Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Sabtu, 12 Maret 2011

Kisah Inspiratif bag:3 { ketika cinta-NYA, tiada tertandingi}


Kedatangan Zanimra
Ali berkuda dengan riang menuju hutan, pertemuannya dengan Raja semalam diluar dugaannya. Semula dia merasa khawatir jika Raja bukanlah raja yang bijak. Tapi ternyata Raja adalah seorang raja yang patut dikagumi ayahnya selama ini. Pikirannya melayang kepada kekasihnya Zanimra yang sebentar lagi akan datang. Pagi ini dia telah menerima surat kilat yang mengabarkan Zanimra akan datang. Sekilah terlintas bayangan Putri Aelia, sungguh dia wanita yang luar biasa kecantikannya dan baik budi pekertinya, tapi Ali tidak pernah tertarik pada kecantikan paras wanita. Ada sesuatu pada diri Zanimra yang tidak dimiliki sang putri.
Ali tersentak dari lamunanya ketika dia melihat serombongan tandu menghadang jalannya. Kereta Putri Aelia yang gemerlap berdiri dengan anggun dihadappannya, kemudian sosok cantik yang menyilaikan mata itupun turun dengan langkah yang hampir melayang seperti peri.
“Salaam ya Ali,”
“Walaikum salam Putri,” jawabnya tenang.
Putri melihat tajam ke arah Ali, lagi-lagi pemuda itu menundukkan pandangannya.
“Hai Ali, kau tidak memiliki janji saat ini bukan? Sudikah kau menghormatiku dengan turun dari kudamu?” Dengan sekali anggukan Ali turun dari kudanya dengan mata tetap menunduk.
“Terima kasi Ali, aku ingin bertanya kepadamu, pernahkah sekalipun kau melihat wajahku?”
“Duhai tuan Putri, sungguh wajahmu telah terkenal akan kecantikannya.”
“Aku tidak bertanya tentang apa yang kau pernah dengar, aku bertanya apakah kau pernah melihat wajahku?”
“Pernah.”
“Pernahkan sedekat ini?” Tiba-tiba Putri telah berdiri sagat dekat dengan Ali, keharuman tubuhnya merebak sangan kuat dan memabukkan siapapun yang menciumnya. Ali dengan sigap mengambil langkah mundur, tapi tertahan ketika Putri menangkap tangannya.
“Ali, sekarang kau melihatku!” Putri membungkukan dirinya dengan wajah menengadah tepat di depan mata Ali yang tertunduk. Sungguh kecantikan yang luar biasa terpampang dihadapan Ali. Kemerduan tawanya sangar renyah dan menggemaskan. Tapi hal itu malah membuat Ali merasa geram. Menyadari posisi Raja yang dihormatinya, Ali menahan kegeramannya. Dengan sopan Ali melepaskan genggaman tangan Putri Aelia dan melangkah mundur.
“Maaf Putri, sungguh putri memiliki kecantikan yang luar biasa. Jadikanlah ia berkah Allah bagimu dan jangan jadikan kecantikan itu bencana bagimu. Sesungguhnya syaitan amat licik dalam membuat tipu daya, dan kecantikan wanita adalah salah satu senjata terampuh bagi mereka.”
“Ah Ali, aku tak merasa beruntung dengan kecantikan ini, karena dengan kecantikan yang kumiliki inipun tak mampu mendapatkan apa yang paling aku mau, yaitu dirimu!”
“Demi Allah wahai Putri, sungguh kecantikanmu tak semua orang memilikinya, sungguh itu adalah berkah dari Allah jika Putri bersyukur.”
“Ali!…Ali…tak tahukan betapa pedih rasa cinta yang kurasakan untukmu? Jika aku buruk kau mau mencintaiku, maka aku rela untuk menjadi buruk bagimu!”
Ali menghela nafas panjang, ia tahu apapun yang akan dia katakan hanya akan membuat Putri semakin galau. Ali hanya berkata lirih.
“Maafkan saya duhai Putri, sungguh saya telah terikat sumpah, maka saya tak
akan mengingkarinya.”
“Yah aku tahu, sumpah pada seorang gadis. Sungguh Ali, jika dia tidak melebihi aku, aku akan terus berjuang untuk mendapatkan hatimu. Tapi jika kau bisa meyakinkan aku bahwa dia lebih baik dariku, aku akan rela melepaskanmu!”
“Saya tahu janji saya pada Raja, dan saya akan menepatinya.”
“Oh Ali, ijinkan aku bersamamu sebelum dia datang… ijinkan aku berada disekelilingmu, berkuda bersamamu, apapun yang kau lakukan.”
“Maaf Putri, sumpah saya adalah sumpah atas nama Allah, sebagaimana saya tidak akan rela jika kekasih saya menghabiskan waktu bersama laki-laki lain, begitupun dia tidak akan bahagia jika saya berbuat demikian.”
“Ah Ali, mengapa begitu kejam dirimu padaku?”
“Sesungguhnya aku hanya bersikap yang semestinya Putri.”
“Aku tahu Ali, aku hanya mengujimu. Ternyata memang kau seperti apa yang aku harapkan! Ini membuatku semakin menginginkanmu Ali. Aku akan berjuang demi dirimu Ali!” Putri lalu berbalik menuju keretanya. Beberapa langkah kemudian dia menghentikan langkahnya dan berbalik kearah Ali lagi,
“Ali, apakah kau pikir aku bertabiat buruk?”
“Saya banyak mendengar tentang Putri, sungguh Putri adalah seorang Putri yang dicintai rakyatnya. Jadi tidak mungkin Putri bertabiat buruk.” Jawaban Ali membuat Putri Aelia tersenyum pilu, lanjutnya lagi dengan lirih,
“Jika kau belum bertemu gadis itu, apakah kau akan menerima pinanganku?”
“Demi kebaikan Raja dan kerajaan ini, insyaallah Putri.”
“Mengapa kau tak pernah sekalipun datang padaku sebelum kau bertemu gadis itu Ali?”
“Jikapun saya menemui dirimu, bukan berarti pada saat itu Putri akan berhasrat pada saya, boleh jadi pada saat itupun Putri akan menolak saya.”
“Sungguh pandai kau bersilat lidah Ali! Aku semakin kagum padamu. Katakan Ali, aku tahu kau begitu percaya akan kekasihmu, tapi bagaimana jika dia melanggar janjinya padamu?” Dengan tenang Ali menjawab,
“Na udzubillah, aku berlindung kepada Allah dari hal yang demikian. Tapi jika Allah berkehendak demikian, maka itu adalah urusan Allah dengan dirinya. Dan hidupku kupasrahkan sepenuhnya di tangan Allah.”
“Aku masih tak mengerti, apa yang membuat kau terpaku pada gadis itu.” Gumam Putri Aelia.
Putri menaiki keretanya dan berlalu. Ali menghela nafas dengan lega, dia beristigfar untuk beberapa saat mengingat kejadian singkat denga putri. Sebagai laki-laki sungguh kecantikan dan keharuman tubuh Putri Aelia sangat memabukkan, tapi rasa mabuk itu bagi Ali tidak lebih dari harumnya bau arak, semakin harum dan memabukkan semakin ia menjauhinya. Sungguh desakan Putri Aelia membuatnya gusar, tapi beberapa saat kemudia dia teringat akan kedatangan Zanimra, bayangan kekasihnya itu menyejukkan hati Ali seketika. Kecintaannya pada Zanimra bagi Ali adalah kecintaan yang menyejukkan jiwanya, kecintaan kepada wanita seperti Putri Aelia baginya adalah kecintaan yang memabukkan jiwanya. Ali menyadari bahwa tak semua orang akan mengerti jalan pikirannya, tapi dia tidak perduli, dengan tangkas Ali menaiki kudanya lalu melaju dengan pesat meninggalkan tempat itu, dalam hati dia berkeras tak akan mengunjungi hutan itu lagi selama Putri masih berada disana.
*****
“Assalammualaikum.” Abdullah dikejutkan oleh kemerduan suara seorang wanita dari belakangnya, “Walaikum salam.” Jawabnya bersemangat. Dia membalikkan tubuhnya dan melihat sosok anaknya Ali yang berdiri dengan seorang wanita disebelahnya dan seorang lelaki paruh baya.
