Oleh Ummu Khansa
“kurasakan air mata ini kembali
menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu,
dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?”
*****
>>Saat itu. . .
Aku sudah mengenalmu karena memang
engkau adalah tetangga dekatku. Olehku, benar-benar tak terbayang bahwa engkau
kan menjadi kekasih hatiku yang terajut oleh untaian tali pernikahan. Jujur
terakui, wajahmu tak terlalu cantik. Namun begitu, sulit pula bagi lidahku
untuk kututurkan bahwa engkau jelek rupa. Biasa saja. Bagimu, make-up tak begitu
penting. Itu kuketahui karena engkau memang tak pernah memoleskannya di
wajahmu.
>>Aku dan Keputusanku…
Engkau adalah wanita sederhana. Iya,
wanita sederhana, pintar, tak banyak bicara. Engkaulah wanita yang bersahaja.
Terlihat dewasa, pula. Kesederhanaan dan kesahajaan yang engkau peragakan lah
yang justru terasa mengusik hati ini. Benar, tak bisa kupungkiri. Tak bisa
kututupi. Akhirnya, nyaliku terpercik hebat lalu menghujankan sebuah keputusan.
Kupilih engkau menjadi permaisuriku.
>>Sejenak Tentangmu…
Engkau, dinda, bukanlah keturunan
orang berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Aku tak peduli. Raga yang
terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akhirat yang kuingini.
Terlebihi terpolesi ilmu syar’i. Tekadku sudah bulat. Kupinang engkau dalam
waktu dekat.
Engkau, dinda, saat itu baru lulus
SMA. Tak kusangka kalau engkau menerima lamaranku dengan tangan terbuka. Bahkan
untuk menerimaku, engkau pangkas keinginanmu mencicipi bangku kuliah. Semua
gurumu begitu menyayangkan keputusanmu karena engkau termasuk siswa yang
cerdas. Aku tak tahu, mengapa engkau memilihku menjadi pangeran yang akan
menduduki singgasana hatimu, dinda. Sujud syukurku pada Allah ‘azzawajallah.
Alhamdulillah.
>>Percikan Bahagia di Hari
Pernikahan…
Dan hari itu pun kita menikah.
Terbitlah kebahagiaan yang menyelimuti sanubari. Sempurnalah mekar indah pucuk
asmara. Telah tiba saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan.
Terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati.
Adakah jalinan yang indah selain
jalinan dan untaian tali pernikahan?
Adakah letupan-letupan cinta yang
lebih menenteramkan hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?
Adakah hubungan yang lebih menabung
kebaikan selain hubungan sah secara syar’i?
Bak sejuknya tanah gersang yang
kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah
menghijau bersemi, bak syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan
cerah, begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati.
>>Aku Begitu Kagum. . .
Semua terasa mudah dan indah, dinda.
Engkaupun merasakan hal yang sama, bukan? Saat itu, usiaku 25 tahun dan engkau
baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum namun engkau
berani mengambil keputusan itu. Engkau berani mengakhiri masa lajangmu di usia
dini. Dan tahukah engkau, dinda, itu membuatku semakin kagum padamu.
Dinda tersayang.
Semenjak menikah hingga saat ini,
kekagumanku padamu terpupuk subur. Kudapati engkau belum pernah mengeluh
tentang keadaan yang kita alami bersama. Padahal engkau sendiri tahu bahwa
penghasilanku tak seberapa, kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan
pengeluaran. Begitu sering kita harus mengikis beberapa keinginan karena kita
tak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah terlihat kristal bening menetes
dari pelupuk matamu karena hal itu, dinda.
>>Tetesan Air Mata di Kasur
Cinta..
Masih teringatkah olehmu, dinda,
saat pertama kali kita arungi bahtera ini di sebuah kontrakan mungil? Sama
sekali kita tak punya apa-apa, bahkan alas tidur pun tak ada. Tetapi engkau
benar-benar membuktikan kecerdikanmu, dinda.
