Belum menikah?" tanya saya pada
laki-laki di hadapan saya yang rautnya telah bertambah tua.Yat, teman saya ini,
mungkin tak tepat untuk saya sebut sebagai teman sebab usia kami yang
terpautbegitu jauh. Garis-garis dewasa-untuk saya menghindari kata tua-begitu
nyata saya tangkap dariwajahnya. Kerutan ada di sekitar mata dan pipinya.
la menggeleng. Ini sudah jawaban
paling baik yang saya dapatkan. Biasanya, kalau menghadapipertanyaan semacam
itu, hanya senyum kecut yang ia berikan dan buru-buru mengajak beranjakpada
pembicaraan lain.
Tentu anakmu sudah besar, ya,
Wie!" gumamnya seraya menyelai jemari tangan. Mungkin iamenyembunyikan
resah.
"°Ya, yang pertama masuk SD
tahun ini. Kalau yang kecil, sekarang sudah empat tahun."
"Bahagia?"
Saya pikir, saya tak perlu menjawab
pertanyaannya itu sebab definisi bahagia tiap-tiap orangmungkin berbeda. Lagi
pula, apakah menjawab ya atau tidak itu sesungguhnya yang menjadipertanyaannya?
Saya hanya menangkap resah itu.
Resah yang bisa dibaca nyaris di setiap geraknya, pandangannyayang tidak fokus
dan sering berpindah-pindah sebagaimana juga pembicaraannya yang
selaluberpindah dari satu topik ke topik yang lain, mengalir begitu
deras."Tiga tahun lagi usiaku empat puluh. Sudah tua, ya
Saya segera menghitung umur saya
sendiri. Oktober tahun lalu, seperempat abad telah terlampaui,dan saya pun
telah merasa napas 'tua' merasuki raga saya. Lantas, apakah saya akan
membantahkalimatnya bahwa perbedaan dua belas tahun itu tak cukup menyebutnya
tua?
"Manusia boleh tua usia,
Mas," hibur saya. "Yang penting, kan, semangatnya. Saya ingin
tetapmuda kendati saya sendiri sekarang sudah mulai tua."
"Apa aku cukup pantas diaebut
bersemangat muda?" "Kenapa tidak?"
"Hm, entahlah, Wie mungkin
takdirku sendiri begini.°"Maksudnya?'°
"Sebenarnya aku ingin menikah,
tapi aku selalu takut jatuh cinta."
Lantas, tanpa menunggu reaksi saya
atas kalimat yang 'mengejutkan' itu, ia telah berlalu darihadapan saya. la
berjalan, menunduk. Dukanya mengais-ngais jalan.
memang terkadang menakutkan. Sungguh
wajar baginya untuk mengatakan ia takut jatuhcinta. Yat-begitu biasa dia
dipanggil kendati itu bukan potongan dari salah satu suku katapembentuk
namanya-memiliki pengalaman yang 'menyakitkan' dalam cinta.
Seperti remaja kebanyakan, saat usia
SMA, ia pernah jatuh cinta pada seorang wanita, rekansekelasnya. Cinta monyet,
kata orang. Namun untuk ukuran remaja, hubungan percintaan merekaterbilang
awet. Cinta pertama yang begitu romantis, saling berkirim surat-kendati
berbicaralangsung sebenarnya lebih praktis dan tanpa Maya karena keduanya yang
berada dalam satu kelasselama tiga tahun sebagaimana romansa khas remaja.
Namun, di semester terakhir
sekolahnya, si wanita menderita sakit parah dan berakhir padakematian, tepat
pada saat teman-temannya yang lain menempuh ujian SMA. Irulah yang membuatYat
kacau-balau menyelesaikan lembar lembar tes dan membuat ia tak bisa diterima di
perguruantinggi mana pun.
Cukup lama Yat dicekam kesedihan
oleh kepergian teman dekat tersebut. Diausuh ia yang tak jugamendapat pekerjaan
selulus sekolah membuat kondisinya semakin memprihatinkan. Untunglah,pada
akhirnya ia menemukan semangat hidup itu dan kembali bisa berdiri untuk
memperjuangkanhidupnya. Meski tertatih-tatih, ia bisa keluar dari lingkaran
duka itu dan memulai kembalisejarahnya.
Kali ini, tentu saja tidaak ada yang
bisa ia harapkan untuk kuliah. Bukan karena biaya, sebabkeluarganya cukup mampu
menopang kuliah, asalkan tidak dalam skala kelas atas. Nilalinya-sepertisaya
sebutkan-jeblok di penghujung sekolahnya. Oleh karena itu ia memilih untuk
terjun langsungdalam bursa kerja. Berbekal ijazah SMA, ia melamar dari satu
perusahaan ke perusahaan lainnya.