“Zanimra, putriku! Selamat datang!” sambutnya riang. Untuk beberapa saat Abdullah memperhatikan Zanimra, kecantikan Zanimra sungguh biasa-biasa saja dan jauh dibandingkan dengan kencantikan Putri Aelia. Tubuhnya kecil dan tidak terlalu tinggi. Pakaiannya sederhana dan rapi, tapi tak satupun dari diri Zanimra yang bercahaya dan memukau pandangan. Hanya saja Zanimra tampak lebih muda dibanding Putri Aelia, mungkin karena tubuhnya yang kecil. Abdullah menyadari bahwa ukuran tubuh penduduk Madagashphur memang kecil.
“Terima kasih Tuan Abdullah, sangat senang saya berada disini. Sudah banyak sekali Ali bercerita tentang Anda. Alhamdulillah akhirnya saya bisa berkunjung.”
“Ayah, ini calon menantumu bersama Pamannya Nagosh Abdurrahman.” Kemudian Abdullah merangkul paman Zanimra
“Selamat datang sahabatku Nagosh Abdurrahman, sungguh suatu kehormatan bertemu kalian.” Paman Zanimra membalas pelukan Abdullah dengan ramah tapi tak bersuara sedikitpun.
“Maaf Tuan, Paman saya tidak dapat berbicara, tapi dia bisa mendengar.” Kata Zanimra kemudian. Abdullah melepaskan pelukannya lalu mempersilahkan semuanya duduk. “Ah maaf jika begitu, silahkan duduk, kalian pasti sangat lelah…”
“Terima kasih.” Sahut Zanimra lembut.
“Ah yaaah, aku merasa senang ketika mengetahui akhirnya Ali menemukan wanita yang bisa membuatnya jatuh hati! Sungguh aku pikir hanya wanita yang luar biasa sajalah yang mampu meluruhkan hati Ali! Sungguh sahabatku Nagosh, keponakanmu ini membuat kerajaan ini geger.” Nagosh tertawa mendengar ucapan Abdullah yang dikiranya hanya sebagai lelucon.
“Alhamdulillah…segala puji hanya bagi Allah.” Jawab Zanimra tersipu segan, Abdullah terhenyak melihat mimik wajah Zanimra dan reaksinya yang sama persis seperti Ali jika dia menerima pujian.
“Sungguh aneh Ali, aku seperti melihat dirimu dalam sosok wanita pada Zanimra!” Ali tertawa kencang mendengar kalimat jujur ayahnya sedangkan Zanimra hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba Zanimra membisikan sesuatu pada Ali lalu Ali tersenyum.
“Maaf Ayah, Zanimra takut jika dia tidak sopan, tetapi ini sudah waktunya shalat dan dia belum sempat membersihkan diri dari perjalanan jauhnya.”
“Ah! Bodohnya Abdullah,” Jawab Abdullah memaki dirinya sendiri.
“Aku yang tidak sopan wahai putriku! Aku tahu kau pasti sangat lelah dan memang ini sudah waktunya shalat. Baik- baik…bersihkan dirimu dan kita shalat bersama.”
“Insyaallah Tuan Abdullah, terima kasih banyak, Anda benar-benar Tuan rumah yang sangat menyenangkan.”
“Ah Zanimra! Berhenti memanggilku Tuan! Panggil aku Ayah!”
“Baiklah Ayah, dengan senang hati. Saya permisi dulu.”
“Ya, aku akan tunggu kalian di Mushalah.” Abdullah tidak melepaskan pandangan dari Zanimra dan anaknya sewaktu mereka berjalan meninggalkannya. Semula ia merasa kecewa dengan perawakan Zanimra yang biasa saja, tapi setelah berbicara dengan gadis itu, Abdullah merasakan sesuatu yang berbeda dan sangat kuat, seperti yang selalu ia rasakan bila bersama anaknya. Zanimra adalah bentuk lain dari Ali! Sebagai ayah kini ia mengerti mengapa Ali memilih Zanimra, tapi apakah Raja dan Putri akan memahami apa yang dia rasakan?
Hari itu berlalu dengan riang hingga tibalah malam, Abdullah melihat gairah hidup pada mata anaknya. Gairah hidup yang tak pernah dia temukan selama dia mengenal Ali. Abdullah dapat menangkap keyakinan Ali pada Zanimra dan hal sama pada sebaliknya, kekuatan hubungan batin kedua insan didepannya dijalin oleh sesuatu ikatan kuat. Abdullah melihat keindahan yang manis dari jalinan cinta anaknya, tapi Abdullah juga menyadari, tak semua orang mampu memahaminya. Semakin lama dia melihat Zanimra dan Ali, Abdullah semakin merasa lapang dan damai. Waktu makan malampun tiba, tetapi sayangnya Nagosh harus menghabiskan waktu di tempat tidur karena kelelahan. Ditengah kehangatan makan malam tiba-tiba seorang pelayan masuk dengat tergesa.
“Maaf Tuan, Putri Aelia datang berkunjung.” Abdullah dan Ali terhenyak. Ali tak ingin memberitakan perihal Putri Aelia pada Zanimra melalui surat, tapi karena begitu bahagia Ali lupa untuk memberitahu Zanimra pada hari itu. Lagipula kedatangan Putri Aelia sungguh diluar dugaan.
“Kami akan menjemputnya di ruang utama.” Jawab Abdullah singkat, pelayan itu bergegas kembali keruang utama.
“Putri Aelia, Putri yang terkenal dengan kecantikannya itu datang? Subhanallah, kecantikan seperti apakah yang Allah limpahkan padanya hingga namanya terucap disetiap bibir laki-laki diseluruh dunia?” ujar Zanimra dengan penuh rasa keingin tahuan.
“Mari anak-anakku, kita sambut tamu agung kita terlebih dahulu.”
Lalu ketiganya beranjak dari kursi makan mereka. Sewaktu memasuki ruang tamu utama langkah Zanimra terhenti. Matanya begitu silau seperti melihat bidadar. Ali menyadari keterpanaan kekasihnya, sedangkan Abdullah yang berjalan didepannya terus menyambut Putri dengan ramah. Zanimra menoleh pada Ali lalu berbisik,
“Subhanallah wahai kekasihku, demi Allah dia begitu elok rupanya dan merdu suaranya. Subhanallah, Maha Besar Allah dengan ciptaan yang berdiri didepanku ini.”
Mendengar kekaguman Ali berbisik ketelinga kekasihnya,
“Ya Zanimra, sungguh kecantikan yang kau miliki lebih memikat hatiku daripada seribu kecantikan paras wanita yang kau kagumi itu. Kutahu kau mengerti benar akan maksudku.” Zanimra tersenyum simpul lalu menjawab, “Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan-Nya. Aku mengenalmu wahai Ali seperti engkau mengenalku, aku percaya padamu Ali seperti engkau percaya padaku. Aku hanya mengagumi kebesaran Allah yang terlihat didepan mataku.”
Ali dan Zanimra tidak menyadari keakrabannya menjadi sorotan tajam Putri Aelia, Abdullah yang melihat hal tersebut mencoba mencairkan kebekuan sikap Putri.
“Ah Putri Aelia, mari aku perkenalkan tamu terhormatku Zanimra.”
Zanimra dan Ali tersadar lalu dengan tersipu Zanimra mendekati sang Putri dan menghulurkan tangannya.
“Assalammualaikum Putri Aelia, subhanallah sungguh senang bertemu dengan Anda.”
“Walaikum salam Zanimra, senang juga bertemu denganmu. Kami tidak sabar menunggu kehadiranmu diistana.” Zanimra tertegun mendengar perkataan putri.
“Istana?”
“Ah, jadi Paman Abdullah dan Ali belum memberi kabar padamu bahwa Raja mengundangmu untuk tinggal diistana?”
“Maaf Putri, Zanimra baru saja datang hari ini, belum sempat kami mengabarkan apapun tentang undangan Raja.” Jawab Abdullah menengahi, lalu ia melanjutkan,
“Tuan Putri, jika tidak berkeberatan, kami hendak memulai makan malam. Apakah Putri berkenan bergabung bersama kami?”
“Ah maafkan aku mengganggu makan malam kalian, tentu saja aku merasa terhormat menerima tawarnmu Paman.”
“Kehormatan berada pada kami Putri Aelia.” Putri menyadari bahwa kecantikannya jauh diatas Zanimra, dengan sengaja dia menjajari Zanimra dengan ramah dan mengajaknya berjalan didepan Ali. Abdullah tahu perilaku ramah itu hanya siasat Putri untuk membuat Ali melihat perbandingan kecantikan kedua gadis itu. Abdullah melirik anaknya yang sedang tersenyum geli, tak ayal Abdullahpun ikut tersenyum geli. Putri belum juga memahami bahwa apa yang dilihat Ali bukanlah kecantikan paras Zanimra. Dalam jamuan makan pembicaraanpun berlanjut.
