يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara
kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
Siapakah Ulil Amri yang Wajib
Dita’ati…?
Oleh: Ust. Abu Sulaiman hafidzahullah
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul
‘aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul yang
paling agung Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para shahabatnya seluruhnya.
Ikhwani fillah… kali ini kita akan meluruskan pemahaman yang ada di
masyarakat berkenaan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan
kalian”. (An Nisa: 59)
Ayat ini adalah ayat yang sering
kita dengar dan digunakan oleh banyak orang dalam rangka mewajibkan masyarakat
untuk taat kepada pemerintah Republik Indonesia ini. Oleh karena itu perlu
kiranya kita meninjau kembali atau meluruskan posisi ayat ini secara proporsional
dalam kehidupan nyata di negeri ini. Mari kita pahami siapa orang-orang yang
beriman dalam ayat tersebut dan kaitannya dengan realita Pemerintahan Republik
Indonesia ini…
Tinjauan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan
kalian”. (An Nisa: 59)
“Hai orang-orang yang beriman…”, ini adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang
beriman. “…taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di
antara kalangan kalian”, ulil amri adalah ulil amri dari kalangan kalian,
yaitu pemimpin muslim atau pemimpin yang mu’min, itu adalah pengertian
sederhananya.
Jadi, pemimpin yang harus ditaati
─tentunya selain dalam maksiat─ adalah pemimpin muslim, karena Allah
mengatakan “min kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai
orang-orang yang beriman”.
Orang yang beriman atau orang muslim
yang berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma adalah orang yang beriman
kepada Allah dan kafir kepada thaghut, berikut ini adalah penjabarannya. Dalil
dari Al Qur’an:
- Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Baqarah: 256:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ
وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Barangsiapa kafir kepada thaghut
dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang teguh pada Al ‘urwah al
wutsqa”.
Al ‘urwah al wutsqa adalah buhul tali yang amat kokoh, yaitu Laa ilaaha
illallaah, artinya barangsiapa kafir kepada thaghut dan iman kepada Allah, maka
dia itu adalah orang yang mengamalkan Laa ilaaha illallaah, orang yang sudah
masuk Islam, karena pintu masuk Islam adalah dengan perealisasian Laa ilaaha
illallaah sebagaimana ini adalah rukun Islam yang pertama.
Orang tidak dikatakan beriman,
kecuali jika dia beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut. Jika orang
beriman kepada Allah tapi dia tidak kafir kepada thaghut, maka ia bukan orang
yang beriman, ia bukan muslim… itu berdasarkan nash Al Qur’an. Maka dari itu
Allah dalam ayat ini mendahulukan kafir kepada thaghut (Barangsiapa kafir
kepada thaghut dan beriman kepada Allah) supaya tidak ada orang yang
mengklaim behwa dirinya beriman kepada Allah padahal dia belum kafir kepada
thaghut pada realita yang dia kerjakan.
- Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Ali Imran: 64:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ
تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا
اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا
مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (Muhammad): “Hai ahli
kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain
Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ”Saksikanlah,
bahwa kami adalah orang-orang muslim”.
Jadi, yang diserukan kepada ahli
kitab adalah pengajakan untuk berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah, ibadah
kepada Allah dan meninggalkan penyekutuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Di ujung ayat Allah menyatakan; “jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka: ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”,
maksudnya jika mereka berpaling dan tidak mau meninggalkan para arbab itu, maka
saksikanlah bahwa kami ini orang muslim dan kalian bukan orang muslim.
Berdasarkan ayat itu kita dapat
menyimpulkan bahwa orang yang tidak merealisasikan apa yang dituntut oleh ayat
ini, yaitu ibadah hanya kepada Allah, meninggalkan sikap penyekutuan sesuatu
dengan-Nya dan meninggalkan sikap menjadikan selain Allah sebagai arbab, maka
orang yang tidak mau meninggalkan hal itu adalah bukan orang muslim.
- Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat At Taubah: 5:
فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ
الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ
وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Apabila sudah habis bulan-bulan
Haram itu, maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat-tempat
pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang”.
Taubat dari apa…? Taubat dari
kemusyrikan dan segala kekafiran, yang maksudnya adalah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk melakukan pembunuhan, pengepungan
dan pengintaian apabila orang-orang itu sudah taubat dari segala kemusyrikan dan
kekafiran, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, berarti orang muslim itu
tidak boleh diganggu. Maka orang yang tidak taubat dari kemusyrikannya berarti
dia itu bukan orang muslim.
- Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat At Taubah: 11:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا
الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ
الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan
sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian
saru agama”.
Jika mereka bertaubat (dari
kemusyrikannya), maka mereka adalah saudara satu agama, maksudnya mereka itu
orang-orang muslim, karena sesama muslim adalah saudara, sebagaimana dalam
surat Al Hujurat: 10:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman
itu bersaudara”.
