Berikut catatan dari Helvy Tiana
Rosa
Dulu, Rani kecil tinggal di sebuah bilik kayu mungil, di pinggir rel kereta api
Gunung Sahari. Ia sangat menyayangi keluarganya dan suka mengarang. Ketika
belum bersekolah, ia sudah mengarang sebuah puisi yang dihafalnya dan kemudian
menjadikannya sebuah lagu.
Kakakku manis sekali,
Aku sayang padanya
Ia pun sayang padaku,
Kakaku sayang….
Sebenarnya Rani ingin sekali punya abang, tetapi ia hanya memiliki seorang
kakak perempuan yang berusia dua tahun di atasnya. Dan gadis kecil itu sangat
mencintai kakaknya.
Rani sangat suka membaca. Ia membaca semua. Buku cerita, buku pelajaran, Koran,
bungkus cabai, bungkus bawang, dan kertas-kertas pembungkus sayur yang di bawa
pulang mama dari pasar. Gadis kecil berkepang dua tersebut menjadi kesayangan
ibu dan bapak guru. Kelas satu SD ia menjadi rangking ke dua di sekolah.
Suatu hari, anak berusia tujuh tahun itu kepalanya terbentur ujung besi yang
lancip. Berdarah! Ia muntah-muntah beberapa kali dan segera di bawa ke rumah
sakit.
“Gegar otak!” suara dokter seperti gelegar petir di telinga keluarganya. “Kita
doakan saja semoga tidak ada pengaruh fatal di kemudian hari. Tetapi sungguh,
saya tidak dapat menjaim apapun,” sambung dokter tersebut prihatin.
Mama, papa, kakak dan adik Rani bersedih, tetapi gadis kecil itu tak pernah
mengeluh. Ia hanya tersenyum. Pun ketika kemudian dokter melakukan general
check up dan ia mendapat tambahan ‘vonis’.
“Ada kelainan pada otak bagian belakang….”
“Paru-parunya kotor….”
“Jantungnya bermasalah….”
“Beberapa giginya membusuk dan tak beraturan. Kami harus mencabut 14 giginya….”
“Kami sangat menyesal. Lima benjolan kecil di leher ternyata tumor, harus di
angkat.”
Bertahun-tahun Rani kecil mondar-mandir dari satu rumah sakit ke rumah sakit
lain, dari satu dokter ke dokter lain dan meminum begitu banyak jenis obat yang
membuatnya mual, tetapi sedikit pun ia tak pernah mengeluh.
Ia masih suka mengarang, terutama mengarang lagu. Kadang ia mengarang lagu di
rumah sakit, kadang sesaat sebelum tidur. Ia mengarang lagu tentang desa,
tentang alam yang indah, tentang seorang detektif kecil. Ia juga masih senang
membaca. Hanya saja kakaknya melihat sang adik sering memegangi kepala beberapa
saat sambil memejamkan mata. Ya, Rani kecil sering pusing dan susah
berkonsentrasi dalam waktu yang lama. Tetapi ia tetap saja penggembira dan
senang menyanyi.
Rani baru kelas dua SD, ketika pada suatu hari ia berkata, ”Kak, aku ingin
sekali punya perpustakaan. Aku juga ingin menyewakan buku-buku serita kita pada
anak-anak lain.”
Kakaknya, kelas empat SD, memandang sang adik dengan mata berbinar. “Kakak
setuju. Kita taruh saja buku-buku itu di atas meja kayu, di depan rumah. Kita
tawarkan pada mereka yang lewat. Kira-kira berapa harganya, ya?”
“Yang tipis sepuluh rupiah. Yang tebal dua puluh lima rupiah rupiah. Boleh di
pinjam selama tiga hari sampai seminggu.”
Rani dan kakaknya hanya memiliki dua puluh buku cerita. Semuanya mereka
jejerkan pada sebuah meja kayu kecil di depan rumah kontrakan tempat tinggal
mereka yang baru, di daerah Kebon Kosong. Ternyata banyak anak tetangga yang
tertarik dan mau meminjam buku-buku itu. Uang hasil sewa buku pun mereka
belikan buku-buku baru.
