan yang besar…”. Dikutip dari al Irsyad, hlm. 103.
SUKA MENGELUH, GELAR ORANG-ORANG
YANG JAHIL [15] Orang yang jahil (bodoh) mengadukan Allah kepada sesamanya. Ini
merupakan tindakan bodoh yang sangat parah terhadap Dzat yang Maha Agung.
Seandainya ia mengenal Allah dengan sebaik-baiknya, tentu ia tidak akan
mengeluhkan perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga tidak akan
mengeluhkan Allah kepada sesama.manusia.
Adapun orang yang berilmu, ia akan
mengadu hanya kepada Allah saja. Yaitu dengan menyalahkan diri sendiri, bukan
orang lain.
PERLUNYA JIWA DIDIDIK DENGAN BENCANA
[16] Bencana atau musibah yang sedang melanda, hakikatnya memiliki peran besar
dalam mendidik jiwa. Karena sudah semestinya jiwa itu juga harus dididik,
meskipun dengan bencana. Sehingga ia akan memiliki kekuatan yang tegar,
keteguhan sikap, terlatih, selalu respek dan waspada terhadap lingkungan
sekitar.
Kesulitan-kesulitan yang dialami
jiwa, sesungguhnya akan menghasilkan potensi luar biasa. Potensi itu dalam
bentuk kekuatan besar yang tersembunyi. Kesulitan-kesulitan itu mampu membuka
celah-celah hati, yang bahkan tidak diketahui oleh seorang mukmin sekalipun,
kecuali melalui bencana atau musibah yang menderanya.
Saat itulah, seorang manusia harus
segera menyadari, bahwa yang paling penting ialah iltija`. Yaitu mencari
perlindungan diri kepada Allah semata, ketika seluruh tempat bergantung
mengalami kegoncangan. Tidak ada tempat berlindung kecuali naungan-Nya. Tidak
ada pertolongan, kecuali dari-Nya. Di saat-saat genting itulah, tabir kepalsuan
kekuatan makhluk tersingkap. Tidak ada kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah.
Tidak ada daya kecuali daya-Nya. Dan tidak ada tempat perlindungan kecuali
kepada-Nya.
Razaqanallah husnal khatimah.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 12/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______ Footnote [1]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim, Cet. II, Th. 1422H-2001M,
Darul-Kutub ‘Ilmiyah (1/191). [2]. Taisirul-Karimir-Rahman, Cet I, Th. 1423
H-2002M, Muassasah Risalah, hlm. 76. [3]. Lihat Taisirul-Karimir-Rahman hlm.
76; Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (1/196). [4]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (1/196).
[5]. Al Jami li-Ahkamil-Qur`an, Tahqiq Abdur-Razzaq Mahdi, Cet. II, Th.
1420H-1999M, Maktabah Rusyd (2/170). [6]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (1/196).
[7]. Al Jami li Ahkamil-Qur`an (2/172). [8]. Ibid. [9]. Jami’ul-Bayan, Cet. I,
Th. 1421 H-2001 M, Darul-Ihyait-Turats (2/52). [10]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim
(1/196). [11]. Jami’ul-Bayan (2/53). [12]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 76
[13]. Ibid. [14]. Al Irsyad, Cet. I, Th. 1414 H, Maktabah al Ilmu, hlm.
101-102. [15]. Al Fawaid, hlm. 95. [16]. Ats-Tsabat ‘alal-Islam, hlm. 56-57
secara ringkas.