Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Jumat, 04 Februari 2011

"Andai Saja Kau Percaya Padaku"


Sulit benar membangun kepercayaan, walau untuk hal-hal yang sederhana sekalipun. Ini
kisahku dalam perjalanan tempo hari. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti
ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti si depan
karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata kepala sendiri apa
yang terjadi di depannya.
Tapi karena tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap sepi. Saat itu, akulah yang
mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di depan ada becak yang sarat muatan
hendak menyeberang. Biarlah ia lewat. Kalau ia harus berhenti dan menggejot dari awal
lagi, tentu merepotkan.
Tapi keputusanku ini ternyata membuat mobil di belakang itu tidak senang. Baru saja aku
menginjak rem, klaksonnya sudah menyalak galak bertubi-tubi. Tapi keputusan telah
ditetapkan, dan abang becak telah mengambil jalan. Si mobil belakang ini juga telah
membulatkan hati, dia memilih menyalipku daripada ikut berhenti. Maka yang terjadi
terjadilah.
Ia begitu terkejut, hampir mati ketika becak itu muncul begitu saja di moncong mobilnya.
Ia menginjak rem hingga berdecit. Tabrakan keras memang tidak terjadi tapi sekedar
ciuman bumper pun telah membuat sang becak terguling. Muatan sayuran yang
menggunung berhamburan memenuhi jalan. Kecelakaan itu tidak mengerikan,tetapi
sayuran yang bertebaran benar-benar telah menjadi provokasi tersendiri.
Jalanan macet seketika. Si penyalip mobilku pucat pasi. Ia seorang pria, tampak
terpelajar; tapi saat itu ia berubah menjadi orang yang kelihatan bodoh. Posisi mobilnya
secara mencolok memperlihatkan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini. Semua pihak
kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar itu, entah belajar teori drama dari
mana, mulai membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya terjungkal. Ia sendiri
dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan berjalan menghampiri si pria
pengemudi dan langsung meninjunya.
Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi akhir insiden ini.
Betapa tidak enak membayangkan perasaan pengemudi mobil tadi. Seorang yang tampak
terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok lingkungan dan dipukuli
seperti kriminal. Padahal, jika saja ia mau sedikit bersabar, dan terpenting, mau
mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah ini mungkin tidak akan terjadi.
Seperti itulah keadaan di negara ini, orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau
ia memang tengah memegang otoritas yang sesungguhnya. Selalu saja ada intervensi.

Inilah mengapa kita selalu cenderung membunyikan klakson di saat kita dalam
kemacetan. Mengapa dalam hal antri, leher kita cenderung terjulur demikian panjang
untuk selalu gatal melihat keadaan di depan.
Kita selalu ingin tergesa-gesa, tidak punya kesabaran sedikitpun. Padahal di depan itu
sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik-baik saja. Sekeras apapun klakson
yang kita bunyikan, tidak akan mengubah situasi jika saatnya belum tiba. Pada gilirannya,
antrian pun pasti akan bergerak maju dengan caranya sendiri. Jika semuanya masih
terhenti, pasti karena masih ada persoalan. Biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di
belakang, tinggal mempercayainya.
Berat memang, tapi inilah ongkos hidup bersama. Harus ada semacam tebusan sebagai
ongkos kepercayaan. Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang membuat hidup
bermasyarakat sering dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan pihak yang di depan
itu, memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita boleh kecewa tapi tak perlu
mendendam. Karena untuk hidup bersama, manusia memang perlu saling mempercayai.
Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah diherankan pula. Siapa yang sama sekali bisa
membebaskan diri dari nasib sial Rasanya tak ada.
Maka andai saja saat itu engkau percaya padaku, engkau pasti tidak dipermalukan
sedemikian rupa.


http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/andai-saja-kau-percaya-padaku/186043031415353