“Bagaimana menurutmu tentang kerajaan kami Zanimra?”
“Alhamdulillah kerajaan ini sangat menyenangkan, dari pelabuhan yang sangat tertib sudah mencerminkan betapa baiknya ketata negaraan kerajaan ini.”
“Hmmm… apakah kau pikir kerajaan ini aman?”
“Inshyaallah. Alhamdulillah, kerajaan ini adalah negri yang sangat makmur, sebuah kerajaan hanya bisa mencapai kemakmuran seperti kerajaan ini jika keamaan terjaga baik didalamnya Putri. Tapi selain dari hal itu, saya sering mendengar bahwa Putri Aelia memiliki kesenangan menjelajah hutan dengan sedikit pengawal dan dayang. Dari kebiasaan tersebut tercermin betapa amannya kerajaan ini.”
“Ah, jadi kau tahu beberapa hal mengenai diriku?”
“Insyaallah, Putri Aelia…alhamdulillah, Anda sangat terkenal dengan keelokan rupanya. Saya belajar banyak tentang negara ini dari Ali.”
“Oh? Ali pernah berbicara perihal diriku padamu?”
“Ya, dia berkata bahwa Putri adalah Bulan dari Andimarsedonia.”
“Zanimra, apa menurutmu tentang diriku sekarang setelah kau bertemu denganku?”
“Maha Besar Allah, kecantikan Putri jauh lebih daripada yang saya bayangkan.”
“Apa menurutmu laki-laki yang menikah denganku aku bahagia?”
Zanimra terdiam sesaat,
“Putri terkenal dengan kebaikannya diseluruh negri, kecantikannya juga tak terperi. Insyaallah barang siapa yang menikahi putri akan bahagia.”
“Apakah kau ikhlas jika orang yang kau sayangi mendapatkan wanita seperti aku?” Zanimra tersenyum lalu dengan perlahan dia menjawab.
“Demi Allah, jika kecantikan akhlak Putri sebaik kecantikan paras Putri, laki-laki manapun dibumi akan sangat beruntung. Jika orang yang saya sayangi mendapatkan yang demikian, maka saya ikhlas.” Lalu putri menoleh pada Ali dengan tajam,
“Ah! Kau dengar itu Ali? Zanimra rela dan ikhlas jika memang aku lebih baik darinya!” Zanimra tertegun mendengar kalimat Putri Aelia, sedangkan Ali tersenyum dengan penuh keyakinan dan melancarkan pandangan tepat pada mata Putri. Putri tersentak gugup ketika menangkap tatapan tajam Ali yang sungguh diluar dugaan. Putri Aelia dapat mengangkap keyakianan luar biasa di mata Ali pada Zanimra.
“Ah Paman, putramu ini sungguh menyiksaku!” Katanya singkat pada Abdullah. Zanimra yang masih gamang terhadap situasi itu hanya diam seribu bahasa. Abdullah hanya terdiam menahan senyum. Abdullah merasa kagum pada putranya.
“Paman, terima kasih atas makan malamnya, saya rasa hari sudah larut. Sebaiknya saya mohon pamit.” Ucap Putri kemudian dengan lembut dan sopan berusaha menutupi kekacauan dihatinya. Ingin sekali Putri berteriak pada Zanimra bahwa ia mencintai Ali, tapi ia tahu ini bukan saatnya. Dengan berwibawa dan anggun Putri kemudian bertitah,
“ Zanimra, kakakku menunggu kedatanganmu segera.”
“Terima kasih Putri, entah karena apa saya mendapat kehormatan dengan undangan Raja ini. Saya menerimanya dengan senang hati, insyaallah saya akan bersedia.”
“Paman, berangkatlah dengan Zanimra bersama rombonganku besok pagi.”
“Baik Putri Aelia. Tapi Ali akan berangkat lusa karena saya memiliki tugas penting yang harus dia kerjakan besok.” Jawab Abdullah.
“Oh Ali! Kau akan membiarkan Zanimra bersama kami sendirian?”
“Putri, Zanimra bersama ayah saya, isnyaallah saya akan datang keesokan harinya.” Jawab Ali tenang.
“Baiklah, sekali lagi terima kasih dan selamat malam.”
Abdullah, Ali dan Zanimra melepas Putri Aelia, setelah kereta putri tidak terlihat lagi Abdullah tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Ali hanya tersenyum geli. Zanimra hanya memandang keheranan. Ada banyak pertanyaan dalam otaknya, dengan akrab Abdullah merangkul pundak Zanimra, sambil memasuki ruang duduk Abdullah mulai berbicara.
“Ah putriku Zanimra yang manis, pasti kami telah membuatmu kebingungan dengan kehadiran Putri Aelia dan undangannya itu. Maafkan kami!”
Abdullah duduk di kursi besarnya, Ali dan Zanimra duduk dikursi panjang yang berhadapan dengan Abdullah.
“Baiklah Ali, sebaiknya kau ceritakan apa yang telah terjadi pada putri manisku ini.” Dengan pelan dan hati-hati Ali menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dia dan Putri Aelia. Zanimra mendengarkannya dengan takjub, tapi tak nampak sedikitpun perasaan galau atau gusar dimatanya. Setelah selesai mendengarkan cerita Ali Zanimrapun tersenyum kaku.
“Masyaallah, sungguh diluar dugaanku! Ternyata wanita secantik bidadari itu menyatakan perang dengan diriku?” Mendengar ucapan polos Zanimra Ali dan ayahnya tertawa.
“Zanimra, aku tak mengenalmu sejauh Ali mengenalmu. Aku minta kau jujur padaku, katakan apa pendapatmu tentang masalah ini?”
“Ayah, apalah arti dunia? Ketidak kekalan. Apa yang terjadi didunia ini hanyalah bagian dari dunia itu sendiri. Dan bagi Ali dan aku, bukanlah dunia tujuan akhir kami. Aku percaya pada Ali, tapi terlepas dari itu, aku percaya pada Allah diatas segala sesuatu. Maka tenanglah selalu hatiku.”
“Ha ha ha! Putri manisku Zanimra, sungguh aku akan dengar hal yang sama dari mulut putraku. Demi Allah jika urusan Raja dan Putri ini selasai, akan kunikahkan kalian segera!”
“Alhamdulillah, Insyaallah Ayah.” Jawab keduanya dengan tersipu.
“Hemh, aku hanya berharap Putri akan memahami cara pandang kalian. Pada Raja aku optimis dia akan mengerti, tapi Putri Aelia…..aku tak tahu.” Abdullah menggelengkan kepalanya sambil melenguh…
“Ayah, tenanglah… percayalah pada Zanimra.”
“Ha ha ha, yah aku percaya sebesar rasa percayamu padanya, Ali, Aku akan tinggalkan kalian berdua. Sungguh kalian tak sempat melepas rindu, apalagi besok pagi kita harus keistana Zanimra.” Abdullah meninggalkan kedua insan itu, Ali lalu memanggil seorang dayang terdekatnya untuk menemani mereka berbincang-bincang.
“Bibi Alima, kau mengasuhku sedari kecil dan mengenalku seperti ibuku sendiri, tolong jaga kami berdua karena sungguh tidak baik jika kami hanya berdua karena syaitanlah ketiganya, jika kita bertiga Allahlah ke-empatnya.” Dayang itu tersenyum lalu duduk diam dipojok ruangan yang sama. Ujar Ali kepada dayangnya, lalu dia mendekati Zanimra.
“Wahai kesejukan jiwaku Zanimra, sungguh aku rindu akan dirimu.”
“Demi Allah, akupun rindu, tapi jarak yang memisahkan kita adalah hijab yang sangat baik bagi kita Ali.”
“Yah akupun setuju, sungguh aku ingin segera menikahimu sewaktu aku datang menemui ayah. Dan kau tau tujuanku itu. Diluar dugaan dan kuasaku Putri bertemu denganku dan membuat hambatan ini.”
“Allah hendak mencoba kesabaran kita, dan hanya orang yang bersabar yang berhak mendapatkan tempat kembali yang baik.”
