Jangan salah tafsir dulu membaca
judul di atas.Kalimat itu bukan dinisbatkan pada ucapan anak kecil yang baru
mulai belajar bicara, mengucapkan "soleh" jadi "coleh".
Kata "coleh" yang dimaksud adalah singkatan macho dan saleh.
Ada pertimbangan penulis ketika
memilih judul itu. Pertama, orang seringkali berasumsi membincang suami saleh
seolah melulu berdimensi keagamaan.
Artinya suami saleh adalah suami
yang ibadahnya kepada Allah rajin. Puasa Senin-Kamis, minimal sebulan sekali
tidak pernah bolong. Pun demikian soal salat malam, nyaris tak pernah absen.
Minimal sekali per dua pekan.
Sementara ia tak pernah mau peduli dengan tugas-tugas kerumahtanggaan isterinya
di luar tugas mendidik anak-anak.
Kedua, suami saleh seakan dipandang
sebagai seorang ahli agama yang tak perlu mengurusi soal-soal kesehatan,
kebersihan dan kepantasan.
Minimal untuk kepantasan performa
diri.
Dengan kata lain, sering dianggap
kesalehan itu sama sekali tak terkait dengan soal-soal kejantanan dan estetika.
Sehingga ia tak perlu mempedulikan
aspek kekuatan (olah raga) dan keindahan diri.
Padahal Rosulullah berpesan,
"Muslim yang dicintai Allah adalah Muslim yang kuat!"
Di samping itu, bukankah Allah itu
indah dan mencintai keindahan?
Jelas pesan di atas bukan semata-mata
berorientasi pada perintah persiapan jihad.
Tapi ia (pesan itu) memang
menjangkau juga aspek rumah tangga.
Agar suami yang kuat nyaman
dipandang dan tentu bisa memberi kebahagiaan pada pasangannya dalam hubungan
suami-isteri.
Ketiga, tak sedikit orang berasumsi
konotasi suami saleh adalah orang-orang yang pasif. Ia adalah suami yang selalu
menunggu layanan dari isteri, tidak berinisiatif melayaninya. Ia seakan selalu
meminta untuk dicinta, bukan memberi cinta kepada isterinya. Ia seolah menempati
posisi raja yang harus ditaati perintahnya, bukan mitra bagi isteri dan
anak-anaknya. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Paling tidak, ketiga asumsi yang
keliru itu kita akan coba luruskan.
Jika yang dimaksud saleh
pengertiannya adalah taqwa, maka kita tau, tidak ada manusia paling bertaqwa di
dunia, kecuali Rasulullah saw.
Track record Nabi saw soal
keterlibatannya dalam urusan pekerjaan rumah tangga, sungguh luar biasa.Aisyah
pernah ditanya: "Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw kalau di
rumah?"
Ia menjawab: "Beliau saw
sebagaimana kebanyakan manusia lain, menjahit terompahnya, menambal pakaiannya,
memerah susu kambingnya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh orang
lelaki. Baru bila tiba waktu salat, beliau keluar." (HR. Bukhari)
Rasulullah juga amat baik
perhatiannya dalam urusan belanja isteri. Sehingga tidak pernah beliau
membiarkan isterinya berhutang pada orang lain.
Seharusnyalah, suami taqwa (saleh)
mampu memberi belanja yang cukup dan menjaga diri isteri agar tidak
meminta-minta atau tidak menggantungkan urusan keluarganya pada orang lain.
Suami saleh adalah suami yang
mandiri, baik secara sikap maupun finansial.
Ia tidak akan mengadukan
kesulitannya pada seseorang, sekalipun kepada orangtuanya atau keluarganya.
Ia tetap menjaga dirinya dengan
baik, walaupun dalam keadaan kesulitan, sehingga orang lain menganggap dia
orang yang tidak berkekurangan.
Selanjutnya, dalam hal kejantanan
Rasul? Jangan ditanya.
Sejak awal bahkan Nabi selalu
mengingatkan agar para orang tua mengajarkan anak-anak mereka memanah,
menunggang kuda, dan berenang.
Semua jenis olahraga ini, terang
membutuhkan keberanian dan kekuatan, yang konotasinya adalah kedigjayaan
(kejantanan).
Karena itu hampir tak pernah dicatat
oleh sejarah, Rasul mengalami sakit serius.
Concern Nabi dalam memelihara
kekuatan diri, barangkali terindikasi dari kisah berikut. Diriwayatkan, dalam
memberikan pelayanan kebutuhan seksual isterinya, Nabi ternyata melakukannya
dengan sangat baik, menarik, dan menggairahkan isterinya. Rosulullah saw dalam kaitan
hal ini berpesan;
"Cucilah pakaianmu, pangkaslah
rambutmu, bersiwaklah, berhiaslah dan bersihkanlah dirimu. Karena sesungguhnya
Bani Israil tidak pernah berbuat seperti itu, sehingga wanita-wanita mereka
suka berzina."
Bahkan dalam hadist berikutnya Nabi
berpesan; "Jika seseorang di antara kamu bersenggama, hendaklah ia lakukan
dengan kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah menyelesaikan kebutuhannya (puas)
sebelum isterinya mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut
(penisnya) sampai isterinya mendapatkan kepuasan." (HR Abdurrazaq dan Abu
Ya'la, dari Anas).
Banyak riwayat menyebutkan betapa
sikap romantisme Rosul kepada seluruh isteri-isteri beliau.
Kepada Aisyah misalnya, beliau
selalu memanggil dengan sebutan "Ya Humairoh" (artinya si Pipi
Merah).
