Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Sabtu, 09 April 2011

==Masihkah ada, rasa Malu itu di dalam diriku ???==


Malu (salah satu akhlak yang mulia) dan iman merupakan dua hal yang tidak boleh dipisahkan antara satu sama lain, maka apabila salah satunya diangkat (hilang) maka hilanglah yang lain. (HR. Al Hakim dan Ath Thabrani)
"Malu..oh, sungguh aku Malu untuk...."

Semua Manusia normal pasti memiliki & menyadari akan sifat&rasa malu yang ada pada diri nya. Namun, terkadang Ukuran rasa malu seseorang memiliki tingkat pemahaman & pengertian yang berbeda antara seseorang satu dengan seseorang lainnya. Seorang Filsuf kuno Konfusius mengungkapkan bahwa “kesalahan mendasar seseorang adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real fault is to have faults and not to amend it)."

Digambarkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu sifat malu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lbh pemalu daripada seorang gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu kami bisa mengetahui pada wajah beliau.” Di lain hal, dikisahkan pula dalam sejarah bahwa Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang terkenal memiliki sifat pemalu hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun malu pula kepadanya.

Seperti diketahui, budaya malu (shame culture) identik dengan ciri, sikap dan sifat dari Bangsa Timur (Asia).
Salah satu contoh teladan Negara yang memiliki budaya malu diantara sejumlah negara-negara yang ada saat ini adalah Negara Jepang. Seperti diketahui, budaya leluhur dan turun-temurun rasa malu kerap melekat dibudaya jepang. Dahulu, setiap kali seseorang warga Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu menggugat diri, mereka melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri, bahkan ada pula yang sampai ekstrem hingga harakiri (bunuh diri), karena rasa malu. Fenomena Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Kini, di Era serba Teknologi, Komunikasi & Informasi (Globalisasi), fenomena tersebut lambat laun berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (menteri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa lalai (Keliru, ceroboh) serta gagal menjalankan tugasnya.
Betapa budaya malu bangsa Jepang amat tinggi sehingga jika kita melihatnya sebagai ciri bangsa yang taat, patuh, tunduk terhadap aturan hukum dan norma yang berlaku di sosial dan masyarakat hingga terbentuk sikap disiplin yang tinggi.
Dikarenakan budaya malu, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan.
Dikarenakan budaya malu, orang Jepang secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan semisal pembelian tiket kereta, tiket masuk ke stadion (menyaksikan) pertandingan olahraga (sepak bola etc), begitupun kala antrian di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka (masyarakat jepang) pun berjajar rapi menunggu giliran.
Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.Bahkan baru-baru ini Bangsa Jepang yang saat beberapa waktu lalu mengalami musibah bencana Gempa Tsunami terjadi tidak membuat budaya tertib itu hilang dari Bangsa Jepang. Betapa tidak, baru-baru ini dunia dibuat decak kagum dengan mentalitas masyarakat jepang. Disaat terjadi Gempa dan tsunami yang demikian dasyat dan mematikan, mereka tetap mengantri dengan tertib di supermarket untuk membeli kebutuhan pasca gempa dan tsunami terjadi. Bukan hanya di supermarket saja, bahkan ketertiban masyarakat negeri sakura itu terlihat di tengah kemacetan lalulintas ketika tsunami baru saja terjadi. Antrian tertib sangat terlihat dengan jelas (terang wartawan yang meliput) mereka berupaya tenang walau kemacetan sudah merajalela, apalagi ketika lampu jalan berubah menjadi hijau (sebelum kota mati lampu semua) pengemudi tidak saling serobot, namun bergerak cepat teratur walau hanya berlaku satu baris mobil saja yang dapat lewat..Hal lain dapat kita lihat ketika Pemerintah Jepang mengevakuasi warganya ke dalam bis saat Tsunami lalu. Mereka sama sekali tidak ada yang menyerobot lebih dahulu naik kedalam bus tersebut, tertib dan mau antri. Hal tersebut terlihat nyata dalam tayangan stasiun televisi lokal Jepang, TBStv, ribuan warga yang berkumpul di utara Stasiun Shibuya, Tokyo, sedang mengantre dengan tertib untuk masuk ke dalam bis yang telah disediakan.
Di tingkat birokrasi, dikisahkan Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, mengundurkan diri dari jabatannya. Setelah Maehara terbukti menerima donasi dari warga Korea Selatan yang bermukim di Tokyo yang total nilai donasinya hanya 250.000 Yen (sekitar Rp 25 juta). Padahal, uang tersebut tidak sepeserpun digunakan untuk pribadi Maehara, namun sebagai dana sumbangan partai politiknya, atau Partai Demokrat Jepang (DPJ). Entah dikarenakan tidak tahu atau kurang teliti, tenyata pemberian itu melanggar UU Partai Politik di Jepang yang tidak boleh menerima sumbangan dari bukan warga negara. Meski jumlahnya tidak besar, hanya Rp 25 juta, Maehara tetap dianggap melanggar. Karena berbuat lalai dan salah, maka dengan jiwa ksatria pun beliau (Seiji Maehara/Menlu Jepang) akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya.
Di satu sisi, mundur adalah wujud pertanggungjawaban dan moral. Namun di sisi lain, pengunduran diri ternyata berulang kali terjadi di Jepang, Sebelum Maehara, Menteri Kehakiman Yanagida mengundurkan diri bulan November 2010 karena merasa bersalah atas komentarnya yang tidak pantas di Parlemen. Bulan Juni 2010, Menteri Jasa Keuangan Kamei mundur akibat proses parlemen yang menurutnya tidak masuk akal. Di tahun 2009, ada sekitar 4 orang menteri yang mengundurkan diri karena berbagai alasan. Mereka mundur karena merasa tidak mampu memimpin Jepang, ataupun tidak sanggup memenuhi janji politiknya. Berulangkalinya pejabat Jepang mundur ini mengakibatkan ongkos politik menjadi begitu mahal dan Jepang terus terbelit dalam masalah ekonomi yang tidak kunjung usai. Fenomena mundur dalam jabatan bukanlah sebuah hal yang asing dan tabu. Sebagai informasi, Perdana Menteri Naoto Kan, yang saat ini menjabat Perdana Menteri Jepang merupakan Perdana Menteri Jepang yang kelima dalam lima tahun terakhir belakangan ini. Rata-rata PM Jepang hanya mampu bertahan antara 200 hingga 300 hari.