Berarti jika sebaliknya, dia tidak
mau meninggalkan kesyirikannya meskipun dia shalat, zakat, dan melakukan ibadah
lainnya, maka dia bukan ikhwan fiddin (saudara satu agama) dan berarti
dia bukan orang mu’min, karena ukhuwah imaniyyah itu tidak terlepas dengan
dosa-dosa biasa, akan tetapi dengan kesyirikan dan kekufuran. Dan dalam surat Al
Baqarah: 178 dikatakan:
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ
بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ
فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ
رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya…”
Dalam ayat ini, sang pembunuh dan
keluarga yang dibunuh tetap dipersaudarakan. Membunuh sesama muslim adalah dosa
besar, tapi tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam selama dia tidak
menghalalkannya.
Demikianlah beberapa dalil tentang
orang yang beriman dari Al Qur’an, sedangkan berikut ini adalah beberapa dalil
dari As Sunnah:
- Dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim dari Ibnu Umarradliyallahu'anhuma,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ
النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ.فَإِذَا
فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ وَحِسَابُهُمْ عَلَى
اللَّهِ
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai
mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang haq) kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
bila mereka melakukan hal itu, maka mereka terjaga darah dan hartanya dari
saya, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka adalah atas Allah”
Rasulullah tidak berhenti memerangi
manusia sampai mereka komitmen dengan Laa ilaaha illallaah, iman kepada Allah
dan kufur kepada thaghut serta mengakui risalah yang dibawa beliau kemudian
membenarkannya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Ini sama dengan
penjelasan sebelumnya.
2. Dalam hadits Muslim dari Abu
Malik Al Asyja’iy radliyallahu'anhu,
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ
عَلَى اللَّهِ
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia
kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta
dan darahnya, sedang perhitungannya atas Allah ta’ala”.
Seseorang dikatakan haram darah dan
hartanya, dalam arti dia itu dikatakan muslim, bila komitmen dengan Laa ilaaha
illallaah ─iman kepada Allah dan kafir kepada thaghut─, yaitu kafir terhadap
segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka barulah dikatakan muslim
mukmin.
Dan berikut ini adalah beberapa Ijma
dari para ulama Ahlus Sunnah:
A. Syaikh ‘Abdurrahman ibnu
Hasan rahimahullah mengatakan: “Para
ulama salaf dan khalaf, dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh
Ahlus Sunnah telah ijma, bahwa seseorang tidak menjadi muslim, kecuali dengan
mengosongkan diri dari syirik akbar dan berlepas diri darinya”. (Ad
Durar As Saniyyah: 11/545-546).
Dalam hal ini orang tidak dikatakan
muslim bila tidak mengosongkan dirinya dari syirik akbar, tidak berlepas
diri darinya dan dari para pelakunya. Ini adalah ijma (kesepakatan) ulama… maka
perhatikanlah.
Oleh sebab itu, jika masih atau
belum berlepas diri dari kemusyrikan, maka dia itu belum muslim meskipun dia
melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Dan selagi dia belum
mengosongkan diri dari kesyirikan, maka dia belum muslim walaupun dia shalat,
zakat, haji, dan yang lainnya…
B. Syaikh Sulaiman ibnu ‘Abdillah
ibnu Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab
rahimahullah mengatakan: “SEKEDAR mengucapkan Laa ilaaha illallaah
tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen
dengan Tauhid dan meninggalkan syirik akbar serta kafir terhadap thaghut, maka
sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma” (nukilan
ijma dari kitab Taisir Al ‘Aziz Al Hamid)
Orang yang mengucapkan Laa ilaaha
illallaah, dia shalat, zakat, shaum dan walaum haji berkali-kali, akan tetapi
jika dia tidak meninggalkan syirik akbar, tidak kafir terhadap tahghut, maka
dia itu bukan muslim dan tidaklah bermanfaat pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya.
C. Syaikh Hamd ibnu ‘Atiq rahimahullah mengatakan: “Ulama ijma (sepakat),
bahwa orang yang memalingkan satu macam dari dua do’a kepada selain Allah, maka
dia telah musyrik walaupun mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dia shalat dan
zakat serta mengaku muslim”. (Ibthalut Tandid Bikhtishar Syarh Kitab
Tauhid, hal: 67)
Do’a ada dua macam; yaitu do’a yang
berupa permohonan yang biasa kita ketahui, dan do’a berupa ibadah seperti;
shalat, shaum, zakat, haji, penyandaran hukum, dan lain-lain.
Jadi, bila seseorang memalingkan
satu macam ibadah saja kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, meskipun
mengucapkan kalimat tauhid, shalat, shaum, zakat dan mengaku sebagai seorang
muslim.
