Sahabat Hikmah yang tercinta...
Tidak semua ilmu akan bermanfaat.
Ada ilmu yang tidak bermanfaat.
Seperti ilmu yang dimiliki sebagian
ahli kitab.
Mereka adalah orang yang memahami
al-Kitab.
Tetapi ilmunya tidak memberikan
manfaat kepadanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
menjelaskan :
"Orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad
seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di
antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui." (QS. Al-Bawarah, 2:146)
Dalam ayat ini kita diingatkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang sifat-sifat ahli
kitab, baik dari golongan Yahudi maupun Nasrani. Pada ayat ini sekali lagi
Allah menggambarkan bahwa ahli kitab tidak beriman kepada Rasulullah Muhammad
Shalallaahu 'alaihi wa sallam, padahal mereka itu benar-benar mengenal
Rasulullah SAW. Kenalnya ahli kitab kepada Rasulullah SAW sedemikian jelas,
sehingga Allah gambarkan sebagaimana kenalnya mereka kepada anak mereka
sendiri.
Pada awal ayat, Allah
mengatakan:
Alladziina aatainaa humul kitaaba (orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah Kami beri
Al-Kitab Taurat dan Injil)
ya’rifuunahu - mengenal Muhammad (walaupun nama Muhammad akan tetapi
hanya disebut siyat-nya). Dari segi siyat-nya dapat kita pahami bahwa yang
dimaksud dengan hu dalam ya’rifuu nahu disini adalah Rasulullah SAW.
Dari segi balaghotul Qur’qan (bahasa
Al-Qur’an), ada hal khusus yang ditampakkan oleh Allah SWT.
Pertama, Allah SWT
memilih lafadz ya’rifuunahu bukan ya’lamuunahu yang
artinya sama-sama mengenal. Apa maksud Allah dengan penggunaan kalimat tersebut
? Ternyata ada perbedaan pengertian antara Al-'Ilmu dan Al-Ma’rifah
dalam pemakaiannya. Ya’lamuu nahu itu digunakan untuk mengetahui
sesuatu yang tidak kelihatan (ma’nawi), sementara lafadz ya’rifuu
nahu itu digunakan untuk mengenali sesuatu yang kelihatan fisiknya (hisiy).
Artinya, jika yang digunakan adalah ya’rifuu nahu berarti pengenalan itu sangat
jelas.
Penggunaan kalimat seperti ini juga
digunakan Allah SWT dalam QS. Al-Muthoffifin ketika Allah menggambarkan
bagaimana keadaan penduduk surga. Allah mengatakan Ta’rofu fii wujuuhihim
nadl-rotan na’im , "Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka
kesenangan hidup mereka yang penuh keni'matan." (QS. 83:24).
Gambaran kesenangan hidup penduduk
surga itu dapat dilihat dari wajah mereka. Ini artinya dapat dikenali dari
sesuatu yang bersifat fisik, karena memang wajah mereka memang kelihatan. Jadi
lafadz al-ma’rifat itu digunakan untuk mengenali sesuatu yang benar-benar
jelas.
Oleh karena itu ketika Allah SWT
menggunakan kalimat ya’rifunahu ini karena orang-orang ahli kitab
tersebut benar-benar mengenal Rasulullah SAW, sebagaimana melihat segala
sesuatu yang nampak jelas secara fisik. Pengenalan ahli kitab ini karena
kenabian Rasulullah SAW sudah diterangkan dalam kitab suci mereka yaitu dalam
Taurat dan Injil.
Kedua, dalam lanjutan ayat ini Allah menggunakan kalimat kamaa
ya’rifuuna abnaa ahum (sebagaimana mereka mengenal anak laki-laki
mereka). Penggunaan kalimat ini lebih menguatkan lagi tentang pengenalan Ahli
Kitab kepada Muhammad SAW. Kita paham, tidak ada orang tua yang tidak mengenal
anaknya, kecuali kalau sudah pikun.
Ketiga, penggunaan lafadz abnaa ahum (anak laki-laki
mereka) pada penggalan ayat kamaa ya’rifu abnaa ahum (sebagaimana
mereka mengenal anak laki-laki mereka). Di sini Allah menggunakan lafadz abnaa
ahum (anak laki-laki), bukan banaa tihim (anak perempuan). Kalau kita
perhatikan di masyarakat, biasanya para orang tua itu lebih mengenal dan lebih
dekat dengan anak laki-lakinya jika dibandingkan dengan anak perempuannya.
Kebutuhan orang tua kepada anak laki-laki biasanya lebih tinggi daripada anak
perempuan.
