Wanita muda itu terlihat kusut dan lusuh. Air
matanya terus berjatuhan, isaknya sangat memilukan, pekat batinnya terpancar
dari wajahnya yang penuh beban. Semua penyesalannya ditumpahkan di hadapanku.
Dia masih sangat muda, belum genap tiga puluh
tahun usianya, pernah terjatuh dan menduakan Allah serta bermaksiat. Kini
nuraninya tersadar, menggedor-gedor pintu hatinya agar bertaubat.
“Aku sungguh hina dan buruk, masa lalu yang penuh
kejahiliyahan, menduakan-Nya, dan meninggalkan segala perintah-Nya,” jeritnya
lirih.
Kubiarkan wanita muda itu menangis beberapa
menit. Setelah agak tenang, kubacakan ayat indah dari Sang Ghaffar padanya.
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah
(pula) kamu bersedih hati, sesungguhnya kamulah orang-orang yang paling tinggi
(derajatnya) jika kamu orang-orang beriman” (Ali Imran 139)
“Apakah aku harus mati saja saat ini?” Tanyanya
pilu, seakan ayat yang kusebutkan belum mampu menenangkan batinnya yang
porak-poranda.
“Kematian adalah sesuatu yang pasti, namun
matilah dengan cara yang Allah ridhai. Simaklah firman-Nya dalam surat An-Nisa’
ayat 78: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapati kamu, meskipun kamu
di dalam benteng yang tinggi dan kokoh,” kucoba memotivasinya.
“Otak ini telah beku, dihimpit rasa yang
menusuk-nusuk. Aku benar-benar putus asa dengan hidupku,” keluhnya lagi dalam
tangis.
Beberapa saat kemudian, kucoba menenangkan agar
tangisnya sedikit reda. “Sesungguhnya, tiada berputus asa dari Rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir,” ujarku mengutip surat Yusuf ayat 87.
Tangisnya terdiam sesaat, namun benteng hatinya
tak cukup kokoh menahan gejolak jiwanya. “Apakah Allah akan mengampuni dosaku
yang seluas samudera?” keluhnya lagi.
“Duhai jiwa, ketahuilah janji-Nya dalam ayat-ayat
cinta yang indah: ‘Dan Dialah yang menerima taubat hamba-hamba-Nya dan
memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Itulah
janji Allah dalam surat Asy-Syura ayat 25, wahai jiwa yang renta, apakah engkau
memahaminya?” tanyaku padanya.
Lagi-lagi dia sesenggukan dalam tangis panjang,
nuraninya mengajak pada kebenaran, hidayah-Nya meresap dengan pelan dalam lubuk
hati.
“Duhai jiwa, sebuah hadits dari sang kekasih
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, begini sabdanya,
“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selama nyawa belum sampai di
kerongkongan.” Adakah engkau meyakininya?” ujarku memotivasi.
Dia tampak manggut-manggut mendengar
penjelasanku, wajahnya sedikit berubah, air matanya tidak separah sebelumnya.
“Nasihati aku satu ayat lagi,” pintanya.
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui
batas pada diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari Rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” jawabku sambil menyitir surat Az
Zumar ayat 153.
Dia terdiam, tangisnya pelan-pelan reda, wajahnya
terlihat cerah, menyala optimis jiwanya.
“Aku akan menjemput taubat pada Rabb yang Maha
Pengampun dan Maha Penyayang,” bisik wanita muda itu penuh tekad kuat di
depanku.
Aku pun larut dalam tangis hening, aura
kesyukuran bergurat lembut dalam hati, menyaksikan hamba yang sedang berusaha
mendekat-Nya.
“Berkah Allah atasmu wahai jiwa yang sedang
menuju kesucian taubat,” doaku lirih.
Duhai jiwa yang keropos imannyaSaatnya engkau bangkit dari keterlenaan dunia
Rengkuh iman yang dulu menyala di dada
Diri yang penuh lumpur dosa dan nista
Butuhkan suntikan religi membara
Reguk manisnya sujud cinta
Di atas taubatan nashuha.
http://www.voa-islam.com/teenage/smart-teen/2011/03/13/13729/air-mata-taubatmu-duhai-jiwa-keropos-iman/