oleh Bidadari In Action
Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan
menghadiri sebuah kajian dakwah di wilayah utara Jakarta. Pengisinya seorang
ustadzah yang luar biasa keilmuannya menurut saya, sebab beliau memegang gelar
Lc, yang jarang dimiliki oleh seorang perempuan. Beliau juga kepala Sekolah
Tinggi Ilmu Dakwah Al Qudwah. Sangat kapabel dalam menjelaskan seluk beluk buku
dakwah yang kami bahas.
Tiba di saat termin tanya jawab, kajian semakin
menarik karena ini kesempatan saya untuk mengajukan pertanyaan seputar dakwah
yang dilakukan oleh perempuan yang telah berumah tangga. Beliau hanya mengajak
kita mengkaji lebih dalam sebuah hadist yang sangat familiar di telinga kita:
Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah (mar’ah
sholihah). Belai mengaku setengah hidup setengah mati untuk memahami isi hadits
yang sekilas terlihat mubazir. Namun setelah didalami, hadits ini menyimpan
pesan yang luar biasa.
Maknanya kurang lebih adalah sebagai berikut. Mar’ah
adalah perempuan dengan seluruh ‘keperempuanannya’. Artinya seorang wanita
disebut sebagai mar’ah jika dia memilki skill sebagai seorang perempuan.
Seperti memasak, merapikan rumah, mengasuh anak, dll. Sedangkan sholihah adalah
gelar yang disematkan kepada seorang perempuan yang memang layak
mendapatkannya. Untuk mendapatkan gelar
ini, seorang perempuan harus punya ilmu dan MENGAPLIKASIKAN ilmunya. Ibarat
seorang dokter yang tidak berpraktek sebenarnya tidak layak disebut dokter.
Begitu pula dengan sholihah. Seorang perempuan tidak layak mendapat gelar
shilohah jika ia hanya punya ilmu tapi tidak dipraktekkan untuk kemaslahatan
ummat. Jadi, untuk menjadi perhiasan yangpaling indah, banyaklah beramal untuk
mendapatkan gelar sebagai Mar’ah Shalihah.
Saya coba hubungkan artikel di atas dengan sedikit
hal di bawah ini..
"Barangsiapa yang mengerjakan amal
saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang
baik dan sesungguhnya akan
Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(An-Nahl: 97)
Ayat di atas memang menjelaskan tentang amalan yang
dikerjakan oleh mu'min dan mu'minah. Namun, seorang ustadz mengatakan, bahwa
'bekerja' bagi seorang muslimah, sebenarnya tak ada aturan. Baik dihukumkan
wajib bahkan tak ada pula sunnahnya.
Jika bekerja dilakukan dengan adanya ketakutan akan
ditinggal perhgi oleh suami, maka niatnya salah. Namun, jika dilakukan demi
penuhi kebutuhan keluarga, membantu suami. Maka hal ini dibenarkan.
Wallaahua'lam.