(sebuah cerita)
Dari tadi pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yang biasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekali mobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluar rumah. Di perempatan jalan, Umar, seorang anak kecil berlari-lari menghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnya terguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannya dengan lembaran plastik.
“Korannya bu !”seru Umar berusaha mengalahkan suara air hujan. Dari balik kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalam hatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran. Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompet dan membuka sedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang.
“Mau koran yang mana bu?, tanya Umar dengan riang.
“Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi aku juga sudah baca”, jawab si ibu. Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uang dua puluh ribu yang dia terima, “Terima kasih bu, saya menjual koran, kalau ibu mau beli koran silakan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohon maaf saya tidak bisa menerimanya”, Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.
Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanya tampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. Dari dalam mobil dia menggerutu “Udah miskin sombong!”. Kakinya menginjak pedal gas karena lampu menunjukkan warna hijau. Meninggalkan Umar yang termenung penuh tanda tanya. Umar berlari lagi ke pinggir, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengan dinding ruko tempatnya berteduh. Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untuk menghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatap nanar rintik-rintik hujan di depannya, “Ya Tuhan, hari ini belum satupun koranku yang laku”, gumamnya lemah.
Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda, Umar masih saja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perut yang sudah mulai lapar. Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorang bapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah,”Tukang gorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk”, dengan penuh kebencian dicampakkannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembali masuk ke mobil. Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada di mobil. “Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapak buang untuk saya makan”, pinta Umar dengan penuh harap. Pria itu tertegun, luar biasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tong sampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalam hatinya.
“Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalau kamu mau”
“Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudah cukup bagi saya, boleh khan pak?, tanya Umar sekali lagi.”Bbbbbooolehh”, jawab pria tersebut dengan tertegun. Umar berlari riang menuju tong sampah, dengan wajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihat laki-laki yang dari tadi masih memandanginya.
Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Umar yang sedang makan. Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Umar.
“Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus meminta ijinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?, dengan lembut pria itu bertanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh perasaan kasihan. "Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakan enaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya, meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan ini sangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya", jawab si anak sambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.
Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak ini sangat luar biasa. “Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basah dan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapi mengapa kamu menolaknya”. Si anak kecil tersenyum dengan manis, “Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buat saya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau saya mencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurut Bapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh air hujan dan hanya akan jadi makanan tikus.”
“Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkan yang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran di mana aku yang akan mentraktirnya”, ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anak di depannya berfikir keliru.
Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yang sangat teduh, ”Bapak!, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantong gorengan hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya”, Umar memperbaiki posisi duduknya dan berkata kembali, “Dan saya merasa berbahagia, bukankah bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup atas anugerah hari ini, bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkan keinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali di kemudian hari.”Umar berhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki di depannya untuk berpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali,”Kalau hari ini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya saya menginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka saya sangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya”.
Pria tersebut masih saja terpana, dia mengamati anak kecil di depannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitan pergi. ”Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layak dikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini”
http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/bocah-penjual-koran/180847958601527
"GIVE YOUR OWN TITLE"
Jika seorang lelaki ingin menarik
hati seorang wanita, biasanya yang ditebarkan adalah berjuta-juta kata puitis
bin manis, penuh janji-janji untuk memikat hati, “Jika kau menjadi istriku
nanti, percayalah aku satu-satunya yang bisa membahagiakanmu,” atau “Jika kau
menjadi istriku nanti, hanya dirimu di hatiku” dan “bla…bla…bla…” Sang wanita
pun tersipu malu, hidungnya kembang kempis, sambil menundukkan kepala,
“Aih…aih…, abang bisa aja.” Onde mande, rancak bana !!!
Lidah yang biasanya kelu untuk
berbicara saat bertemu gebetan, tiba-tiba jadi luwes, kadang dibumbui ‘ancaman’
hanya karena keinginan untuk mendapatkan doi seorang. Kalo ada yang coba-coba
main mata ama si doi, “Jangan macem-macem lu, gue punya nih!” Amboi… belum
dinikahi kok udah ngaku-ngaku miliknya dia ya? Lha, yang udah nikah aja ngerti
kalo pasangannya itu sebenarnya milik Allah SWT.