Seonggok pakaian kita yang masih
tersimpan dalam tas usang, kau keluarkan. Engkaupun melipatnya lalu engkau
tumpuk dua hingga tiga helai. Engkau kemudian mengaturnya berjejeran. Diatas
barisan baju itu, engkau bentangkan jilbab lebarmu. Jadilah kasur cinta ala
istriku terkasih.
Sambil menyungging senyum manismu,
engkau mempersilahkan aku mengempukkan diri di kasur cinta kita. Kutatap wajah
ayumu, dinda. Kufokuskan mataku memandang hitam bola matamu sambil membalasmu
dengan senyumku. Beberapa detik kemudian, kurasakan getaran hebat berkecamuk di
hati. Dan, dan, dan berlinanglah air mata haruku. Aku cinta. Aku cinta. Aku
mencintaimu, dinda.
>>Saatnya Engkau Melahirkan..
Bersamamu, wahai permaisuri hatiku,
tak terasa begitu cepat bergulirnya waktu. Dengan penuh kasih, selalu indah nan
syahdu terlalui hari-hari,dinda.
Kekurangan materi yang terkadang
menghantui seakan-akan bukanlah beban manakala kita senantiasa menebalkan
keikhlasan di hati. Denganmu, dinda, begitu banyak pelajaran yang kupetik.
Masih ingatkah ketika usia
pernikahan kita beranjak setahun, saat tujuh bulan usia kehamilanmu, dinda? Aku
begitu panik ketika engkau mengalami pendarahan. Tapi engkau begitu tenang tak
gugup. Dari keningmu yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau
sedang menahan sakit yang luar biasa. Segera saja kubawa engkau ke bidan. Dari
pemeriksaannya, itu adalah tanda-tanda bahwa engkau akan melahirkan.
Jam 12 malam, saat manusia tengah
asyik terlelap, anak pertama kita lahir dengan prematur. Ah, betapa aku
bahagia, dinda. Berulang kali, kukecup keningmu dengan kecupan sayang penuh
mesra.
>>Segelas Air Putih..
Aku melihat wajahmu melemas. Engkau
begitu lelah. Secara perlahan, kau bisiki aku dengan berkata:
“abii…, aku lapeer.”
Tersentak aku mendengarnya, dinda.
Ya, seharian tadi engkau tak makan karena kesakitan sejak kemarin. Sore tadi
aku hanya membeli sebungkus roti untukmu namun sudah kulahap habis karena tadi
engkau tak nafsu makan. Kini tak ada roti atau jajanan lain. Mau beli, jam
segini semua toko dan warung sudah tutup.
Alhamdulillah, ada segelas air putih
yang dibawakan bidan. Kusuguhkan sendiri untukmu agar kemesraan kita tetap
terjalin dan barangkali letihmu akan terkikis. Perlahan, engkau pun meneguknya,
dinda. Tak ada tuntutan dan keluhan sedikit pun yang terlontar dari lisanmu.
Engkau sungguh mengagumkan, dinda. Aku memuji Allah atas anugerah ini.
Kesahajaanmu benar-benar
menggelombangkan air mataku. Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu,
kembali kurasakan tetesan bening bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk
mataku. Seiring menyusuri lembah hidungku, kurasakan air mata ini kembali
menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu,
dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?
Yah, bayi yang menjadi permata hati
kita yan selamat dan nampak sehat telah membuatmu lupakan lapar dan dahaga.
>>Engkaulah Penyejuk Hati..
Tahun berganti dan engkau tak pernah
berubah. Hampir sepuluh tahun kita bersama dalam bahtera yang penuh dengan
kesederhanaan tetapi kita tak pernah lontarkan keluh. Engkau tak pernah tuntut
dunia dariku, dinda. Tak pernah minta ini. Tak pernah minta itu. Beli pakaian
saja mungkin tiga atau empat tahun sekali. Perhiasan? Tak pernah engkau
mengenalnya. Bagimu, bisa memenuhi kebutuhan saja tanpa berhutang sudah lebih
dari cukup.
“kurasakan air mata ini kembali
menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu,
dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?”
*****
>>Saat itu. . .
