Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah
segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah,
keluarga dan para sahabatnya.
Ketika
seseorang memasuki masjid, janganlah ia duduk sehingga melaksanakan shalat dua
rakaat yang disebut dengan tahiyatul masjid. Dari Abu Qatadah radhiyallahu
'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا
دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
“Jika
salah seorang kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sebelum mengerjakan
shalat dua rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tujuan
dari pelaksanaan shalat dua rakaat ini adalah untuk menghormati masjid. Karena
masjid memiliki kehormatan dan kedudukan mulia yang harus dijaga oleh orang
yang memasukinya. Yaitu dengan tidak duduk sehingga melaksanakan shalat
tahiyatul masjid ini. Karena pentingnya shalat ini, Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam tetap memerintahkan seorang sahabatnya - Sulaik al-Ghaathafani -
yang langsung duduk shalat memasuki masjid untuk mendengarkan khutbah dari
lisannya. Ya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak membiarkannya
duduk walaupun untuk mendengarkan khutbah dari lisannya, maka selayaknya kita
memperhatikan shalat ini.
Begitu
juga Jabir radhiyallahu 'anhu, saat ia datang ke masjid untuk mengambil
harga untanya yang dijualnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
maka beliau memerintahkannya untuk shalat dua rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu
Hibban dalam Shahihnya, dari hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dia
pernah masuk masjid, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya
padanya, “Apakah kamu sudah shalat dua rakaat?” Dia menjawab, “Belum.” Beliau
bersabda, “Bangunlah, laksanakan dua rakaat!”
Maka
berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, seluruh ulama sepakat tentang
disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari: 2/407). Bahkan
sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- berpendapat wajib dengan
berpatokan pada dzahir hadits. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sunnah,
berdasarkan beberapa hadits lain yang memalingkannya kepada anjuran. Di
antaranya, hadits tentang shalat lima waktu, maka ada seorang laki-laki
bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, “Apakah aku punya
kewajiban selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak, kecuali bila engkau mengerjakan
yang sunnah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pengarang
Shahih Fiqih Sunnah menguatkan pendapat jumhur dengan menyebutkan hadits Waqid
al-Laitsi, “Bahwasanya tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallamshallallahu 'alaihi wasallam, dan yang satunya pergi. Kemudian
keduanya berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Adapun salah seorang dari keduanya melihat celah di majlis itu, maka ia duduk
di tempat yang kosong itu. Sedangkan yang lainnya duduk di belakang mereka.
Adapun yang ketiga langsung pergi. sedang duduk di dalam masjid bersama
jama’ah, tiba-tiba datanglah tiga orang. Dua orang mendatangi Rasulullah
Setelah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selesai dari majlisnya, beliau
bersabda: “Maukah aku kabarkan tentang tiga orang tadi? Adapun seorang dari
mereka, ia datang menemui Allah maka Allah datang menemuinya. Adapun yang
seorang tadi, ia malu maka Allah malu kepadanya. Adapun yang seorang lagi, ia
berpaling maka Allah berpaling darinya”.” (Al-Bukhari)
Menurut
Syaikh Abu Malik Kamal, kedua orang tersebut langsung duduk dan Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk shalat dua rakaat. Wallahu
a’lam.
Seluruh
ulama sepakat tentang disyariatkannya shalat tahiyatul masjid (Fathul Baari:
2/407).
Bahkan
sebagiannya -khususnya dari madzhab Dzahiriyah- berpendapat wajib dengan
berpatokan pada dzahir hadits.
Sedangkan
jumhur ulama berpendapat sunnah, berdasarkan beberapa hadits lain yang
memalingkannya kepada anjuran.
Siapa
yang dikecualikan dari perintah ini?
Ada
beberapa orang yang dikecualikan dari perintah shalat tahiyatul masjid, yaitu:
- Khatib Jum’at, apabila dia masuk masjid untuk khutbah Jum’at, tidak disunnahkan shalat dua rakaat. Tapi dia langsung berdiri di atas mimbar, mengucapkan salam lalu duduk untuk mendengarkan adzan, kemudian baru menyampaikan khutbah.
- Pengurus masjid yang berulang-kali keluar masuk masjid. Kalau ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid setiap masuk masjid, maka sangat memberatkan baginya.
- Orang yang memasuki masjid saat imam sudah mulai memimpin shalat berjama’ah atau saat iqamah dikumandangkan, maka ia bergabung bersama imam melaksanakan shalat berjama’ah. Karena shalat fardhu telah mencukupi dari melaksanakan tahiyatul masjid. (Lihat Subulus Salam, Imam al-Shan’ani: 1/320)
Sebagian
ulama lainnya, tetap menganjurkan untuk melaksakan tahiyatul masjid setiap
memasuki masjid, walau dia bolak-balik masuk masjid. Di antara ulama yang
berpendapat seperti ini adalah Imam al-Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan dzahir dari
pendapat madzhab Hambali. (Lihat: al-Majmu’: 4/320)
Imam
Syaukani dalam Naulil Authar (3/70) berpendapat bahwa tahiyatul masjid tetap
disyariatkan setiap kali masuk masjid walaupun berulang kali masuk masjid
berdasarkan dzahir hadits. Wallahu a’lam.
Hikmah
Tahiyatul Masjid
Melaksanakan
tahiyatul masjid merupakan bentuk pemuliaan terhadap masjid sebagai baitullah
(rumah Allah). Kedudukannya seperti mengucapkan salam saat memasuki masjid atau
seperti mengucapkan salam saat bertemu saudara seiman.
