Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Sabtu, 26 Februari 2011

JAWABAN ISTIKHOROH CINTA


“Insya Allah, aku akan kenalkan kamu ke temanku, dia adalah sahabat baikku saat kuliah di Bandung dulu. Sekarang dia kerja di Jakarta dan menetap di sana.” kata Faruq kepada Dianti, sahabat perempuannya semasa sekolah dulu.
Dianti adalah seorang wanita sarjana bidang pendidikan yang saat ini meniti karir di sebuah lembaga bimbingan belajar di Surabaya. Usianya yang dewasa menjadikannya cukup matang untuk melangkah ke jenjang pernikahan, tapi sayangnya hingga saat ini belum ada satu lelaki pun yang datang untuk meminangnya. Sebagai wanita, tentu rasa sedih menyelinap di lubuk
hatinya, namun mampu ditutupnya rasa sedih itu dengan kesibukan dalam pekerjaan yang cukup menyita waktu dan perhatiannya.
Seperti orang tua kebanyakan, orang tuanya pun ingin agar Dianti segera mendapatkan seorang jodoh. Seorang jodoh dari kalangan lelaki terpelajar yang taat lagi soleh agar dapat menjadi imam untuk dirinya kelak.
Sebagai bentuk usahanya untuk mendapatkan jodoh dambaan hati, Dianti meminta tolong pada sahabatnya, Faruq, agar berkenan mendoakannya sembari berharap supaya jodoh yang diharapkannya segera datang. Faruq pun berbesar hati untuk menerima permintaan sahabatnya itu, mendoakannya, bahkan lebih dari itu, ia bermaksud mengenalkan Dianti kepada Sersan, teman baiknya semasa kuliah di Bandung dulu.
“Serius kamu mau kenalkan aku dengan temanmu? Makasih ya Faruq, kamu memang teman baikku, mudah-mudahan perkenalan ini bisa membawa kebaikan. Semoga dia adalah jodohku ya Ruq,” ujar Dianti kepada Faruq.
“Amiiin… semoga ya, kita hanya bisa berusaha, Allah lah penentu segalanya. Kita sama-sama berdoa semoga Allah meridhoi usaha ini dan kalian dipersatukan olehNya dalam suatu ikatan suci, pernikahan,” tandas Faruq menimpali jawaban Dianti.
Hari demi hari berlalu, waktu pun terlewati dengan seribu harapan yang membuncah luas dalam hati Dianti. Harapan akan hadirnya seorang lelaki soleh yang bisa mengajaknya untuk sama-sama taat kepada Allah, Tuhannya. Namun sebagai wanita, kadang muncul rasa minder dan rendah diri dalam hati Dianti, merasa bahwa masih banyak kekurangan yang melekat dalam hatinya.
“Tapi aku minder Ruq, aku hanya wanita biasa yang nggak cantik, apalagi aku hanya lulusan sebuah perguruan tinggi biasa, yang nggak seperti dia yang lulusan perguruan tinggi terkenal di negeri ini, mana mungkin dia mau sama aku,” sergah Dianti suatu hari, menerangkan semua perasaan negatifnya yang bergelut menjadi satu dalam pikirannya.
“Dianti, apa salahnya kalau semua ini dicoba, janganlah kamu rendah diri seperti itu. Kita nggak tahu siapa jodoh kita dan bagaimana kehidupan kita nanti. Kita hanya bisa berusaha, dan mungkin inilah salah satu usaha itu. Kalau kamu berkata begitu, sama saja kamu nggak bersyukur dengan apa yang sudah kamu dapatkan selama ini. Kamu pintar, sarjana dan pekerjaanmu juga mapan, lalu apa yang membuatmu merasa minder? Optimislah dan tetap percaya diri,” terang Faruq menyemangati Dianti agar tidak rendah diri terhadap perkenalan ini.
