Sambil menunggu bis kampus datang,
seorang mahasiswa Universitas Indonesia, iseng-iseng berbincang dengan seorang
pengemis tua yang sejak lama selalu nongkrong di halte bis UI.
“Sudah lama ngemis di sini, Pak?”
“Ya … lebih kurang sudah 10 tahun,
Nak.”
“Wah lama juga ya, biasanya dapat
berapa sehari, Pak?”
“Paling sedikit Rp 30.000, kadang
bisa 50.000, kalau jumatan bisa dapat 100.000."
"Lumayan juga ya Pak!"
“Ya lumayan, buat kasih makan
keluarga dan membesarkan anak-anak."
"Anak-anak sudah besar ya
Pak?"
"Anak saya sudah besar semua,
satu di UNJ Rawamangun, satu di IPB Bogor, yang paling tua di ITB Bandung.
Semuanya di universitas negeri."
Mahasiswa itu begitu salut dengan
sang pengemis, awalnya ia anggap remeh pengemis tua ini.
“Wah, hebat sekali ya, Bapak. Semua
anaknya kuliah di universitas negeri"
“Oh ndak gitu, Nak. Anak saya
semuanya mengemis, sama seperti saya. Memang keluarga kita pengalamannya
mengemis di universitas negeri!"
Gubrak!!!!?????
Humor dan hikmah
Tahukah Anda? Di India, keluarga
pengemis kadang sengaja mencacatkan anaknya agar bisa mendapat penghasilan
lebih dari mengemis, karena pengemis cacat mendapat uang lebih banyak.
Kenapa ini terjadi?
Cita-cita rendah menular, pesimisme
juga menular dan yang lebih berbahaya jika ini menular dari orang tua ke
anaknya.
Menjadi miskin bukan masalah,
menjadi orang tua miskin juga bukan masalah sepanjang kita tidak mempunyai
mental miskin.
Di dalam buku No Excuse! kita bisa
lihat kisah Laksmi Mital.
Anak miskin dari keluarga miskin di
yang miskinIndia.
Ayanya memberi nama Laksmi (dewa
kekayaan) pada anaknya, menunjukkan sang ayah sudah punya mental untuk berubah,
ia ingin anaknya kaya.
Lalu sang ayah pindah ke kota
membawa Laksmi agar nasib mereka berubah, dan sang ayah mewanti-wanti Laksmi
untuk bersungguh-suingguh belajar, karena ia tidak ingin Laksmi Mittal menjadi
orang tertinggal.
Tahukan Anda menjadi apa Laksmi di masa
depan?
Laksmi Mittal kini menjadi orang
terkaya di Asia, terkaya di London melebih ratu Inggris dan masuk dalam 10
besar orang terkaya di dunia.
Kesimpulannya, seburuk-buruknya
kemiskinan adalah ketika kita mempunyai mental miskin dan menerima kemiskinan
sebagai takdir yang tidak bisa dirubah, bukan sebagai nasib yang bisa dirubah.
Jadi seberapa miskinnya kita,
seberapa kecilnya penghasilan kita saat ini, seberapa susahnya hidup ini,
sepanjang kita punya mental sukses, kita punya harapan besar.