Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Senin, 20 Desember 2010

“ PENGABDIAN KEPADA ALLOH Subhanaahu’’ Wa Ta’ala “


Bismillahirrohmannirrohim

“ PENGABDIAN KEPADA ALLOH Subhanaahu’’ Wa Ta’ala “
Segala Puja dan Puji hanya milik Alloh Subhanaahu’’ Wa Ta’ala, kita memuji, meminta pertolongan, memohon ampun kepada-Nya, kita berlindung kepada-Nya dari keburukan perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan sebaliknya, barangsiapa yang disesatkan oleh Alloh Subhanaahu’’ Wa Ta’ala, maka tidak ada yang memberi petunjuk kepada-Nya, Kita bersaksi tidak ada yang berhaq disembah melaikan Alloh satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kita bersaksi bahwa Rasululloh Shallallahu’ Alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan-Nya.  Amma Ba’du.
            “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam “. (QS. Ali-Imran: 102).
“ Sebaik-baik petunjuk adalah Kitabulloh (Al-Qur’an), serta sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Rasululloh Shallallahu’ Alaihi wa Sallam yakni Sunnahnya, dan seburuk-buruk perbuatan dan perkataan ialah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan ialah Bid’ah dan setiap keBid’ahan itu sesat serta setiap kesesatan itu ialah tempatnya di dalam Naar (Neraka) “. (Al-Hadist).
“ Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus “.
{QS. Al-Baqarah (2): 213}.
            Jika kita amati ayat di atas, romantika dakwah sejak Nabi Nuh Alaihi’ Wa Sallam hingga Rasululloh Shallallahu’ Alaihi wa Sallam adalah sama. Problematika yang dihadapi pun tak jauh berbeda. Artinya tabiat dakwah semua Rasul adalah satu, yaitu menyeru kepada jalan ketauhidan (pengesaan ibadah hanya kepada Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala) dengan segala cabang, jenis dan konsekuensi serta tuntutannya. Seperti keharusan membersihkan segala bentuk kesyirikan sampai tercabut akar-akarnya.


Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala berfirman:       “ Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Alloh, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Alloh), aku takut kamu akan ditimpa adzab hari yang besar (kiamat) “. {QS. Al-A’raaf (7): 59, 65, 73, 85}. Dalam sebuah hadist disebutkan Ali Ridwanulloh Azmain meriwayatkan, Rasululloh Shallallahu’ Alaihi wa Sallam bersabda:                        “ Sebaik-baik perkataan para nabi adalah ucapan ‘Laa Ilaaha Illalloh’. (Ibnu Taimiyyah dalam Kitab                     Al-‘Ubudiyah, hal.4). berdasarkan hal ini dapat disimpulkan, bahwa perseteruan antara para nabi yang membawa panji Laa Ilaaha Illalloh dengan kaum jahiliyah ternyata bukan hanya dikarenakan adanya pengutusan nabi semata, tetapi sudah ada akarnya sejak zaman awal mula manusia diciptakan.
Kita bisa melihat bagaimana hal ini dikuatkan dalam Al-Qur’an tentang kisah para Nabi dan pendusta agama. Firman-Nya:  “ Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, zubur, dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna “. {QS. Faathir (35): 25}.

Dua Asas Penyangga Agama (Dien)
Kalau kita membaca dan mengamati ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh Shallallahu’ Alaihi                  wa Sallam bahwa agama Islam tegak atas dua dasar:
1.      Tidak ada suatu dzat pun yang dapat diibadahi/disembah melaikan Alloh Subhanaahu’                       Wa Ta’ala. Dalam konteks syari’at, prinsip ini bermakna tidak ada kompromi ibadah kepada selain Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala. Kata “ ibadah “ disini merupakan kata benda yang mencakup semua hal yang dicintai Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala, semua nama yang mencakup settiap hal yang dicintai dan diridhoi Alloh, baik berupa ucapan maupun perbuatan lahir                      dan bathin.
2.      Tidak beribadah melainkan dengan apa yang telah disyari’atkan melalui lisan Rasululloh Shallallahu’ Alaihi wa Sallam. ini berarti bahwa kalimat Laa Ilaaha Illalloh bukan hanya sekedar ikrar seorang hamba bahwa, tidak ada dzat pencipta selain Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala dan Alloh adalah Tuhan pengatur segala sesuatu. Kenapa demikian? Sebab kaum penyembah berhala di zaman dakwah Rasul Shallallahu’ Alaihi wa Sallam pun mengikrarkan pengakuan seperti ini. simak firman Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala berikut ini: “ Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Alloh". Katakanlah: "Segala puji bagi Alloh"; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui “. {QS. Lukman (31); 25 dan QS. Az-Zumar (39)}.



