Oleh: Badrul Tamam
Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam termasuk
ushul iman (pokok keimanan) yang bergandengan dengan cinta kepada
Allah 'Azza wa Jalla. Allah telah menyebutkannya dalam satu ayat
dengan menyertakan ancaman bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada
kerabat, harta, negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.
قُلْ
إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ
"Katakanlah: "Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik"." (QS. Al Taubah: 24)
Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna
kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam. Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih
menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat
baik dan membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan
seorang mukmin.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda,
لَا
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman salah seorang di antara
kalian, sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia
seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnu Baththal, makna hadits ini adalah orang
yang sempurna imannya pasti tahu bahwa hak Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam lebih utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh
manusia. Karena melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kita
terselamatkan dari neraka dan diselamatkan dari kesesatan."
Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan
beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya.
Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang
mukmin.
Ketika Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
dan menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya
terhadap dirinya sendiri, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafikan
kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada beliau di atas
segala-galanya.
Maka wajib mendahulukan dan mengutamakan
kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atas kecintaan
kepada diri sendiri, anak, kerabat, keluarga, harta, dan tempat tinggal serta
segala sesuatu yang sangat dicintai manusia.
Memang setiap orang berhak untuk mengklaim
dirinya sebagai pencinta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, namun
klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti
sunnahnya), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya.
Al Qadli 'Iyadl rahimahullah, berkata:
"di antara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, berangan-angan hidup
bersamanya, . . . "
Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari Syarh Shahih al
Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan,
sebagai firman Allah Ta'ala:
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku." (QS. Ali Imran: 31)
Karenanya klaim cinta kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tidak dapat diterima dengan sekadar memeringati hari
kelahiran beliau. Namun, perilaku banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan
tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Sejarah Peringatan Maulid Nabi
Dalam sejarah pun, motivasi orang-orang yang
mula-mula melakukan peringatan maulid Nabi, yaitu pengikut mazhab Bathiniyyah
tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi untuk tujuan politis.
Pelopor pertama peringatan maulid Nabi shallallahu
'alaihi wasallam adalah Bani Ubaid al-Qaddaah atau yang lebih dikenal
dengan al-Fathimiyyun atau Bani Fathimiyyah pada pertengahan abad ke empat
Hijriyah, setelah berhasil memindahkan dinasti Fathimiyah dari Maroko ke Mesir
pada tahun 362 H.
. . motivasi orang-orang yang mula-mula melakukan peringatan
maulid Nabi, mazhab Bathiniyyah, tidak didasari rasa cinta kepada beliau, tapi
untuk tujuan politis.
Perayaan maulid diadakan untuk menarik simpati
masyarakat yang mayoritasnya berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk
untuk mendukung kekuasaannya dan masuk ke dalam mazhab bathiniyahnya yang
sangat menyimpang dari akidah, bahkan bertentangan dengan Islam.
Pakar sejarah yang bernama Al Maqrizy menjelaskan
bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun.
Beliau menyebutkan kurang lebih 25 perayaan yang
rutin dilakukan setiap tahun dalam masa kekuasaannya, termasuk di antaranya
adalah peringatan maulid Nabi. Tidak hanya perayaan-perayaan Islam tapi lebih
parah lagi, mereka juga mengadakan peringatan hari raya orang-orang Majusi dan
Nashrani yaitu hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad
(Natal), dan hari Khamisul ‘Adas (perayaan tiga hari sebelum Paskah).
Fakta sejarah peringatan maulid yang tidak
ditemukan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa
tiga generasi pertama Islam yang disebut sebagai generasi terbaik umat ini,
menyebabkan banyak di antara ulama yang mengingkarinya dan memasukkannya ke dalam
bid'ah haram.
Tak dipungkiri, di antara ulama ada yang
menganggapnya sebagai bid'ah hasanah (inovasi yang baik), selama tidak
dibarengi dengan kemungkaran. Pendapat ini diwakili antara lain oleh Ibnu Hajar
al Atsqalani dan as-Suyuti. Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi
adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, tetapi keberadaannya membawa maslahat
walaupun juga tidak lepas dari berbagai mudharat.
Keabsahan peringatan maulid Nabi bagi mereka
disandarkan pada dalil umum yang tidak berhubungan langsung dengan titik
permasalahan, sedangkan para ulama yang menentangnya membangun argumentasinya
melalui pendekatan normatif tekstual yang tidak ditemukan baik secara tersurat
maupun secara tersirat dalam Al Quran dan al Sunnah, dan diperkuat dengan
kaedah umum dalam ibadah yang menuntut adanya dalil spesifik yang menunjang
disyariatkannya suatu ibadah.
Hujjah Pendukung Peringatan Maulid
Para pendukung maulid berusaha mencari dalil untuk
melegitimasi bolehnya peringatan maulid tersebut, antara lain:
Pertama: Sikap Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam ketika mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
Asyura. Puasa tersebut adalah ungkapan syukur kepada Allah 'Azza wa Jalla
atas keselamatan Nabi Musa dari kejaran Fir’aun. Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pun menyerukan untuk berpuasa pada hari tersebut.
Peringatan maulid Nabi, menurut Ibn Hajar dan
as-Suyuti merupakan ungkapan syukur atas diutusnya Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam ke muka bumi.
Hujjah ini ditolak oleh ulama lainnya. Mereka
menganggapnya sebagai alasan yang dipaksakan, mengingat dasar suatu ibadah
adalah adanya dalil yang memerintahkannya dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam, bukan pada logika, analogi dan istihsan.
