Hanya ingin..kunyanyikan
senandung dari hatiku untuk Mama
Hanya sebuah lagu sederhana
Lagu cintaku, untuk Mama
Lagu anak-anak, kenny
Kemarin, bertemu ibu lagi. Duh
senangnya bisa memandang wajah syahdu itu. Alangkah bahagia tak terkira
menuntaskan kerinduan menikmati binar matanya. Ia merengkuh saya, hangat dan
erat. Salam yang saya sampaikan ketika membuka pintu, tak berjawab. Ibu hanya
mengangguk dengan senyuman mengembang karena senang.
“Ibu, apa kabar???” kalimat pertama
yang selalu saya singgahkan kepadanya setiap kali pulang. Ibu tak juga
bersuara, ia malah sibuk meneliti tas saya, adakah bacaan yang saya bawa
untuknya. Majalah tarbawi baru, segera saja beralih ke tangannya. Sejenak ia ke
mushola, mengambil kacamata dari atas Al-qur’an yang tengah terbuka. Ia kembali
ke samping saya dan kemudian tenggelam dalam samudera aksara. Setengah
termenung, saya memandangnya. Dih Ibu, emang enak dicuekin.
Saya faham, mengapa Ibu menjadi
pendiam dan tak banyak bersuara. Rupanya batuk yang diderita selama beberapa
hari ini, merampas suaranya untuk bertutur. Saya sampai tak tega mendengar
parau tak terdengarnya ketika ia meminta saya menjadi imam shalat maghrib dan
isya. Seraknya yang parah terdengar seperti desis aneh, mungkin Ibu juga tak
suka mendengarnya. Makanya ia memilih memberi kode menangkupkan kedua tangan
dan menempelkannya di pipi kiri sebagai isyarat hendak menjumpai peraduan.
Akhirnya dua hari bersamanya, saya
tak dapat mengobrol dengannya, kecuali satu arah. Ibu sungguh-sungguh diam.
Selalu ada yang berubah ketika
pulang dan menjumpainya. Ibu tak sebugar dulu, tentu saja karena ia dilahap
renta usia. Tangannya sekarang gemetar untuk saat-saat tertentu. Tubuhnya kian
kerontang karena nafsu makan yang seringkali menurun. Lingkaran-lingkaran putih
itu terlihat jelas di manik kedua matanya yang katanya sulit terpejam ketika
malam menjelang. Belum lagi kerut merut yang mengukir wajah ayunya. Jika
berjalan, langkahnya tak seperkasa dulu, hingga saya harus berlari-lari
mensejajarinya. Dan sekarang, saya mendapatinya tanpa suara. Rabbi.. Engkau
sebaik-baik pemberi kesehatan.
Suara Ibu bagus. Ia bercerita, ketika
saya sudah mampu berbicara, ia paling suka mengajari saya menyanyi. Ia mengajak
saya bergembira dengan menyanyi. Ia menyemangati saya juga lewat alunan suara
merdunya. Waktu duduk di bangku SD kelas satu, saya terkena liver hingga
sebulan tidak masuk kelas, rapor saya jeblok. Di teras depan rumah, ketika
melihat saya bersedih, suaranya begitu dekat di telinga. Ia merengkuh saya dan
bernyanyi:
Jangan putus asa
Itulah semboyan kita
Maju terus maju
Jangan goncang atau bimbang
Kukuhkan hatimu, capailah niatmu
Kerahkan semua tenaga
Jangan goncang atau bimbang
Saya tidak akan pernah lupa
senandung-senandung itu, berharap bisa meneruskannya untuk anak-anak saya
kelak. Ada lagu yang paling saya suka :
Jika aku sudah besar nanti
Ku pergi dengan ibu
Ibu boleh pilih sendiri, kemana yang
dituju
Jika Ibu pilih Jogya, Bandung dan
Semarang
Aku yang beli karcisnya
Karcis kapal terbang
Tak sengaja pada waktu berkumpul
setelah lebaran idul fitri kemarin, saya mengajak teteh-teteh dan Ibu ‘konser’
bersama. Hampir bersepuluh kami menyanyi, mendendangkan sebuah lagu yang
menjadi favorit kami sewaktu masih kecil dulu. Denting dawai gitar yang saya
petik menambah kesan ‘indah’ itu :
Di matamu mama ada bintang
Gemerlapan bila ku pandang
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar tak pernah
pudar
Di matamu mama ada kasih sayang
Yang selalu bersinar terang
Entah mengapa, Ibu tak ikut
menyanyi. Ia malah sibuk memperhatikan kami satu persatu dan berkata hampir tak
terdengar “Ehm, jangan bikin Ibu sedih atuh”.
Ah Ibu, rindu kudengar senandung
cinta itu lagi. Suaramu adalah cinta, karena setiap tuturmu selalu saja
bermakna. Seingat saya, ia tidak pernah marah dengan kata-kata yang kasar
terhadap anak-anaknya, sejengkel apapun perasaanya. Suaranya paling terdengar
tajam. Suatu saat Ibu memperingatkan kakak saya yang telah memarahi anaknya
tanpa ampun. “Geulis, kata-kata seorang ibu adalah bertuah, berhati-hatilah.
Ucapan seorang ibu adalah doa, jadi ucapkanlah yang baik-baik”.
Ah, Ibu, sungguh tidak nyaman ketika
suaramu tak terdengar memenuhi udara, meski sosokmu begitu dekat. Bu, saya tak
bisa menikmati dengan sempurna keindahan kebersamaan kemarin, meski tak
berkurang eratnya rengkuhanmu, meski engkau masih melabuhkan tanganmu untuk
membangunkan diri yang ditelan lelap. Sungguh, saya merasa sendiri kemarin
meski kehadiranmu nyata, karena mungkin sapamu terbatas, kata-kata bijak itu
tak lagi ada dan kau tak lagi bercerita tentang apapun.
Ah, bu, setelah sembuh, saya pasti
mendengar lagi suara itu, sapamu, tuturmu, kata-kata bijakmu bahkan mungkin
senandung cinta ketika kita ‘konser’ bersama.
Ah, bu segalanya tentangmu adalah
cinta, meski itu hanya suara.
Dan saya tak bisa membayangkan, jika
suara mu menghilang untuk seterusnya, karena sebuah takdir yang pasti
kedatangannya.
Allahu Rabbii, anugerahkan untuk
ummi kesehatan yang barakah.