Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Kamis, 16 Desember 2010

"Pedagang Buta"


“Krupuk, rasa ikan. Gurih, renyah rasa krupuk”! Saban hari saya mendengar suara itu melalui pengeras suara. Awalnya, saya tak tertarik.  Menurut saya saat itu, pengeras suara hanya sebuahlah trik pria penjual krupuk itu. Makin keras dan luas jangkauan suaranya, makin laris manis pula dagangannya. Pria itu sedikit kreatif tapi saya kira dia bukan satu-satunya. Saya juga bukan penggemar krupuk meskipun kadang-kadang menikmatinya saat menyantap nasi goreng. Karena itu, saya tidak terlalu peduli dengan si penjual krupul dan jualannya.
Suatu kali, saya sedang berada di depan teras kontrakan, jaraknya hanya dua meter atau lebih sedikit dari jalan kecil yang membelah deteran rumah di kompleks kami. Persis di saat yang sama, saya mendengar suara khas pria penjual krupuk itu. Sepintas saya memperhatikan gayanya. Pria itu kira-kira berusia 40 tahunan. Memakai topi dan kaca mata hitam. Ia menjajakkan dagangan dengan menggunakan sebuah tongkat pikul.


Krupuk yang terbungkus plastik transparan diletakkan di kedua ujung tongkat tersebut. Sekali lagi ia bersuara menawarkan dagangannya, “krupuk, rasa ikan. Gurih, renyah rasa krupuk”!
Di waktu berikutnya, saya berhadapan langsung dengan si pedagang krupuk. Astaga! Saya terkejut sekaligus kagum. Karena apa? Ia sangat berbeda dari pedagang lainnya, bukan hanya karena menggunakan pengeras suaranya. Bukan juga karena ia berkeliling sepanjang hari; pagi segera setelah fajar terbit, siang di bawah sengatan terik, atau sore menjelang malam tiba. Bukan pula karena topi dan kacamata hitamnya. Hal yang amat berbeda adalah ia masih menggunakan tongkat lain selain tongkat pikulannya.
Sementara tangan kirinya menahan tongkat pikulan dan pengeras suara. Tangan kanannya menguasai sebuah tongkat terbuat dari  besi berwarna perak agak mengkilap. Panjangnya tak lebih dari 120cm. Tongkat itu bergerak menyilang mendahului langkahnya atau bergerak di kedua sisinya. Tongkat itu adalah mata. Memastikan bahwa tak ada sesuatu yang membuatnya terantuk. Menuntun langkah-langkah bergerak pelan tapi pasti. Ya, pria itu pedagang istimewa justru karena kedua matanya buta. Dan ia berkeliling bermodal tongkat dan pengeras suara.
Pedagang-buta itu tak biasa di kota seperti Jakarta. Rekan-rekan senasibnya (yang catat) banyak yang memilih –meskipun kadang kala bukan pilihan mereka sendiri- untuk duduk di jembatan penyeberangan, jembatan busway, di perempatan atau pertigaan lampu merah, di pinggir toko, di pintu atm, dll. Kawan-kawan sepenanggungan itu mengadu belas kasihan. Menadahkan tangan, topi, atau kaleng menanti tangan-tangan yang menyulurkan lembaran atau kepingan uang. Kadang orang buta lainnya dituntun seorang normal untuk meminta ”sumbangan” dan sejenisnya. Pria pedagang-buta itu makin terlihat istimewa. Ia gagah berjalan melawan kekurangannya.
Saya jadi teringat salah satu film favorit saya, The Knight’s Tale. Bercerita tentang seorang anak berasal dari rakyat biasa namun bercita-cita menjadi ksatria. Sebagai dukungan ayah sang anak memberi nasihat bijak berikut “change your star and follow your feet”. Tidak perlu ragu untuk bercita-cita dan yakinlah dengan langkahmu. Sang anak mematri pesan bijak itu dalam memorinya. Kelak -saat anak itu sudah menjadi ksatria dan di saat yang sama ayah sudah menjadi buta- kata-kata yang sama menjadi password sang anak  agar tetap mudah dikenali ayahnya.
Ya, mungkin si pria pedagang-buta tak (akan) pernah menyaksikan The Knight’s Tale tetapi sesungguhnya ia sedang berproses menjadi seorang ksatria. Tongkat penuntunnya berubah menjadi pedang yang membelah setiap lorong dan jalan yang dilalui. Ia sedang mengubah bintangnya (nasib) dan percaya pada langkah kakinya bisa menuntunnya pergi dan kembali dengan selamat. Ia berjuang untuk hidupnya dan mungkin orang lain. Secara tak langsung ia telah menolak menjadi alat orang lain, misalnya menjadi pengemis demi memperkaya orang lain.



Pria itu benar-benar ksatria. Ketangguhan menjalankan hidup bisa m.enjadi inspirasi rekan-rekan senasibnya. Lebih daripada itu, ia telah menginspirasi saya, mudah-mudahan Anda semua juga, bahwa hidup adalah sebuah perjuangan untuk mengubah ”bintang”. Melawan kekurangan, sekaligus mengubahnya menjadi kelebihan. Pantang menyerah. Dari ”krupuk, rasa ikan. Gurih, renyah rasa krupuk”, kelak pedagang-buta itu menikmati hidup ”se-gurih dan se-renyah” krupuk yang dijualnya….
HIKMAH; ALLAH memberikan kita kesempurnaan jasmani,,syukurilah pemberian ALLAH  SWT,Jangan memanfaatkan kekurangan kita untuk meminta minta,,,karena lebih baik tangan diatas daripada tangan dibawah,,Jadilah Pribadi yang mampu untuk menopang semua beban dan cobaan dari ALLAH SWT,,karena ALLAH tidak akan memberikan cobaan kepada umat-NYA melebihi kemampuan umat-NYA itu sendiri,

Yang Cacat saja mampu ,,,kenapa yang sempurna harus putus asa...????


http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/pedagang-buta/177334152286241