Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Jumat, 31 Desember 2010

Akhwat Kampung


Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
==============================

Dia tetangga saya di Kampung, tepatnya tetangga kampung. Rumahnya dengan rumah saya hanya dibatasi oleh perempatan jalan. Dia memang beda dgn kebanyakan wanita atau gadis2 dikampung saya atau di kampungnya. Dia seorang akhwat. Ya, dia seorang akhwat kampung. Sebut saja namanya Mbak Ais ( samaran ). Karena berdomisili di kampung, tentu saja kehidupan dan aktivitas kesehariannya jauh berbeda dengan akhwat-akhwat kota (kampus). Tak ada yang namanya seminar-seminar, apalagi menenteng tas ransel berlarian ikutan demonstrasi. Hidup di kampung, mau tak mau akrab dengan lumpur.
Tapi kehidupan kesehariannya yg luar biasa bagi pengamatan saya. Setiap minggu sore dia menjadi penceramah pengajian rutin ibu-ibu di kampungnya yg diadakan sepekan sekali. Setiap malam jumat dia diundang menjadi mentor kajian Hadist Nabi dan ‘Tafsir Jallalain’ di pengajian akhwat-akhwat kota. Lebih dari itu, ia kini menghidupi seorang anak yatim yang masih bersekolah SD. Padahal kebutuhannya sendiri jauh dari cukup dan ia sendiri belum punya anak. Subhanallah..Allahuakbar..!
Bagi saya mbak Ais masih sangat muda. Umurnya baru 25-an tahun. Apalagi dia bersuamikan seorang petani, tentu saja harus bahu membahu membantu pekerjaan suaminya untuk bisa mempertahankan hidup keluarganya, agar dapur tetap mengepul dan menghidupi anak yatimnya. Untuk menambah penghasilan hariannya, suaminya bekerja menjadi pemecah batu dan guru ngaji anak2 TPA di kampung sebelah yg bayarannya bukan berupa uang tapi berupa peralatan mandi seperti sabun, pasta gigi, Rinso, sabun cuci, dan barang2 sejenisnya. Lumayan, sebagian barang itu ia jual yg hasilnya untuk menambah biaya sekolah anak yatimnya yang bersekolah di SD Islam Terpadu .
Nah, suatu ketika, disaat saya hendak berangkat bekerja, saya melihat Mbak Ais sedang menggendong pupuk kandang untuk disemaikan di sawahnya. Terlihat telaten memasukan pupuk kesela-sela tanaman. Setelahnya merapikan dan memotong daun-daun yang sudah mengering, membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh, tentu saja agar tak berebut makanan dengan tanaman utama yang kelak akan dipetik hasilnya ketika panen tiba. Sementara sesekali saya melihatnya membenahi caping bambunya yang menutupi jilbab panjangnya, melindungi dirinya dari sengatan matahari yang kurang bersahabat di pagi menjelang siang itu.
Sebuah pemandangan yang berbeda….


Selama ini, interaksi saya memang habis di komunitas lembaga dakwah tertentu atau kuliahan. Pemandangan yang sering saya jumpai pun tentu saja tak jauh-jauh seputar dunia kampus. Kalau di kampus, tentu pemandangannya berbeda. Banyak akhwat-akhwat yang tampil modis, menenteng hand phone, buku-buku, materi-materi kuliah, berpakaiaan selalu rapi, walau ada juga satu dua yang kadang kurang mempedulikan penampilan, misalnya stelan warna antara jilbab dan bajunya kontras dan tidak pas dan (maaf) terlihat agak norak. Tapi kebanyakan, bisa menata diri.
Sepintas penglihatan saya, akhwat kampus, biasanya “hanya” berinteraksi dengan sesama komunitas, kebanyakan para aktivis yang tergabung dalam lembaga dakwah di fakultas, maupun universitas. Homogen sekali. Kalaupun meluaskan jalinan komunikasinya, itu tak banyak dilakukan. Dan kesan yang ada, sering terlalu mengambil jarak yang berlebihan, padahal seharusnya tidak begitu. Idealnya seperti ikan di samudera yang luas. Hidup dilaut yang asin tetapi sang ikan sendiri tetap tawar. Tetap bergaul dengan siapa saja, karena bisa jadi orang-orang diluar sana mempunyai keilmuwan dan pengalaman lebih yang bisa dipetik.
Semua ini bukan apa-apa, kelak toh tidak semua akhwat-akhwat itu akan hidup di kota, karena saya tahu mereka juga dari kalangan pendatang alias merantau ke kota untuk mencari ilmu di bangku kuliah. Setelah kuliahnya selesai, tentu saja banyak yang sepertinya akan pulang ke kekampung halamannya. Jelas, pola komunikasi dan keluwesan pergaulan akan sangat menentukan keberhasilannya hidup dikampung. Termasuk mempersiapkan sisi psikologis karena kehidupan di kampung dan kota jelas berbeda. Mau tak mau dia harus menyesuaikan keadaan yang dialaminya.
Untuk itu, bersiap-siaplah menyandang predikat akhwat kampung.
Kriterianya, memasak harus bisa, luwes dalam bergaul, tak perlu menutup diri, memahami medan dan kondisi sosial masyarakat kampung sehingga bisa akrab dan disenangi masyarakat sekitar. Terus, karena tak selamanya seorang akhwat kampus akan bersuamikan pekerja kantoran, tentu harus membayangkan pemandangan lain. Ketika pulang kampung, dia bisa jadi akan bersuamikan seorang petani biasa, seperti Mbak Ais tadi. Dan, itu artinya, bersiap-siap untuk berteman dan berkawan dengan lumpur. Siap atau tidak…?


Barakallahufikum

Wassalam


http://www.facebook.com/notes/renungan-dan-motivasi-ifta-istiany-notes/motivasi-akhwat-kampung/182280495133939