“Kekuranganku banyak Ruq, lalu bagaimana aku harus menutupi kekuranganku ini semua? Aku takut kalau aku bukan tipe wanita idaman Sersan. Apalagi iman dan ilmuku juga tidak sebaik Sersan.” tambahnya lagi.
“Sersan bukan lelaki yang suka aneh-aneh, dia tidak memandang kecantikan dan harta dari seorang wanita, tapi yang dia pandang adalah ketaatannya pada Allah. Kalau memang kekuranganmu banyak, bukankah setiap orang pasti punya kekurangan, bahkan tanpa terkecuali? Kamu punya kekurangan dan Sersan pun juga punya kekurangan. Justru lebih baik kamu tampil apa adanya, tidak menutupi kekuranganmu daripada hanya menunjukkan sisi baikmu saja. Nah, dengan adanya pernikahan, maka suami selayaknya menjadi pakaian untuk menutupi kekurangan istri dan istri pun menjadi pakaian untuk menutupi kekurangan suami, demikian juga dengan kamu dan Sersan nantinya. Kamu adalah pakaian untuk Sersan dan Sersan adalah pakaian untuk kamu. Lalu tentang iman dan ilmu yang kamu rasa kurang, bukankah setelah menikah nanti kalian bisa belajar bersama? Sersan menjadi ladang dakwah untukmu dan kamu menjadi ladang dakwah untuknya. Kewajiban Sersanlah untuk menarbiah atau mendidik kamu dan kewajibanmulah untuk menarbiah atau mendidik Sersan. Bukankah hidup menjadi lebih indah bila saling mengingatkan dan melengkapi?” Jawab Faruq lagi berusaha menghibur hati Dianti.
Sersan, demikian julukan akrab ala tentara yang biasa ia terima dari teman-temannya. Sersan tidaklah seperti Dianti yang suka minder. Dia tipe lelaki yang penuh percaya diri namun sederhana. Kesederhanaan yang ditampakkannya dalam berpenampilan, bersikap dan berbicara. Suatu karakter kuat yang diperolehnya dari didikan tegas kedua orang tuanya di pelosok sebuah desa di kabupaten Gresik, Jawa Timur. Tak ada sosok necis, parlente apalagi gaul yang menyelimuti dirinya, benar-benar jauh dari penampilan lelaki kebanyakan yang seusia dengannya.
“Faruq, apalah yang bisa kubanggakan dari diriku ini, aku bukan lelaki yang ganteng apalagi kaya. Kamu juga tahu bagaimana kedua orang tua dan keluargaku di desa sana. Kami bukan dari keluarga mapan, bahkan untuk biaya sekolah dan kuliahku dulu pun, aku harus berjuang keras kesana kemari agar aku berhasil. Makanya dalam mencari istri, yang kucari adalah seorang wanita yang mau menerimaku apa adanya. Cantik bukanlah patokan utamaku, yang terpenting dia taat kepadaku, mampu menentramkan batinku, dan mau bantu aku untuk merawat orang tuaku terutama bapak yang telah renta dan sakit-sakitan,” ujar Sersan kepada Faruq.
Sersan sadar bahwa masalah jodoh bukanlah masalah sederhana yang dapat diukur dari kecantikan dan harta yang berlimpah semata, tapi kemuliaan akhlaklah yang akan menentramkan hati bagi setiap pria, terutama hati Sersan, hingga membuat para suami pantas terlahirkan sebagai lelaki.
Dianti pun menimpali pertanyaan Sersan.
“Insya Allah aku akan berusaha menjadi wanita yang solihah, wanita yang taat pada suamiku kelak. Bagaimanapun juga, orang tuanya adalah orang tuaku, dan orang tuaku adalah orang tuanya juga. Aku akan bantu merawat bapaknya juga, apa yang menjadi kewajibannya adalah kewajibanku dan apa yang menjadi kewajibanku adalah kewajibannya juga nantinya,” ujar Dianti kepada Faruq.