Aku sudah mengenalmu karena memang
engkau adalah tetangga dekatku. Olehku, benar-benar tak terbayang bahwa engkau
kan menjadi kekasih hatiku yang terajut oleh untaian tali pernikahan. Jujur
terakui, wajahmu tak terlalu cantik. Namun begitu, sulit pula bagi lidahku
untuk kututurkan bahwa engkau jelek rupa. Biasa saja. Bagimu, make-up tak
begitu penting. Itu kuketahui karena engkau memang tak pernah memoleskannya di
wajahmu.
>>Aku dan Keputusanku…
Engkau adalah wanita sederhana. Iya,
wanita sederhana, pintar, tak banyak bicara. Engkaulah wanita yang bersahaja.
Terlihat dewasa, pula. Kesederhanaan dan kesahajaan yang engkau peragakan lah
yang justru terasa mengusik hati ini. Benar, tak bisa kupungkiri. Tak bisa
kututupi. Akhirnya, nyaliku terpercik hebat lalu menghujankan sebuah keputusan.
Kupilih engkau menjadi permaisuriku.
>>Sejenak Tentangmu…
Engkau, dinda, bukanlah keturunan
orang berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Aku tak peduli. Raga yang
terbalut kain-kain penutup aurat dan jiwa yang terpaut akhirat yang kuingini.
Terlebihi terpolesi ilmu syar’i. Tekadku sudah bulat. Kupinang engkau dalam
waktu dekat.
Engkau, dinda, saat itu baru lulus
SMA. Tak kusangka kalau engkau menerima lamaranku dengan tangan terbuka. Bahkan
untuk menerimaku, engkau pangkas keinginanmu mencicipi bangku kuliah. Semua
gurumu begitu menyayangkan keputusanmu karena engkau termasuk siswa yang
cerdas. Aku tak tahu, mengapa engkau memilihku menjadi pangeran yang akan
menduduki singgasana hatimu, dinda. Sujud syukurku pada Allah ‘azzawajallah.
Alhamdulillah.
>>Percikan Bahagia di Hari
Pernikahan…
Dan hari itu pun kita menikah.
Terbitlah kebahagiaan yang menyelimuti sanubari. Sempurnalah mekar indah pucuk
asmara. Telah tiba saatnya biduk harus berlayar di samudera kehidupan.
Terhempas sudah karang-karang penantian yang bertengger di taman hati.
Adakah jalinan yang indah selain
jalinan dan untaian tali pernikahan?
Adakah letupan-letupan cinta yang
lebih menenteramkan hati sepasang muda-mudi selain dalam ikatan ini?
Adakah hubungan yang lebih menabung
kebaikan selain hubungan sah secara syar’i?
Bak sejuknya tanah gersang yang
kembali subur setelah dentuman hujan, bak cerahnya dedaunan muda yang indah
menghijau bersemi, bak syahdunya kicauan burung menyambut mentari di pagi nan
cerah, begitulah pula datangnya kuncup bahagia di hati.
>>Aku Begitu Kagum. . .
Semua terasa mudah dan indah, dinda.
Engkaupun merasakan hal yang sama, bukan? Saat itu, usiaku 25 tahun dan engkau
baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum namun engkau
berani mengambil keputusan itu. Engkau berani mengakhiri masa lajangmu di usia
dini. Dan tahukah engkau, dinda, itu membuatku semakin kagum padamu.
Dinda tersayang.
Semenjak menikah hingga saat ini,
kekagumanku padamu terpupuk subur. Kudapati engkau belum pernah mengeluh
tentang keadaan yang kita alami bersama. Padahal engkau sendiri tahu bahwa
penghasilanku tak seberapa, kadangkala tak seimbang antara pemasukan dan
pengeluaran. Begitu sering kita harus mengikis beberapa keinginan karena kita
tak sanggup menggapainya. Benar-benar tak pernah terlihat kristal bening
menetes dari pelupuk matamu karena hal itu, dinda.
>>Tetesan Air Mata di Kasur
Cinta..
