Oleh: Badrul Tamam
Seorang muslim yang beriman dengan betul-betul
pasti akan takut mati su'ul khatimah. Karenanya, dia berusaha mencari tahu
sebab-sebab yang bisa melindunginya dari kondisi tersebut, lalu berlindung di
belakangnya.
Dalam kenyataan, ada sebagian orang terlihat
sebagai seorang muslim yang rajin ibadah, namun akhir hayatnya ditutup dengan
su'ul khatimah, Ya Allah kami berlindung kepada-Mu dari kondisi ini. Berikut
ini beberapa sebab yang bisa menyebabkan seseorang meninggal su'ul khatimah:
Pertama, rusaknya aqidah walaupun
disertai dengan kezuhudan dan keshalihan
Jika seseorang memiliki aqidah yang rusak dan
meyakininya, walau dia tigak ragu bahwa dia salah dalam meyakininya, maka akan
terkuak kebatilan keyakinanya ketika sakaratul maut. Walaupun dalam dirinya
terdapat keyakinan yang hak dan yang batil. Tersingkapnya kebatilan akidahnya
menjadi sebab hilangnya sisa akidahnya yang lain. Sesungguhnya keluarnya nyawa
orang tersebut dalam kondisi ini sebelum mengecap kebenaran dan kembali kepada
pokok iman, ditutup dengan su'ul khatimah dan meninggalkan dunia tanpa iman. Dia
termasuk di antara orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala,
قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS.
Al-Kahfi: 103-104)
Siapa saja yang meyakini akidah yang
berseberangan dengan akidah yang shahih, baik atas penalarannya sendiri atau
mengambil dari orang yang berakidah batil, maka tetap berada dalam lingkup
bahaya. Kezuhudan dan keshalihan tidak sedikiitpun membawa manfaat baginya. Dan
sesungguhnya yang bisa mendatangkan kebaikan pada dirinya adalah akidah yang
benar, yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu
'alaihi wasallam. Karena akidah dalam Islam tidak dianggap kecuali yang
berasal dari keduanya.
Kedua, terus menerus bermaksiat
Orang yang terbiasa melakukan
kemaksiatan-kemaksiatan maka akan terekam dalam batinnya. Dan semua tindakan
yang terekam selama hidupnya akan teringat kembali saat kematian menjemput.
Jika kecenderungannya kepada ketaatan lebih
dominan, maka yang akan terngiang dalam benaknya ketika ajal datang adalah
amal-amal ketaatan. Sebaliknya, jika kecenderungannya kepada perbuatan maksiat
lebih banyak, maka yang akan muncul dalam ingatannya ketika maut menjemput
adalah kemaksiatan-kemaksiatan. Dan boleh jadi, keinginan berbuat kemaksiatan
itu mendominasi dirinya ketika kematian menghampirinya, sehingga hatinya
kecanduan dengannya. Akibatnya, muncul hijab antara dirinya dengan Rabb-nya dan
menjadi sebab kesengsaraannya di akhirat. Sebagian ulama salaf berkata,
الْمَعَاصِيْ
بَرِيْدُ الْكُفْرِ كَمَا أَنَّ الْقُبْلَةَ بَرِيْدُ الْجِمَاعِ وَالْغِنَاءَ
بَرِيْدُ الزِّنَا وَالنَّظَرَ بَرِيْدُ الْعِشْقِ وَالْمَرَضَ بَرِيْدُ الْمَوْتِ
“Maksiat adalah pengantar menuju kekafiran
sebagaimana halnya ciuman pengantar menuju jimak, nyanyian adalah pengantar
menuju zina, pandangan adalah pengantar menuju kerinduan, dan sakit pengantar
menuju kematian”. (Lihat Al-Jawab Al-Kafi (hal. 33) karya Ibnul Qoyyim)
Dan siapa yang tidak pernah melakukan kemaksiatan
atau pernah melakukannya lalu bertaubat, maka dia jauh dari bahaya ini.
Sedangkan orang yang banyak melakukan dosa sehingga jumlahnya lebih banyak dari
ketaatannya, dan dia tidak bertaubat darinya bahkan terus menerus melakukannya,
maka ini akan menciderai dirinya. Karena banyaknya goresan dosa tersebut
menyebabkan ukiran dalam hatinya, sehingga dia kecanduan terhadapnya.
Maka ketika nyawanya dicabut dalam kondisi itu,
maka itu menjadi sebab akhir hidupnya yang buruk (su'ul khatimah).
Contoh mudah dari hal ini, seseorang memimpikan
kondisi yang dijalani selama hidupnya. Sehingga orang yang menghabiskan
waktunya untuk berkecimpung dengan ilmu, akan memimpikan kondisi-kondisi yang
berkaitan dengan ilmu dan ulama. Seseorang yang menghabiskan waktunya dalam
menjahit, maka dia akan memimpikan jahitan, para penjahit dan pelanggan. Kenapa
seperti itu? Karena tidak akan hadir dalam mimpi seseorang kecuali yang sesuatu
yang memiliki kesan dalam batinnya karena seringnya berkecimpung dengan hal
itu. Sedangkan kematian, walaupun tingkatannya di atas tidur, tetapi kondisi
yang mengawalinya hampir sama. Maka yang sering dilakukan akan diingatnya
ketika maut datang, akan terkenang dalam hatinya dan cenderung kepadanya.
Ketika ruhnya dicabut dalam kondisi itu, maka dia telah mengakhiri hidupnya
dengan su'ul khatimah.
Imam al-Dzahabi berkata dalam al-Kabaair, ….