“Syukurlah, Alhamdulillah kalau memang kamu bisa memahami kondisi Sersan dan keluarganya saat ini,” ujar Sersan menanggapi kata-kata Dianti.
Begitulah komunikasi dan perkenalan yang terjadi di antara mereka. Namun selama ini komunikasi mereka bertiga hanya sebatas telepon dan sms, Dianti menghubungi Sersan melalui Faruq, dan sebaliknya, Sersan pun menghubungi Dianti melalui Faruq juga. Jadi tidak terhubung secara langsung antara Dianti dan Sersan.
Pernah suatu ketika, Faruq merasa lelah harus menjadi perantara diantara mereka berdua, sehingga agar komunikasi lebih mudah, Faruq menyarankan mereka agar berkomunikasi secara langsung perihal ta’aruf yang sedang mereka jalani ini. Mereka pun menyetujuinya.
Beberapa kali untuk sekian lamanya mereka berdua berkomunikasi secara langsung, Sersan menghubungi Dianti dan Dianti pun menghubungi Sersan, baik melalui telepon maupun sms, namun pembicaraan mereka hanya sebatas pembicaraan yang dianggap penting, tidak lebih.
Mereka berdua bukanlah insan yang mudah tergoda imannya, sehingga demi menjaga ‘izzah  atau menjaga hati dari segala prasangka dan godaan, mereka berinisiatif untuk menyerahkan kembali komunikasi diantara mereka melalui Faruq. Suatu inisiatif yang diawali oleh Sersan demi menunjukkan kepribadian dirinya yang kuat sebagai seorang muslim yang tangguh.
“Faruq, aku kembalikan semua ini ke kamu. Demi menjaga hati ini, komunikasi antara aku dan Dianti kukembalikan lewat kamu ya. Hal ini sudah aku sampaikan ke Dianti, dan dia setuju,” ujar Sersan kepada Faruq. Pura-pura tak mengerti apa yang disampaikan Sersan, Faruqpun bertanya,
“Memang kenapa San, kok lewat aku lagi? Bukannya lebih baik dan lebih cepat kalau komunikasi di antara kalian, kalian lakukan sendiri. Bagaimana nanti kalau ada rahasia di antara kalian yang ingin disampaikan, tapi ternyata aku ketahui, bukankah bukan rahasia lagi namanya?”
“Bukannya aku nggak mau berkomunikasi secara langsung dengan Dianti, tapi masalahnya kami kan belum menikah, dia belum jadi mahromku, dan aku pun belum jadi mahromnya. Aku harom untuknya dan dia harom untukku. Tolonglah Ruq, aku hanya ingin menjaga hatiku agar terhindar dari segala fitnah dan prasangka. Apalah artinya ta’aruf kalau ternyata yang dilakukan adalah layaknya orang berpacaran, berkomunikasi membicarakan ini itu berduaan tanpa didampingi mahromnya, walau sebatas hanya lewat telepon. Kalau seperti itu, lalu apa bedanya ta’aruf dan pacaran? Bukankah itu sama saja dengan berpacaran yang mengatasnamakan ta’aruf?” tandas Sersan kepada Faruq sembari menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Faruq tersentak kaget mendengar apa yang disampaikan Sersan, betapa bodoh dirinya membiarkan kedua temannya yang berbeda jenis kelamin itu berkomunikasi secara langsung selama ini tanpa memperhatikan dampak negatif yang mungkin timbul kemudian. Suatu pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang sahabat terbaiknya.

                                 *****
Perkenalan yang terjadi di antara mereka sebenarnya berjalan di atas kebimbangan. Ya, kebimbangan yang mulai menggelayut dalam kalbu. Sejumlah pertanyaan, apakah benar dia adalah jodohku atau bukan, menggema kuat dalam batin mereka, terutama Dianti yang ternyata juga bergelayut dalam noktah-noktah cinta yang mulai tumbuh dan bersemi dalam hatinya. Sebagai sahabat, Faruq pun mengarahkan agar mereka beristikhoroh, meminta petunjuk pada Allah, Sang Pemberi Petunjuk.