Puasa 'Asyura termasuk sunnah yang telah
dipraktikkan dan diserukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
sedangkan peringatan maulid tidak pernah dilakukan apalagi diserukan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sebaliknya, beliau telah
mewanti-wanti ummatnya dari membuat-buat bid'ah, seperti dalam sabdanya,
"Jauhilah amalan yang tidak aku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah
sesat." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Benar bahwa kita dituntut untuk senantiasa
mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan nikmat terbesar yang
tercurah pada umat ini adalah diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sebagai seorang rasul, bukan saat dilahirkannya. Karenanya, Al
Qur'an menyebut pengutusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
sebagai nikmat,
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
"Sungguh Allah telah memberikan karunia
kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di
tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri." (QS. Ali Imran:
164).
Ayat ini sama sekali tidak menyinggung kelahiran
beliau dan menyebutnya sebagai nikmat. Seandainya peringatan tersebut
dibolehkan, seharusnya yang diperingati adalah hari ketika beliau dibangkitkan
menjadi nabi, bukan hari kelahirannya. Lagi pula, status Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam yang mensyariatkan puasa Asyura' berbeda dengan status
umatnya. Beliau adalah musyarri' (pembuat syariat), adapun umatnya
hanya muttabi' (pengikut), sehingga tak dapat disamakan dan
dianalogikan dengan beliau.
Dan sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk
syukur kepada Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang
empat tidak ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, sebab mereka
adalah orang-orang yang pandai bersyukur, sangat cinta pada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan sangat antusias mengerjakan berbagai kebaikan.
. . sekiranya peringatan maulid merupakan bentuk syukur kepada
Allah, tentu tiga generasi terbaik, serta para imam mazhab yang empat tidak
ketinggalan untuk melakukan peringatan tersebut, . .
Hal yang juga mengundang tanya, mengapa ungkapan
rasa syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam hanya sekali dalam setahun, 12 Rabi’ul Awwal saja? Bukankah
bersyukur kepada Allah, mengagungkan dan mencintai Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam dituntut setiap saat dengan menaati dan selalu ittiba’ pada
sunnahnya?
Kedua: Nabi memeringati hari
kelahirannya dengan berpuasa.
Sebagian beralasan dengan puasa seninnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang merupakan hari kelahirannya.
Ketika beliau shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai puasa
Senin, beliau pun menjawab, “Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari
aku diangkat sebagai Rasul atau pertama kali aku menerima wahyu.” (HR.
Muslim). Ini menunjukkan bolehnya memeringati hari kelahirannya.
Alasan ini juga tidak dapat diterima, karena Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah puasa pada tanggal yang
diklaim sebagai kelahirannya, 12 Rabi'ul Awwal. Yang beliau lakukan adalah
puasa pada hari Senin. Seharusnya kalau ingin mengenang hari kelahiran Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dengan dalil di atas, maka perayaan maulid diadakan tiap
pekan, bukan sekali setahun.
Selain itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
juga tidak berpuasa hanya pada hari Senin setiap pekan, tapi juga hari Kamis.
Alasan beliau, "Keseluruhan amalan diperhadapkan kepada Allah pada
hari Senin dan Kamis sehingga aku senang amalanku diperhadapkan kepada Allah
sedang aku dalam keadaan berpuasa." (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Sehingga berdalih dengan puasa Senin tanpa hari
Kamis termasuk pemaksaan dan dibuat-buat. Dan kalau alasan tersebut dapat
diterima, mestinya peringatannya dilakukan dalam bentuk puasa, bukan
berfoya-foya dan makan-makan.
Ketiga: Peringatan maulid Nabi
dianggap sebagai bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Anggapan ini lahir dari
klasifikasi sebagian ulama terhadap bid'ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan
bid’ah sayyi’ah (jelek) atau dhalalah (sesat).
Alasan ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa
peringatan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak dapat
diterima sebagai bid'ah hasanah, karena dalam hadits-hadits Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan
yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan diyakini
oleh sahabat adalah setiap bid’ah sesat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan
(bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim).
Ibnu Mas’ud radliyallah 'anhu berkata,
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), janganlah
membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah
adalah sesat.” (HR. ath-Thabrani dan al Haitsami).
Abdullah bin ‘Umar radliyallah 'anhu menyatakan,
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”
(Al Ibanah al Kubra libni Baththah, 1/219).
Keempat: Peringatan Maulid
merupakan salah satu sarana untuk lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam.
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama tentang
pentingnya mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Hanya saja, sebagian di antara mereka tidak menerima suatu bid'ah dipoles
menjadi sarana kebaikan, karena tujuan yang baik tidak dapat dijadikan alasan
untuk menghalalkan segala cara. Lagi pula, mengenal sosok beliau tidaklah
pantas dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu
tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup
bid’ah. Lebih dari itu, upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid
merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang
Nashrani yang merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui
natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka
dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta
dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
. . upaya mengenal sosok beliau lewat peringatan maulid merupakan
salah satu bentuk tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang
merayakan kelahiran Nabi Isa 'alaihis salam melalui natalan.
Mengenal sosok Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dengan membaca dan mengkaji sirah, biografi dan sunnah beliau
seharusnya dilakukan sepanjang waktu, sebagaimana para sahabat mengajarkannya
kepada anak-anak mereka setiap waktu.
Seharusnya cinta Nabi dibuktikan dengan
meneladani dan mengikuti sunnah-sunnah beliau, bukan dengan menyelisihi
perintah atau melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Wallahu A’laa wa A’lamu bis-shawab