Saat telah bekerja, ia menjalin
hubungan dekat dengan seorang gadis, rekan sekerja. Gadis yangbaik, sopan, lagi
cantik rupawan. Orang tuanya telah merasa cocok saat Yat menyatakan
inginmenikahi gadis tersebut. Namun apa lancar, belum lagi sampai berlangsung
proses lamaran, si gadismenderita sakit parah dan kembali berujung pada
kematian.
Yat terguncang. Ini pukulan kedua
yang nyaris membuatnya hilang. Semangatnya timbultenggelam. Bergelung dalam
kesedlihan itu, tubuhnya yang sempat gemuk itu kembali mengurus.Orang tuanya
tak kalah sedih, bukan saja kehilangan calon menantu yang sesungguhnya
telahmereka cintai pula, juga oleh ketidakstabilan Yat atas deraan penderitaan
itu.
Hari-hari Yat adalah : murung yang
murung. Semangat kerjanya hilang, demilkian juga semangathidup.
Ini menyebabkan ia dikeluarkan dari
pekerjaan, sesuatu yang sampai sekarang tak pernahdisesalinya karena ia tak
pernah merasa kehilangan. Jilka ada hal besar yang hilang, kehilangan halkecil
menjadi tidak terasa. Itu yang ia rasakan saat dipecat dan membuatnya
luntang-lantung,menjadi preman kampung yang kerjanya nongkrong dari waktu ke
waktu di perempatan jalan. Kaliini, cukup lama ia menemukan kembali dirinya yang
hilang. Cukup sulit untuknya kembali bangkitsetelah tersungkur yang kedua kali.
Melewati usia tiga puluh tahun, ia
kembali bekerja. Kali ini, ia menemukan tempat pelarian yangtepat dalam
pekerjaan dan menjelma sebagai orang yang gila kerja. Segala pekerjaan
dilakoninyauntuk melupakan kepahitan hidup.
Lantas, entah dari mana asalnya,
kembali seorang gadis menyentuh kesunyian hatinya.
Kendati mulai ragu dengan
perasaannya sendiri, pada akhirnya ia merasa jatuh cinta. Gadis itu telahmampu
membuat serta kembali hadir di parasnya yang telah baya. Rasa cinta yang tutus
berikutperhatian yang tiada habis membuat Yat kembali yakin untuk menikah.
Sungguh, betapa orangtuanya bahagia mendapati anaknya telah memiliki keberanian
kembali untuk mencintai seseorang,bahkan begitu perwira berniat untuk menikah.
Tak menunggu lama, lamaran pun
digelar. Hari pemikahan ditentukan. Tak perlu menunggu apa punsebab semua telah
ada. Sebagai seorang pekerja keras yang selalu lupa waktu jika sudah
tenggelamdalam pekerjaan, Yat memiliki segala ikon keduniawian. Bukankah itu
kompensasi yang tepat untukkegilaannya pada kerja? Ia tak perlu ribut soal
biaya pernikahan sebab uangnya lebih dari cukupuntuk menggelar perhelatan akbar
paling bergengsi sekalipun.
Wayang kulit telah dipesan. Janur
pun telah didekor dengan meriah berikut segala perhiasan khasorang menikah.
Pesta pernikahannya akan diawali dengan upacara akad nikah di siang harinya,
dikantor KUA terdekat.
Orang-orang sudah berkumpul di
kantor tersebut. Yat dan keluarganya, berikut kerabat saturombongan yang ingin
menyaksikan peristiwa bersejarah seorang Yat. Bahagia di wajah masing-masing.
Lantas..waktu beranjak begitu
melelahkan dalam penantian. Pengantin putri tak kunjung datang. Kemana? Semua
kepala saling berganti melongok ke ujung jalan. Jam di tangan pun telah
berapapuluh kali ditengok, berharap jarumnya berhenti agar waktu jangan segera
lewat. Jam berganti danresah semakin berakar dalam sunyi.
Lantas, berita itu datang. Petir
yang kesekian menyambar hidup Yat berkeping-keping.
"Di rumah sakit!"
Kabar yang pertama.
"Mobil yang membawa rombongan
pengantin wanita mengalami kecelakaan di perempatan kota."Kabar yang
kedua.
Yat sudah mulai menjerit, bergema
bergaung-gaung di ruang hatinya. Dalam pakaian pengantin, iamemburu ke rumah
sakit. Benar adanya, si calon mempelai wanita terbaring di sana, bersama
nyarisseluruh keluarganya. Semua terluka dalam kecelakaan maut itu. Sementara,
mempelai wanita yangduduk di bangku depan mobil, tepat di samping sopir,
mengalami luka paling parah. Sopirnyabahkan meninggal.
Kini, si cantik dengan make up
terlihat pucat dan dandanan pengantin itu dikalungi begitu banyakselang, infus,
dan oksigen bantuan pernapasan. Napasnya satu-satu.