Dianti pun segera mengikuti saran Faruq untuk segera beristikhoroh.
“Duhai Allah, Robb Pemilik segala urusan di dunia ini. Dalam genggamanMulah hati manusia terletak. Dan dalam garis takdirMu lah jodoh akan tersingkap. Wahai Robb, kirimkanlah untukku seorang lelaki soleh yang akan menjadi imamku. Seorang lelaki taat yang mampu memberikan ketentraman dalam batinku, yang bahunya akan menjadi sandaran teguh bagiku saat aku letih meniti hidup ini.
Ya Allah, Robb seluruh alam, bukan harapku cinta ini bersemi dalam kalbu. Bukan harapku pula cinta ini bersarang kuat dalam sanubariku. Tapi atas izinMu ya Allah, cinta ini hadir dan bersemayam indah dalam lubuk jiwaku. Tak mampu aku menolaknya dan tak kuasa pula aku menepisnya, cinta itu bersarang terlalu dalam di hatiku dan mengalir terlalu deras ke segenap aliran darahku.
Duhai Robb, Jika ta’aruf ini adalah baik bagiku, maka bawalah dia untukku, dekatkanlah aku padanya, dan pertemukanlah aku dengannya dalam suatu ikatan suci, pernikahan, agar sebilah tulang rusuknya yang hilang kembali terlengkapi.
Ya Allah Ya Rohman, telah Engkau hadirkan seorang lelaki soleh di depanku kini, jadikanlah lelaki soleh yang Engkau kirimkan itu sebagai imamku, peneman hidupku, untuk bersama-sama mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan. Jika memang dia baik bagiku maka dekatkanlah, namun jika dia hanya akan menjadi fitnah dan keburukan semata dalam hidupku, maka jauhkanlah kami. Lalu berikanlah seseorang yang jauh lebih baik dari lelaki manapun di dunia ini sebagai ganti terhadap dirinya.
Ya Allah Ya Rohiim, jadikan aku sebagai orang yang ikhlas atas segala kehendakMu dan orang yang ridho atas segala keputusanMu, karena aku hanya manusia biasa yang berjalan di atas garis takdirMu. Amiin.”
                                 *****
Tiba-tiba,
“Faruq, maafkan aku, aku harus mengurus bapakku. Aku nggak bisa konsen melakukan apapun selama bapakku masih sakit, jadi aku harus pulang ke Gresik dan Surabaya untuk merawat bapak yang sudah dalam kondisi kritis. Tolong sampaikan ke Dianti, bahwa ta’aruf ini sementara waktu harus kutunda, aku hanya ingin berbakti kepada bapak untuk yang terakhir kalinya sebelum maut merenggut nyawanya.” Ucap Sersan di suatu siang saat lagi hangat-hangatnya ta’aruf yang sedang dijalaninya dengan Dianti.

Faruq dengan berat hati pun harus menyampaikan hal ini ke Dianti, penuh harapnya semoga Dianti bisa memahami apa yang tengah dialami Sersan saat ini. Dan perkenalan itupun terhenti sementara waktu sampai waktu yang tak bisa mereka tentukan.
                                *****
Kriiiiiiiiiing…. kriiiiiiiiiiing….
Dering suara ponsel mengalun merdu hari itu, tapi sama sekali tak ada respon dari sang empunya ponsel. Tak lama sang pemilik menelepon balik nomor yang telah menghubunginya tadi.
“Assalaamu’alaikum…maaf ini dengan siapa ya? Apa tadi Anda menghubungi nomor saya?” tanya pemilik ponsel tersebut.
“Wa’alaikum salam waroh matulloohi…Ooo..sebentar ya, mungkin tadi suami saya yang menghubungi Anda. Sebentar, saya panggilkan suami saya dulu,” jawab seorang wanita dari seberang telepon.