Kisah karena budaya malu dengan wujud mundur dari jabatan tercermin juga pada Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor Freiherr zu Guttenberg yang mengundurkan diri karena terbukti melakukan plagiat dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor. Salah Satu kandidat bakal calon Kanselir Jerman ini (Guttenberg) mundur bukan hanya karena disertasinya, tetapi juga karena isu itu mengganggu kinerjanya sebagai Menteri Pertahanan. Dalam suatu kesempatan, beliau mengungkapkan: Ketika saya menjadi pusat perhatian dan harus mendukung prajurit yang merupakan tanggungjawab saya, maka saya tidak dapat membenarkan diri untuk tetap berada di kantor.Ujarnya (Sumber:CNN; Tempo Interaktif, 1 Maret 2011)

Malu takut berbuat dosa karena..
karena Alloh SWT ,
karena Amanah,
karena Jabatan,
karena tanggung jawab memimpin

Budaya MALU yang terjadi di Era Masa ke Khalifahan terdahulu

Dikisahkan pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab r.a membutuhkan uang untuk keperluan pribadi. ia menghubungi Abdurrahman bin 'Auf, sahabat yang tergolong kaya, untuk meminjam uang 400 dirham. Abdurrahman bertanya, "mengapa engkau meminjam dari saya? Bukankah kunci baitul maal (kas negara) ada di tanganmu? mengapa engkau tidak meminjam dari sana?" Umar r.a menjawab, Aku tidak mau meminjam dari baitul maal. Aku takut pada saat maut merenggutku, engkau dan segenap kaum muslimin menuduhku sebagai pemakai uang baitul maal. Dan kalau hal itu terjadi, di akhirat amal kebajikanku pasti dikurangi. Sedangkan kalau aku meminjam dari engkau, jika aku meninggal sebelum aku melunasinya, engkau dapat menagih utangku dari ahli warisku."

Dikisahkan, di hari pertama tugasnya setelah diangkat menjadi Khalifah, Umar Bin Abdul aziz memanggil istrinya Fatimah, seraya berkata “ Wahai istriku, aku telah diberi amanah untuk memimpin umat. Aku sangat takut durhaka terhadap Tuhanku, akibat menyalah gunakan harta Negara yang telah diamanahkan kepadaku, atau lalai dalam kepemimpinanku. Untuk itulah, tugas menjadi Khalifah ini sangat berat dan membebaniku.” Khalifah lantas memberikan kebebasan istrinya untuk memilih, apakah tetap menjadi istri Khalifah dengan resiko menanggung pekerjaan yang berat dengan penghasilan pas-pasan. Dan, ditambah lagi dengan berkurangnya perhatian terhadap dirinya dan anak-anaknya. Atau, memilih masa depannya sendiri dengan segala konsekuensi ( Cerai ). Fatimah ternyata memilih tetap setia mendampingi suaminya dengan segala kesederhanaannya.