Emang iya sih, wanita biasanya lebih
terpikat dengan lelaki yang bisa menyakinkan dirinya apabila ntar udah menikah
bakal selalu sayang hingga ujung waktu, serta bisa membimbingnya kelak kepada
keridhoan Allah SWT. Bukan lelaki yang janji-janji mulu, tanpa berbuat yang
nyata, atau lelaki yang gak berani mengajaknya menikah dengan 1001 alasan yang
di buat-buat.
Kalo lelaki yang datang serta
mengucapkan janjinya itu adalah seseorang yang emang kita kenal taat ibadah,
akhlak serta budi pekertinya laksana Rasulullah SAW atau Ali bin Abi Thalib
r.a., ini sih gak perlu ditunda jawabannya, cepet-cepet kepala dianggukkan,
daripada diambil orang lain, iya gak? Namun realita yang terjadi, terkadang
yang datang itu justru tipe seperti Ramli, Si Raja Chatting, atau malah Arjuna,
Si Pencari Cinta, yang hanya mengumbar janji-janji palsu, lalu bagaimana sang
wanita bisa percaya dan yakin dengan janjinya?
Nah…
Berarti masalahnya adalah bagaimana
cara kita menjelaskan calon pasangan untuk percaya dengan kita? Pusying…
pusying… gimana caranya ya? Ih nyantai aja, semua itu telah diatur dalam
syariat Islam kok, karena caranya bisa dengan proses ta’aruf. Apa sih yang
harus dilakukan dalam ta’aruf? Apa iya, seperti ucapan janji-janji seperti
diatas?
Ta’aruf sering diartikan
‘perkenalan’,
kalau dihubungkan dengan pernikahan
maka ta’aruf adalah proses saling mengenal antara calon laki-laki dan perempuan
sebelum proses khitbah dan pernikahan. Karena itu perbincangan dalam ta’aruf
menjadi sesuatu yang penting sebelum melangkah ke proses berikutnya. Pada
tahapan ini setiap calon pasangan dapat saling mengukur diri, cocok gak ya
dengan dirinya. Lalu, apa aja sih yang mesti diungkapkan kepada sang calon saat
ta’aruf?
1. Keadaan Keluarga
Jelasin ke calon pasangan tentang
anggota keluarga masing-masing, berapa jumlah sodara, anak keberapa, gimana
tingkat pendidikan, pekerjaan, dll. Bukan apa-apa, siapa tahu dapat calon suami
yang anak tunggal, bokap ama nyokap kaya 7 turunan, sholat dan ibadahnya bagus
banget, guanteng abis, lagi kuliah di Jepang (ehm), pokoknya selangit deh! Kalo
ketemu tipe begini, sebelum dia atau mediatornya selesai ngomong langsung kasih
kode, panggil ortu ke dalam bentar, lalu bilang “Abi, boljug tuh kaya’ ginian
jangan dianggurin nih. Moga-moga gak lama lagi langsung dikhitbah ya Bi, kan
bisa diajak ke Jepang!” Lho?
2. Harapan dan Prinsip Hidup
Warna kehidupan kelak ditentukan
dengan visi misi suatu keluarga lho, terutama sang suami karena ia adalah
qowwan dalam suatu keluarga. Sebagai pemimpin ia laksana nahkoda sebuah
bahtera, mau jalannya lempeng atau sradak-sruduk, itu adalah kemahirannya dalam
memegang kemudi. Karena itu setiap calon pasangan kudu tau harapan dan prinsip
hidup masing-masing. Misalnya nih, “Jika kau menjadi istriku nanti, harapanku
semoga kita semakin dekat kepada Allah” atau “Jika kau menjadi istriku nanti,
mari bersama mewujudkan keluarga sakinah, rahmah, mawaddah.” Kalo harapan dan
janjinya seperti ini, kudu’ diterima tuh, insya Allah janjinya disaksikan Allah
SWT dan para malaikat. Jadi kalo suatu saat dia gak nepatin janji, tinggal
didoakan, “Ya Allah… suamiku omdo nih, janjinya gak ditepatin, coba deh
sekali-kali dianya…,” hush…! Gak boleh doakan suami yang gak baik lho, siapa
tahu ia-nya khilaf kan?