“Assalaamu’alaikum…halo…..,” terdengar suara seorang laki-laki datang dan mengambil alih telepon itu.
“Ya halo, wa’alaikum salam…hemmm, maaf apa tadi Anda menghubungi nomor saya? Maaf ini dengan siapa ya?” jawab pemilik ponsel yang menelepon balik tadi.
“Oo..iya, betul. Halo Dianti, ini aku, Sersan, apa kabar? Masih ingat aku kan? Kebetulan aku mau minta tolong nih.” terdengar suara laki-laki itu yang tak lain adalah Sersan menjawab pertanyaan dari sang penelepon yang tak lain adalah Dianti.
“Ya mas, alhamdulillaah baik. Maaf mas, siapa ya wanita yang mengangkat dan menjawab telepon saya tadi?” tanya Dianti kepada Sersan.
“Tadi itu istri saya, memang kenapa?” tandas Sersan menjawab pertanyaan Dianti yang penasaran dan ingin tahu.
“Apa, istri mas? Mas sudah menikah?” jawab Dianti dengan nada meninggi dan kaget.
“Ya, alhamdulillaah sudah, memang kenapa?” tandas Sersan lagi.
“Nggak mas, nggak apa-apa. Maaf mas, saya masih ada kesibukan, teleponnya saya tutup dulu ya. Wassalaamu’alaikum..” tiba-tiba Dianti coba menghentikan pembicaraan dan langsung menutup telepon.
Tak lama berselang, Dianti segera menghubungi Faruq menanyakan tentang kebenaran pernikahan yang telah dilakukan Sersan. Dengan berat hati Sersan pun membenarkan tentang hal itu sambil berkata,
“Maaf Dianti, kalau Sersan harus mengambil keputusan ini. Dia tidak bermaksud untuk menyakiti kamu. Beberapa bulan lalu bapaknya meninggal dunia, dan dia sangat terpukul akan hal ini. Perasaan bersalah selalu membayanginya sebab dia belum bisa memberikan yang terbaik untuk bapaknya. Dia merasa bahwa baktinya masih sangat kurang bila dibanding dengan kebaikan yang telah diberikan sang bapak kepadanya. Saat bapaknya sakit, dia berpikir belum maksimal untuk merawatnya. Sehingga agar tidak terjadi hal yang sama pada keluarganya, muncullah keinginan untuk memiliki seorang pendamping yang bisa merawat dan mengobati keluarganya kelak, terutama ibundanya. Dan akhirnya dia menemukan pendamping seperti yang diharapkannya, yaitu seorang dokter. Maafkan aku Dianti, berat bagiku untuk menyampaikan semua ini, tapi aku harus menyampaikannya. Mungkin dia belum jodohmu. Tapi percayalah bahwa akan ada lelaki terbaik yang pasti kamu dapatkan suatu saat nanti. Asalkan kamu tetap bersabar dalam menanti jodoh hidupmu, insya Allah.”
Isak suara menahan tangis terdengar dari bibir Dianti yang pilu. Bibir seorang wanita yang mengharapkan kasih sayang seorang lelaki yang telah meninggalkannya.
Tanpa Dianti sadari, sebenarnya Allah telah kabulkan doa dalam istikhoroh yang telah dilakukannya, menjauhkan Sersan darinya, sebab doa tidak harus berakhir bahagia dengan dipersatukannya cinta dua insan. Karena Allah lebih tahu rahasia dibalik cinta dan kehidupan manusia.
Kini dia berusaha kuat meredam cinta di atas pahitnya takdir yang dirasakannya, semoga akan ada lelaki lain yang lebih baik dari Sersan atau lelaki manapun dalam hidupnya yang kan bisa menjadi pangeran hati dan imam untuk dirinya kelak.


http://www.facebook.com/notes/hembusan-nafas-kehidupan/jawaban-istikhoroh-cinta/184055728294840