Oleh: Badrul Tamam
Shalat Jum’at merupakan kewajiban yang penting
dalam Islam. Ia bagian dari syi’ar Islam yang sangat diagungkan. Bahkan secara
khusus Allah menyeru kaum mukminin untuk bersemangat dan benar-benar
memperhatikan ibadah setiap sepekan sekali ini. Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kaum
mukminin berkumpul untuk beribadah kepada Allah pada hari Jum’at dan
benar-benar memperhatikannya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
sangat marah terhadap orang-orang yang meremehkan shalat Jum’at. Beliau shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ
ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
“Hendaknya suatu kaum merhenti dari
meninggalkan shalat jum’at atau Allah akan menutup hati mereka kemudian menjadi
bagian dari orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah dan
Ibnu Umar)
Dalam Sunan Abi Dawud dan Nasai, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat
Jum’at karena meremehkannya, pasti Allah menutup mati hatinya.”
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berkehendak akan membakar rumah-rumah yang di dalamnya terdapat para lelaki
yang meninggalkan shalat Jum’at. Beliau bersabda,
لَقَدْ
هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ
يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ
“Sungguh aku berkeinginan menyuruh seseorang
untuk shalat mengimami manusia kemudian aku membakar rumah-rumah para lelaki
yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullaah menjelaskan
dalam satu riwayat bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat Isya’, dalam
riwayat lain shalat Jum’at, dan dalam riwayat lainnya shalat secara mutlak.
Semuanya shahih dan tidak saling menafikan. (Lihat: Syarah Muslim oleh Imam
Nawawi: 5/153-154)
Hujan Deras, bolehkah tidak melaksanakan
shalat Jum’at?
Dalam catatan Sirah Nabawiyah tidak
ditemukan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkan
shalat Jum’at karena kondisi alam seperti hujan atau salju. Beliau pernah
meninggalkan shalat Jum’at saat bersafar.
Sedangkan meninggalkan shalat Jum’at karena hujan
yang deras, badai, atau musim salju yang sangat dingin yang membahayakan kaum
muslimin dan sangat menyulitkan untuk pergi ke tempat shalat Jum’at, maka itu
dibolehkan.
Sedangkan
meninggalkan shalat Jum’at karena hujan yang deras, badai, atau musim salju
yang sangat dingin yang membahayakan kaum muslimin dan sangat menyulitkan untuk
pergi ke tempat shalat Jum’at, maka itu dibolehkan.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu
Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata kepada Mu’adzinnya di hari yang
hujan,
إِذَا
قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى
الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا قَالَ
فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمْعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ
أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُونَ فِي الطِّينِ وَالدَّحَضِ
“Apabila engkau mengucapkan أشهد أن محمداً
رسول الله (dalam adzan), jangan engkau ucapkan حيَّ على الصلاة (Mari
melaksanakan shalat), tapi ucapkanlah صلوا في بيوتكم (shalatlah di
rumah-rumah kalian). Maka seolah-olah manusia mengingkarinnya. Beliau (Ibnu
Abbas) berkata: ”Hal itu dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (yakni
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam), sesungguhnya shalat jum’at
itu wajib dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar, sehingga kalian berjalan
menuju masjid dengan kondisi jalan yang berlumpur dan licin.”
Imam Nawawi rahimahullaah berkata dalam
Syarah Muslim, bahwa dalam hadits ini terdapat dalil gugurnya kewajiban Jum’at
dengan udzur hujan dan semisalnya. Dan ini adalah pendapat madzhab kami dan
pendapat madzhab yang lainnya. Sedangkan pendapat dari Imam Malik rahimahullaah
berbeda dan Allah-lah yang lebih tahu mana yang benar.
Imam Nawawi rahimahullaah berkata dalam Syarah Muslim, bahwa dalam hadits ini
terdapat dalil gugurnya kewajiban Jum’at dengan udzur hujan dan semisalnya.
Madzhab Hambali berpendapat bahwa salju termasuk
udzur yang membolehkan untuk meninggalkan shalat Jum’at dan Jama’ah. Seperti
yang disebutkan dalam Kasyf al-Qana’ (1/495), “Dan diberi udzur meninggalkan
shalat Jum’at dan jama’ah . . . atau terganggu oleh hujan, lumpur, salju, hujan
es, atau angin dingin pada malam yang gelap gulita. Berdasarkan perkataan Ibnu
Umar, “Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggil tukang adzan
beliau pada malam yang dingin atau hujan dalam safar: Shallu fii rihalikum -shalatlah
di tempat kalian masing-masing!- (Muttafaq ‘alaih). Ibnu Majah meriwayatkan
dengan isnad shahih dan tidak mengatakan: dalam safar. Dan dalam Shahihain,
dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma: Bahwa beliau bersabda kepada
mu’adzinnya saat malam yang hujan –Imam Muslim menambahkan: pada hari Jum’at-,
. . . . (lalu menyebutkan hadits yang lalu). Dan salju, es dan kondisi yang
sangat dingin termasuk di dalamnya.”
Maka dari ketetapan di atas, badai pada malam
yang gelap juga termasuk udzur, karena keberadaannya kemungkinan besar diiringi
hujan. Wallahu a’lam.
. . . badai
pada malam yang gelap juga termasuk udzur, karena keberadaannya kemungkinan
besar diiringi hujan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa banyak orang yang
tidak terganggu dengan adanya salju sehingga mereka masih berangkat ke tempat
kerjanya dan memenuhi kebutuhannya. Maka bagi mereka, keberadaan salju tidaklah
menjadi udzur bagi mereka untuk meninggalkan shalat Jum’at. Namun jika
keberadaan salju itu benar-benar sangat mengganggu dan memberatkan mereka untuk
sampai ke masjid, maka ia menjadi udzur. Wallahu Ta’ala a’lam.