Masih teringatkah olehmu, dinda,
saat pertama kali kita arungi bahtera ini di sebuah kontrakan mungil? Sama
sekali kita tak punya apa-apa, bahkan alas tidur pun tak ada. Tetapi engkau
benar-benar membuktikan kecerdikanmu, dinda.
Seonggok pakaian kita yang masih
tersimpan dalam tas usang, kau keluarkan. Engkaupun melipatnya lalu engkau
tumpuk dua hingga tiga helai. Engkau kemudian mengaturnya berjejeran. Diatas
barisan baju itu, engkau bentangkan jilbab lebarmu. Jadilah kasur cinta ala
istriku terkasih.
Sambil menyungging senyum manismu,
engkau mempersilahkan aku mengempukkan diri di kasur cinta kita. Kutatap wajah
ayumu, dinda. Kufokuskan mataku memandang hitam bola matamu sambil membalasmu
dengan senyumku. Beberapa detik kemudian, kurasakan getaran hebat berkecamuk di
hati. Dan, dan, dan berlinanglah air mata haruku. Aku cinta. Aku cinta. Aku
mencintaimu, dinda.
>>Saatnya Engkau Melahirkan..
Bersamamu, wahai permaisuri hatiku,
tak terasa begitu cepat bergulirnya waktu. Dengan penuh kasih, selalu indah nan
syahdu terlalui hari-hari,dinda. Kekurangan materi yang terkadang menghantui
seakan-akan bukanlah beban manakala kita senantiasa menebalkan keikhlasan di
hati. Denganmu, dinda, begitu banyak pelajaran yang kupetik.
Masih ingatkah ketika usia
pernikahan kita beranjak setahun, saat tujuh bulan usia kehamilanmu, dinda? Aku
begitu panik ketika engkau mengalami pendarahan. Tapi engkau begitu tenang tak
gugup. Dari keningmu yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau
sedang menahan sakit yang luar biasa. Segera saja kubawa engkau ke bidan. Dari
pemeriksaannya, itu adalah tanda-tanda bahwa engkau akan melahirkan.
Jam 12 malam, saat manusia tengah
asyik terlelap, anak pertama kita lahir dengan prematur. Ah, betapa aku
bahagia, dinda. Berulang kali, kukecup keningmu dengan kecupan sayang penuh
mesra.
>>Segelas Air Putih..
Aku melihat wajahmu melemas. Engkau
begitu lelah. Secara perlahan, kau bisiki aku dengan berkata:
“abii…, aku lapeer.”
Tersentak aku mendengarnya, dinda.
Ya, seharian tadi engkau tak makan karena kesakitan sejak kemarin. Sore tadi
aku hanya membeli sebungkus roti untukmu namun sudah kulahap habis karena tadi
engkau tak nafsu makan. Kini tak ada roti atau jajanan lain. Mau beli, jam
segini semua toko dan warung sudah tutup.
Alhamdulillah, ada segelas air putih
yang dibawakan bidan. Kusuguhkan sendiri untukmu agar kemesraan kita tetap
terjalin dan barangkali letihmu akan terkikis. Perlahan, engkau pun meneguknya,
dinda. Tak ada tuntutan dan keluhan sedikit pun yang terlontar dari lisanmu.
Engkau sungguh mengagumkan, dinda. Aku memuji Allah atas anugerah ini.
Kesahajaanmu benar-benar
menggelombangkan air mataku. Melihat semburat bahagia terbit di wajahmu,
kembali kurasakan tetesan bening bak kristal itu mengalir syahdu dari pelupuk
mataku. Seiring menyusuri lembah hidungku, kurasakan air mata ini kembali
menyuburkan bunga cinta di taman hati. Kupersembahkan indah mekarnya untukmu,
dinda. Semerbaknya begitu harum, bukan?
Yah, bayi yang menjadi permata hati
kita yan selamat dan nampak sehat telah membuatmu lupakan lapar dan dahaga.
>>Engkaulah Penyejuk Hati..