Subhanallah. Penggunaan
kalimat-kalimat ini semakin menambah keyakinan kita tentang kemu’jizatan
Al-Qur’an. Sampai-sampai pada kalimat yang digunakan pun, Allah memilih yang
sesuai dengan makna yang dimaksudkan. Allah selalu menggunakan kalimat yang
sesuai dengan tujuannya.
Akan tetapi walaupun sudah
sedemikian jelasnya pengetahuan dan pengenalan ahli kitab kepada Rasulullah
SAW, tetapi sebagian mereka tetap mengingkari kenabian Rasulullah. Mengapa
sebagian Ahli Kitab ini kafir atas kenabian Muhammad SAW? Jawabannya adalah
karena totalitas hidup mereka yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, bukan
karena Allah SWT. Hal ini telah Allah tegaskan pada ayat sebelumnya yaitu ayat
145 yang telah dibahas.
Ayat ini Allah tutup dengan
mengatakan wa inna fariiqom minhum layaktumuunal haqqo wahum ya’lamuun
(dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal
mereka mengetahui).
Penutup ayat ini menerangkan satu
lagi sifat-sifat sebagian ahli kitab yang lain adalah tidak mau mengakui suatu
kebenaran. Namun demikian ada hal yang harus kita perhatikan disini. Dalam lanjutan
ayat ini, Allah menggunakan lafadz wa inna fariiqom minhum
(sebagian dari ahli kitab), bukan wa minhum (seluruh ahli kitab).
Mengapa Allah menggunakan lafadz fariiqo (sebagian) ? Karena
realita sejarah membuktikan bahwa diantara ahli kitab pada waktu itu ada yang
mengakui kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan kemudian beriman kepada beliau.
Dari Yahudi umpamanya ada Abdullah bin Salam yang adalah seorang ulama Yahudi
yang kemudian menyatakan keimanannya dan masuk Islam. Dari Nasrani umpamanya
ada Sidq Ahrufi.
"Dan apabila mereka
mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata
mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka
ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami,
kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi
(atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad s.a.w.)." (QS Al-Maidah
5:83)
Penggunaan lafadz wa inna
fariiqo - yang berarti sebagian dari mereka, menunjukkan keobyektifan
Al-Qur’an. Sekalipun dulunya mereka adalah ahli kitab yang selalu memusuhi
ummat Islam, tetapi ketika mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka
adalah saudara kita. Islam tidak mengenal adanya balas dendam.
Jadi sebagian dari ahli kitab itu
menyimpan kebenaran tentang kenabian Rasulullah Shalallaahu 'alaihi wa sallam
dengan menolak beriman walaupun mereka mengetahuinya. Kekafiran sebagian Ahli
Kitab ini menegaskan kembali bahwa ilmu saja tidak cukup. Sebagian Ahli kitab
itu sangat tahu tentang kebenaran kenabian Muhammad SAW daripada Quraisy maupun
suku yang lainnya, tetapi tetap saja mereka tidak beriman.
Ilmu yang dimiliki sebagian Ahli
Kitab tersebut tidak bermanfaat, walaupun untuk dirinya sendiri. Oleh karena
itu kita diajarkan untuk berdo’a kepada Allah dengan memohon agar diberikan
ilmu yang bermanfaat, karena ada ilmu yang tidak bermanfaat seperti ilmunya
sebagian ahli kitab ini tidak memberikan manfaat apapun, bahkan malah
menjadikannya kafir.
Sahabat Hikmah yang tercinta...
Oleh karena itu, agar ilmu yang kita
dapat bermanfaat solusinya adalah :
- Menyerahkan totalitas hidup pada Allah
- Jangan mau dikendalikan kepentingan dan hawa nafsu
- Menyadari bahwa Allah Maha Tahu. Sepandai-pandainya kita menyembunyikan kema’shiyatan, Allah pasti tahu
- Menyadari bahwa Allah murka kalau kita tahu tapi kita melanggar
- Menyadari bahwa kemuliaan seseorang bukan hanya tingginya ilmu tetapi karena ketaqwaannya
- Dalam Islam, orang yang tahu tetapi tidak melaksanan dipandang sebagai tidak tahu
- Jangan menilai seseorang dari pembicaraannya saja, tetapi lihat realita hidupnya
- Menyadari bahwa hidup di dunia sementara, kesenangan dunia adalah mata’
- Dunia tempat beramal, akherat tempat memanen
- Berdo’a agar Allah memberikan ilmu yang bermanfaat
- Selalu melibatkan diri dengan da’wah agar kema’shiyatan tidak semakin merajalela
Wallahu a'lam bishshowab…