Mengenai Saya

Foto saya
Malang, East Java, Indonesia
Uhibbuka Fillah...

Laman

Rabu, 16 Februari 2011

MERENUNGI KEBODOHAN


Bisa jadi, semakin hari, kita semakin tidak mengerti dan semakin bingung dengan segala yang terjadi di depan mata kita. Semakin hari semakin banyak terjadi ketidakberesan yang terjadi di lingkungan kita, di masyarakat kita, dan secara umum, dalam tubuh bangsa kita.
Ketidak beresan sosial.
Ketidak beresan moral.
Ketidak beresan politik.
Ketidak beresan dalam beragama.
Ketidak beresan bermasyarakat.
Dan sebagainya, yang kita hanya bisa mampu terenyuh, menghela nafas, dan mengelus dada saja, miris, tanpa bisa berbuat apa-apa. Hanya mampu kelu dan layu.
Kita pasti bertanya-tanya dalam hati, apa sebab semua fenomena ini? Fenomena ketidakseimbangan moral yang sangat parah, degradasi drastis terjun bebas ke dasar jurang, sampai kehilangan identitas dan karakter sebagai sebuah bangsa timur. Kecuali cuma tinggal katanya dan konon. Hanya dalam tempo beberapa belas tahun saja.
Freesex, atau kriminalitas moral yang lain, pelan namun pasti seolah menjadi hal yang biasa, meski belum menjadi budaya.
Istilah orang kampung lugu yang tidak pandai menganalisa kasus, jika menilai hal ini adalah, semakin hari dunianya semakin rusak, tidak karu-karuan. Itu kata mereka. Simpel dan langsung menuju pada poin masalah.
Kalau boleh frontal mengatakan dan menilai, sebenarnya yang sedang dialami bangsa kita saat ini adalah : semakin meratanya kebodohan.
Kemiskinan yang kini justru terjadi di mana-mana, salah satu pemicunya adalah kebodohan ini sendiri.
Mungkin bisa jadi kita protes, hati kita menolak, tidak terima dikatakan bodoh. Kan saat ini pendidikan kita semakin maju, bertaraf tinggi, sekarang semua orang rata-rata kuliah, tidak ada lagi buta huruf, di mana-mana ada sarjana, jendela ilmu dan informasi pun terbuka lebar, bangsa kita semakin cerdas dan kritis. Serta lain sebagainya ketidak terimaan-ketidak terimaan dikatakan bodoh.
Well, oke, bisa jadi dari sudut "Tatsqif", kulturasi, penambahan pengetahuan, kita semakin membaik. Tetapi kita lupa satu hal, kita tidak tahu cara menggunakan dan mengaplikasikan pengetahuan itu sendiri sesuai target dan tata cara yang digariskan. Ketidak tahuan dan ketidak mampuan ini adalah bagian dari kebodohan itu sendiri.
Jadi, pengetahuan yang ada, hanya sebatas jadi pengetahuan, wacana saja. Atau ada penerapan, namun tidak didukung oleh sarana yang lengkap dan sistem yang sempurna, selalu setengah-setengah.
Atau jangan-jangan, mungkin kita sendiri masih belum tahu dan belum paham apa sebenarnya kebodohan itu sendiri? Ironis.
Kita pasti mendengar istilah "zaman Jahiliyyah", zaman kebodohan pra pengutusan Nabi Muhammad S.a.w menjadi Nabi. Era yang dialami hampir seluruh bangsa di muka bumi, tak hanya arab.
Apakah saat itu semua orang begitu bodoh? Tak berpakaian? Tak punya peradaban? Tidak bisa baca tulis? Terbelakang? Apakah itu yang terlintas di benak kita setiap mendengar kata jahiliyyah?
Sekedar catatan, bangsa arab sendiri pada masa itu, sedang mencapai puncak masa keemasan di dunia sastra. Tak ada bangsa di muka bumi ini dalam hal sastra yang mampu menandingi bangsa arab, yang sedang dalam puncak peradaban. Dan dalam puncak piramida, adalah bangsa arab terpelajar yang berkomunitas di Makkah, tempat Nabi lahir dan diutus.
Lantas apa yang dimaksud dengan "jahiliyyah" itu? Adalah kebodohan bersikap, kebodohan menempatkan diri, kebodohan bertindak, kebodohan tata cara berpikir, yang menyebabkan terjadinya kekacauan moral luar biasa yang berimbas pada kesalahan tatacara beribadah.
Abu Jahal, mendapat julukan itu bukan karena si doi ini goblok dan tolol luar biasa, bahkan masa itu dia adalah budayawan, ilmuwan dan pemikir terkemuka bangsa arab. Tetapi dia mendapat julukan sebagai bapaknya orang bodoh karena keegoisan dan kebodohan dia menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Sama halnya Fir'aun di era Nabi Musa (pikir, mana ada raja bodoh?)
Sebab, jika seseorang tak mengerti cara menggunakan pengetahuan dan ilmu yang ia miliki, baik agama ataupun umum, tak punya dzauq (kepekaan), kecerdasan emosional yang baik, tak punya kesadaran, maka semakin tinggi pengetahuannya, semakin tinggi split personality-nya, saat itu pula justru dia semakin terjun bebas dalam jurang kebodohan.