Tahun berganti dan engkau tak pernah
berubah. Hampir sepuluh tahun kita bersama dalam bahtera yang penuh dengan
kesederhanaan tetapi kita tak pernah lontarkan keluh. Engkau tak pernah tuntut
dunia dariku, dinda. Tak pernah minta ini. Tak pernah minta itu. Beli pakaian
saja mungkin tiga atau empat tahun sekali. Perhiasan? Tak pernah engkau
mengenalnya. Bagimu, bisa memenuhi kebutuhan saja tanpa berhutang sudah lebih
dari cukup.
Sungguh, dinda. Aku amat bahagia
mengenalmu sosokmu. Aku memuji Allah atas anugerah ini. Engkaulah permata
sekaligus belahan jiwa yang menyejukkan hati. Mata akan teduh memandangmu.
Engkaulah sebenarnya perhiasan itu, dinda. Semoga engkau selalu tegar menemani
hari-hariku hingga kita jelang negeri penuh cinta nan abadi di akhirat nanti.
***
Kepada penulis buku tersebut yaitu
saudara Muhammad Albani (hafidzahullah), kami telah meminta ijin untuk
menuturkan dan mengisahkan kembali sekaligus mendaur ulang bahasanya dengan
tidak merubah alur kisah.
Kepada sepasang merpati dalam tulisan,
semoga jalinan cinta yang terajut dalam kehalalan tersebut tetap terjaga hingga
berjumpa dengan wajah Allah di surga, kelak.
Kepada para wanita, selalu kami
titipkan nasehat agar merias diri dengan akhlak yang mulia dan membalutkan diri
dengan ilmu syar’i. Ketahuilah wahai saudari-saudari kami bahwa salah satu dosa
anda sebagai makhluk hawa, seperti yang disebutkan para ulama, adalah
keengganan anda untuk menuntut ilmu dien ini. Jadikanlah wanita dalam kisah
diatas sebagai salah satu ibrah untuk menapaki jenjang pernikahan. Terakhir,
jadilah kalian wanita yang penuh kesahajaan dan selalu merasa cukup dalam
dunia. Semoga Allah ‘azzawajalla mudahkan kalian memasuki surga-Nya.
Kepada sauadara-saudara kami, semoga
kisah diatas menjadi salah satu percikan-percikan yang akan menerangi
jenjang-jenjang kehidupan kita selanjutnya. Semoga Allah tabaraka wata’ala
mengistiqamahkan kita di atas sunnah dan manhaj yang ditempuh para pendahulu
sehingga kita mampu menjadi pribadi yang shahih berilmu nan mulia berakhlak.
Kami rasakan fitnah-fitnah di akhir zaman begitu dahsyat menghantam karang
keimanan.
Subhanakallahumma wabihamdika
asyhadu alla illa ha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.
Kepada sepasang merpati dalam
tulisan, semoga jalinan cinta yang terajut dalam kehalalan tersebut tetap
terjaga hingga berjumpa dengan wajah Allah di surga, kelak.
Kepada para wanita, selalu kami
titipkan nasehat agar merias diri dengan akhlak yang mulia dan membalutkan diri
dengan ilmu syar’i. Ketahuilah wahai saudari-saudari kami bahwa salah satu dosa
anda sebagai makhluk hawa, seperti yang disebutkan para ulama, adalah
keengganan anda untuk menuntut ilmu dien ini. Jadikanlah wanita dalam kisah
diatas sebagai salah satu ibrah untuk menapaki jenjang pernikahan. Terakhir,
jadilah kalian wanita yang penuh kesahajaan dan selalu merasa cukup dalam
dunia. Semoga Allah ‘azzawajalla mudahkan kalian memasuki surga-Nya.
Kepada sauadara-saudara kami, semoga
kisah diatas menjadi salah satu percikan-percikan yang akan menerangi
jenjang-jenjang kehidupan kita selanjutnya. Semoga Allah tabaraka wata’ala
mengistiqamahkan kita di atas sunnah dan manhaj yang ditempuh para pendahulu
sehingga kita mampu menjadi pribadi yang shahih berilmu nan mulia berakhlak.
Kami rasakan fitnah-fitnah di akhir zaman begitu dahsyat menghantam karang
keimanan.
Subhanakallahumma wabihamdika
asyhadu alla illa ha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.