Tak cukup bilangan waktu itu. Maut
menjemput segera. Yat tergugu saat garis lurus mewarnaimonitor pendeteksi
jantung sang pengantin. Serasa napasnya turut terhenti dan dunianya habis.
Gelap. la meraung di ruang gelap
matanya, pingsan.
"Belum menikah, Mas?"
tanya saya beberapa tahun lalu dan selalu saya hanya mendapat jawabanserupa,
senyum kecut. Lantas, biasanya, disertai sengal dan napas yang berat dihela, ia
akanmengajak beranjak pada perbincangan yang lain.
Tapi kali ini saya telah bertekad
untuk tidak mau beranjak begitu lekas. Saya masih mencarijawabannya. Akhirnva.
"Aku takut jatuh cinta, Wie!
Setiap wanita yang kucintai selalu meninggal dengan cara yang tragis,°`
alasannya, dengan pandangan yang segera dibuang ke jurusan lain, selanjutnya
memaku ke tanah.Luka yang begitu bernanah. "Itu hanya kebetulan saja,
hibur saga, memahami dalamnya duka itu.
"Kebetulan? Tidak cukupkah tiga
nyawa menjadi bukti?" "Itu bukan bukti. Nyatanya, tidak adamanusia
yang tidak memiliki jodoh. Itu janji Allah."
"Karna engkau tidak mengalami
seperti yang kualami."*
Saya tepuk bahunya. "Karena
saga bukan orang pilihan, Mas. Engkaulah yang dipilih Allah untuksanggup
menghadapi cobaan semacam ini.°"
"Kaucoba membesarkan
hatiku?"
"Saya tak perlu membesarkannya
sebab sesungguhnya hatimu jauh lebih besar dari yang kauduga.Engkau orang
istimewa, Mss, karena itu Allah mengujimu dengan yang begini berat."
"Tapi aku tak akan menikah,
Wie, seberapa pun kuatnva engkau merayuku."
"Ini tidak merayu, Mas, karna
menikah adalah separo dari agamamu."
Beberapa tahun setelah peristiwa
tragis itu.
Saya tidak tahu dari jalan mana
hidayah itu datang. Semua memang rahasia. Preman kampung yangsempat luntang
lantung itu kini menjadi preman masjid kawakan. Aura religius begitu tertangkap
diparasnya yang telah menua.
"Aku melarikan diri ke sini,
Wie! Tuhan begitu menenteramkan. Maka, kendati takdirku hidupsendiri, aku
merasa tidak kesepian sebab ada Dia yang selalu menemani. Saat sepi, adakah
yanglebih indah dari rasa ditemani? Saat berduka, adakah yang lebih nyaman dari
rasa berkawan?Sesungguhnya, Dia adalah kawan yang tak pernah pergi, sahabat
yang tak pernah berkhianat."
Saya tersenyum, kecut, bahwa dirinya
belum juga memiliki keberanian untuk menikah.
"Orang yang kucintai selalu
meninggal sebelum menikah."
"Mereka memang bukan jodohmu,
Mas, sebab Allahh tengah menyiapkan yang lebih baik, yanglebih pantas untuk
orang setegar dirimu."
"Apa itu ada, Wie!"
"Tidak ada manusia yang
diciptakan tidak memiliki jodoh, Mas."
"Tapi, bagaimana aku akan
menikah, sedangkan aku selalu takut untuk jatuh cinta."
"Mengapa harus takut?"
"Itu pertanyaan konyol. Wie!
Engkau tidak mengalami seperti yang aku alami."
"Kalau begitu adanya, mengapa
tidak menikah saja dengan orang yang tidak kaucintai?"
"Kau ngaco!"
"Menikah tidak harus diawali
dengan cinta, bukan?"
Rautnya telah begitu tua saat duduk
di pelaminan. Namun, binar itu, siapa tidak percaya bahwa itubinar yang hanya
dimiliki oleh anak muda? Seorang gadis muda duduk menyandingnya di sana.Usia
dua mempelai itu terpaut begitu jauh.
Yat, tahun ini menginjak usia tiga
puluh delapan tahun, sedangkan ia gadis belum lama beranjakdari angka dua
puluh. Keduanya dipertemukan oleh seorang ustaz, melewati masa taaruf
singkat,tanpa.sebelumnya saling mengenal. Jodoh memang ajaib. Akhwat yang
menyanding Yat ini adalahseorang aktivis dakwah kampus. Belum lagi selesai
kuliahnya, tetapi ia mantap mendampingi hidupseorang Yat.
Apa yang akan saya sebutkan dari
kebaikan wanita ini? Kaya, rupawan, salihah, mahirah. Memangsungguh, akhwat
semacam inilah yang tepat untuk orang setegar dan sehanif Yat. Bukankah Yat
takperlu khawatir wanita yang dicintainya akan 'meninggai dunia' sebelum
menikah Ya. sebab Yatbaru belaiar 'mencintai' wanita itu setelah ia menikah.