Karena yang mengerikan, terkadang kebodohan itu mengambil strata dan tingkat yang sangat tinggi sekali. Semisal ada seseorang yang begitu dalam ilmu agamanya, faham hukum ini hukum itu, tetapi ngotot menolak bahwa bumi itu bulat, tetap bilang bumi itu datar. Hanya berpegang pada tekstual ayat dan dengan sangat bodoh lupa pada ayat lain yang mengindikasikan kebulatan bumi. Itu contoh saja.
Atau orang intelek, menguasai beragam teknologi, mengaku berpengalaman luas, tapi saat yang sama mencoba menipu diri dengan menyatakan ketiadaan Tuhan. Hal paling sederhana yang bahkan kucing pun tahu.
Sederhananya, seseorang mengerti bahwa narkoba itu secara medis merusak kesehatan, tahu secara psikologis bisa berdampak buruk, paham kalau secara agama diharamkan, tetapi dia tetap nenggak sampai OD. Inilah yang disebut kebodohan itu. Bodoh mengaplikasikan program yang dia miliki.
Analogikan pula hal itu terhadap kasus-kasus pelanggaran moral yang terjadi dalam bangsa kita saat ini.
Atau para koruptor itu. Bukankah mereka tahu bahwa yang mereka lakukan secara moral, sosial dan agama adalah salah besar? Bukankah kebanyakan mereka rata-rata kaum terpelajar dengan bermacam-macam ijazah dan gelar di depan juga belakang namanya?
Sebelum melanjutkan catatan, harus kita bawahi, bahwa kita pun masih bodoh dan berusaha menghapus kebodohan itu.
Dalam ilmu ushul fiqh dijelaskan, bahwa bodoh itu ada dua jenis.
1. Bodoh sederhana (Jahl Basith)
2. Bodoh bertumpuk, bodoh kuadrat (Jahl Murokkab).
Jahl basith adalah semisal kebodohan yang dialami orang-orang pedesaan yang lugu, atau anak-anak kecil yang baru belajar, belum tahu apa-apa.
Sedangkan Jahl Murokkab, adalah bodohnya orang pintar, orang berilmu, yang tak pandai menerapkan ilmu sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Hal yang tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh ustadz, kyai, guru, doktor, bahkan profesor sekalipun.
Jenis Kebodohan yang diindikasikan oleh al-Qur'an dan disinyalir agar kita berhati-hati dan menjauhinya, termaktub dalam 20 ayat yang bertebaran di berbagai surat.
Jadi, jangan mudah mengkultuskan seseorang. Sampai jika salah tetap dibenar-benarkan, dicarikan penafsiran, diinterpretasikan yang macam-macam. Ini juga jenis kebodohan. Manusia, selama bukan Nabi, maka tak ada garansi selamat dari kesalahan dan kebodohan.
 Lantas apa (sekali lagi) penyebab daripada meratanya jenis kebodohan kedua (jahl murokkab) atas bangsa kita sehingga terjadinya keamburadulan moral, kerusakan sistem tatanan bermasyarakat, yang luar biasa ini? Sampai bangsa kita masuk 3 besar bangsa terkorup di dunia (apalagi katanya negara muslim terbesar).
Jika boleh menilai dari sudut ilmu tazkiyyatun Nafs (penjernihan jiwa), maka sebenarnya salah satu penyebabnya adalah : Kesalahan niat dalam mencari ilmu.
Baik ilmu umum, ataupun ilmu agama.
Kebanyakan dari kita, masih belum memahami, bahkan tak tahu (lagi-lagi masih bodoh kan?) akan tabiat ilmu. Coba kita tanya diri kita, apa tabiat ilmu? Yang semuanya merupakan cahaya Allah di muka bumi.
Ilmu, ibaratnya pisau bermata dua, dibutuhkan cara yang benar untuk menggunakannya, jika tidak ingin ia menikam balik dan mencabik-cabik tubuh kita, bahkan membunuh.
Harus kita akui, selama ini kita belajar, capek mencari ilmu, hanya untuk dunia bukan? Untuk bisa bekerja, untuk mencari uang, untuk mencari kedudukan dan posisi dalam sebuah institusi.
Oke, benar, jika pekerjaan itu sesuai dengan jurusan masing-masing, dan kita menempuh jurusan tadi untuk pekerjaan itu. Tapi ingat, penataan niat, nah, ini dia.
Ilmu, hanya mau diperoleh dan bisa digunakan untuk keuntungan kita, menghilangkan kebodohan kita jika mengambilnya hanya karena Allah saja.
Sebab tabiat ilmu, ia menolak diambil kecuali harus Lillahi ta'ala saja. Sekali lagi, baik ilmu umum atau terlebih ilmu agama.
Silakan mau jadi apa saja, tapi saat menuntut ilmu, saat mau belajar, niati yang Lillah Ta'ala saja, tidak sulit kan? Karena ilmu itu kepunyaan Allah, dan kita bisa mengambilnya jika karena Allah saja, Lillahi Ta'ala.
Pada akhirnya, sebelum kita menyalahkan orang lain, ada baiknya kita meneliti terlebih dahulu diri kita sendiri. Sebelum kita berkoar menghujat sana sini, membodohkan ini itu, sebaiknya kita memindai ulang, menscanning diri kita, sudahkah kita lepas dari kebodohan itu? Sudahkah kita punya kepekaan dengan lingkungan? Sudahkan kita peduli? Sudahkan niat kita tepat hanya Lillahi Ta'ala saja saat belajar? Bukan money oriented? Tetapi Ridho Allah oriented. Sudahkan seperti itu?
Saatnya bersama-sama bercermin kembali. Key? Semoga. (*)