Imam
Nawawi rahimahullaah berkata, “Sebagian mereka (ulama)
mengungkapkannya dengan Tahiyyah Rabbil Masjid (menghormati Rabb -Tuhan
yang disembah dalam- masjid), karena maksud dari shalat tersebut sebagai
kegiatan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan kepada
masjidnya, karena orang yang memasuki rumah raja, ia akan menghormat kepada
raja bukan kepada rumahnya.” (Lihat: Hasyiyah Ibnu Qasim: 2/252)
Shalat dua
rakaat saat memasuki masjid berarti menghormati dan mengagungkan Rabb yang
disembah di dalamnya.
Di Akhri Zaman Tahiyatul Masjid
Diremehkan
Syaikh
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah
menyebutkan bahwa salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya sikap
meremehkan sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Salah satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul
masjid saat memasukinya, sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadits, dari
Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku Mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ فِي الْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي
فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ
“Sesungguhnya
di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah seseorang melalui (masuk) masjid,
namun tidak melakukan shalat dua rakaat di dalamnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah
dalam Shahihnya. Syaikh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam Silsilah
al-Ahadits al Shahihah: 2/253 no. 649 dengan memberikan catatan kaki di
bawahnya bahwa dalam sanadnya ada yang dhaif, tapi ia memiliki jalur lain dari
Ibnu Mas’ud yang memperkuat sanadnya).
Dan
dalam riwayat lain disebutkan;
أَنْ
يَجْتَازَ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ فَلَا يُصَلِّي فِيْهِ
“Orang
melalui masjid tapi tidak melakukan shalat di dalamnya.” (HR. Al-Bazzar dan
dishahihkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaid: 7/329)
Dan
dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
إِنَّ
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ تُتَّخَذَ المَسَاجِدُ طُرُقًا
“Sesungguhnya
di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah masjid dijadikan sebagai jalan
(tempat berlalu lalang).” (HR. Musnad al-Thayalisi dan Al-Mustadrak
al-Hakim. Syaikh Al-Albani menghasankan redaksi serupa dalam Shahih Al-Jami’
no. 5899)
Bahkan
secara jelas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang menjadikan
masjid sebagai tempat lalu lalang tanpa ditegakkan shalat tahiyatul masjid
ketika memasukinya.
لَا
تَتَّخِذُوا المَسَاجِدَ طُرُقًا ، إِلَّا لِذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ
“Janganlah
kalian jadikan masjid sebagai jalan (tempat lewat), kecuali untuk berdzikir
atau shalat.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir: 12/314 dan al-Ausath:
1/14. Syaikh Al-Albani rahimahullaah mengatakan, “Sanad ini hasan,
seluruh rijalnya (perawinya) tsiqat (terpercaya).” Lihat: Silsilah Shahihah no.
1001)
Sedangkan
maksud menjadikan masjid sebagai jalan adalah dengan menjadikannya sebagai
tempat lewat atau berlalunya manusia untuk memenuhi hajat mereka. Masuk dari
satu pintu masjid dan keluar dari pintu lainnya tanpa melaksanakan shalat di
dalamnya. Sedangkan orang yang masuk masjid dan shalat di dalamnya tidak
dikategorikan sebagai orang yang menjadikan masjid sebagai tempat lalu lalang
yang dilarang.
Al-Hasan
al-Bashri ternah ditanya, “Tidakkah Anda benci kalau ada seseorang lewat di
dalam masjid lalu tidak shalat di dalamnya? Beliau menjawab, “Pasti (saya
benci).” (Lihat al-Mushannaf milik Abdul Razaq: 3/154-158)
. . .
salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah munculnya sikap meremehkan
sunnah-sunnah yang dianjurkan Islam dan Syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Salah
satunya adalah tidak melaksanakan tahiyatul masjid saat memasukinya,
Di
Mana Letak Keburukannya?
Orang
yang sengaja meninggalkan tahiyatul masjid saat memasukinya tanpa ada udzur
telah melakukan tindakan yang tidak sesuai sunnah dan tidak mengagungkan syi’ar
Allah (segala sesuatu yang dijadikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah).
Padahal yang demikian itu merupakan tanda iman dan takwa sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
وَمَنْ
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan barangsiapa yang
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj: 32)
Kalau
begitu tradisi dan budaya yang sedang menggejala di tengah-tengah umat,
menjadikan masjid sebagai tempat melangsungkan akad nikah dan resepsi tanpa
menghormati dan menjaga adab-adab masjid termasuk bagian yang dilarang. Para
hadirin masuk tanpa melakukan tahiyatul masjid, membiarkan maksiat di dalamnya
berupa ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam masjid), wanita
yang berdandan ala jahiliyah, nyanyian-nyanyian dan sebagainya.
Dan
bencana yang lebih besar lagi adalah dijadikannya masjid sebagai tempat
rekreasi dan bersenang-senang bagi orang-orang kafir setelah sebelumnya menjadi
tempat untuk berdzikir dan beribadah sebagaimana kebanyakan masjid yang berada
di Negara-negara yang berada di bawah kekuasaan kafir.
Penutup
Kiranya
kita sebagai umat Islam yang mengetahui keagungan masjid senantiasa menjaga adab-adabnya
dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah di dalamnya dengan senantiasa menjaga dua
rakaat tahiyatul masjid saat memasukinya dan tidak membuat tindakan yang
menciderai kehormatan dan kemuliaan masjid dengan melakukan kemaksiatan dan
pelangaran di dalamnya. Wallau Ta’ala a’lam.