“Kau benar Zanimra, ini mungkin ujian bagi kita, atau mungkin pula teguran bagi kita. Sungguh aku selalu beristighfar memohon ampunan Allah dari kesalahanku dan dirimu.”
“Aku juga berpikir demikian, sungguh Allah Maha Pengasih dan Maha Bijaksana, kita percaya pada-Nya, apapun yang telah dan akan terjadi adalah demi kebaikan kita juga. Sungguh aku takut akan murka Allah padaku.” Ucap Zanimra lirih.
“Semoga Allah memberikan jalan keluar yang terbaik bagi kita. Aku percaya padamu Zanimra. Percayalah padaku, hatiku tak akan goyah karena kecantikan atau kekayaan Putri itu.”
“Wahai Ali, aku percaya padamu, jika kau tak benar-benar mencintaiku maka tak akan berani kau bersumpah padaku atas nama Allah.” Lalu keduanya tersenyum geli mengingat semua yang terjadi, lama kelamaan senyum mereka pecah menjadi tawa yang riang.
“Aku benar-benar tak tahu apa rencana Raja padamu Zanimra, berhati-hatilah.”
“Relakah jika kau harus keluar dari negri ini selama-lamanya Ali?”
“Dunia…apalah artinya dunia Zanimra?” kembali keduanya tersenyum.
Dayang Alima yang sedari tadi memperhatikan menggelengkan kepalanya dengan kagum pada pasangan majikannya itu. Dia dapat mendengar semua pembicaraan majikannya karena memang majikannya tak ingin ada fitnah atau aib yang muncul.
“Baiklah, sebaiknya kau tidur Zanimra, aku harus lebih bersabar dengan kerinduanku padamu.”
“Ya Ali, demikian halnya sama denganku. Kita memang harus lebih bersabar.”
Ali mengantarkan Zanimra ke kamarnya diikuti Alima, lalu dia bergegas kekamarnya sendiri penuh senyuman bahagia dan syukur.
Pengakuan Abdullah
Pagi menjelang tanpa terasa, Abdullah tergopoh-gopoh menuju keretanya diikuti Zanimra dan Ali. Tiba saatnya ujian bagi mereka yang datang dari Raja. Zanimra telah menunggu bersama Ali dipintu kereta kuda, Nagosh yang masih kelelahan tidak dapat menemani Zanimra keistana, sehingga Zanimra harus pergi sendiri.
“Ayah, aku titip Zanimra padamu.”
“Ali, apakah kau tak melihat? Zanimra terlihat jauh lebih tenang daripada aku. Aku rasa dia yang malah akan menjagaku nantinya,” gurau Abdullah menggoda Ali. Zanimra hanya tersenyum simpul.
“Insyaallah Ya Ayahku,” Sambut Ali dengan tawa. Abdullah masuk kedalam kereta kudanya terlebih dahulu.
“Hati-hatilh Penyejuk mataku,” bisik Ali lirih pada kekasihnya.
“Kau juga, semoga Allah selalu bersama kita, amin.”
“Amin, assalammualaikum.”
“Walaikum salam.”
Keretapun berlalu, Ali amat pasrah kepada Allah akan nasib kekasihnya. Ali berdoa semoga Allah menjaga hati Raja dari godaan syaitan sehingga dapat melihat kelebihan Zanimra yang sesungguhnya.
Didalam kereta Abdullah diam-diam memperhatikan Zanimra yang sedang sibuk memperhatikan sekelilingnya sepanjang perjalanan. Dia menangkap expresi wajah Zanimra yang sering berubah.
“Hai Zanimra, apa yang sedang kau pikirkan? Sedari tadi aku perhatikan, reaksi wajahmu selalu berubah. Kadang kau tersenyum, lalu termenung sedih dan mulutmu selalu bergerak.”
“Ah maaf Ayah, sudah menjadi kebiasaanku yang sulit hilang. Aku mengerti, Ayah bukan satu-satunya orang yang bertanya. Baiklah, semoga penjelasanku akan menyingkirkan prasangka buruk.” Zanimra meluruskan duduknya yang sedari tadi dimiringkan menghadap jendela. Sama seperti Ali, jika dia berbicara pada orang, dia selalu dengan penuh menghadapkan tubuh dan pandangannya pada orang yang diajaknya bicara.
“Ayah, Ini adalah kali pertama aku di kerajaan ini. Tak sedikitpun aku ingin membuang kesempatan dalam perjalanan ini untuk memperhatikan segala sesuatu yang terjadi disepanjang jalan yang kulalui. Tak pernahkan Paman memperhatikan, bahwa banyak sekali adegan kehidupan nyata yang secara sekilas yang kita lewati dapat menjadi pelajaran bagi kita?”
“Hm, aku mulai tertarik. Lanjutkan.”
“Banyak Ayat dalam Al-Qur’an yang memperingati tentang banyak kejadian dimuka bumi ini, dan sebagian besar dari peringatan itu akan diikuti dengan kalimat…”… Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. Lalu banyak juga ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi, ‘…sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi telah tertulis dalam kitab Allah.’
Dari ayat-ayat tersebut, kita dapat mengambil makna global, bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi ini, bahkan perjalanan yang kita lakukan ini telah diatur oleh Tuhan Yang Maha Agung, Allah. Bahkan jatuhnya selembar daun dari pohonnya juga sudah merencanakan rencana tertulis dari Allah. Tidak satupun yang kita anggap sebagai kebetulan diluar dari rencana dan diluar dari pengetahuan Allah. Dan sungguh sangat banyak ayat dalam Al Qur’an yang meminta kita untuk berfikir. Berfikir itu dapat mematahkan sihir, insyaallah.”
Abdullah tersenyum, semangat yang dipancarkan mata Zanimra membiaskan rasa kecintaan yang dalam pada apa yang sedang ia utarakan.
“Ya Zanimra, kau benar.”
“Alhamdulillah, Ayah tuaku yang bijak, apakah tidak akan menarik hatimu untuk melihat mencari petunjuk Allah dan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang terjadi disepanjang jalan ini?”
Abdullah termenung, sungguh Zanimra lain dari kebanyakan gadis yang pernah dia temui selama ini. Bagi kebanyakan orang, kejadian sekelilingnya hanyalah kegiatan sehari-hari dan mereka tak akan memperhatikan hal-hal itu seperti Zanimra.
“Sungguh menarik apa kata-katamu itu Zanimra, kalau begitu katakan padaku, apa yang sejauh ini kau dapatkan dari balik jendela kereta ini? Kulihat kau tersenyum, apa yang membuatmu tersenyum?”
“Entah kejadian mana yang pasti yang dimaksud ayah, ada beberapa kejadian yang membuatku tersenyum. Tapi ada satu kejadian yang paling membuatku terharu. Dipersimpangan pertama memasuki gerbang kota kita berhenti beberapa waktu untuk memperbaiki roda depan yang rusak. Ada seorang pemuda yang tiba-tiba berhenti ditengah jalan lalu menjatukhan tas besar bawaannya tepat didepan sebuah kereta yang darang dari arah berlawanan. Kusir kereta kebingungan karena tiba-tiba pemuda itu berlari ketepi jalan yang semula dengan meninggalkan tas besarnya. Ternyata seorang kakek sangat renta dengan tongkatnya melambai-lambai ingin ikut menyeberang. Lalu lintas kota ini memang tak terlalu ramai, tapi untuk kakek yang jalannya sangat lambat, jalan kereta yang lambatpun akan membuat lututnya kelu. Pemuda itu menghampiri kakek itu lalu menggendongnya dibelakang, lalu ia lari lagi mengambil tas besarnya dan karena beban bertambah, akhirnya dia berjalan menyeberang sambil minta maaf dan berterima kasih pada sang kusir.”
“Ah, tapi mengapa pemuda itu mempertaruhkan tas besarnya dengan resiko digilas kusir kereta atau dibuang ketepi oleh sikusir. Mengapa dia tidak kembali ketepi jalan lalu menunggu bersama si kakek hingga kereta itu lewat saja?”
“Aku juga sempat berpikir demikian ayah, sewaktu pemuda itu lari menjemput si kakek aku melihat keseberang jalan yang hendak mereka tuju, ternyata disana telah menunggu sebuah perahu angkutan yang akan berjalan. Pemuda itu tak ingin ditinggalkan perahu angkutan itu dan juga tak ingin membiarkan kakek itu. Seperti dugaan pemuda itu, kakek itupun sedang mengejar perahu yang sama.”
