Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Minggu, 03 April 2011

~"Walaa tamnun tastaktsiru"~


~"RENUNGAN AYAT"~

  • Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:


Walaa tamnun tastaktsiru

Artinya:

"Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak".

(Q.S. Al Mudassir [74] : 6).


  • *=> Dalam ayat ini Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa sallam dilarang memberi dengan maksud memperoleh yang lebih banyak.

=> Artinya janganlah mengharap dengan usaha dan ikhtiar mengajak manusia ke jalan Allah, dengan ilmu dan risalah yang beliau sampaikan kepada mereka dengan maksud memperoleh ganjaran atau upah yang lebih besar dari mereka. Tegasnya jangan menjadikan dakwah sebagai obyek bisnis yang mendatangkan keuntungan duniawi.

=>Bagi seorang Nabi lebih ditekankan lagi agar tidak mengharapkan upah sama sekali dalam berdakwah, guna memelihara keluhuran martabat kenabian yang dipikulnya

  • (Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak) lafal Tastaktsiru dibaca Rafa' berkedudukan sebagai Haal atau kata keterangan keadaan. Maksudnya, janganlah kamu memberi sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh balasan yang lebih banyak dari apa yang telah kamu berikan. Hal ini khusus berlaku hanya bagi Nabi saw. karena sesungguhnya dia diperintahkan untuk mengerjakan akhlak-akhlak yang paling mulia dan pekerti yang paling baik.


=>Nabi dilarang memberi sesuatu dengan harapan mendapat balasan lebih banyak.
Para ulama berbeda pendapat mengenai si pemberi hadiah yang mengharapkan balasan lebih banyak. Menurut Malik hal itu tergantung kepada keadaan.

=> Apabila balasan yang diharapkan itu dari si penerima yang lebih tinggi kedudukannya, maka hal itu tidak apa. Seperti pemberian orang miskin kepada orang kaya, pemberian pelayan kepada tuannya, pemberian buruh kepada majikannya dan lain-lain.

=> Pendapat ini dianut juga oleh Imam Syafii. Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada balasan bagi si pemberi jika tidak diisyaratkan. Dan pendapat ini juga termasuk salah satu fatwa (qaul) Syafii. Beliau berkata:

"Pemberian dengan mengharapkan balasan lebih banyak, batal, tidak ada manfaatnya, karena hal itu sama halnya dengan menjual dengan harga yang tidak diketahui".

Berkenaan dengan pemberian ini Nabi saw pernah bersabda, yang diriwayatkan oleh 'Aisyah Radhiyallahu 'Anhu:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل الهدية ويُثْبِتُ عليها وأثاب على لقحة ولم ينكر على صاحبها حين طلب الثواب وإنما أنكر سخطه للثواب, وكان زائدا على القيمة

Artinya:

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa sallam menerima hadiah dan memberi balasan atas hadiah itu. Beliau memberikan seekor unta perahan, dan tidak menyangkal pemiliknya ketika dia meminta balasan. Beliau hanya mengingkari kemarahan pemberian hadiah itu karena pembalasan itu nilainya lebih dari nilai hadiah.

(H.R. Bukhari).

·         Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'Anhu pernah menerangkan tentang pemberian yang benar. Beliau mengatakan bahwa si pemberi tak luput dari tiga alternatif.

·         *Pertama,
 si pemberi menginginkan ridha Allah dengan pemberiannya itu dan mengharapkan pembalasan dari pada-Nya.

·         *Kedua,
dia ingin pujian dan sanjungan manusia dengan pemberiannya itu karena dia bersifat ria.

·         *Ketiga ,
dia ingin pembalasan dari si penerima hadiah.

 Dalam ketiga hal ini Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda secara umum:

إنما الأعمال بالنيات إنما لكل امرئ ما نوى

Artinya:

"Perbuatan-perbuatan itu harus dengan niat, dan tiap-tiap manusia sesuai dengan yang diniatkannya".

(H.R. Bukhari dan Muslim).

  • Adapun orang-orang yang menginginkan ridha Allah dan mengharapkan pembalasan dari sisi-Nya dengan pemberian itu, maka pembalasan yang diharapkannya itu ada di sisi Allah dengan rahmat-Nya.

Hal ini ditegaskan oleh ayat 39 ini bagian akhir: "Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka orang-orang (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Begitu juga halnya orang yang ingin menghubungi familinya agar dia menjadi kaya, sehingga dia tidak menjadi beban bagi orang lain. Niatnya seperti itu sama dengan golongan pemberi tersebut di atas. Jika maksudnya untuk bermegah-+megahan karena dunia, maka hal itu bukan karena Allah. Dan jika pemberian itu +ha maksudkan untuk mendapatkan hubungan keluarga dan famili, hal itu bukah karena Allah.

Adapun orang yang menginginkan sanjungan dan pujian manusia serta bersifat ria dengan pemberiannya itu, maka pemberian itu tak ada manfaatnya baginya. Dia tidak diberi pahala di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam hal ini Allah berfirman:

يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى كالذي ينفق ماله رئاء الناس

Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia".
(Q.S. Al Baqarah: 264).

Adapun orang yang menginginkan pembalasan dari orang yang diberi itu, maka baginya apa yang diinginkannya itu dengan pemberiannya dia berhak menarik pemberian itu kembali selama dia belum menerima balasan sebanyak nilainya itu.

Demikian menurut lahir perkataan Umar bin Khatab dan Ali bin Abu Talib Radhiyallahu 'Anhu. Dan bagaimana pendapat ulama mengenai hal ini telah diterangkan di atas.

Orang-orang yang memberi zakat dan yang menginginkan ridha Allah, maka mereka itu adalah orang yang dilipat gandakan pahalanya. Maksudnya ialah orang yang menafkahkan hartanya, seperti zakat, tanpa mengharapkan pembalasan dan ganti, maka pemberiannya itu akan dilipat gandakan Allah pahalanya. Dengan syarat pemberian itu mencari keridaan Allah, dan ingin melepaskan kesengsaraan dan menutupi keperluan orang-orang yang berada dalam kesempitan. Pemberian selain itu bukanlah termasuk amal shaleh.

Wallahu'alam...