Dikisahkan pula dalam suatu kesempatan, suatu waktu ada seseorang keluarga Khalifah yang datang kerumah Umar Bin Abdul aziz pada malam hari. Beliau pun berkata “Ada keperluan apa kamu datang kepadaku wahai saudaraku ? Adakah keperluanmu sebagai urusan pribadi atau menyangkut kepentingan Negara ? “ lantas si fulan menjawab singkat, “ Aku datang untuk urusan pribadi wahai saudaraku. “
Demi mendengar jawaban si fulan, Umar buru-buru mematikan lampu pelita yang sinarnya juga tidak seberapa terang. Suasana yang semula agak terang menjadi gelap gulita. Si fulan kaget, lantas bertanya, “ Wahai Umar, kenapa pelitanya engkau matikan ? “ Umar lantas terdiam kemudian berbicara, “ Wahai fulan, bukankah engkau datang untuk keperluan pribadi tak ada kaitannya dengan Negara? Sedangkan lampu minyak ini dibiayai oleh Negara, aku tidak ingin menyalahgunakan kekayaan Negara demi kepentingan pribadi, maka lampunya aku matikan. “
Lain hari, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengadakan rapat pejabat di rumahnya. Dalam acara itu, kepada para tamu yang hadir dihidangkan aneka buah. Putri Umar yang masih kecil tampaknya tergiur pada buah apel yang dihidangkan. Dia merengek kepada si ibu agar diambilkan satu. Si ibu menolak, si anak makin tersedu. Si ibu melarang dengan cara manis, tapi si kecil malah menangis. Akhirnya, si ibu, istri Khalifah Umar, dengan sangat berat hati mengambil sebuah apel untuk menghentikan tangis putri kecilnya. Kala itulah sang Khalifah segera merebut kembali buah apel itu seraya berkata “ Wahai istriku, apakah kau akan mengambil harta Negara untuk kepentingan keluargamu? Demi Allah janganlah engkau berikan api neraka ini kepada putrimu! “. Di saat menjelang kematiannya, ia berkata kepada anak-anaknya “ Aku tidak mempunyai harta berlimpah untuk diwariskan“ dan sebelas anak Umar hanya mendapat warisan, masing-masing sebesar, tiga perempat dinar. Walaupun tidak mendapat warisan yang besar, namun tidak ada satupun anak Umar bin Aziz yang tidak sukses, mereka semua memiliki harta yang berlimpah. Bahkan salah seorang anaknya, sanggup menyediakan biaya dari harta pribadinya untuk seratus ribu pasukan berkuda, sekaligus kudanya, dalam sebuah perang fi sabilillah. Itu semua adalah berkah dari kesabaran ayah yang sholeh.
***
Terdapat 99 bahagian tarikan pada wanita berbanding lelaki, lalu Allah karuniakan ke atas mereka sifat malu.(HR.Baihaqi)

Rasulullah SAW bersabda :
“Keadilan itu baik, akan tetapi lebih baik kalau berada pada umarak (pejabat pemerintahan). Kedermawanan itu baik, akan lebih baik jika ada pada orang-orang yang mampu (hartawan). Hemat cermat itu sangat baik, akan tetapi lebih baik kalau cermat itu berada pada orang berilmu. Kesabaran itu baik, namun akan lebih baik kalau ada pada orang miskin. Tobat (meninggalkan dosa itu baik), tetapi akan lebih baik kalau ada pada pemuda. Malu itu baik, tetapi akan lebih baik kalau ada pada perempuan”. (HR. Dailami dari Umar bin Khattab).

Semua yang dimulai dengan rasa marah, akan berakhir dengan rasa malu. (Benjamin Franklin)

"Jika Anda tidak pernah ketakutan, malu atau terluka, itu berarti Anda tak pernah mengambil risiko.” (Julia Soul, aktris kelahiran Singapura)

Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkahpun. (Bung Karno)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang (riwayat lain tujuh puluh tujuh cabang) dan yang paling utama ialah Laa ilaaha illa Allah, dan yang terendah ialah mebuang duri dari jalan. Dan malu juga merupakan salah satu cabang iman.” (Ashhabus Sittah).

al Haya' ( Rasa malu) tidak datang kecuali dengan kebaikan

Haya'` termasuk bagian dari iman dan iman (balasannya) di surga. Dan ucapan cabul/jorok termasuk sifat tidak sopan dan tidak sopan itu di neraka." (Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3373/4184)
"Sesungguhnya bagi setiap agama ada akhlak dan akhlak Islam adalah sifat haya'` (Shahih Sunan Ibnu Majah 2/406, hadits no. 3370/4181)

"Sesungguhnya sebagian dari yang ditemukan manusia dari ucapan para nabi terdahulu: 'Apabila engkau tidak merasa malu maka lakukanlah apa yang engkau kehendaki." (Shahih al-Bukhari, kitab adab, bab ke 78, hadits no.6120 (Fath 10/523)
“Jika Allah hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu.” (HR. Bukhari Muslim)


http://www.facebook.com/notes/renungan-n-kisah-inspiratif/masihkah-ada-rasa-malu-itu-di-dalam-diriku-/10150203372166042