Anakku tercinta,
Kamu juga bertanya tentang tawakkal.
Ketahuilah, Nak, tawakkal ialah memperteguh kepercayaan kepada Allah tentang
apa saja yang telah dijanjikan-Nya. Bagian yang telah ditaqdirkan-Nya untukmu,
pasti akan sampai kepadamu. Apa yang akan menimpamu, pasti akan terjadi, meski
kamu berusaha menghindarinya. Perkara yang ditaqdirkan bukan untukmu, pasti
tidak akan sampai kepadamu, meskipun seluruh makhluk membantumu untuk
mewujudkan hal itu.
- "Mengapa kita mesti bertawakkal, berserah diri kepada titah Allah? Bukankah yang menentukan baik buruknya hidup kita ini adalah diri kita sendiri? Kita kaya karena bekerja. Kita pandai karena rajin belajar. Kita sehat karena selalu menjaga kekebalan tubuh dari serangan virus penyakit."
- Itulah pertanyaan seseorang yang kritis. Pertanyaan dengan nada gugatan itu, sebagiannya memang benar. Kita bisa memahami cara berpikirnya lewat logika sebab dan akibat. Logika sebab-akibat inilah yang dalam ilmu alam biasa disebut dengan "Kepastian".
- Kepastian yang sebenarnya hasil rumusan manusia yang dikonstruksikan setelah mengamati fenomena alam dan sosial. Misalnya, setiap pagi matahari terbit dari Timur; pada saat matahari berada di posisi atas kapala kita, ia memberikan panas yang maksmal; api mempunyai sifat membakar dan seterusnya.
Kepastian dari watak alam tersebut kemudian
dikenal dengan hukum alam atau sunnatullah.
Selanjutnya ada kepastian Allah yang
bernama Taqdir. Waktu untuk meresponnya lebih panjang lagi, bahkan efeknya baru
diketahui setelah seseorang memasuki alam akhirat. Barang siapa di dunia ini
menabur kebaikan, ia akan memetik buah kenikmatan, dan barang siapa menabur
keburukan, ia pun akan mendapatkan kesengsaraan.
- Nah, semua kepastian atau taqdir yang ada dalam tata kosmos ini adalah aturan Allah. Hukum-hukum sebab-akibat memang ditemukan oleh manusia setelah ia mengamati berbagai fakta yang terjadi, tetapi sejatinya itu adalah aturan Allah. Anehnya, manusia acap kali suka menutup rasionalitas yang dipakainya sendiri. "Apa itu akhirat? Apa itu neraka? Hidup itu selesai dengan kematian." Begitulah keragu-raguan yang kemudian muncul.
Mengapa manusia sering kali
mengalami keraguan tersebut dan tidak mau bertawakkal kepada Allah? Ya, karena
mereka secara psikologis masih seperti anak kecil; hanya percaya dan mau taat
pada hal-hal yang nyata/konkret. Maka atas nama kebebasan dalam menjalani hidup
moralitas dan nilai tidak lagi dipandang penting karena moral dan nilai itu
bersifat abstrak, tidak konkret.
Orang
tidak mau korupsi bukan karena ia tahu bahwa korupsi adalah perilaku buruk dari
segi moralitas dan nilai, melainkan ia lebih takut dibui/penjara. Nah ketika
orang masih berkelit dari hukum dan tindakan korupsinya tidak diketahui oleh
publik, ia pun mencuri uang negara. Lihat saja di sekeliling kita, mereka yang
melakukan tindakan korupsi ternyata orang-orang pintar dan akademisi. Mereka
tentu paham betul soal nilai baik buruk, tetapi mereka tdk percaya pada
'kepastian' nilai baik-buruk yang kelak akan membalas mereka.
Mereka
hanya percaya oleh kepastian hukum sebab-akibat di dunia, itupun jika tindak
korupsinya bisa dibuktikan di pengadilan dan keadilan bisa ditegakkan.
Nah, orang-orang pintar percaya
hukum sebab-akibat yang ada di alam raya dan hukum sosial, tetapi di antara
mereka mudah melupakan hukum kepastian Qhisas (karma) yang akan ditampakkan di
dunia maupun kelak di akhirat. Sebab yang terakhir ini bersifat abstrak dan
belum bisa dibuktikan secara nyata. "Jangan-jangan akhirat memang tidak
ada?
Bagaimana menjelaskan bahwa akhirat
dan Qhisas (karma) amal benar-benar ada?" Begitulah mereka mulai meragukan
tentang nilai dan orientasi hidup yang akan bersambung dengan akhirat.
Hidup ini adalah garis lurus
yang arah pangkalnya adalah akhirat. Untuk mencapai titik tujuan, yakni
akhirat, meniti jalan lurus adalah satu-satunya rute yang paling dekat. Maka,
kita selalu berdo'a untuk ditunjuki jalan yang lurus
("Ihdinash-shirathal-mustaqim). Karena kita belum memasuki dan belum
mengalami suasana akhirat, maka akhirat pun disebut gaib. Lantas, karena belum
mengalaminya, apakah kita pantas menginkarinya?
- Dalam hidup sehari-hari, hanya ada 3 tahapan:
Hari kemaren, hari ini, dan esok
hari.
Hari kemaren disebut sejarah,
hari ini disebut kenyataan
dan hari esok disebut masa depan.
Sedetik
yang akan datang, hakikatnya termasuk pada tahapan hari esok. Kita tidak tahu
apa yang akan terjadi di dalamnya. Itu sebabnya, seperti kehidupan setelah
mati, sedetik yang akan datang adalah juga gaib dan tak ada yang tahu kepastian
hal yang akan terjadi. Kalau kita percaya ada peristiwa-peristiwa yang akan
terjadi dalam sedetik kemudian, bahkan kita merencanakannya, mengapa untuk soal
kehidupan akhirat kita tak mau percaya dan tak mau merencanakannya?
Orang yang bertawakkal kepada Allah
adalah orang yang percaya pada masa depan dan akhirat. Orang yang selalu meniti
jalan yang lurus dengan gerak dinamis, orang yang menjalani hidup dengan
ketentuan-ketentuan sunnatullah di atas. Oleh karena itu, bertawakkal tidak
berarti pasif, tetapi selalu bergerak secara dinamis untuk memaknai dan menata
jalan hidup dengan jalan kebenaran. Inilah orang yang percaya akan masa depan.
"Walal-akhiratu khairullaka minal-'ula; "sungguh akhirat lebih baik
dari pada dunia." (QS.Al-Dhuha [93]:4). "Wal-akhiratu khairun wa
abqa; "Dan akhirat jauh lebih baik dan abadi." (QS. Al-A'la [87]:17).
Menjalani hidup dengan sikap
tawakkal adalah mirip seperti orang bermain catur. Kita bebas tetapi terikat,
terikat tetapi bebas. Terikat dalam pengertian kita berada dalam ketentuan dan
peraturan dalam bermain catur; bebas karena kita bisa memilih gerak dan
strategi dalam permainan itu. Tujuan akhirnya tentu bukan permainan catur,
melainkan kemenangan. Dalam konteks kehidupan, kemenangan itu berupa pembebasan
diri dari jerat setan dan konsisten pada jalan lurus, jalan menuju Allah
Subhanahu Wa Ta'ala. Itulah jalan Kemenangan!.