Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Sabtu, 02 April 2011

OMAR ALMUKHTAR : LION OFDESSERT


Lelaki renta itu melangkah
menuju tiang gantungan. Kedua
tangannya terbelenggu namun
matanya masih tetap berbinar.
Raut mukanya tak
menampakkan rasa takut sedikit
pun. Ia begitu gagah walaupun
maut tengah merambat
mendekatinya.
Suasana sendu justru
menyergap orang-orang di
sekelilingnya. Mereka menatap
lelaki berusia 80 tahun itu,
dengan wajah muram. Air mata
tak dapat mereka bendung pula.
Bahkan beberapa saat kemudian,
jerit tangis bersahutan.
Tatkala mereka melihat lingkaran
tali tiang gantungan, menjerat
leher pahlawan mereka, Omar Al-
Mokhtar. Singa Padang Pasir itu,
berpulang ke Rahmatullah, pada
16 September 1931 di Kota
Solouq. Usai sudah
perjuangannya melawan
penjajahan Italia.
Omar Al-Mokhtar memang
dipandang sebagai simbol
perlawanan terhadap
penjajahan Italia bagi rakyat
Libya. Sejak Italia mulai
menancapkan cengkeramannya
di negeri tersebut pada Oktober
1911. Ia telah menjadi pionir
untuk menyalakan bara
perjuangan rakyat Libya
Syahid di Tiang Gantungan
Gelora perjuangannya juga
merambat kepada rakyat Libya
lainnya, dan melahirkan para
mujahid seperti Ramadan As-
Swaihli, Mohammad Farhat Az-
Zawi, Al-Fadeel Bo-Omar,
Solaiman Al-Barouni dan Silima
An-Nailiah.
Usaha Italia menguasai Libya,
dilakukan dengan menyerang
dan menguasai kota-kota pantai
seperti Tripoli, Benghazi, Misrata
dan Derna secara beruntun.
Meski demikian, Omar kerap
menjadi batu sandungan
mereka. Ia mampu
membangkitkan semangat
perjuangan rakyat Libya.
Perlawanan mereka telah
menciptakan sejumlah
pertempuran hebat. Misalnya
pertempuran yang terjadi di Al-
Hani dekat Tripoli pada 23
Oktober 1911, Ar-Rmaila dekat
Misrata, Al-Fwaihat dekat
Benghazi pada Maret 1912 dan
Wadi Ash-Shwaer dekat Derna.
Bahkan tak jarang perjuangan
rakyat Libya menuai hasil
gemilang. Kala itu, mereka
terlibat dalam pertempuran
besar di Al-Gherthabiya, dekat
Sirt pada April 1915. Italia
kehilangan ribuan serdadu.
Pertempuran semacam ini sering
terjadi, membuat Italia harus
melalui tahun demi tahun untuk
menguasai negeri ini.
Meski pada akhirnya, wilayah-
wilayah yang dipertahankan
oleh para mujahidin jatuh pula
ke tangan penjajah. Jatuhnya
wilayah demi wilayah membuat
para pejuang meninggalkan
rumahnya dan menuju ke
pegunungan. Mereka tak
berdiam diri, namun
merencanakan beragam
serangan lanjutan.
Pada 1922 Omar mengorganisir
para mujahidin dan
mengobarkan kembali
perlawanan terhadap
pendudukan Italia atas
negerinya. Ia mengumpulkan
kembali mujahidin di The Green
Mountain (Aj-Jabal Al-Akdar),
bagian Tenggara Libya. Hal itu
terjadi setelah Perang Dunia I
ketika Italia berpikir telah
mampu meredam sepenuhnya
perlawanan rakyat Libya.
Perlawanan yang kembali
mencuat membuat otoritas Italia
merasakan bahaya yang
mengancam. Mereka tak mau
membiarkan perlawanan
semakin merajalela. Lalu
pemerintah pusat Italia Badolio
yang terkenal haus darah untuk
meredam bara perlawanan
tersebut.
Ia tak hanya mendapatkan tugas
memimpin pertempuran untuk
menumpas Omar Al-Mokhtar dan
pasukannya. Bahkan ia pun
diizinkan untuk membunuh
rakyat jelata yang hidup tenang
baik di desa maupun
pegunungan hanya karena di
anggap membantu para
mujahidin.
Beberapa saat kemudian, sang
diktator, Musolini, juga
mengirimkan komandan yang
berperilaku seperti Badolio. Ia
mengemban tugas yang sama
untuk mengenyahkan nyawa-
nyawa orang yang tak berdosa
dan tak lupa menumpas gerakan
mujahidin.
Dan Musolini berpikir bahwa
untuk menyelesaikan masalah
Libya secara tuntas adalah
Rodolfo Grasiani. Bahkan kepada
kabinetnya Musolini menyatakan