“Ha ha ha! Ternyata si tua Abdullah ini mendapat pelajaran dari seorang gadis belia sepertimu hai Zanimra, sangat menarik! Kurasa mulai sekarang aku akan lebih banyak memperhatikan jalan daripada tidur dalam kereta, ha ha ha….” Lalu Abdullah berbicara serius,
“Apakah kau ingat wajah pemuda itu Zanimra?”
“Sungguh Ayah , aku memiliki kekurangan dalam mengingat wajah orang. Maafkan aku. Tapi aku rasa aku akan ingat si kakek tua itu.”
“Ah kurasa itu sudah cukup, aku sedang mencari kurir yang bisa kupercaya. Kurasa pemuda itu cocok, ah Zanimra, jika saja aku melakukan apa yang kau lakukan, niscaya aku sudah memiliki seorang pegawai yang cakap dan berbudi!”
“Semoga kita berjodoh untuk bertemu dengannya lagi Ayah, insyaallah.”
“Insyaallah, lalu adegan seperti apa yang membuatmu sedih Zanimra?”
“Segala sesuatu yang membuat Allah murka dan benci adalah hal yang membuatku sangat takut dan sedih Ayah.” Air muka Zanimra yang semula ceria berubah dengan drastisnya.
“Sungguh Ayah, banyak sekali manusia yang lupa akan Penciptanya. Itu yang membuatku amat takut dan sedih. Aku sedih akan nasib mereka di hari akhir nanti, tapi terlabih aku takut jika aku menjadi salah satu dari mereka.
Ketika aku memasuki keramaian kota, aku lihat hal seperti itu. Aku tahu kerajaan ini adalah negri yang sangat makmur. Karen kemakmuran itulah kulihat banyak ke-alpaan yang manusia lakukan. Aku banyak melihat laki-laki yang memakai pakaian dan jubah terbuat dari sutra penuh, sungguh Rasulullah pernah bersabda, tidak akan memakai sutra di surga bagi laki-laki yang memakai sutra lebih dari selebar ini,” ujar Zanimra memperlihatkan selendang kecilnya. Abdullah mengangguk setuju.
“Kerajaan ini adalah kerajaan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tapi yang kulihat didalam kota banyak wanita yang mempertontonkan kecantikannya dan mencabut alisnya… Ah Ayah, sungguh itu membuatku ngeri, Rasulullah bersabda, “Laknatullah…. Laknat Allah …bagi wanita yang menyukur alisnya. Betapa pedih murka Allah, terlebih lagi ‘Laknat’ Allah.”
Abdullah sungguh terpana dengan tutur Zanimra selama ini. Segala keraguan dan rasa was-was didalam hatinya tentang nasib anaknya dan Zanimra hilang. Abdullah mengakui secara tulus, Putri Aelia sedang berhadapan dengan lawan yang amat sulit. Abdullah semakin mengerti akan perasaan Ali pada Zanimra dan mengapa tak sedetikpun Ali ragu akan keputusannya. Tapi walaupun Putri Aelia sangat cerdas, kebijakan hatinya yang belia masihlah berdiri dibalik dinding kecintaan pada dunia, seperti apa yang diucapkan Zanimra, banyak manusia yang melupakan Penciptanya.
“Masya Allah Zanimra, sungguh kau adalah pilihan dari Ali.”
“Alhamdulillah Ayah, tiada daya dan upaya tanpa pertolongan Allah.”
Abdullah menahan pertanyaannya tentang bibir Zanimra yang terus bergerak, karena ia sudah tahu jawabannya. Meskipun semula Abdullah ingin memperingati Zanimra, karena dia sadar akan banyak orang berprasangka buruk tentang perilaku Zanimra di istana nanti. Abdullah merebahkan kepalanya dengan damai di sandaran kereta, dengan perlahan dia menggumam hingga tak terdengar oleh Zanimra.
“Ah putriku Zanimra, meskipun bulan cantik, tetapi saja tetap saja tak mampu mengalahkan cahaya matahari.”
Melihat Abdullah memejamkan mata, Zanimra kembali asyik dengan jendela keretanya. Tiba-tiba Abdullah berkata masih dengan mata terpejam,
“Zanimra, jadilah mataku saat ini dan ceritakan padaku hal-hal yang menarik yang kau nanti malam padaku.” Zanimra tersenyum, “Baik Ayah.”
Kereta Abdullah akhirnya tiba di istana peristirahatan Putri Aleia, dia telah menunggu disana. Putri Aelia bersikeras agar Abdullah dan Zanimra duduk satu kereta dengannya.
“Zanimra, bagaimana tidurmu malam ini?”
“Alhamdulillah, tidur saya nyenyak. Semoga Putri mengalami hal yang sama.”
“Masya Allah, belumkah Abdullah dan Ali bercerita padamu?” Tanya putri terheran mendengar jawaban Zanimra yang sangat tenang.
“Jika yang Putri maksudkan adalah lamaran Putri terhadap Ali, kami telah memberitahukan hal itu pada Zanimra.” Sahut Abdullah denan hormat. Putri Aelia merasa amat takjub, setelah mengetahui bahwa Zanimra tengah bersaing dengannya, tak sedikitpun ia menangkap kegusaran dimata Zanimra.
“Zanimra, apakah kau juga terbuat dari es seperti Ali?” ucapnya tanpa sadar, Abdullah yang mendengarnya tak mampu menahan tawanya. Sedangkan Zanimra hanya tersenyum manis.
“Mengapa tak terpancar sedikitpun rasa khawatir dirimu Zanimra? Apakah yang membuatmu sangat percaya diri?”
Zanimra menjawab dengan satu kata sambil tersenyum,
“Allah.” Abdullah diam-diam tertawa geli melihat kebingungan diwajah Putri Aelia, seperti dugaannya, Putri Aelia belum bisa memahami jalan pikiran Zanimra.
“Tidakkah kau takut atau benci pada diriku Zanimra?”
“Mengapa saya harus merasa demikian?”
“Karena aku ingin merebut Ali darimu.”
“Saya akui, kecantikan paras tuan Putri tak tertandingi. Tapi jika Putri benar-benar mengenal Ali, maka putri akan merasakan apa yang saya rasakan saat ini.”
“Zanimra! Bukankah laki-laki dimuka bumi ini semua sama saja? Hiburan apalagikah dari wanita yang mereka dambakan selain dari kesempurnaan wajah, otak dan budi pekertinya? Seperti ucapanmu semalam, kau menilaiku sebagai wanita yang bertabiat baik dan terpelajar sepertimu. Apa yang membuatmu merasa tenang seperti itu, sedangkan aku memiliki beberapa kelebihan atasmu.”
“Putri Aelia yang bijak, bukankah karena Ali tidak seperti kebanyakan laki-laki dimuka bumi ini Putri menginginkannya?” tak ayal Abdullah merasa sakit perut karena begitu hebat dia mencoba menahan tawanya. Zanimra membalikan pertanyaan Putri Aelia dengan amat telak. Putri Aelia tampak salah tingkah dibuatnya.
“Sungguhkah kau seyakin itu bahwa Ali tak akan berubah pikiran, ingat kata-katamu semalam Zanimra, kau akan ikhlas jika orang yang kau kasihi memiliki yang lebih baik?”
“Baiklah Putri, bolehkah saya balik bertanya?”
“Silahkan.”
“Apakah Putri benar-benar mencintai Ali.”
“Jika tidak, aku tak akan memperjuangkan dia seperti ini.”
“Ya, dan Putri mencintai Ali karena dia laki-laki terhormat yang jujur dan baik bukan?”
“Benar adanya.”
“Apakah perasaan Putri akan berubah jika tiba-tiba wajah Ali rusak?”
“Tidak! Aku akan terus mencintainya.”
“Jika demikian, mengapa Putri begitu yakin Ali akan merubah cintanya hanya karena wajah dan tubuh saya tidak secantik Putri?” tenggorokan Putri Aelia tercekat, Abdullah sekuat tenaga untuk tidak tertawa melihat expresi wajah bidadari didepannya itu memerah semerah tomat segar.
