Tahukah anda, apa yang paling
dibanggakan orang tua dari anak-anaknya? Boleh jadi adalah kecerdasan scholastic,
seperti matematika, bahasa, menggambar (visual), musik (musical), dan olahraga
(kinestetik).
Tetapi, pernahkah kita membanggakan
jika anak kita memiliki kecerdasan moral, kecerdasan intrapersonal, atau
kecerdasan interpersonal?
Rasanya jarang, sebab ketiga
kecerdasan yang terakhir hampir pasti uncountable, tidak bisa dihitung, dan
sayang sekalin tidak ada pontennya (nilainya) di sekolah, karena di sekolah
hanya memberikan penilaian kuantitatif.
Adasebuah cerita tentang seorang
anak, sebut saja namanya Fani (6,5 tahun), kelas I SD. Ia memiliki banyak
sekali teman. Dan ia pun tidak bermasalah harus berganti teman duduk di
sekolahnya. Ia juga bergaul dengan siapa saja dilingkungan rumahnya. Adasatu
hal yang menarik saat ia bercerita tentang teman-temannya.
"Bu, Ifa pinter sekali lho,
Bu...! Pinter Matematika, Bahasa Indonesia, Menggambar....pokoknya pinter
sekali....!" katanya santai. Vivi juga pintar sekali menggambar, gambarnya
bagus ...sekali! Kalau si Yahya hafalannya banyaaak... sekali!"
Ya memang fani senang sekali
membanggakan teman-temannya. Ketika mendengar celoteh anaknya ibunya tersenyum
dan bertanya, " Kalau mbak Fani pinter apa?" Ia menjawab dengan
cengiran khasnya,"
Hehehe...kalau aku, sih, biasa-biasa
saja".
Jawaban itu mungkin akan sangat
biasa bagi anda, tetapi ibunya tertegun, karena pada dasarnya fani memang
demikian. Ia biasa-biasa saja untuk ukuran prestasi scholastic.
Tapi coba kita dengarkan apa cerita
gurunya, bahwa Fani sering diminta bantuannya untuk membimbing temannya yang
sangat lamban mengerjakan tugas sekolah, mendamaikan temannya yang bertengkar.
Bahkan ketika dua orang adiknya,
Farah (4,5 tahun) dan Fadila (2,5 tahun) bertengkar. Fani langsung turun
tangan. "Sudah..! sudah, Dek! sama saudara tidak boleh bertengkar, Hayo
tadi siap yang mulai?" Adiknya saling tunjuk."Hayo, jujur ...Jujur
itu disayang Allah..! Sekarang salaman ya... saling memaafkan".
Pun ketika suatu hari ia melihat
baju-baju bagus di toko, dengarlah komentarnya!
"Wah bajunya bagus-bagus ya Bu?
Aku sebenarnya pengin, tapi bajuku dirumah masih bagus bagus, nanti saja kalau
sudah jelek dan Ibu sudah punya rezeki, aku minta dibelikan ..."
Ibunya pun tak kuasa menahan air
matanya, subhanallah anak sekecil itu sudah bisa menunda keinginan, sebagai
salah satu ciri kecerdasan emosional.
Saya sebenarnya ingin berbagi cerita
tentang ini kepada anda, karena betapa banyak dari kita yang mengabaikan
kecerdasan-kecerdasan emosional seperti itu. Padahal kita tahu dalam setiap tes
penerimaan pegawai, yang lebih banyak diterima adalah orang yang mempunyai
kecerdasan emosional walaupun dari sisi kecerdasan scholastic adalah
BIASA-BIASA SAJA.
Kadang kita merasa rendah diri
manakal anak kita tidak mencapai ranking sepuluh besar disekolah. Tetapi
herannya, kita tidak rendah diri manakala anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi
yang egois, mau menang sendiri, sombong, suka menipu atau tidak biasa bergaul.
Maka ketika Fani mengatakan
"AKU BIASA-BIASA SAJA", maka saat itu ibunya menjawab
"Alhamdulillah, mbak Fani suka menolong teman-teman, tidak sombong, mau
bergaul dengan siapa saja. Itu adalah kelebihan mbak Fani, diteruskan dan
disyukuri ya..?" Ya... ibunya ingin mensupport dan memberikan reward yang
positif bagi Fani. Karena kita tahu anak-anak kita adalah amanah dan suatu saat
amanah itu akan diambil dan ditanyakan bagaimana kita menjaga amanah.
Sebagaimana doa kita setiap hari agar anak-anak menjadi penyejuk mata dan hati.
Sudahkah kita mencoba untuk menggali
potensi-potensi kecerdasan emosional anak-anak kita? Atau bagaimana dengan
potensi kecerdasan emosional kita? Jika belum mulailah dari diri
kita, saat ini juga.
"Orang yang hanya memikirkan
diri sendiri, akan hidup
sebagai orang kerdil dan mati
sebagai orang kerdil.
Tetapi orang yang mau memikirkan
orang lain, ia akan
menjadi orang besar dan mati sebagai
orang besar”.