Akan tetapi pada kenyataannya mereka tetap menyekutukan Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala kepada sesame makhluk di antara mereka bahkan mentaati perintah-perintah mereka. Sehingga ikrar mereka tak ada manfaatnya sedikit pun bagi mereka sendiri. Semua ini dikarenakan: Pertama, prinsip pengabdian kepada Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala semata (tauhid uluhiyah) yang benar adalah meliputi kecintaan kepada Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala, pengagungan terhadap-Nya, ketundukan kepada perintah-Nya, kepasrahan terhadap segala keputusan-Nya, kepatuhan untuk senantiasa menta’ati-Nya, dalam semua aspek kehidupan, baik dari masalah aqidah, ibadah hingga dalam praktik-praktik adaptasi antar sesama manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, karena kebenaran konsekuensi dari kesaksian bahwa “ Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh “, menuntut manusia untuk menafikan (menolak) ketuhanan selain Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala dari dalam hatinya itu ketuhanan Yang Maha Benar, yaitu Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala. Kemudian hal itu harus dibuktikan dengan mencintai-Nya, mengagungkan kebesaran-Nya, beribadah hanya kepada-Nya, mengembalikan semua harapan hanya kepada-Nya, takut kepada-Nya, mengharap pertolongan hanya dari-Nya, mencintai Sesutu karena-Nya, bertawakkal kepada-Nya dan hal-hal lain yang menjadi hak-hak khusus ketuhanan Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala.
Atas dasar ini, maka berarti setiap seorang muslim atau pun muslimah harus menunjukkan ketundukaan dan kepatuhan terhadap Islam dalam setiap ucapan, pemikiran, dan perilakunya dalam kehidupan ini.                  Firman-Nya: “ Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Alloh)". {QS. Al-An’aam (6): 162-163}. Dari sini tidak ada keraguan sedikitpun, bangsa Arab -yang notabene lebih mengetahui dan memahami bahasa mereka sendiri, benar-benar mengerti dan paham apa yang dikandung dan dimaksud kalimat Laa Ilaaha Illalloh yang diserukan dan diajarkan oleh Rasululloh Shallallahu’ Alaihi wa Sallam bermakna, manusia harus melepaskan segala ketundukan terhadap semua bentuk kekuasaan yang senantiasa digunakan oleh para pejabat, pemerintah, dan para pemimpin kabilah, sesuai hawa nafsu dan kepentingan sesaat mereka, dan mengembalikan semuanya hanya kepada Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala, Firman-Nya: “ Keputusan itu hanyalah kepunyaan Alloh. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui “. {QS. Yusuf (12): 40}.
Syaikh Al-Mujahid Sayyid Quthub Rahimahulloh mengatakan, “ Kita tidak adan memahami pejelasan alasan di atas sebagaimana orang Arab memahaminya, kecuali jika kita mengetahui makna ibadah yang khusus ditujukan hanya kepada Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala. Adapun makna ‘abada’ (asal kata ibadah) secara bahasa adalah, tunduk dan patuh. Pada awalnya, makna ‘ibadah’ yang dipakai dalam istilah Islam bukanlah ‘pelaksanaan ritual-ritual keagamaan melainkan sebagaimana makna bahasa tersebut. Dan ketika ayat ini turun (pada periode Makkah) belum ada satu bentuk ritual peribadatan pun yang disyariatkn hingga munculnya istilah peribadatan itu sendiri.


 Maka dari itu, karena yang dimaksud dengan ‘ ibadah ‘ pada ayat ini adalah sebagaimana maknanya secara bahasa, yang sekaligus menjadi maknanya secara istilah waktu itu. Berarti yang dimaksud ‘ ibadah ‘ dalam ayat ini adalah, ketundukan dan kepatuhan kepada Alloh semata, serta keta’atan pada perintah-Nya saja. Baik perintah itu berkaitan dengan ritual peribadatan, pengarahan akhlak, ataupun yang berkaitan dengan syari’at perundang-undangan “.
Maka ibadah dalam arti ketundukan dan kepatuhan itu, tidak akan berdiri tegak ketika suatu keputusan hukum diserahkan kepada selain Alloh. Dan dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara hukum-hukum-Nya yang berkaitan dengan taqdir yang mesti terjadi, dengan hukum-hukum syari’at-Nya yang dikehendaki-Nya agar ditempuh manusia secara khusus. Sekali lagi terbukti bahwa bangsa Arab memahami makna hakiki kalimat Laa Ilaaha Illalloh adalah, berarti penolakan terhadap kekuasaan buatan manusia yang telah merampas karakteristik utama ketuhanan yakni ibadah dan ketaatan dan memerangi siapa saja yang berhukum dengaan syari’at atau undang-undang yang tidak di-izinkan Alloh Subhanaahu’ Wa Ta’ala, Firman-Nya: “ Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Alloh? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Alloh) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dzalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih.                                                    {QS. Asy-Syuura (42): 21}.
Maka tidak mengherankan jika Waraqah Ibnu Naufal berkata kepada Rasul Shallallahu’ Alaihi wa Sallam sesaat setelah mendengar turunnya wahyu pertama: “ Semoga aku masih hidup, sehingga dapat membelamu ketika engkau diusir oleh kaummu. “ Dengan keheranan Rasululloh Shallallahu’ Alaihi wa Sallam berkata: “ Apakah kaumku akan mengusirku? “ Waraqah menjawab: “ Tak seorangpun pembawa ajaran seperti yang kamu bawa, kecuali dia akan dimusuhi “. “ Ya Alloh… tetapkan kami dalam pengabdian                   kepada-Mu dengan benar “. Amien, Ya Rabbal ‘Alamin.  Sekian Risalah singkat ini, Fastabiqul Khoirot                 (mari kita berlomba dalam kebajikan), semoga dapat bermanfaat. Wallohu’ Ta’ala a’lam bish Showab, Nuun Walqolami’ wamaa’ Yasthuruun, Subhanakallohhumma’ Wabihamdhikaa’ Ashadu’ala ilaahaa’ illa Anta Astaqfirukaa Wa’athubuh ilaa’ikaa. Washallallaahu’ ala nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahhbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil’ Alamien.


http://www.facebook.com/notes/melati/-pengabdian-kepada-alloh-subhanaahu-wa-taala-/169675133070870