3. Kesukaan dan Yang Tidak Disukai
Dari awal sebaiknya dijelasin apa
yang disukai, atau apa yang kurang disukai, jadinya nanti pada saat telah
menjalani kehidupan rumah tangga bisa saling memahami, karena toh udah
dijelaskan dari awalnya.
Dalam pelayaran bahtera rumah tangga
butuh saling pengertian, contoh sederhananya, istri yang suka masakan pedas
sekali-kali masaknya jangan terlalu pedas, karena suaminya kurang suka. Suami
yang emang hobinya berantakin rumah (karena lama jadi bujangan), setelah
menikah mungkin bisa belajar lebih rapi, dll. Semua ini menjadi lebih mudah
dilakukan karena telah dijelaskan saat ta’aruf. Namun harus diingat, menikah
itu bukan untuk merubah pasangan lho, namun juga lantas bukan bersikap
seolah-olah belum menikah. Perubahan sikap dan kepribadian dalam tingkat
tertentu wajar aja-kan? Dan juga hendaknya perubahan yang terjadi adalah
natural, tidak saling memaksa.
4. Ketakwaan Calon Pasangan
Apa yang terpenting pada saat ta’aruf?
Yang mestinya menduduki prioritas tertinggi adalah bagaimana nilai ketakwaan
lelaki tersebut. Ketakwaan disini adalah ketaatan kepada Allah SWT lho, bukan
nilai ‘KETAKutan WAlimahAN’ Karena apabila seorang lelaki senang, ia akan
menghormati istrinya, dan jika ia tidak menyenanginya, ia tidak suka berbuat
zalim kepadanya. Gimana dong caranya untuk melihat lelaki itu bertakwa atau
tidak? Tanyakan kepada orang-orang yang dekat dengan dirinya, misalnya kerabat
dekat, tetangga dekat, atau sahabatnya tentang ketaatannya menjalankan
ketentuan pokok yang menjadi rukun Iman dan Islam dengan benar. Misalnya
tentang sholat 5 waktu, puasa Ramadhan, atau pula gimana sikapnya kepada
tetangga atau orang yang lebih tua, dan lain-lain. Apalagi bila lelaki itu juga
rajin melakukan ibadah sunnah, wah… yang begini ini nih, ‘calon suami
kesayangan Allah dan mertua.’
Inget lho, ta’aruf hanyalah proses
mengenal, belum ada ikatan untuk kelak pasti akan menikah, kecuali kalau sudah
masuk proses yang namanya khitbah. Nah kadang jadi ‘penyakit’ nih, karena
alasan “Kan masih mau ta’aruf dulu…” lalu ta’rufnya buanyak buanget, sana-sini
dita’arufin. Abis itu jadi bingung sendiri, “Yang mana ya yang mau diajak
nikah, kok sana-sini ada kurangnya?”
Wah…, kalo nyari yang mulia seperti
Khadijah, setaqwa Aisyah atau setabah Fatimah Az-Zahra, pertanyaannya apakah
diri ini pun sesempurna Rasulullah SAW atau sesholeh Ali bin Abi Thalib r.a.?
Nah lho…!!!
Apabila hukum pernikahan seorang
laki-laki telah masuk kategori wajib, dan segalanya pun telah terencana dengan
matang dan baik, maka ingatlah kata-kata bijak, ‘jika berani menyelam ke dasar
laut mengapa terus bermain di kubangan, kalau siap berperang mengapa cuma
bermimpi menjadi pahlawan?’
Ya akhi wa ukhti fillah,
Semoga antum segera dipertemukan
dengan pasangan hidup, dikumpulkan dalam kebaikan, kebahagiaan, kemesraan,
canda tawa yang tak putus-putusnya mengisi rongga kehidupan rumah tangga.
Kalaupun nanti ada air mata yang menetes, semoga itu adalah air mata
kebahagiaan, tanda kesyukuran kepada Allah SWT karena Ia telah memberikan
pasangan hidup yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya, aamiin allahumma
aamiin.
Barakallahulaka barakallahu’alaika
wajama’a bainakuma fii khairin.
Wallahu a’lam bishowab,