Mujahid berkata, “Tidak ada satu orang yang meninggal kecuali terbayang olehnya
teman-temannya yang sering duduk bersamanya, sehingga datang seseorang yang
biasa bermain catur bersamanya. ..Lalu dikatakan padanya, “Ucapkan Laa Ilaaha
Illallaah”, maka dia menjawab, “Sekak” lalu dia mati. Maka yang banyak terucap
oleh lisannya adalah yang biasa dikerjakanya saat bermain catur. Maka ucapannya
Sekak adalah pengganti dari kalimat tauhid.
Dan datang lagi seorang laki-laki kepada
laki-laki lain yang biasa menenggak minuman keras. Dia mendekatinya, lalu mulai
mentalkinkan (menuntunkan)-nya dengan kalimat syahadat. Maka dia berkata kepada
orang yang menjenguknya tadi, “Minum dan tuangkan untukku”, lalu dia mati. Laa
Haula wa laa Quwwata Illaa Billaahi al-‘Aliyyi al-‘Adzim.” (Selesai)
Orang yang terbiasa melakukan kemaksiatan-kemaksiatan maka akan
terekam dalam batinnya.
Dan semua tindakan yang terekam selama hidupnya akan teringat
kembali saat kematian menjemput.
Ketiga, sengaja tidak istiqamah (sengaja
menyimpang)
Jika seseorang sebelumnya istiqamah, lalu berubah
kondisinya dan meninggalkan keadaan tadi, maka hal itu menjadi sebab dia
mengalami su'ul khatimah. Contohya: Bal’am bin Ba’ur yang telah Allah berikan
kepadanya ayat-ayat-Nya, lalu dia sengaja melepaskan diri darinya dikarenakan
cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya yang rendah, akhirnya dia
menjadi orang yang sesat dan celaka.
Contoh lainnya adalah pendeta Barshisha, seorang
ahli ibadah dari kalangan Bani Israil yang dibujuk syetan,
“Kufurlah”. Ketika telah kufur maka syetan
berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Rabb, Tuhan semesta alam.” Dia telah
ditipu syetan untuk kufur. Maka ketika dia telah kafir, syetan berlepas diri
darinya karena takut akan menyertainya dalam adzab. Tapi hal itu tidak
bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَكَانَ
عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ
الظَّالِمِينَ
“Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa
sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya.
Demikianlah balasan orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-Hasyar: 17)
Keempat, lemah iman
Jika iman seseorang lemah, maka lemah pula rasa
cintanya kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, cintanya kepada dunia menguat dalam
hatinya sampai menguasai dirinya. Sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk
mencintai Allah Ta’ala. Akibatnya, jiwanya tidak lagi merasakan terpengaruh
atas penyimpangan dirinya. Larangan berbuat maksiat tidak lagi berguna. Anjuran
untuk taat tidak lagi memiliki tempat dalam dirinya. Sehingga dia terjerembab
dalam kubangan syahwat dan melakukan berbagai perbuatan maksiat. Kegelapan dosa
telah menutupi hatinya. Sampai-sampai cahaya iman selalu dipadamkan olehnya.
Ketika datang sakaratul maut, maka kecintaan kepada Allah melemah dalam hatinya
ketika dia tahu akan berpisah dengan dunia yang dicintainya. Sedangkan
kecintaannya kepada dunia mengalahkan dirinya sehingga berat meninggalkannya.
Tingkatan Suul Khatimah
Su'ul khatimah memiliki dua tingkatan: Pertama,
sangat berbahaya. Yaitu muncul keraguan dan penentangan ketika sakaratul maut
dan kengeriannya datang. Sehingga nyawanya dicabut dalam kondisi demikian. Maka
hal itu menjadi penghalang antara dirinya dengan Allah Ta’ala untuk
selama-lamanya. Hal itu menjadikannya kekal dalam siksa yang abadi.
Kedua, tingkatan di bawah itu,
tapi masih berbahaya. Ketika sakaratul maut datang, dalam hatinya didominasi
kecintaan kepada dunia dan kesenangannya. Hal itu tergambar jelas dalam benaknya
sehingga tidak terpikir olehnya selain dari itu. Maka kondisi tercabutnya nyawa
semacam ini sangatlah menghawatirkan. Karena seseorang mati dalam kondisi yang
biasa dia jalani, maka hal itu menjadi kerugian yang besar.
Jika pokok iman seseorang dan cintanya kepada
Allah Ta’ala telah memenuhi hatinya dalam waktu cukup lama yang dikuatkan
dengan amal-amal shalih, maka iman dalam hatinya tergolong kuat, -Allah
Mahatahu tentang kadar kuatnya-, maka ketika dia harus dimasukkan dalam neraka
untuk membersihkan dosa-dosanya, dia akan dikeluarkan darinya dalam waktu
dekat. Dan jika imannya ada di bawah itu, maka tinggalnya di neraka lebih lama
lagi.
Tetapi jika iman dalam hati hanya sebesar biji,
maka pasti dikeluarkan dari neraka walaupun setelah beribu-ribu tahun.
Setiap orang yang memiliki sedikit saja keyakinan
terhadap Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya yang menyimpang dari akidah yang
benar, baik karena taklid atau hasil pencariannya sendiri, maka dia dalam
kondisi yang membahayakan. Kezuhudan dan keshalihannya tidak cukup untuk
menghilangkan bencana ini. Bahkan tidak bisa menyelamatkan darinya kecuali
keyakinan yang benar, yang sesuai dengan kitabullah dan sunnah muthahharah.
Semoga Allah melimpahkan kepada kita husnul
khatimah. Menjadikan kuburan kita sebagai bagian dari taman-taman surga
dengan ampunan, rahmat, dan kemurahan-Nya. [PurWD/voa-islam.com]