“Suatu hari kakak akan menulis buku-buku seperti ini,” kata kakaknya sambil
memandang langit.
“Aku juga! Aku juga!” seru Rani kecil sembari tertawa memperlihatkan
kawat-kawat di giginya, sambil ikut-ikutan memandang langit. Namun perlahan ia
menunduk dan bertanya pelan. “Tapi apa aku bisa, kak? Aku kan gegar otak.”
Kakaknya mengangguk. “Tentu, dik. Tentu saja kamu bisa! Kamu bisa melakukan
apapun yang kakak kerjakan bila kamu mau!”
Rani kecil sering pusing, tetapi ia tak pernah berhenti belajar. Lalu Allah
menunjukkan kekuasaannya! Anak gegar otak dan penyakitan yang tadinya rangking
dua di kelas itu tidak menjadi seorang yang idiot! Ia malah menjadi juara satu,
bahkan selalu menjadi juara umum di sekolahhnya!
Rani kecil tak mau hanya termangu atau terbaring di tempat tidur. Di sela-sela
waktunya bersekolah dan ke dokter, Rani kecil mengikuti berbagai kegiatan:
Pramuka, karate, teater, vocal grup, apa saja.
“Saya akan melawan penyakit saya dengan berkarya, kak. Dengan melakukan
sesuatu!” kata Rani kecil sambil memandang langit.
Maka setiap kali saya lemah dalam melangkah, saya kembali teringat pada Rani
kecil. Di tengah penderitaannya menahan sakit, ia berhasil masuk SMA
favoritnya, SMA 1 Budi Utomo, mendapat PMDK untuk meneruskan kuliahnya di IPB,
dan menjadi kecintaan teman-temannya.
Rani kecil kini berusia 37 tahun, telah menikah dengan seorang jurnalis serta
mempunyai sepasang anak yang cerdas dan menggemaskan. Ia menulis banyak
artikel, esai, cerpen, novel dan scenario serta memenangkan beberapa lomba
mengarang tingkat nasional. Sejak buku pertamanya terbit tahun 1998 hingga kini
total ia sudah menulis lebih dari 40 buku! Tiga bukunya : Rembulan di Mata Ibu
(Mizan, 2000), Dialog Dua Layar (Mizan, 2001) dan 101 Dating Jo dan Kas (2005)
dinobatkan sebagai buku remaja terbaik Adikarya IKAPI 2000, 2001, dan 2005
sekaligus membuatnya terpilih sebagai salah satu pengarang terbaik tingkat
nasional (2001, 2002).
Ia pernah diundang mewakili Indonesia dalam Program Penulisan Majelis Sastra
Asia Tenggara (2003) dan mendapat pengahargaan sastrawan termuda Asia Tenggara
(2005). Tahun 2006 Rani terpilih menjadi satu dari dua sastrawan Indonesia yang
diundang ke Korea untuk program Writen in Residence.
Ya, Rani kecil adalah Asma Nadia (salah satu penulis best seller
Indonesia). Dan kakaknya adalah saya sendiri (Helvy Tiana Rosa). Dan setiap
kali saya merasa lemah dalam melangkah saya akan selalu teringat saat-saat kami
masih kecil juga tekad Asma untuk melawan semua penyakitnya dengan berkarya.
“Apa saya bisa menjadi penulis, kak? Saya kan gegar otak?”
Pertanyaannya dulu selalu kembali terngiang di telinga saya, kala saya menatap
langit malam dan melihat jutaan bintang yang berserakan, menyinari rembulan, di
sana.
Tentu, anda boleh bangga jika kakek, bapak atau kakak anda seorang pengarang,
tetapi hanya diri sendiri sendiri lah yang mampu mewujudkan cita-cita sebagai
seorang pengarang atau penulis, sebab bakat tak ada arti tanpa doa, tekad dan
usaha yang sungguh-sungguh dalam mencapainya.
Maka, setiap kali saya lemah dalam berkarya, saya kan segera mengingat Rani
kecil, seraya memandang langit.