Begitupun ketika Rasul menghadapi
isteri beliau di di tempat tidur. Ternyata beliau tetap menjaga kebersihan,
kejantanan, dan kehalusan, sehingga mampu merangsang isterinya untuk dapat
menikmati kebahagiaan bersuami.
Sebaliknya, beliau sangat mengecam
para suami yang jorok dan tidak rapi pada saat bercumbu dengan isterinya.
Sehingga menyebabkan isteri mereka muak dan bosan, sampai-sampai akhirnya
(na'udzubillah) mereka melirik lelaki lain.
Jadi? Ya tentu saja tidak pantas
suami yang dekil, kumel, apalagi loyo, disebut suami saleh.
Setelah mengulas singkat sikap
empati suami pada tugas-tugas isteri. Kemudian kita menyoroti juga soal
kemandirian sikap dan kemampuan mencukupi nafkah keluarga yang harus dipenuhi
seorang suami saleh.
Begitupun soal keperkasaan yang
harus diperhatikan seorang suami.
Maka aspek terakhir yang tak kalah
penting kita soroti adalah soal sikap kepemimpinan suami terhadap isteri.
Seorang suami saleh, jelas bukan
pemimpin perusahaan apalagi menganggap diri sebagai seorang raja diraja. Ia
hakikatnya merupakan mitra ibadah bersama isterinya.
Tentunya sifat-sifat otoritarian tak
ada dalam kamus kehidupan seorang suami saleh.
Yakni sikap memaksa isteri dan
anak-anaknya harus taat pada perintahnya, serta menghukumnya jika melanggar.
Syahdan, Aisyah dan Hafsah
(isteri-isteri Rosulullah saw) pernah membuat mosi minta kenaikan uang belanja.
Tapi Nabi tidak memperkenankannya,
hingga membuat mereka melakukan aksi protes. Kelakuan para isteri Nabi sempat
tembus ke telinga orangtua mereka.
Kedua mertua Nabi, Umar dan Abu
Bakar (semoga Allah merahmati mereka), segera bertandang ke rumah Nabi untuk
memarahi anak-anak mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu
dari Jabir.ra, katanya ; Abu Bakar datang meminta izin kepada Rasulullah saw
untuk menghadap. Saat itu Nabi sedang duduk, dan orang-orang bergerombol di
depan pintu rumah beliau. Namun Abu Bakar tidak diizinkan masuk. Lalu datang
Umar bin Khattab. Tapi ia juga tidak diizinkan masuk. Setelah beberapa saat,
baru mereka diizinkan masuk oleh Nabi. Lalu keduanya masuk, sedang Rasulullah
saw duduk diam. Para isteri beliau duduk di sekitarnya.
"Aku akan berkata kepada Nabi,
yang bisa jadi akan membuat beliau tertawa," kata Umar. Lalu ia
melanjutkan, "Wahai Rasulullah andaikan aku melihat puti Zaid yang
kemudian menjadi isteri Umar meminta nafkah kepadaku, niscaya sudah kupukul
lehernya."
Mendengar ucapan Umar, beliau saw
tertawa hingga gigi gerahamnya kelihatan. Lalu beliau bersabda, "Mereka
yang ada di sekitarku ini (para isteri beliau--pen) juga meminta nafkah
kepadaku."
Kontan Abu Bakar serta Umar bangkit
menuju ke tempat Aisyah dan Hafsah. Mereka berdua berkata, "Kalian berdua
meminta sesuatu yang tidak dimiliki Rasulullah." Rasulullah saw segera
melerai dan melarang Abu Bakar dan umar.
Para istri beliau pun berkata,
"Demi Allah, sesudah itu kami tidak akan meminta kepada Rasulullah apa-apa
yang tidak dimilikinya."
Sesaat kemudian kepada Aisyah,
Rosulullah saw berkata, "Aku mengingatkan kepadamu satu hal yang lebih
disenangi bila kamu mengharapkannyya dengan segera, sehingga kamu dapat
berkonsultasi dengan kedua orangtuamu."
"Apa itu?" tanya Aisyah.
Kemudian beliau membacakan surat Al hzab ayat 28-29. "Hai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu: "Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya,
maka marilah supaya segera kuberikan mut'ah, dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik. Dan jika kalian menginginkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya serta
kesenangan di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa
saja yang berbuat baik di antaramu, pahala yang besar."
"Apakah engkau mengira aku
masih akan meminta saran kepada kedua orang tuaku? Aku memilih Allah dan
Rasul-Nya. Aku juga memohon, janganlah engkau memberitahukan pilihanku ini
kepada salah seorang di antara istrimu," jawab Aisyah.
"Sesungguhnya Allah tidak
mengutusku sebagai orang yang bengis. Ia mengutusku sebagai pendidik dan
memberi kemudahan," sabda Nabi saw (dikutip dari sumber yang sama).
Kalau boleh kita konklusi uraian
singkat di atas, maka rumus suami saleh ialah paling tidak ia harus
"coleh" -- macho dan saleh.
Yakni jasmaninya prima, karena
senantiasa menjaga kesehatan dan kebersihan diri.
Dengan begitu ia akan selalu giat
beribadah,bekerja mencari nafkah, dan prima juga dalam melayani isteri.
Di samping tentunya tak kalah urgen,
ia harus menjadi orang yang sabar dan lembut terhadap keluarga, serta kepada
siapapun tentunya.
Nah, tipikal suami seperti di
ataslah yang kini sedang atau memang sulit dicari. Ayo, siapa yang bisa
memenuhi kriteria suami coleh?
♥●♥_◕_♥●♥