Putri Aelia sadar akan posisinya, dia memilih untuk diam sebelum pertanyaannya membuat dia semakin kecil dihadapan Zanimra. Didalam hati Abdullah menyayangkan kondisi mental Putri yang kacau karena cintanya yang begitu membara pada Ali. Ketangkasan berpikir dan bersilat lidahnya menjadi kabur, Putri Aelia mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Yang membuat Zanimra dapat mematahkan setiap kalimat Putri Aelia hanyalah ketenangan dan keyakinan Zanimra yang begitu kuat sehingga pikirannya jernih. Abdullah mengenal Putri sejak kecil, kecerdasan intelektual Putri tak kalah dengan Zanimra, tapi pengendalian emosi dan keyakinan Putri masih jauh dibawah Zanimra. Akhirnya Putri memutuskan untuk berbincang-bincang dengan Abdullah tentang masalah-masalah kerajaan. Zanimra mendengarkan dengan penuh rasa tertarik.
Gadis Bertelanjang Kaki dan Perjanjiannya
Perjalanan menempuh waktu tiga perempat hari, di tengah perjalanan rombongan Putri beristirahat di tempat peristirahatan keluarga kerajaan yang terdapat dipinggir sebuah desa pertanian yang sangat rapi.
Begitu turun dari kereta, Putri Aelia disambut sangat hangat oleh penduduk setempat. Zanimra dapat melihat keramahan Putri bada rakyatnya. Dia tersenyum ketika Putri turun ketengah ladang sayur dan berbicara langsung dengan petani yang sedang bekerja disana. Sungguh sosoknya amat menyilaukan ditengah ladang itu.
“Ayah, desa ini kecil tapi sangat menarik,”
“Tentu saja, desa ini khusus dibangun sebagai tempat persinggahan bangsawan. Hasil pertanian disini juga diperuntukan bagi keluarga kerajaan.”
“Putri Aelia nampak seperti bidadari ditengah penduduk yang berkerumun itu.” Guman Zanimra.
“Hei Putriku, apakah kau kehilangan rasa percaya dirimu?”
“Masyaallah Ayah, bukan begitu. Hanya saja aku tak bisa berhenti mengagumi keindahan yang sedemikian rupa sampai aku tak bisa membayangkan bagaimanakah keindahan bidadari disyurga nanti. Jika seluruh penghuni syurga keindahannya dapat melebihi Putri Aelia, bagaimanakah keindahan syurga itu sendiri?… Terlebih lagi, bagaimanakah keindahan dari Dzat Penciptanya?……Sungguh aku gemetar jika membayangkannya….subhanallah….subhanallah…….” Abdullah tertegun, selama ini diapun mengagumi kecantikan Putri Aelia, tapi tak pernah dia berpikir sejauh Zanimra.
“Hem, bagaimana menurutmu sejauh ini tentang Putri Aelia?”
“Saya kagum akan kecerdasannya dibidang ketata negaraan, terlebih lagi sekarang ini, kecantikannya tidak membuatnya angkuh. Tak segan dia turun keladang untuk berbicara pada petani tentang tanaman-tanaman itu. Dia adalah Putri sejati, seorang wanita pemimpin yang baik. Sayang sekali dia sedang berjalan diatas pematang yang salah.”
“Pematang yang salah? Apa maksudmu?”
“Rasa cintanya Ayah, rasa cintanya yang dapat menghancurkan.” Guman Zanimra sedih.
“Sayang memang, dia mencintai Ali setelah Ali bertemu denganmu.”
“Bukan itu Ayah, jikapun dia mendapatkan Ali sebelum Ali bertemu denganku, cinta yang dimiliki putri tetap akan menghancurnya.” Abdullah mengangguk setuju.
“Apa yang akan kau lakukan Zanimra?”
“Semoga Allah memberikan aku kekuatan untuk menolongnya.”
“Amin.” Sahut Abdullah tulus. Sekarang dia benar-benar mengerti mengapa Ali begitu yakin akan kekasihnya ini.
Tiba-tiba sebuah bola menggelinding dikaki Zanimra, seorang anak perempuan melihat bola itu dengan malu-malu. Zanimra memungut bola itu dan menghampiri gadis kecil yang dibelakangnya berdiri segerombolan anak lainnya.
“Assalammualaikum, gadis cantik, apakah ini bolamu?”
“Walaikum salam, Iya itu bola saya.”
“Boleh aku bermain dengan kalian?” Anak itu terkejut, mendadak anak laki-laki dibelakang gadis cilik itu berkata lantang.
“Wah tidak adil nanti jadinya!”
“O? kenapa begitu?” tanya Zanimra menggoda.
“Tubuhmu lebih besar dari kami, kami pasti kalah.” Ujar anak laki-laku itu lagi.
“Hummm…… tapi aku pakai rok yang panjang, lariku tak dapat secepat kalian. Apakah itu masih tidak adil?” Gerombolan anak itu saling memandang untuk beberapa saat, kemudian tertawa kecil.
“Iyah, kakak larinya jadi pendek seperti kami!” canda anak-anak itu riang.
“Jadi…aku boleh ikut bermain?”
“IYA…” jawab anak-anak itu serempak. Maka Zanimra melepaskan sepatunya lalu ikut berlarian bersama anak-anak petani itu. Abdullah tertawa terpingkal-pingkal melihatnya. Dia sungguh tak habis pikir pada Zanimra, didepan keanggunan dan keindahan Putri Aelia yang luar biasa, dia melepas sandalnya untuk bermain bersama anak-anak diatas tanah berumput. Dari seberang yang berlawanan Putri Aelia tercengang melihat kejadian itu. Dia bersaing dengan seorang gadis yang saat ini bertelanjang kaki berlarinan kesana kemari mengejar bola bersama anak-anak kecil. Dalam hati dia merasa malu untuk mengakui bahwa dia sedang bersaing dengan gadis itu. Putri merasa khawatir dengan penilain penduduk karena Zanimra turun dari satu kereta dengannya. Seperti yang dia duga perhatian para petani didekatnya tertuju pada Zanimra, Tapi diluar dugaannya, mereka tertawabahkan beberapa diantaranya ikut bersorak.
“Sungguh baik sekali putri itu, dia mau bermain bersama anak-anak kita seperti itu!” Celetuk seorang wanita paruh baya tanpa sadar bahwa didekatnya a berdiri Putri Aelia
“Iya, putri kepala desa saja tak akan sudi melepas sandalnya untuk bermain bersama mereka.” Sahut petani lainnya.
“Ah aku merasa seperti sungguh dihormati sebagai bangsawan!”
Ketika menyadari keadaannya dia buru-buru minta maaf dengan muka pucat pada Putri Aelia.
“Maafkan perkataan saya Putri, saya tidak bermaksud merendahkan Putri dengan perkataan tadi.” Putri Aelia hanya tersenyum mengangguk.
“Kamu tak bersalah.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Maaf Putri, jika diijinkan saya bertanya, siapakah putri itu? Bukankah dia datang satu kereta dengan Tuan Putri?” Tanya kepala perkebunan dengan sedikit ragu pada Putri Aelia.
“Dia tamu undangan Raja.”
“MasyaAllah, Sungguh luar biasa! Jarang anak-anak dapat menerima orang dewasa untuk bermain bola bersama mereka. Terlebih lagi, sungguh langka seorang tamu kehormatan raja bersikap ramah seperti itu. Siapakah namanya?”
“Zanimra.”
“Nama yang sangat asing.”
Putri Aelia jadi merasa canggung berdiri disana sedangkan sekelilingnya memperhatikan Zanimra dengan pandangan cinta. Mereka baru saja melihat Zanimra, tapi dengan cepat Zanimra dapat memikat hati banyak orang. Diapun berpamitan pergi, lalu menghampiri Abdullah yang masih terus tertawa.Untuk kesekian kalinya Putri merasa dipatahkan.
“Ya Abdullah, sungguh apa yang dilakukan Zanimra?”
“Oh Putri, maafkan saya, sungguh lucu sekali putriku itu berlari dengan rok panjangnya yang sedikit sempit. Anak-anak terus tertawa sambil mengejarnya.”
“Yah, aku dapat melihatnya, dan seluruh orang disinipun memperhatikannya.” Jawab Putri dingin. Mendengar nada datar Putri, Abdullahpun menghentikan tawanya.
“Aku mendengar dari Ali, Zanimra sangat menyukai anak-anak, jika melihat anak-anak dia akan berubah seperti anak-anak. Sekarang saya bisa melihatnya secara langsung.”
“Apakah kau pikir pantas jika seorang Putri undangan Raja bertingkah laku demikian Abdullah?”