D. Syaikhul Islam Muhammad ibnu
‘Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan
tentang para pengikut Musailamah Al Kadzdzab dalam Syarh Sittati Mawadli
Minash Shirah dalam Mujmu’atut Tauhid hal. 23: “Di antara mereka ada
yang mendustakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kembali menyembah
berhala seraya mengatakan: “Seandainya dia (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam) itu adalah Nabi, tentulah tidak akan mati”. Dan di antara mereka ada
yang tetap di atas dua kalimah syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian
Musailamah dengan dugaan bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menyertakan
dia di dalam kenabian, ini karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang
bersaksi baginya akan hal itu, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka
adalah orang-orang murtad meskipun mereka jahil akan hal itu. Dan siapa yang
meragukan kemurtadan mereka, maka dia kafir”
Bila saja orang yang tidak melakukan
kesyirikan, akan tetapi mengangkat seorang manusia biasa sederajat dengan nabi,
maka ia telah divonis murtad dan segala amal ibadahnya tidak dianggap, dan
bahkan diperangi oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para shahabat lainnya… maka apa
gerangan dengan orang yang mengangkat makhluk pada derajat uluhiyyah
(ketuhanan) dengan cara memberikan satu atau beberapa macam dari sifat-sifat
khusus ketuhanan…?? Maka ini lebih syirik lagi, lebih kafir lagi dan lebih
murtad lagi jika sebelumnya dia mengaku muslim!
Beliau (Syaikh Muhammad
ibnu ‘Abdil Wahhab) rahimahullah juga menukil ijma tentang
pengkafiran penguasa ‘Ubaidiyyin di Mesir. Beliau berkata dalam suratnya kepada
Ahmad ibnu Abdil Karim Al Ahsaa’iy, beliau menjelaskan: “Di antara kisah
yang terakhir adalah kisah Bani ‘Ubaid, para penguasa Mesir dan jajarannya, mereka
itu mengaku sebagai ahlul bait, mereka shalat jama’ah dan shalat jum’at, mereka
juga mengangkat para qadliy dan mufti, akan tetapi ulama ijma akan kekafiran
mereka, kemurtadannya, keharusan untuk memeranginya, serta bahwa mereka adalah
negeri harbiy, wajib memerangi mereka meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa lagi
benci kepada mereka” (Tarikh Nejd: 346)
Pada saat itu kajian ada, kesempatan
belajar juga ada, shalat juga mereka lakukan bahkan mereka (Bani ‘Ubaid) yang
menjadi imamnya, akan tetapi ulama ijma bahwa mereka itu orang-orang murtad
kafir harbiy, karena mereka menampakkan kesyirikan akbar.
Demikianlah dalil-dalil dari Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma yang mengatakan bahwa orang tidak dikatakan sebagai
orang muslim, kecuali jika dia beriman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut.
Sedangkan thaghut yang paling besar di antara thaghut-thaghut zaman sekarang
ini adalah thaghut hukum dan perundang-undangan berikut para pembuat hukum dan
pemutus hukum yang berpedoman dengannya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menjelaskan dalam surat An Nisa: 60:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ
يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ
قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ
يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدً
“Tidakkah engkau (Muhammad)
memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?. Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir
kepada thaghut itu…”
Dalam ayat tersebut tersirat
keheranan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena ada orang yang mengaku
beriman kepada Al Qur’an dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah kitab suci serta
pedoman hidup, akan tetapi ketika ada masalah, mereka malah merujuk kepada
hukum thaghut… padahal hukum thaghut bukanlah hukum yang Allah turunkan,
sedangkan Allah sudah memerintahkan untuk kafir dan menjauhi thaghut.
Hukum yang dibuat oleh manusia
merupakan bisikan syaitan Jin, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam
firman-Nya:
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ
إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ
“Sesungguhnya syaitan itu
membisikkan kepada kawan-kawannya…”
(Al An’am: 121)
Dan digulirkan oleh syaitan-syaitan
manusia, maka itulah thaghut yang dimaksudkan firman Allah dalam surat An
Nisa: 60. Maka segala hukum produk manusia dengan segala bentuknya, baik
yang dibuat dalam bingkai demokrasi atau yang lainnya, maka selama itu bukan
hukum yang berasal dari Allah berarti itu adalah thaghut, karena hanya ada dua
macam hukum; hukum Allah atau hukum thaghut. Sedangkan seseorang tidak
dikatakan muslim jika tidak kafir kepada thaghut hukum ini, atau pembuatnya
dari kalangan syaitan manusia atau pembisiknya dari kalangan syaitan jin.
Jika kita sudah memahami bahwa orang
muslim itu adalah orang yang berlepas diri dari kesyirikan. Orang muslim adalah
orang yang mentauhidkan Allah dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan, maka
dia adalah seorang mu’min dimana saja dan kapan saja. Sebaliknya, jika orang
tidak merealisasikan hal ini, dalam arti walaupun dia beribadah kepada Allah
akan tetapi di samping beribadah kepada Allah dia tidak kafir kepada thaghut,
tapi justeru malah membela-bela atau loyal kepada thaghut, maka dia bukan orang
muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