kedatangan Grasiani kelak
membuat suasana di Libya dapat
terkontrol sepenuhnya.
Kala itu, Grasiani setuju pergi ke
Libya dengan catatan tak ada
aturan yang dapat
membelenggunya dalam
melakukan berbagai tindakan di
Libya. Bahkan peraturan
internasional sekalipun. Sebelum
ditugaskan ke Libya, ia pergi ke
Morj, Switzerland untuk
merencanakan serangan
terhadap Libya.
Rancangan Grasiani tentu saja
disetujui sepenunya oleh
Musolini. Pasalnya, ia berpegang
pada prinsip ''jika tak bersamaku
maka kalian adalah lawanku''.
Dengan demikian untuk
menguasai Libya segala cara
harus dihalalkan tak peduli akan
mengorbankan banyak jiwa
yang tak berdosa.
Rencana pertama Grasiani
adalah mengisolir Libya serta
mencegah adanya kontak baik
langsung maupun tak langsung
dengan mujahidin dan negara
tetangganya yang memasok
senjata dan informasi kepada
para pejuang Libya. Ia
membangun kawat berduri
sepanjang 300 km, tinggi 2
meter dan lebar 3 meter dari
pelabuhan Bardiyat Slaiman
Libya Utara sampai Al-Jagboub
Libya Tenggara.
Rencana lainnya adalah
membangun kamp konsentrasi
di mana ribuan warga Libya
harus hidup dalam pengawasan
angkatan perang Italia. Ia
membangun kamp konsentrasi
di Al-Aghaila, Al-Maghroun,
Solouq, dan Al-Abiyar.
Pada akhir November 1929
semua warga Libya yang hidup
di tenda di Al-Jabal Al-Akdar,
Mortaf-Aat Al-Thahir dari
Beneena Utara sampai Ash-
Shlaithemiya Selatan, dari
Tawkera ke bagian selatan
padang pasir Balt Abdel-Hafeeth,
digiring untuk hidup di kamp-
kamp konsentrasi.
Kehidupan rakyat Libya di kamp
sangat mengerikan. Bahkan
ribuan warga Libya mati
kelaparan. Tak jarang pula
mereka mati karena ditembak
atau digantung sebab diyakini
membantu perjuangan para
mujahidin.
Pada 1933, Ketua Departemen
Kesehatan Angkatan Darat Italia,
Dr Todesky menuliskan dalam
bukunya bertajuk Cerinaica
Today. Dalam bukunya itu ia
menyebutkan bahwa dari Mei
sampai September 1930, lebih
dari 80 ribu warga Libya dipaksa
meninggalkan tanah
kelahirannya dan hidup di kamp
konsentrasi.
Iring-iringan warga Libya yang
berjumlah 300 orang sekali jalan,
mendapat kawalah ketat dari
militer Italia. Todesky
melanjutkan bahwa pada akhir
1930 semua warga Libya yang
hidup di tenda-tenda dipaksa
untuk hidup di kamp
konsentrasi. Sebanyak 55 persen
dari 80 ribu warga Libya
meninggal di kamp konsentrasi
tersebut.
Seorang sejarawan Libya,
Mahmoud Ali At-Taeb
menyatakan bahwa pada
November 1930 paling tidak
terdapat 17 pemakaman dalam
sehari terjadi di kamp konsetrasi
akibat kelaparan, penyakit, dan
depresi.
Di luar kamp konsentrasi,
mujahidin yang bertahan di
daerah pegunungan terus
berjuang melawan penjajahan
Italia. Namun pada 1931
mujahidin kehabisan bahan
pangan dan amunisi. Pimpinan
mujahidin, Omar Al-Mokhtar,
sakit-sakitan dan banyak
mujadihin memintanya untuk
berhenti dan meninggalkan
negeri tersebut. Namun ia
menolak tawaran tersebut dan
tetap mengobarkan perjuangan.
Atas kegigihannya melawan
penjajahan Italia tak heran jika ia
dijuluki sebagai 'Singa Padang
Pasir'. Meski akhirnya, usia senja
tak mampu membuatnya
bertahan untuk memanggul
senjata. Ia ditangkap dan
dijatuhi hukuman gantung.
Eksekusi tetap dilakukan tanpa
mempertimbangkan kerentaan
Omar Al-Mokhtar dan hukum
internasional.
Semakin redupnya bara
perlawanan, membuat Italia
akhirnya dapat menguasai Libya
setelah melakukan pertempuran
selama 20 tahun. Meski Italia
hanya mampu berkuasa di sana
hingga 1943 akibat
kekalahannya di Perang Dunia II.
Libya kemudian berada di
bawah kekuasaan pasukan
sekutu hingga 24 Desember
1951.


http://www.facebook.com/notes/melati/omar-almukhtar-lion-ofdessert/193221897382860