“Ehm, maafkan saya Putri, yang saya lihat dari mata penduduk adalah rasa kagum dan hormat pada Zanimra, apakah itu suatu hal yang buruk?” Putri tertegun, dalam hati diapun mengakui bahwan Abdullah benar. Tapi rasa persaingan dihatinya telah membuatnya memupuk rasa iri yang semakin mengaburkan presepsinya. Akhirnya Putri Aelia mengajak Abdullah menemaninya untuk duduk di beranda.
Tak lama kemudian permainan anak-anak dan Zanimra selesai, mereka duduk diatas tikar yang disediakan penduduk. Satu persatu petani mendatangi dan memberi salam pada Zanimra. Mereka tampak sangat senang ketika Zanimra dengan lahap memakan buah yang diberikan penduduk. Mereka lebih takjub lagi ketika Zanimra menyuapi beberapa anak yang bersandar dipangkuannya.
“Sungguh siapakah dirimu wahai putri yang baik?”
“Alhamdulillah jika kau menganggapku baik. Aku adalah orang biasa seperti kalian juga, janganlah panggil aku Putri, karena aku bukan berasal dari keluarga bangsawan.”
“Tapi Putri Aelia mengatakan bahwa, kau adalah tamu undangan kerajaan. Sungguh kedudukanmu diatas kami semua wahai Putri. Kami hanya petani.”
“Alhamdulillah aku mendapat kehormatan itu dari Raja, pemimpin dari negara ini. Tapi tetap saja aku ini adalah tamu kalian dan kalian adalah tuan rumahnya. Makanan yang kumakan sekarang ini adalah pemberian kalian, mengapa kedudukanku lebih tinggi dari kalian sedangkan kalian yang memberi hadiah dan aku yang menerima?”
“Sungguh kami merasa terhormat dengan duduk ditikar yang sama denganmu.”
“Sesungguhnya aku lebih merasa terhormat diijinkan bermain dengan anak-anak kalian.”
“Kakak, gelangmu bagus!” celetuk gadis kecil yang sedang bermain dengan tangan Zanimra.
“Ah, Salama, kau suka?”
“Iyah, indah sekali warnanya!”
“Ambillah jika kau mau.” Penduduk makin tercengang melihat Zanimra membiarkan gadis kecil itu membuka gelang dari tangannya,
“Eh, tunggu dulu. Kau boleh memilikinya jika kau janji dua hal padaku.” Kata Zanimra tiba-tiba sambil menahan tangan anak yang dipanggil Salamah.
“Apa itu?”
“Patuh pada orang tuamu dan takutlah pada Allah, jangan pernah tinggalkan shalatmu.” Gadis itu mengangguk setuju.
“Jika lain kali, insyaallah jika kakak datang dan orang tuamu mengatakan bahwa kamu melanggar janji, aku akan meminta kembali gelang ini darimu. Setuju?”
“Iya, aku berjanji kakak!”
“Baik, siapa orang tua dari Salama?”
“Saya Pamannya, Hasan”
“Baik, Paman Hasan sebagai saksi! Salama, Insyaallah jika kau memegang janjimu disaat aku datang nanti, aku akan memberi hadiah yang lebih lagi dari gelang ini.”
“Benarkah? Kakak aku janji!” Kemudian Hasan, paman dari Salama bertanya heran, “Nona Zanimra, mengapa kau mengadakan perjanjian dengan Salama, bukankan dia hanya seorang anak kecil?”
“Paman Hasan, sesungguhnya anak-anak akan mengingat janji dan memegangnya dengan seluruh kepercayaannya yang tulus. Jika kita melanggar janji pada mereka, maka kepercayaan mereka kepada kita akan musnah. Jadi berhati-hatilah dalam memegang janji pada siapapun, terutama pada anak-anak.”
“Jadi kakak janji akan datang lagi?” tanya Salama lagi.
“Tidak Salama, aku berkata Jika aku datang lagi, Insyaallah. Aku tidak tahu apakah aku bisa datang lagi atau tidak dikemudian hari, tapi jika aku datang lagi aku akan menagih janjimu dan jika kau menepatinya aku akan memberikan hadiah yang lain padamu. Dan aku berjanji, jika Allah mengijinkan, aku akan datang lagi.”
“Aku berharap kakak akan datang lagi dan lagi!” Ucap Salama keras-keras, mengundang tawa yang lain.
“Insyaallah Salama, selalu ucapkan Insyaallah.” Sahut Zanimra lembut.
“Insyaallah!” celetuk Salama dengan logat yang lucu.
“Nah, untuk anak-anak lainnya, apakah mau mengikat perjanjian denganku? Jika mau aku akan mencarikan beberapa hadiah untuk kalian.” Kata Zanimra lagi pada anak-anak yang lain. Serentak yang lain menyetujui. Zanimra tersenyum ceria, diapun melangkah pergi menuju kereta kuda. Abdullah dan Putri melihat Zanimra yang tergopoh-gopoh membuka tas besarnya.
“Sedang apa kau Zanimra?” Tanya Abdullah penasaran.
“Aku hendak mengadakan perjanjian dengan anak-anak Ayah.”
“Perjanjian dengan anak-anak? Apa maksudmu?” Tanya Abdullah semakin heran. Putri Aeliapun ikut penasaran.
“Jika Ayah ingin tahu, ikutlah denganku.” Abdulahpun meminta ijin pada putri,
“Bolehkah saya permisi untuk melihat perjanjian itu Putri?”
“Aku sendiri penasaran hai Abdullah, sungguh Zanimra itu aneh-aneh saja.” Maka mereka berdua turun dari beranda Pondok dan menghampiri Zanimra.
“Ah Ayah, adakah sesuatu benda yang bisa kau berikan padaku sebagai hadiah yang cocok bagi anak laki-laki?”
“Hem…yang kumiliki hanya teleskop kecil ini.”
“Bagus sekali! Bolehkah aku memintanya?”
“Ambillah putriku.” Zanimra meletakkan beberapa benda kecil diatas selembar kain hijabnya.
“Yang kumiliki kurasa sudah cukup untuk enam anak, dua gadis kecil dan empat anak laki-laki, nilai masing-masing benda tak jauh berbeda, kurasa ini cukup adil.” Gumamnya pada diri sendiri.
“Bagaiman menurutmu ayah, apakah nilai benda-benda ini cukup adil?” Abdullah memperhatikan benda-benda tersebut dan dia mengangguk setuju. Zanimra mengambil beberapa selendang lagi dari tasnya lalu bergegas menghampiri petani yang masih duduk menunggunya diikuti Abdullah dan Putri Aelia.
Setibanya disana Zanimra membagikan benda-benda tadi sesuai dengan pilihan setiap anak,. Lalu Zanimra melakukan perjanjian yang sama seperti yang dilakukannya dengan Salamah. Dari setiap anak dimintanya seorang saksi laki-laki atau dua orang saksi perempuan. Setelah selesai dengan semua anak-anak diapun bertanya,
“Apakah kalian semuanya senang dan ikhlas?”
“Kami senang sekali!”
“Anak-anak, ingat, apapun hadiah yang ada ditangan kalian bukanlah dariku, tapi dari Allah semata. Aku hanya sebagai alat penyalur berkah dan rahmatnya, jadi ucapkanlah…. Alhamdulillah. Sebagaimana benda yang ada ditanganmu itu Rahmat/pemberian Allah yang datang melalui tanganku, jika kalian melanggar janji, maka karena Allah pulalah aku akan mengambilnya kembali, apakah kalian mengerti?”
“Kami mengerti,”
“Jika kalian mengerti, sekarang katakan kepadaku, Demi siapakah kalian memegang akan memegang janji?”
“Demi Allah!” jawab anak-anak serempak,
“Mengapa demikian?”
“Karen Allah-lah yang memberikan hadiah ini melalui tangan kakak dan Allah pula yang akan mengambilnya dari kami melalui tangan kakak jika kami melanggar janji.”
“Insyaallah jika Allah memberi kesempatan pada kakak. Alhamdulillah kalian mengerti….. subhanallah, kalian memang anak-anak yang cerdas.”
“Ingat janji kalian baik-baik, patuhlah pada orang tua, takutlah pada Allah dan dan kerjakanlah shalat lima waktu.
Q.S. Al Fath:10. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. ”
“Kami berjanji.” Jawab anak-anak secara serempak lagi.
“Para saksi, aku sangat berterima kasih atas kesediaan kalian menjadi saksi, sungguh aku hanya dapat memberikan ini sebagai ucapan terima kasihku yang sangat.”
