Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Senin, 29 November 2010

""Serahkan Hidupmu pada Titah Tuhanmu"


Anakku tercinta,

Kamu juga bertanya tentang tawakkal. Ketahuilah, Nak, tawakkal ialah memperteguh kepercayaan kepada Allah tentang apa saja yang telah dijanjikan-Nya. Bagian yang telah ditaqdirkan-Nya untukmu, pasti akan sampai kepadamu. Apa yang akan menimpamu, pasti akan terjadi, meski kamu berusaha menghindarinya. Perkara yang ditaqdirkan bukan untukmu, pasti tidak akan sampai kepadamu, meskipun seluruh makhluk membantumu untuk mewujudkan hal itu.
  • "Mengapa kita mesti bertawakkal, berserah diri kepada titah Allah? Bukankah yang menentukan baik buruknya hidup kita ini adalah diri kita sendiri? Kita kaya karena bekerja. Kita pandai karena rajin belajar. Kita sehat karena selalu menjaga kekebalan tubuh dari serangan virus penyakit."
  • Itulah pertanyaan seseorang yang kritis. Pertanyaan dengan nada gugatan itu, sebagiannya memang benar. Kita bisa memahami cara berpikirnya lewat logika sebab dan akibat. Logika sebab-akibat inilah yang dalam ilmu alam biasa disebut dengan "Kepastian".
  • Kepastian yang sebenarnya hasil rumusan manusia yang dikonstruksikan setelah mengamati fenomena alam dan sosial. Misalnya, setiap pagi matahari terbit dari Timur; pada saat matahari berada di posisi atas kapala kita, ia memberikan panas yang maksmal; api mempunyai sifat membakar dan seterusnya.


 Kepastian dari watak alam tersebut kemudian dikenal dengan hukum alam atau sunnatullah.
Selanjutnya ada kepastian Allah yang bernama Taqdir. Waktu untuk meresponnya lebih panjang lagi, bahkan efeknya baru diketahui setelah seseorang memasuki alam akhirat. Barang siapa di dunia ini menabur kebaikan, ia akan memetik buah kenikmatan, dan barang siapa menabur keburukan, ia pun akan mendapatkan kesengsaraan. 
  • Nah, semua kepastian atau taqdir yang ada dalam tata kosmos ini adalah aturan Allah. Hukum-hukum sebab-akibat memang ditemukan oleh manusia setelah ia mengamati berbagai fakta yang terjadi, tetapi sejatinya itu adalah aturan Allah. Anehnya, manusia acap kali suka menutup rasionalitas yang dipakainya sendiri. "Apa itu akhirat? Apa itu neraka? Hidup itu selesai dengan kematian." Begitulah keragu-raguan yang kemudian muncul.
 Mengapa manusia sering kali mengalami keraguan tersebut dan tidak mau bertawakkal kepada Allah? Ya, karena mereka secara psikologis masih seperti anak kecil; hanya percaya dan mau taat pada hal-hal yang nyata/konkret. Maka atas nama kebebasan dalam menjalani hidup moralitas dan nilai tidak lagi dipandang penting karena moral dan nilai itu bersifat abstrak, tidak konkret.
Orang tidak mau korupsi bukan karena ia tahu bahwa korupsi adalah perilaku buruk dari segi moralitas dan nilai, melainkan ia lebih takut dibui/penjara. Nah ketika orang masih berkelit dari hukum dan tindakan korupsinya tidak diketahui oleh publik, ia pun mencuri uang negara. Lihat saja di sekeliling kita, mereka yang melakukan tindakan korupsi ternyata orang-orang pintar dan akademisi. Mereka tentu paham betul soal nilai baik buruk, tetapi mereka tdk percaya pada 'kepastian' nilai baik-buruk yang kelak akan membalas mereka.
Mereka hanya percaya oleh kepastian hukum sebab-akibat di dunia, itupun jika tindak korupsinya bisa dibuktikan di pengadilan dan keadilan bisa ditegakkan.
Nah, orang-orang pintar percaya hukum sebab-akibat yang ada di alam raya dan hukum sosial, tetapi di antara mereka mudah melupakan hukum kepastian Qhisas (karma) yang akan ditampakkan di dunia maupun kelak di akhirat. Sebab yang terakhir ini bersifat abstrak dan belum bisa dibuktikan secara nyata. "Jangan-jangan akhirat memang tidak ada?


Bagaimana menjelaskan bahwa akhirat dan Qhisas (karma) amal benar-benar ada?" Begitulah mereka mulai meragukan tentang nilai dan orientasi hidup yang akan bersambung dengan akhirat.
 Hidup ini adalah garis lurus yang arah pangkalnya adalah akhirat. Untuk mencapai titik tujuan, yakni akhirat, meniti jalan lurus adalah satu-satunya rute yang paling dekat. Maka, kita selalu berdo'a untuk ditunjuki jalan yang lurus ("Ihdinash-shirathal-mustaqim). Karena kita belum memasuki dan belum mengalami suasana akhirat, maka akhirat pun disebut gaib. Lantas, karena belum mengalaminya, apakah kita pantas menginkarinya? 
  • Dalam hidup sehari-hari, hanya ada 3 tahapan:
 Hari kemaren, hari ini, dan esok hari.
 Hari kemaren disebut sejarah,
 hari ini disebut kenyataan
 dan hari esok disebut masa depan.
Sedetik yang akan datang, hakikatnya termasuk pada tahapan hari esok. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di dalamnya. Itu sebabnya, seperti kehidupan setelah mati, sedetik yang akan datang adalah juga gaib dan tak ada yang tahu kepastian hal yang akan terjadi. Kalau kita percaya ada peristiwa-peristiwa yang akan terjadi dalam sedetik kemudian, bahkan kita merencanakannya, mengapa untuk soal kehidupan akhirat kita tak mau percaya dan tak mau merencanakannya?
Orang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang percaya pada masa depan dan akhirat. Orang yang selalu meniti jalan yang lurus dengan gerak dinamis, orang yang menjalani hidup dengan ketentuan-ketentuan sunnatullah di atas. Oleh karena itu, bertawakkal tidak berarti pasif, tetapi selalu bergerak secara dinamis untuk memaknai dan menata jalan hidup dengan jalan kebenaran. Inilah orang yang percaya akan masa depan. "Walal-akhiratu khairullaka minal-'ula; "sungguh akhirat lebih baik dari pada dunia." (QS.Al-Dhuha [93]:4). "Wal-akhiratu khairun wa abqa; "Dan akhirat jauh lebih baik dan abadi." (QS. Al-A'la [87]:17).



Menjalani hidup dengan sikap tawakkal adalah mirip seperti orang bermain catur. Kita bebas tetapi terikat, terikat tetapi bebas. Terikat dalam pengertian kita berada dalam ketentuan dan peraturan dalam bermain catur; bebas karena kita bisa memilih gerak dan strategi dalam permainan itu. Tujuan akhirnya tentu bukan permainan catur, melainkan kemenangan. Dalam konteks kehidupan, kemenangan itu berupa pembebasan diri dari jerat setan dan konsisten pada jalan lurus, jalan menuju Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Itulah jalan Kemenangan!.