Zanimra membagikan beberapa selendang sutra miliknya yang diterima dengan suka ria.
“Nona, seharusnya kamilah yang berterima kasih padamu, karena perjanjianmu membuat kami sadar akan dari mana datangnya rezeki yang kami dapatkan sekarang ini. Sungguh kami jarang sekali bersyukur. Berjanjilah untuk sering berkunjung jika kau berkesempatan.”
“Insyaallah jika memang saya memiliki kesempatan dilain hari, jagalah anak-anak ini dalam memegang janjinya, sesungguhnya janji yang mereka ucapkan adalah janji seluruh manusia kepada Allah. Aku hanya mencoba mengingatkan mereka. Semoga pada usianya yang tepat mereka akan mengerti keseluruhan dari maksud perjanjian ini.”
“Amin.” Jawab semua yang hadir secara serempak.
“Baiklah, selagi aku sempat, maukah kalian mendengar sebuah kisah tentang dua petani dan kebunnya?” Dengan hampir berbarengan yang hadir menyetujui,
“Kami akan senang mendengarkannya.”
“Insyaallah, alhamdulillah… cerita ini terdapat didalam Al-Qur’an, semoga kita semua mendapat Rahmat Allah untuk mendapat pelajaran darinya.” Zanimra diam sebentar lalu membuka Al-Qur’an kecil yang selalu dibawanya.
“Bismillahirohmaan nirrohiim, Surat Al Kahf ayat 32-46;
32. Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.
33. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,
34. dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu’min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”.
35. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
36. dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”.
37. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?
38. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.
39. Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH” (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,
40. maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin.
41. atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”.
42. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku”.
43. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.
44. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.
45. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
46. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.” Zanimra menutup Qur’annya.
“Sungguh ceritamu membuat kami semakin sadar dan takut kepada Allah, kami berlindung kepada Allah dari kesombongan seperti yang dilakukan petani pertama itu.” Kata seorang petani dengan tulus, yang lainnya mengangguk-angguk setuju. Zanimra tersenyun bahagia, dia begitu bersyukur karena Allah begitu Pemurah melembutkan hati orang-orang yang ditemuinya hari ini, dengan senyum lebar dia berkata lagi.
“Sungguh banyak sekali cerita menarik dan pengajaran penuh rahmat dari Allah di dalam Al Qur’an. Bacalah Al Qur’an, hatimu akan merasa tenang dan bahagia, insyaallah.
Q.S. Yusuf:111. Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Abdullah kali ini benar-benar dibuat tercengang oleh tingkah laku Zanimra, tak jauh beda dengan Putri Aelia, dia semakin tercekat melihat kejadian itu. Akhirnya Zanimra minta Abdullah untuk memimpin shalat berjama’ah dibawah pohon itu. Selesai shalat merekapun melanjutkan perjalanan ke istana. Suasana hening karena tak satupun berbicara, Zanimra masih asyik dengan kain katun yang diberikan penduduk setempat sebagai kenang-kenangan.Tiba-tiba Putri melontarkan pertanyaan karena tak tahan menahan rasa penasarannya,
“Zanimra mengapa kau melakukan perjanjian seperti ini dengan anak-anak?”
“Karena aku ingin mengajarkan pada anak-anak tentang perjanjian.”
“Apakah kau pikir mereka akan memegang janjinya? Mereka hanya anak-anak.”
“Bukankan pelajaran lebih baik dimulai dari dini? Anak-anak sangat kuat daya ingatnya dan sangat rapuh kepercayaannya. Jika aku melanggar janjiku, mereka akan mencabut kepercayaannya dariku dan akan mengingat hal itu selamanya. Tapi yang terpenting disini, anak-anak mengerti dari siapa hadiah itu datang dan untuk siapa perjanjian itu sebenarnya dilaksanakan. Dan demi siapa mereka akan memegang janjinya. Semua karena Allah semata. Aku ingin anak-anak memahami, bahwa darimanapun atau siapapun datangnya rezeki sesungguhnya semua itu datang dari Allah. Dan hanya pada Allah seharusnya mereka bersyukur.”
“Apakah kau merencanakan hali ini Zanimra?”
“Bagaimana mungkin saya merencanakannya jika saya baru saja menginjak pedesaan itu?”
“Bagaiman kau bisa berbuat demikian jika tidak kau rencanakan?”
“Alhamdulillah, Allah-lah yang menginginkannya terjadi. Hal itu terlintas dipikiranku ketika si kecil Salamah meminta gelangku.”
“Jika Salamah tidak menerima perjanjian itu, kau tak akan memberikan gelang itu padanya?”
“Tidak.”
“Bukankah itu kejam?”
“Yang kutawarkan dalam perjanjian itu jauh lebih berharga dari gelangku Tuan Putri.” Putri tertegun mendengar jawaban Zanimra.
“Yang kuminta pada Salamah adalah menjalankan shalat dan patuh kepada orang tuanya. Hal itu tidak sulit bagi Salamah, karena dia lahir dari keluarga muslim. Shalat dan patuh pada orang tua adalah hal yang sudah biasa mereka kerjakan karena memang itu diwajibkan. Yang kulakukan hanyalah meberi mereka motivasi dalam menjaganya lebih baik. Salamah menyadari hal itu, oleh karenanya dia dengan berani menyetujui perjanjian itu.”
“Bagaimana dengan anak yang lain? Bukankah tidak semua anak berpikiran sama?”
“Sebagaimana Salamah, aku tanya tentang kerelaan mereka terlebih dahulu, dan mereka merasa rela mengadakan perjanjian itu. Dan mereka tak merasa dirugikan sedikitpun, terlebih lagi dengan hadiah imbalan yang kujanjikan jika mereka menjalankan janji mereka.” Lalu Zanimra mengarahkan pandangannya pada Abdullah dan berkata,
“Ayah, kau dengar tentang janjiku kepada mereka bukan?”
“Bahwa kau akan mempertanyakan tanggung jawab mereka dalam memegang janji atau tidak. Dan jika mereka melanggar janji, kau akan mengambil kembali hadiah itu, tapi jika mereka memegang janji, kau akan memberikan hadiah lain lagi bagi mereka. Ya! Aku dengar Zanimra.”
“Sudikah ayah membantu aku dalam memegang janjiku?”
“Tentu saja, insyaallah jika aku bisa putriku, Aku akan merasa senang sekali jika bisa ikut serta dalam perjanjian mulia ini!” sahut Abdullah dengan semangat.
“Aku akan menitipkan beberapa hadiah yang kujanjikan itu kepadamu. Jika dalam setahun aku tak bisa kembali kesini, maukah paman menyampaikan hadiah-hadiah itu bagi mereka yang memegang janji dan mengambil hadiah yang mereka miliki jika mereka melanggar janji?”
“Ha ha ha, subhanallah, tentu saja. Insyaallah jika umurku masih panjang. Dan insyaallah aku akan menambahkan beberapa hadiah lagi!”
“Alhamdulillah, terima kasih Ayah.” Jawab Zanimra dengan riang.
“Zanimra, kau memberikan pelajaran yang sangat berharga kepadaku. Jika kau bisa melakukan hal itu pada anak-anak di negri yang baru saja kau kunjungi, mengapa aku tak bisa? Aaaahh, aku sungguh malu padamu Zanimra!”
“Sungguh segala sesuatu datangnya dari Allah Ayah, aku hanya seorang hamba. Alhamdulillah.” Abdullah tersenyum bahagia karena ia mendapatkan Zanimra sebagai calon menantu. Dia tak dapat berkata terlalu banyak demi menjaga perasaan Putri. Karena kelelahan bermain dengan anak-anak akhirnya Zanimra jatuh tertidur. Perjalananpun menjadi kembali hening, bertolak belakang dengan isi kepala Putri Aelia yang semakin berkecamuk. Dalam beberapa jam saja Putri sudah merasakan kelebihan-kelabihan yang dimiliki Zanimra, hatinya semakin gusar. Jika dirinya bisa mengakui kelebihan Zanimra seperti ini, apalagi orang lain dan kakaknya. Kereta memasuki gerbang istana ditengah malam buta. Abdullah dan Zanimra langsung di antarkan ke kamar mereka.

BERSAMBUNG...

 Afwan ya ikhwah fillah kalu penasaran,,,heheheh

http://www.facebook.com/notes/melati/kisah-inspiratif-bag3-ketika-cinta-nya-tiada-tertandingi/187042791334104